BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah
swt menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna, baik
sempurna dalam jiwa maupun raga. Dalam setiap diri manusia, Allah
titipkan segala yang dapat menjadi keperluan dikehidupan, seperti tangan
untuk melakukan pekerjaan, kaki untuk berjalan dan terutama akal untuk
berfikir. Akal inilah yang merupakan pembeda antara manusia dan mahluk
lain yang diciptakan oleh Allah swt.
Dengan
adanya akal, manusia dapat menentukan mana yang baik dan mana yang
tidak baik. Tentu setiap orang mempunyai pemikiran yang berbeda mengenai
sesuatu tergantung dari sudut pandang mereka memandang.
Kira-kira
pada abad ke-7, pada saat itu timbul aliran-aliran teologi baru dalam
islam. Yang pertama kali muncul adalah aliran Syi’ah dah Khawarij,
kemudian muncul lagi aliran Murji’ah, Jabbariyah dah Qodariyah, lalu
muncul lagi aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, dll.
Secara
harfiah kata Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang berarti
berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga memisahkan diri. (Abdul
Rozak dan Rasihan Anwar, 2010: 77)
Aliran
ini lahir kurang lebih tahun 120 H, di kota Basrah. Aliran mu’tazilah
pernah menjadi madzhab penguasa pada beberaa masa, yakni pada zaman
khalifah Al-Ma’mun dan Al-mu’tazim. (Drs. H. Muhammad Ahmad, 2009: 163)
Nama
mu’tazilah adalah suatu nama yang diberikan oleh orang selain dari
golongan Mu’tazilah, karna orang-orang mu’tazilah mengklaim dirinya
dengan sebutan ahlut tauhid wal’adl. (Drs. H. Muhammad Ahmad, 2009: 163)
Sedangkan
Asy’ariyah adalah salah satu aliran dalam teologi yang namanya
dinisbatkan kepada pendirinya, yaitu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari. Ia
lahir di kota basrah pada tahun 280 H/873 M dan merupakan keturunan
sahabat besar nabi yang bernama Abu Musa Al-Asyari seorang delegasi
pihak Ali r.a dalam peristiwa tahkim. (Drs. H. Muhammad Ahmad, 2009:
179)
Asalnya
Abu Musa Al-Asy’ari adalah penganut paham mu’tazilah, tetapi pada
usianya yang ke 40 tahun ia meninggalkan paham Mu’tazilah sambil
menunjukan keburukan-keburukannya. Konon ia meninggakan aliran
Mu’tazilah karna ia bermimpi bertemu Rasulullah saw sebanyak tiga kali,
dalam mimpinya Rasulallah saw memperingatinya untuk meninggalkan faham Mu’tazilah.
Akibat
perselisihan yang sering terjadi antara mu’tazilah dan asy’ariyah ini,
saya sebagai penulis tertarik untuk menulis karya ilmiah tentang
“PERBUATAN TUHAN MENURUT MU’TAZILAH DAN ASY’ARIYAH.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang diatas, maka masalah ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah kemunculan aliran Mu’tazilah?
2. Bagaimana sejarah kemunculan aliran Asy’ariyah?
3. Siapa saja para tokoh aliran Mu’tazilah?
4. Siapa saja para tokoh aliran Asy’ariyah?
5. Bagaimana perbuatan Tuhan menurut Mu’tazilah?
6. Bagaimana perbuatan Tuhan menurut Asy’ariyah?
C. Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui:
1. Sejarah kemunculan aliran Mu’tazilah.
2. Sejarah kemunculan aliran Asy’ariyah.
3. Para tokoh aliran Mu’tazilah.
4. Para tokoh aliran Asy’ariyah.
5. Perbuatan tuhan menurut Mu’tazilah.
6. Perbuatan tuhan menurut Asy’ariyah.
D. Metode Penulisan
Dalam
penyusunan karya ilmiah ini, metode yang digunakan penulis adalah
metode deskriptif, yaitu metode yang hanya menggambarkan keadaan dengan
kata-kata secara jelas dan terperinci. Sedangkan teknik yang digunakan
penulis dalam karya ilmiah ini adalah teknik biografi atau telaah
pustaka yaitu sebuah teknik dengan menelaah atau mengkaji sumber-sumber
tertulis.
E. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini, maka penulis akan menyusun karya ilmiah ini sebagai berikut:
BAB
I : Pendahuluan yang terdiri dari; Latar belakang masalah,Perumusan
masalah, Tujuan penulisan, Metode penulisan dan Sistematika penulisan.
BAB
II : Analisis Teoritis yang terdiri dari: Sejarah kemunculan
Mu’tazilah, Sejarah kemunculan Asy’ariyah, ajaran-ajaran Mu’tazilah,
ajaran-ajaran Asy’ariyah, tokoh-tokoh Mu’tazilah, dan tokoh-tokoh
Asy’ariyah.
BAB III : Membahas tentang Perbuatan Tuhan menurut Mu’tazilah dan Asy’ariyah .
BAB IV : Membahas tentang penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
ANALISIS TEORITIS
A. Sejarah Kemunculan Mu’tazilah
Mu’tazilah
artinya berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau
menjauhkan diri. (Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, 2010: 77). Golongan
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan yang dibawa
kaum Khawarij dan murji’ah. Dalam pembahasan mereka banyak memakai akal
sehingga mereka mendapat nama kaum rasionalis islam. (Harun Nasution,
2009: 40)
Golongan ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Watsil bin Atho serta temannya Amr bin
Ubaid dan Hasan Al Basri di Bashrah. Watsil selalu mengikuti
pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan Al Basri di Mesjid Basrah. Pada
suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang
yang berdosa besar. Sebagai mana diketahui kaum Khawarij memandang
mereka kafir, sedangkan Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan
Al Basri masih berfikir, Watsil bin Atho mengeluarkan pendapatnya
sendiri dengan mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar bukan lah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi
diantara keduanya; tidak mukmin dan tidak pula kafir.” Kemudian ia
berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan Al Basri, lalu ia pergi ke tempat lain di mesjid, disana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan Al Basri mengatakan:” Watsil bin Atho menjauhkan diri dari dari kita (i’tazala’ anna).” Dengan demikian ia serta teman-temannya, kata al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah. (Harun Nasution, 2009: 40)
B. Sejarah Kemunculan Asy’ariyah
Nama
lengkap al-Asy’ari adalah Abu Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin alim
bin Ismail bin usa bin Bilal bin Abi Bardah bin Abi Musa Al-Asy’ari.
menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di bashrah pada tahun 260
H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad
dah wafat di sana pada tahun 324 H935 M. (Harun Nasution, 2009: 120)
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40
tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan jama’ah
mesjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan
menunjukan keburukan-keurukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatar
belakangi Asy’ariyah meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan
Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW. sebanyak tiga kali, yaitu
pada malah ke-10, ke-20, dan ke30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya
itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan
membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.(Abdul Rozak dan
Rasihan Anwar, 2010: 120)
C. Ajaran –Ajaran Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah
artinya berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau
menjauhkan diri. Nama itu diberikan oleh orang-orang selain dari
golongan Mu’tazilah. Ajaran-ajaran yang diberikan aliran ini antara
lain:
1. Tauhid (ke-esaan)
Tauhid
disini maksudnya mengEsakan Tuhan dari segala sifat dan af’alnya yang
menjadi pegangan bagi aqidah islam. Orang –orang Mu’tazilah dikatakan
ahli Tauhid karena mereka berusaha maksimal mungkin mempertahankan
prinsip ketauhidannya dari serangan Syi’ah Rafidiyah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk jisim dan bisa juga menghindari dari serangan agama dualism dan trinitas.
Ketauhidan dari golongan Mu’tazilah adalah:
a. Tuhann
tidak bersifat Qadim, kalau sifat Tuhan Qadim berarti Allah
berbilang-bilang, sebab ada dua dzat yang Qadim, yaitu Allah dan
sifatnya, padahal Allah adalah Maha Esa.
b. Mereka menafikkan (meniadakan) sifat-sifat Allah sebab Alah bersifat dan sifatnya itu macam-macam pasti Allah itu berbilang.
c. Allah bersifat Aliman, Qadiran, Hayyan, Sami’an, Basyiran dan sebagainya adalah dengan dzatnya, tetapi ini bukan keluar dari dzat Allah yang berdiri sendiri.
d. Allah tidak dapat diterka dan dilihat mata walaupun diakhirat nanti.
e. Mereka menolak aliran Mujassimah, Musyabihah, Dualisme, dan Trinitas.
f. Tuhan itu Esa bukan benda dan bukan Arrad serta tidak berlaku tempat (arah) padanya
2. Al-Adlu (keadilan)
Manusia
memiliki kebebasan dalam segala perbuatannya dan tindakannya. Karena
kebebasan itulah manusia harus mempertanggung jawabkan segala
perbuatannya, kalau perbuatan itu baik Tuhan memberi kebaikan dan kalau
perbuatannya jelek atau salah Tuhan akan memberi siksaan, inilah yang
mereka maksudkan keadilan.
Lebih jauhnya tentang keadilan ini, mereka berpendapat:
a. Tuhan menguasai kebaikan serta tidak menghendaki keburukan.
b. Manusia bebas berbuat dan kebebasan ini karena kudrat (kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri manusia.
c. Makhluk diciptakan Tuhan atas dasar hikmah kebijaksanaan.
d. Tuhan tidak melarang atas sesuatu kecuali terhadap yang dilarang dan tidak menyuruh kecuali yang disuruhnya.
e. Kaum Mu’tazilah tidak mengakui bahwa manusia itu memiliki Qudrat dan Iradat tetapi Qudrat dan Iradat tersebut hanya merupakan pinjaman belaka.
f. Manusia dapat dilarang atau dicegah untuk melakukan Qudrat dan Iradat.
3. Al-wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman)
Prinsip
janji dan ancaman yang dipegang oleh kaum Mu’tazulah adalah untuk
membuktikan keadilan Tuhan sehing mnusia dapat merasakan keadilan Tuhan
atas segala perbuatanya. Disinilah peranan janji dan ancaman bagi
manusia agar tidak terlalu menjalankan kehidupannya. Ajarannya ialah:
a. Orang mukmin yang berdosa besar lalu mati sebelum taubat ia tidak akan mendapat ampunan Tuhan.
b. Diakhirat tidak akan ada Syafa’at sebab Syafa’at berlawanan dengan al-wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman).
c. Tuhan
akan menbalas kebaikan manusia yang telah berbuat baik dan akan
menjatuhkan siksa terhadap manusia yang melakukan kejahatan.
4. Al-Manzilah Bainal Manzilataini (tempat diantara dua tempat)
Sebagaimana
diuraikan terdahulu bahwa yang dimaksud dengan tempat diantara dua
tempat yang dikemukakkan oleh kaum Mu’tazilah yaitu tempat bagi orang
fasik, yaitu orang-orang Mu’tazilah yang melakukan dosa besar tetapi
tidak musyrik, maka mereka dinamai fasik dan nantinya akan ditempatkan
disuatu tempat yang berada diantara surge dan neraka. Orang-orang fasik
ini tidak akan keluar dari neraka yang agak dingin dan tidak pula masuk
ke surge yang penuh kenikmatan.
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar (menyuruh kebaikan dan melarang kejelekan)
Dasar
ini pada kenyataannya hanya sekedar berhubungan dengan amalan lahir dan
dengan dasar ini pula membuat heboh dunia islam selamam tiga ratus
tahun, pada abad permulaan islam, sebab menurut mereka, “orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan serta diluruskan,” kewajiban ini harus dilaksanakan oleh setiap muslim untuk menegakkan agama serta memberi petunjuk kepada orang yang sesat.
Dalam melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar mereka berpegang pada al-hadits yang berbunyi:
مَنْرَاءَ مِنْكُمْ مُنْكَرا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ
Artinya: “Siapa diantaranya yang melihar kemunkaran maka ubahlah dengan tanganmu.”
Oleh
karena itulah telah tercatat dalam sejarah bahwa kaum Mu’tazilah pernah
membunuh ulama-ulama islam, diantaranya ulama islam yang terkenal Syekh Buwaithi seorang imam pengganti imam Syafi’I dalam suatu peristiwa Quran Makhluk.
Disini
terdapar keganjilan-keganjilan dari orang Mu’tazilah sebab Amar Ma’ruf
atau menyuruh kebaikan itu dimaksudkan hanya Ma’ruf (kebaikan) bagi kaum
Mu’tazilah, yaitu hanya pendapat mereka bukan Ma’ruf (kebaikan yang
sesuai dengan Quran sebagaimana orang banyak berpegang kepada Quran yang
tercantum dalam ayat 104 dari surat ali-Imran, yaitu:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَن
ِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ) آل عمران104: (
Artinya: “Dan hendaklah ada diantaramu segolongan umat yang menyeru
kebajikan, menyuruh kepada ma’ruf dan mencegah dari manusia yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (ali-Imran: 104)
Aliran
Mu’tazilah berpusat di dua tempat, yaitu Bashrah dan Baghdad. Dalam
perkembangan selanjutnya, aliran Mu’tazilah terpecah menjadi 20 aliran,
namun semuanya itu masih berprinsip dari lima ajaran tersebut. Hingga
sekarang aliran Mu’tazilah secara fisik telah tenggelam ditelan
gelombang sejaran. Namun namanya masih kita kenang dan
pemikiran-pemikirannya terkadang menjelma pada pemikiran manusia
sekarang.
D. Ajaran-Ajaran Aliran Asy’ariyah
Asy’ariyah
adalah nama aliran yang namanya dinisbatkan kepada Abu Musa al-Asy’ari.
Memang Asy’ari adalah penganut bahkan tokoh yang sangat terkemuka
Mu’tazilah, namun pada usia 40 tahun ia bermimpi bertemu dengan
Rasulullah SAW dan menyuruhnya untuk meninggalkan aliran Mu’tazilah..
Ajaran-ajaran yang diberikan aliran ini antara lain:
1. Tuhan dan sifat-sifatnya
Asy’ariyah
berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat, seperti mempunyai tangan
dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan
secara simbolis, mereka beranggapan bahwa sifat Allah itu unik dan tidak
sama dengan sifat yang ada pada diri manusia.
2. Kebebasan dalam berkehendak
Asy’ariyah berpendapat bahwa kebebasan dalam berkehendak itu terbagi antara khaliq dan kasb. Menurutnya Allah sendiri adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allahlah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
3. Akal dan wahyu serta kriteria baik dan buruk
Asy’ariyah
berpendapat bahwa akal dan wahyu itu sangat penting, tetapi mereka
lebih mengutamakan wahyu. Mereka berpendapat bahwa menentukan yang baik
dan buruk itu ditentukan dengan wahyu.
4. Qadimnya Quran
Mereka berpendapat bahwa walaupun al-Quran terdiri
dari dari kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada
esensi Allah dan karenanya tidak Qadim. Nasutionpun mengatakan bahwa
al-Quran bagi Asy’ariyah tidaklah diciptakan, sebab kalau ia diciptakan
sesuai dengan ayat.
40): النحل) إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Artinya:”Jika kami menghendaki sesuatu, kami sersabda, “Terjadilah” maka ia pun terjadi”. (an-Nahl: 40)
5. Melihat Tuhan
Al-Asy’ari
berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat nanti di akhirat, mereka juga
berpendapat bahwa Tuhan itu bersemayam diatas arsy. Tetapi Tuhan dapat
dilihat jika ia menghendakinya, jika ia tidak menghendaki maka dia tidak
terlihat.
6. Keadilan Tuhan
Asy’ariyah
berpendapat bahwa Tuhan itu adil.tetapi ia tidak mempunyai keharusan
untuk menyiksa orang yang berbuat salah dan memberi pahala kepada orang
yang berbuat baik. Menurutnya Allah tidak memounyai keharusan apapun
karena ia adaalh penguasa mutlak.
7. Kedudukan orang yang berdosa besar
Asy’ariyah
berpendapat bahwa mukmin yang berdosa besar ialah mukmin yang fasik,
sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur, iman merupakan
lawan dari kafir.
E. Tokoh Aliran Mu’tazilah
Tohoh-tokoh aliran Mu’tazilah sangat banyak, namun yang terkenal dan berpengaruh terhadap perkembangan aliran ini diantaranya ialah:
1. Watsil Bin ‘Ata
Watsil
bin ‘Ata dilahirkan di Madinah pada tahun 70 H. ia pindah ke Basrah
untuk belajar. Disana ia berguru kepada seorang tokoh dan ulama besar
yang masyhur yaitu Hasan Al-Basri. Watsil bin ‘Atha termasuk murid yang
pandai, cerdas tekun belajar. Ia berani mengeluarkan pendapatnya yang
berbeda dengan gurunya sehingga ia kemudian bersama pengikutnya
dinamakan golongan Mu’tazilah.
Pemikiran-pemikiran beliau bahwa seorang muslim yang berbuat dosa besar dihukumi tidak mukmin dan tidak pula
kafir, tetapi fasik. Keberadaan orang tersebut di antara mukmin dan
kafir. Mengenai perbuatan manusia, Watsil berpendapat, manusia memiliki
kebebasan, kemampuan,dan kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan
satu perbuatan. Kebebasan memilih, kekuasaan dan kemampuan berbuat yang
ada pada manusia itu merupakan pemberian Tuhan kepadanya. Karena itu,
manusia jangan menciptakan perbuatannya dan harus bertanggung jawab atas
perbuatan yang dilakukan itu. Jika perbuatan baik, di akhirat akan
mendapat pahala. Sebaliknya, jika jahat, ia akan mendapat siksa.
Tentang
sifat Tuhan, Watsil menolak faham bahwa Tuhan memiliki sifat. Menurut
Watsil, Tuhan tidak mempunyai sifat. Apa yang dianggap orang sebagai
sifat tidak lain zat Allah itu sendiri. Tuhan mengetahui dengan
pengetahuannya, dan pengetahuannya itu adalah zatnya. Tuhan mendengar
dengan pendengarannya, dan pendengarannya itu adalah zatnya, dan
seterusnya. Jadi, Tuhan mendengar bukan dengan sifat sama’nya, Tuhan
mendengar bukan dengan sifat basharnya, dan seterusnya, tapi dengan
zatnya.
2. Abdul Huzail Al-Allaf
Abu
Huzail dilahirkan tahun 135 H/751 M. Ia berguru kepada Usman Al-Tawil
(murid Watsil bin ‘Ata). Ia hidup pada zaman dimana ilmu pengetahuan
seperti filsapat dan ilmu-ilmu lain dari yunani telah berkembang pesat
di bagian dunia Arab. Ia wafat tahun 235 H/849 M.
Pengaruh
ilmu-ilmu tauhid sedikit banyak mengetahuipemikiran-pemikiran dalam
masalah teologi. Abu Huzail merupakan generasi kedua Mu’tazilah yang
kemudian mengintroduksi dan menyusun dasar-dasar paham Mu’tazilah yang
disebut ushulul khambah.
3. Bisyir al-Mu’tamar
Ia
adalah pemimpin aliran Mu’tazilah di Baghdad. Pandangannya yang luas
mengenai kesusastraan menimbulkan dugaan bahwa ia adalah orang pertama
yang menyusun ilmu Balaghah. Ia adalah seorang tokoh aliran Mu’tazilah
yang membahas konsep tawallud (refroduction) yaitu batas-batas
pertanggung jawaban manusia atas perbuatanya. Beliau mempunyai murid
yang besar pengaruhnya dalam penyebaran aliran Mu’tazilah. Beliau wafat
pada tahun 226 H.
4. An-Nazzham
Nama
lengkapnya ialah Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazzam, ia lahir tahun
181-221 H. Ia adalah murid Abu Huzail al-Allaf. Ia juga bergaul dengan
para filosof. Pendapatnya banyak berbeda dengan aliran Mu’tazilah
lainnya. An-Nazzham memiliki ketajaman berfikir yang luar biasa, antara
lain tentang metode keraguan (method of doubt) dan metode empirika yang
merupakan cikal bakal renaissance (pembaharuan) di Eropa.
5. Al-Jubai
Ia
mempunyai nama Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab yang lahir tahun 25
H/849 M di Jubai. Al-Jubai berguru kepada Al-Syahham, salah seorang
murid Abu Huzail. Ia hidup dalam situasi yang keadaan politiknya tidak
stabil. Namun demikian, ilmu pengetahuan tetap berkembang pesat karna
para ilmuan tidak banyak turut campur dalam pergolakan politik yang
waktu itu terjadi. Ia wafat tahun 303 H/915 M di Basrah. Ia mempunyai
pola pikir yang tidak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh Mu’tazilah
lainnya, yakni mereka mengutamakan akal dalam memahami dan memecahkan
persoalan teologi.
6. Al-Khayyat
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Husein al-Khayyat, wafat tahun 300 H. ia
termasuk tokoh Mu’tazilah di Baghdad. Bukunya yang berjudul Al-Intishar
berisi pembelaan aliran Mu’tazilah dari serangan Ibnu ar-Rawandi. Ia
hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah.
7. Al-Qadhi Abdul Jabbar
Ia
wafat tahun 1024 H. ia diangkat sebagai kepala hakim oleh Ibnu Abad.
Diantara karyanya yang besar ialahulasan tentang pokok-pokok ajaran
Mu’tazilah. Karangan tersebut begituluas dan amat mendalam yang ia
namakan Al-Mughni. Kitab ini begitu besar, satu kitab yang terdiri lebih
dari 15 jilid. Al-Qadhi Abdul Jabbar termasuk tokoh yang hidup pada
masa kemunduran aliran Mu’tazilah, namun ia mampu berprestasi baik dalam
bidang ilmu maupun dalam jabatan kenegaraan.
8. Az-Zamakhsyari
Az-Zamakhsyari
lahir pada tahun 467 H. ia belajar di beberapa negeri.
Az-Zamaksyaripernah bermukim di tanah suci dalam rangka belajar agama.
Selama di tanah suci, ia banyak menggunakan waktunya untuk menyusun
kitab tafsir Al-Kasysyaf yang berorientasi pada paham Mu’tazilah. Namun
demikian, kitab tafsir karya beliau tidak hanya digunakan oleh kalangan
Mu’tazilah saja. Di samping menyusun kitab tafsir Al-Kasysyaf beliau
banyak menyusun buku tentang balaghah, bahasa, dan lainnya.
Az-Zamakhsyari wafat tahun 538 H.
F. Tokoh Aliran Asy’ariyah
Tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah sangat banyak, namun yang terkenal dan berpengaruh terhadap perkembangan aliran ini di antaranya ialah:
1. Abu Musa Al-Asy’ari
Nama lengkap al-Asy’ari adalah Abu Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin alim bin Ismail bin usa bin Bilal bin Abi Bardah bin Abi Musa Al-Asy’ari.
menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di bashrah pada tahun 260
H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad
dah wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40
tahun. Tentu saja dia sangat menguasai paham Mu’taziah, tapi meskipun
ia sangat menguasai paham Mu’tazilah ia merasa tidak puas. Setelah merenung selama 15 hari, akhirnya ia memutuskan keluar dari aliran Mu’tazilah. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan jama’ah mesjid Bashrah,
lalu naik ke atas mimbar dan berkata dengan lantang,”Wahai manusia!
Barang siapa di antara kamu yang kenal pada saya, ia sudah mengenal
saya. Tapi barang siapa yang tidak mengenal saya, saya akan
memperkenalkan diri saya bahwa saya ini adalah Abu Hasan al-Asy’ari,
yang beberapa waktu lalu meyakini bahwa Quran itu makhluk dan baru dan
bahwa Allah itu tidak dapat dilihat dengan mata dan bahwa perbuatan
jahat itu saya sendirilah yang mengerjakannya, bukan dengan qada dan
qadar, saya sudah taubat, dan saya sekarang menentang paham Mu’tazilah
tentang kesalahan pendiriannya. Wahai manusia yang hadir! Ketahuilah
bahwa saya ini menghilang beberapa lama dari pergaulan, karna saya
betul-betul sedang mempelajari pertengkaran dan alasan-alasan dari
golongan besar ini. Sekarang Tuhan memberi petunjuk kepada saya. Saya
teguh dengan pendirian saya dan kutulis semua dalam buku ini (sambil ia
memperlihatkan kepada umum sebuah risalah yang terdiri dari
pendirian-pendiriannya) saya sudah membuang paham Mu’tazilah itu,
sebagai mana saya membuka baju saya ini sekarang dan melemparkan ke
tengan-tengahmu.”
Al-Asy’ari
memperlihatkan tantangannya terhadap Mu’tazilah dan pokok-pokok
pendiriannya terhadap keyakinan seluruh anggota ahli sunah wal jama’ah.
Diantaranya dia berkata dalam risalah itu, “ Bahwa banyak diantara
Mu’tazilah dan ahli Qadar (madzhab Qadariyah) yang salah dan menetapkan
pendiriannya menurut hawa nafsunya, mereka taqlid buta kepada
pimpinan-pimpinannya yang masih hidup dan sudah mati. Mereka menafsirkan
Quran sesuka hatinya menurut pikiran mereka sendiri dengan tidak
memperhatikan maksud-maksud Tuhan dikala menurunkan ayat-ayat Quran itu,
tidak pernah memeriksa Asbabun Nuzul, tidak pernah memeriksa
keterangan-keterangan Nabi mengenai ayat-ayat yang diturunkan itu, tidak
pula pernah memeriksa dan mengambil apa yang pernah didengar oleh
orang-orang salaf yang terdahulu. Oleh karena itu, dalam penafsiran
al-Quran mereka selalu menyalahi riwayat-riwayat sahabat-sahabat yang
baik dan mutawatir, hanya menuruti saja apa yang bias mereka tangkap
dari siapa saja. Mereka mengingkari adanya syafa’at Rasulullah dan
menolak cerita orang-orang salaf mengenai adzab kubur dan bahwa kafir
diadzab dengan sangat pedih di dalam kuburannya menurut ijma’ sahabat
dan tabi’in. mereka menguatkan bahwa Quran itu ucapan manusia biasa,
bersamaan dengan oran-oran musyrik yang berkata dan masih tersimpan
dalam Quran, “Bahwa Quran tidak lain dari perkataan manusia biasa. Lalu
dianggaplah bahwa Quran itu seperti perkataan manusia dan menetapkan
sertameyakinkan bahwa manusia itu dapat berbuat kejahatan sendiri tidak
dengan qada dan qadar Tuhan, karena mereka menuruti pendapat orang-orang
majusi (Jahamiyah). Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa Allah
kadang-kadang berkehendak, tetapi tidak terjadi, kadang-kadang terjadi
tetapi tidak atas kehendak Allah, sedangkan orang banyak mengitikadkan
bahwa apa yang tidak dikehendalki Allah itulah yang terjadi dan apa yang
tidak dikehendaki Allah tidak terjadi.
Selanjutnya,
Asy’ari menetapkan konsep keyakinan sebagai berikut,” Tidak ada sesuatu
pun terjadi pada manusia dengan kekuatan sendiri, melainkan dengan
kehendak Allah. Tuhan berfirman, “ia berbuat apa yang dikehendakinya”
.Pernah Tuhan menerangkan apa yang diucapkan Nabi Syu’aib, “Tidak
mungkin kami kembali ke tempat itu, kecuali dengan kehendak Allah Tuhan
kami”. Asy’ari menerangkan juga, bahwa paham-paham keyakinan Mu’tazilah
itu sama dengan keyakinan agama majusi. Oleh Karen itu, Rasulallah
pernah menamakan Mu’tazilah itu dengan nama Majusi umat islam.
Selanjutnya,
al-Asy’ari menerangkan, bahwa ada orang yang masuk neraka untuk
selama-lamanya, sedangakna nabi Muhammad pernah menerangkan, bahwa Allah
itu kadang-kadang mengeluarkan dari neraka yang menyiksa itu. Begitu
juga dibongkarnya segala pengertian yang salah dari Mu’tazilah tentang
ayat-ayat yang mengandung sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasabihat. Ada
orang bertanya kepadanya, bahwa dia mengingkari, sama sekali
ucapan-ucapan Mu’tazilah, Rifa’iyah dan Murji’ah Qadariyah, Jabariyah,
Jahamiyah, Huruwiyah, minta bukti kebenaran dan minta prinsip agamayang
dianutnya. Asy’ari menjawab, bahwa ucapan yang kami keluarkan dan agama
yang kami anut adalah memegang kepada kitab Allah dan sunah Nabinya
Muhammad SAW, apa yang diriwayatkan dari Sahabat dan Tabi’in dan
Imam-imam Hadits semua kami percayai, begitu juga kami percaya dengan
penuh cinta kepada Ahmad bin Hanbal dengan pendirian-pendiriannya
mengenai Quran dan lain-lain, serta kami percaya bahwa orang yang
menjauhkan dirinya dari Ahmad ini, salah, karenaia imam yang utama dan
pemuka yang sempurna yang telah diperlihatkan Tuhan kepada haq untuk
melahirkan mana yang sesat dan menjalankan jalan-jalan yang lurus,
menentang segala urusan bid’ah, segala kebohongan, segala sakwasangaka,
ialah Imam yang terkemuka, orang besar dan ahli pikir, rahmat bagi semua
Imam-imam umat islam.
Menurut
Ibn Asakir, yang melatar belakangi Asy’ariyah meninggalkan faham
Mu’tazilah adalah pengakuan Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah
SAW. sebanyak tiga kali, yaitu pada malah ke-10, ke-20, dan ke30 bulan
Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar
meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan
dari beliau.
2. Abu Bakr Al-Baqilani
Nama
lengkapnya ialah Muhammad Ibn Al-Tayyib Muhammad Abu Bakr Al-Baqilani.
Ia memperoleh ajaran-ajaran al-Asy’ari dari dua muridnya, Ibn Mujahid
dan Abu al-Hasan Al-Bahili, dan wafat di Baghdad tahun 1013 M. Tetapi
al-Baqilani tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Dalam
beberapa hal ia tidak sepaham dengan Asy’ari.
Apa
yang disebut sifat allah umpamanya, bagi al-Baqilani bukanlah sifat,
tapi hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu’tazilah; sungguhpun
ia pada mulanya mempunyai pendapat yang sebaliknya. Selanjutnya ia juga
tidak sepaham dengan Asy’ari mengenai paham perbuatan manusia. Kalau
bagi Asy’ari perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan seluruhnya,
menurut al-Baqilani manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam
perwujudan perbuatannya. Yang di wujudkan Tuhan ialah gerak yang
terdapat dalam diri manusia; adapin bentuk atau sifat dari gerak itu
dihasilkan oleh manusia sendiri. Dengan kata lain, gerak dalam diri
manusia mengambil berbagai bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan
dan sebagainya. Gerak sebagai genus (jenis) adalah ciptaan Tuhan, tetapi
duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya yang merupakan
spectes (naw’) dari gerak, yang diciptakan Tuhan itu, mengambil bentuk
sifat duduk, berdiri, dan sebagainya. Dengan demikian, kalau bagi
al-Asy’ari daya manusia dalam kasb tidak mempunyai efek, bagi
al-Baqilani daya itu mempuyai efek.
3. Al-Juwaini
Nama
lengkapnya ialah Abd al-Malik al-Juwaini, ia juga terkenal dengan nama
Imam al-Haramain. Ia lahir di Khurasan tahun 419 H, dan wafat di tahun
478 H. Sama dengan al-Baqilani, al-Juwaini juga tidak selamanya setuju
dengan ajaran-ajaran yang ditinggalkan al-Asy’ari. Mengenai
antropomorphisme umpamanya ia berpendapat bahwa tangan Tuhan harus diartikan (ta’wil)
kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan
diartikan wujud Tuhan. Dan keadaan Tuhan duduk di atas tahta kerajaan
diartikan Tuhan berkuasa dan maha tinggi.
Mengenai
soal perbuatan manusia al-Juwaini pergi lebih jauh dari al-Baqilani.
Daya yang ada pada manusia dalam pendapat al-Juwaini juga mempunyai
efek. Tapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan
musabab. Wujud perbuatan tergantung pada daya yang ada pada manusia,
wujud daya ini bergantung pula pada sebab lain lagi dan demikianlah
seterusnya sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
Dengan demikian al-Juwaini berada jauh dari paham al-Asy’ari dalam hal
ini dan dekat dengan paham Mu’tazilah tentang causality, atau sebagai
kata Ahmad Amin, “kembali dengan melalui jalan berkelok-kelok kepada
ajaran Mu’tazilah.
4. Abu Hamid Al-Ghazali
Abu
Hamid Al-Ghazali adalah pengikut Asy’ariyah yang terpenting dan
terbesar pengaruhnya pada umat islam yang beraliran ahli sunnah dan
jama’ah. Berlainan dengan gurunya Al-Juwaini dan dengan Al-Baqilani,
paham teologi yang diajukannya boleh dikatakan tidak berbeda dengan
paham-paham Al-Asy’ari. Al-Ghazali, seperti Al-Asy’ari tetap mengakui
bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat
Tuhan dan mempunyai wujud diluar zat. Juga al-Quran, dalam pendapatnya
bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia, ia
lebih dekat menyerupai impotensi. Selanjutnya Al-Ghazali mempunyai paham
yang sama dengan al-Asy’ari tentang beautific vision yaitu bahwa Tuhan
dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud dapat dilihat.
Demikian juga penolakan terhadap paham keadilan yang ditimbulkan kaum
Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga keselamatan (al-salah wa al-aslah)
manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran pada manusia atas
perbuatan-perbuatannya, bahkan tuhan boleh member beban yang tak dapat
dipikul kepada manusia. Tuhan berkuasa mutlak dan tidak akan
bertentangan dengan sifat-sifat ketuhanannya, jika atas kehendaknya, ia
menghancurkan makhluknya atau memberi ampunan kepada semua orang kafir
dan menghukum semua orang mukmin.
BAB III
PERBUTAN TUHAN
MENURUT MU’TAZILAH DAN ASY’ARIYH
A. Perbuatan Tuhan Menurut Mu’tazilah
Sebagai
sosok pencipta, Tuhan melaksanakan segala kehendaknya , Tuhan pasti
melakukan berbagai perbuatan, perbuatan Tuhan telah dijelaskan oleh
berbagai golongan tertentu didalam islam. Diantara perbuatan tuhan
menurut Mu’tazilah ialah:
1. Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap Manusia
Sebagaimana
diketahui bahwa kekuasaan mutlak dan keadilan Tuhan kaum Mu’tazilah
berpendapat bahwa Tuham mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia.
Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban, yaitu
kewajiban berbuat baik bagi manusia.
Dalam
paham ini termasuklah kewajiban-kewajban seperti kewajiban Tuhan
menepati janji-janjinya, kewajiban Tuhan mengirim Rasul untuk memberi
petunjuk kepada manusia, kewajiban Tuhan memberi rezeki kepada manusia
dan sebagainya. Paham bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban itu
timbul sebagai akibat dari konsep
kaum Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan dan adanya batasan-batasan
kehendak mutlak Tuhan. Bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu
dibatasi oleh sifat keadilan Tuhan sendiri. Karena itu Tuhan tidak bisa
lagi berbuat menurut kehendaknya sendiri menyalahi prinsip keadilan yang
telah ditetapkan oleh Tuhan sendiri. Tuhan sudah terikat pada
janji-janjidan nilai-nilah keadilan, Tuhan melanggarnya, maka Tuhan
dianggap tidak bersifat adil.
2. Berbuat baik dan Terbaik
Dalam
kalangan Mu’tazilah dikenal satu paham ilmu kalam yang mereka sebut
dengan al-shalah atau berbuat baik dan terbik bagi manusia. Hal ini
memang merupakan salah satu keyakinan yang sangat penting bagi kaum
Mu’tazilah.
Menurut
paham Mu’tazilah, demi untuk keadilan, maka Tuhan wajib berbuat baik
bahkan yang terbaik untuk kepentingan manusia. Keadilan erat sekali
hubungannya dengan hak. Sebab adil itu berarti memberikan hak kepada
orang yang berhak menerimanya. Disamping itu menurut kaum Mu’tazilah,
keadilan itu harus dapat diterima secara rasional. Tuhan memberikan
pahala kepada seseorang sesuai dengan kebaikan yang dilakukannya, dan
menghukum seseorang sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya, itu
termasuk keadilan yang sesuai dengan pemikiran yang rasional. Karena itu
Abdul Jabbar mengatakan: Kata-kata Tuhan tidak adil, mengandung arti
bahwa segala perbuatannya adalah buruk, dan Tuhan tidak mungkin
mengabaikan kewajiban-kewajibannya terhadap manusia.
Dalil yang dijadikan penguat argument-argumen yang ada diantaranya:
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ
Artinya : yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. (As-Sajadah:7)
Menurut
Abd Jabbar, ayat ini mengandung dua arti. Pertama: ahsana berarti
”berbuat baik” dan dengan demikian semua perbuatan Tuhan merupakan
kebajikan kepada manusia, dan ini tidak mungkin, karena diantara
perbuatan-perbuatan Tuhan ada yang merupakan kebajikan, seperti siksaan
yang diberikan Tuhan adalah baik. Dengan demikian perbuatan manusia
bukanlah perbuatan Tuhan, karena di antara perbuatan-perbuatan manusia
terdapat perbuatan-perbuatan jahat.
Juga dimajukan ayat-ayat yang mengatakan bahwa manusia akan mendapat balasan atas perbuatannya seperti:
فَلا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya :
seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu
(bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (As-Sajadah:17)
Sekiranya
perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia,
pemberian balasan dari Tuhan atas perbuatan manusia, seperti disebutkan
dalam ayat ini,tidak ada artinya. Agar ayat ini tidak mengandung dusta,
demikian Abd Jabbar mengatakan, perbuatan-perbuatan manusia haruslah
benar-benar berbuatan manusia.
3. Sifat-sifat Tuhan
Mu’tazilah
yang memahami dan membahas persoalan ini dengan berpendapat bahwa Tuhan
tidak mempunyai sifat. Mereka berargumen jika Tuhan mempunyai sifat,
sifat itu mesti kekal seperti halnya dengan dzat Tuhan. Namun jika
demikian maka yang bersifat kekal bukanlah satu lagi, tetapi banyak.
Jika Tuhan itu mempunyai sifat-sifat maka akan menyebabkan paham banyak
yang kekal (Ta’aduddul qudama) yang selanjutnya menyebabkan sifat syirik atau polytheisme sebagai sesuatu yang tidak mendapat tempat di dalam teologi islam.
Jadi
menurut Mu’tazilah Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat
sebagaimana pendapat golongan lain.apa yang dipandang sebagai sifat
dalam pendapat golongan, bagi Mu’tazailah tidak lain adalah dzat allah
sendiri.
Untuk
menyucikan keesaan Tuhan, golongan Mu’tazilah menafikan sifat-sifat
bagi Tuhan. Dengan cara demikian, golongan Mu’tazilah mengklaim dirinya
sebagai golongan Ahlut Tauhid Wal ‘adil. Allah itu benar-benar Esa tanpa
ditambah apa-apa.
4. Pelaku Dosa besar
Sedangkan
Mu’tazilah berpendapat bahwa mereka yang mengatakan bahwa orang yang
berbuat dosa besar ini tidak mukmin dan tidak juga kafir, tetapi ia
berada pada tingkatan yang ada diantara keduanya. Namun demikian,
apabila ia keluar dari dunia tanpa tanpa bertaubat maka ia kekal di
neraka.
5. Pengiriman Rasul-rasul
Bagi
kaum Mu’tazilah, yang mempunyai kepercayaan, bahwa segala pengetahuan
dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat
diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan akal manusia dapat
mengetahui tentang adanya Tuhan, dan dengan akal manusia dapat
mengetahui tentang mana yang baik dan mana yang buruk, karena itumenusia
berkewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Menurut
kaum Mu’tazilah, pengiriman Rasul-rasul itu tidak begitu penting, sebab
wahyu yang dibawa oleh para Rasul itu hanya berfungsi untuk memperkuat
atau menyempurnakan apa-apa yang telh diketahui manusia oleh akalnya.
Tanpa Rasul manusia dapat mengetahui tentang Tuhan dan
kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan, termasuk kewajiban mengetahui
hukum-hukum dan sifat-sifat Tuhan. Orang yang tidak mengetahui tentang
hal-hal berarti tidak berterima kasih kepada Tuhan, dan akan mendapat
hukuman dari Tuhan.
Bagi
kaum Asy’ariyah pengiriman Rasul itu sangat penting, karena mereka
banyak bergantung kepada wahyu untuk mengetahui Tuhan dan alam ghaib,
bahkan juga untuk mengetahui hal-hal yang bersangkutan dengan hidup
keduniaan manusia. Bagi merekalah seharusnya pengiriman Rasul-rasul
mempunyai sifat wajib. Tetapi sebagaimana telah disebutkan, kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa pengiriman Rasul-rasul kepada manusia
menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argument yang dimajukan kaum
Mu’tazilah untuk ini adalah keadaan akal tidak dapat mengetahui segala
apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam ghaib. Oleh
karena Tuhan berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia,
wajiblah bagi Tuhan mengirimkan Rasul kepada umat manusia. Tanpa
pengiriman Rasul, manusia tidak dapat memperoleh hidup baik dan terbaik,
baik di dunia maupun di akhirat nanti. Argument inilah yang dipakai
dalam Syarh al-Usulul Khamsah untuk menyongkong pendapat mereka tentang
sifat wajibnya pengiriman Rasul kepada umat manusia.
6. Janji dan Ancaman
Dalam perbuatan-perbuatan Tuhan termasuklah perbuatan mnepati janji dan menjalankan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
Sebagamana diketahui, janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima
dasar kepercayaan kaum Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar
kedua, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil, jika ia tidak
menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik, dan
jika tidak menjalankan ancaman untuk memberikan hukuman kepada orang
yang berbuat jahat. Juga, menurut Abd al-Jabbar, hal ini akan membuat
Tuhan mempunyai sifat berdusta. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji
dan tidak menjalankan ancaman, bertentangan dengan maslahat dan
kepentingan manusia. Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan
ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
B. Perbuatan Tuhan Menurut Asy’ariyah
Sebagai
sosok pencipta, Tuhan melaksanakan segala kehendaknya , Tuhan pasti
melakukan berbagai perbuatan, perbuatan Tuhan telah dijelaskan oleh
berbagai golongan tertentu didalam islam. Diantara perbuatan tuhan
menurut Asy’ariyah ialah:
1. Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap Manusia
Bagi
kaum Asy’ariyah, Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak, tanpa
ada yang membatasinya. Allahlah pencipta semua perbuatan manusia, dan
dialah yang mengatur segala sesuatu, yang baik atau yang buruk,
perbuatan manusia itu bukan diwujudkan oleh manusia sendiri, tetapi
diwujudkan atau hakikatnya adalah diciptakan oleh Tuhan itu dinamakan
kasab.
Jadi
paham Asy’ariyah bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak yang
mutlak itu mengandung arti bahwa Tuhan itu tidak mempunyai kewajiban
apa-apa terhadap makhluknya. Tidak ada satupun kewajiban bagi Allah.
Allah tidak berkewajiban memberi pahala kepada yang ta’at menjalankan
ibadah, dan Allahpun tiak berkewajiban memberikan adzab orang yang
berbuat dosa besar kepadanya. Semuanya tergantung kepada mekuasaan dan
kehndak mutlak Tuhan. Al-Ghazali mengatakan: manusia adalah ciptaan
Tuhan; dan dia bebas memperlakukan mereka
menurut kehndaknya. Karena itu tidaklah menjadi soal bagi Allah
seandainya dia menganpuni semua orang kafir dan mengadzab semua orang
mukmin. Sebab memberi pahala kepada orang-orang mukmin itu bukan menjadi
kewajiban Allah, tetapi hanya kehendak mutlak Tuhan semata-mata. Tuhan
boleh saja melarang apa yang telah diperintahkannya dan boleh juga ia
memerintahkan apa yang dilarangnya. Tidak ada larangan apapun bagi
Tuhan. Ia dapat berbuat apa saja menurut kehendaknya dan dia tidak
bertanggung jawab atas semua perbuatannya, Tuha maha kuasa dan dapat
berbuat apa saja yang disukainya,sesuai dengan kekuasaan dan kehendak
mutlaknya.
Sebaliknya
manusia adalah makhluk yang serba terpaksa dalam segala perbuatannya
oleh kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Segala sesuatu yang dating
dari Tuhan. Apabila manusia berbuat baik, perbuatan itu sudah ditentukan
oleh Tuhan, sesuai dengan rahmatnya, dan apabila manusia berbuat jahat,
maka perbuatan itulah perbuatan yang dikehndaki oleh Tuhan, sesuai
dengan keadilannya.
Menurut kaum Asy’ariyah, segala sesuatu yang terjadi dalam alam semesta ini, termasuk perbuatan manusia,
adalah hasil dari perbuatan Allah yang telah ditentukan sejak azali,
yaitu sebelum terciptanya alam ini. Manusia tidak dapat merubah
ketentuan Allah yang demikian itu, sebab manusia tidak mempunyai
kekuasaan dalam penciptaan perbuatanya. Hanya Allah sajalah pencipta
semua makhluk dan pencipta perbuatan semua makhluknya, baik perbuatan
baik maupun perbuatan yang buruk. Tidak ada pencipta lain selain dia.
2. Berbuat baik dan terbaik
Bagi
kaum Asy’ariyah, paham al-shalah wa al-ashlah ini tidak dapat diterima,
karena paham tersebut bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan oleh Al-Ghazali yang mengantakan bahwa
Tuhan tidak berbuat baik dan terbaik bagi manusia.
3. Sifat-sifat Tuhan
Bagi kaum Asy’ariyah, pendapat kaum Mu’tazilah ini
tidak dapat diterima. Mereka berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Menurut mereka, mustahil Tuhan mengetahui dengan dzatnya. Karena dengan
demikian dzatnya adalah pengetahuan dan Tuhan sendri adalah pengetahuan.
Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm), tetapi yang mengetahui (‘alim).
Tuhan mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuannya itu bukanlah
dzatnya, tetapi sifatnya. Demikian pula dengan sifat-sifat yang lain
seperti: hidup, berkuasa, mendengar, melihat dan sebagainya. Menurut
al-Bagdadi, dalam kalangan kaum Asy’ariyah telah terdapat kesempatan,
bahwa pengetahuan, hidup, kemampuan, pendengaran, penelihatan dan firman
Tuhan adalah kekal, dan sifat-sifat tersebut tidak sama dengan dzat
Tuhan atau esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri.
Sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan.
Karena sifat-sifat itu tidak lain dari Tuhan, maka adanya sifat-sifat
itu tidak akan membawa kepada keyakinan kepada banyak yang kekal,
sehingga tidak perlu khawatir akan jatuh kepada kemusyrikkan.
4. Pelaku dosa besar
Asy’ariyah berpendapat bahwa pelakku dosa besar tidaklah
menjadi kafir jika dia termasuk ahli tauhid yang ikhlas. Tapi ia adalah
mukmin dengan keimanannya dan fasik dengan dosa besarnya, dan dia
berada di bawah kehendak Allah.
Apabila kehendaknya, dia mengampuninya dan apabila dia berkehendak
pula, maka ia menyiksa dineraka karena dosanya, kemudian ia
mengeluarkannya dan tidak menjadikannya kekal di neraka.
5. Pengiriman Rasul
Dalam
teologi kaum Asy’ariyah mempunyai arti penting menolak sifat wajibnya
pengiriman demikian, karena hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka
bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Paham
serupa ini dapat membawa akibat tidak baik.setidaknya Tuhan tidak
mengutus Rasul kepada manusia, hidup mereka akan mengalami kekacauan,
karena tanpa wahyu manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik dan
perbuatan buruk. Manusia dalam hal demikian berbuat apa saja yang
dikehendakinya, tetapi sesuai dengan paham Asy’ariyah tentang kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan, hal ini tidak menjadi persoalan dalam teologi
mereka. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendakinya. Kalau ia
menghendaki manusia hidup dalam masyarakat kacau, itu tidak apa-apa.
Tuhan dalam paham Asy’ariyah tidak berbuat untuk kepentingan manusia.
6. Janji dan ancaman
Bagi
kaum Asy’ariyah paham ini tidak dapat berjalan sejajar dengan keyakinan
mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dan tentang tidak
adanya kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan. Tuhan tidak mempunyai
kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang terdapat dalam
al-Quran dan Hadits.
Tetapi
disini timbul persoalan bagi kaum Asy’ariyah, karena dalam al-Quran
telah dikatakan dengan tagas bahwa siapa yang berbuat baik akan masuk
surga dan siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi
ini, kata-kata Arab man, allazna dan sebagainya yang
menggambarkan arti siapa, oleh Asy’ariyah sendiri diberi interpretasi
“bukan semua orang, tetapi sebagian. Dengan demikian kata “siapa” dalam
ayat “Barang siapa yang memakan harta anak yatim piatu dengan cara tidak
adil, maka sesungguhnya ia menelan api masuk ke perutnya” mengandung
arti bukan seluruh tapi sebagian orang yang berbuat demikian. Dengan
kata lain yang diancam akan mendapat hukuman bukan semua orang tapi
sebagian orang yang memakan harta anak yatim piatu. Yang sebagian akan
terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Dengan interpretasi demikianlah Asy’ariyah mengatasi persoalan wajibnya
Tuhan menepati janji dan menjalankan ancaman.
Bagi
kaum Asy’ariyah paham ini tidak dapat berjalan sejajar dengan keyakinan
mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dan tentang tidak
adanya kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan. Tuhan tidak mempunyai
kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang terdapat dalam
al-Quran dan Hadits.
Tetapi
disini timbul persoalan bagi kaum Asy’ariyah, karena dalam al-Quran
telah dikatakan dengan tagas bahwa siapa yang berbuat baik akan masuk
surga dan siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi
ini, kata-kata Arab man, allazna dan sebagainya yang menggambarkan arti
siapa, oleh Asy’ariyah sendiri diberi interpretasi “bukan semua orang,
tetapi sebagian. Dengan demikian kata “siapa” dalam ayat “Barang siapa
yang memakan harta anak yatim piatu dengan cara tidak adil, maka
sesungguhnya ia menelan api masuk ke perutnya” mengandung arti bukan
seluruh tapi sebagian orang yang berbuat demikian. Dengan kata lain yang
diancam akan mendapat hukuman bukan semua orang tapi sebagian orang
yang memakan harta anak yatim piatu. Yang sebagian akan terlepas dari
ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan
interpretasi demikianlah Asy’ariyah mengatasi persoalan wajibnya Tuhan
menepati janji dan menjalankan ancaman.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Setelah penulis menyampaikan masalah yang ada di atas, maka penulis akan menyimpulkan sebagai berikut:
1. Aliran Mu’tazilah muncul ketika ada seorang tabi’in yang datang kepada kelompok Hasan al-Bashri yang menanyakan tentang hakikat orang yang berdosa besar, Ketika
Hasan Al Basri masih berfikir, Watsil bin Atho mengeluarkan pendapatnya
sendiri dengan mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar bukan lah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi
diantara keduanya; tidak mukmin dan tidak pula kafir. ”Kemudian ia
berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan Al Basri, lalu ia pergi ke tempat lain di mesjid, disana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan Al Basri mengatakan: ” Watsil bin Atho menjauhkan diri dari dari kita (i’tazala’ anna).” Dengan demikian ia serta teman-temannya, kata al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.
2. Aliran Asy’ari didirikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari yang berfaham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40
tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan jama’ah
mesjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan
menunjukan keburukan-keurukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatar
belakangi Asy’ariyah meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan
Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW. sebanyak tiga kali, yaitu
pada malah ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya
itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan
membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau (Asy’ariyah).
3. Diantara Tokoh-tokoh Mu’tazilah ialah: Watsil bin Atho, Abdul
Huzail Al-Allaf, Az-Zamakhsyari, Al-Qadhi Abdul Jabbar, Al-Khayyat,
Al-Jubai, An-Nazzham, Bisyir al-Mu’tamar, dan lain-lain.
4. Diantara Tokoh-tokoh Asy’ariyah ialah: Abu Hasan al-Asy’ari, al-Baqilani, al-Juaini, al-Ghazali, dan lain-lain.
5. Menurut Asy’ariyah Perbuatan Tuhan itu menyangkut beberapa aspek, diantaranya: Tuhan
tidak terikat dengan kewajiban, Tuhan bebas untuk berkehendak, tanpa
wahyu manusia tidak bias membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,
Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji, Tuhan menciptakan
perbuatan manusia tapi manusia yang punya andil untuk memilih kasabnya (kasb/muktasabih),
Tuhan mempunyai sifat yang tidak sama dengan sifat manusia, kehendak
Tuhan itu adalah mutlaq, Tuhan itu adil bisa berbuat dan membuat hukum
sesuai dengan kehendaknya sendiri.
6. Sedangkan
menurut Mu’tazilah diantara perbuatan-perbuatan Tuhan itu diantaranya:
Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik, tapi Tuhan bisa
melakukan perbuatan buruk, Tuhan terikat dengan kewajiban, manusia bisa
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk meskipun tanpa wahyu,
Tuhan tidak mengatur perbuatan manusia, Tuhan tidak mempunyai sifat,
yang ada hanyalah dzat, kehendak mutlak Tuhan tidak mutlak disebabkan
karena disebabkan oleh kebebasan yang diberika Tuhan kepada manusia,
Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat dzalim.
B. Saran-saran
Setelah
penulis menyelesaikan tugas pembuatan karya ilmiah ini dengan segala
kemampuan yang ada pada diri penulis, sehingga yang menjadi kenyataan.
Akhirnya penulis ingin menyampaikan sarannnya sehubungan dengan materi
yang penulis garap demi terwujudnya pribadi yang sehat dan maju, saran
tersebut adalah:
1. Teguhkan
iman kita hanya kepada Allah, yakini bahwa aliran yang kita yakini itu
benar-benar aliran yang benar dan dirahmati oleh Allah SWT.
2. Berjuanglah untuk terus menuntut ilmu karna ilmu itu tidak akan ada habisnya.
3. Berjuanglah membela aliran yang diyakini dan pakailah dalil yang paling kuat.
4. Paham
tidak terlalu penting, yang paling penting adalah amalan-amalan yang
kita lakukan di dunia jangan sampai menyalahi dalil yang paling kuat.
5. Menurut
saya faham Mu’tazilah itu yang berpendapat bahwa dengan akal saja bisa
mengetahui tentang hakikat Tuhan tidak bisa dibenarkan, karena sampai
sekarang ilmu pengetahuan modern belum
dapat menguraikan berbagai hakikat benda dan semua yang ada di alam
semesta ini secara memuaskan. Jikalau demikian bagaimana kedudukan akal
dalam menghadapi persoalan hakikat jiwa, cahaya dan benda, serta apa
yang ada dalam alam semesta ini, baik yang dapat dilihat oleh mata
bahkan yang tidak, bagaimanakah akal itu dapat mengetahui dzatnya Tuhan
yang maha menciptakan semesta itu yang bersifat maha luhur keadaannya?.
Bagaimana akal yang sempit itu dapat mencapai dzat Tuhan yang maha
tinggi?
0 komentar:
Posting Komentar