Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

wibiya widget

My Blog List

flag counter

daftar menu

Loading...
Tag this on nabtag

twiter

Recent Comments

google seacrh


  • Web
  • alwafaalmuttaqiin
  • buku tamu

    google translite


    clock

    Voting

    My Ballot Box
    Bagaimana Menurutmu blog ku ni ?







    wibiya widget

    Rabu, 22 Februari 2012

    Pentingnya ilmu Faraidh

    Pentingnya ilmu Faraidh

    Ilmu Faraidh termasuk ilmu yang paling mulia tingkat bahayanya, paling tinggi kedudukannya, paling besar ganjarannya, oleh karena pentingnya, bahkan sampai Allah sendiri yang menentukan takarannya, Dia terangkan jatah harta warisan yang didapat oleh setiap ahli waris, dijabarkan kebanyakannya dalam beberapa ayat yang jelas, karena harta dan pembagiannya merupakan sumber ketamakan bagi manusia, sebagian besar dari harta warisan adalah untuk pria dan wanita, besar dan kecil, mereka yang lemah dan kuat, sehingga tidak terdapat padanya kesempatan untuk berpendapat atau berbicara dengan hawa nafsu.
    Oleh sebab itu Allah-lah yang langsung mengatur sendiri pembagian serta rincianya dalam Kitab-Nya, meratakannya diantara para ahli waris sesuai dengan keadilan serta maslahat yang Dia ketahui.
    - Manusia memiliki dua keadaan: keadaan hidup dan keadaan mati, kebanyakan hukum yang ada dalam ilmu Faraidh berhubungan dengan mati, maka Faraidh bisa dikatakan setengah dari ilmu yang ada, seluruh orang pasti butuh kepadanya.
    - Pada zaman Jahiliyyah dahulu, mereka hanya membagikan harta untuk orang-orang dewasa tanpa memberi kepada anak-anak, kepada laki-laki saja tidak kepada wanita, sedangkan Jahiliyyah pada zaman ini memberikan jatah kepada para wanita apa-apa yang bukan hak mereka dari kedudukan, pekerjaan maupun harta, sehingga bertambahlah kerusakan, sedangkan Islam telah berbuat adil kepada wanita dan memuliakannya, memberikan hak yang sesuai untuk mereka seperti pemberian kepada lainnya.
    - Ilmu Faraidh : Ilmu yang diketahui dengannya siapa yang berhak mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris.
    - Pembahasannya : Seluruh peninggalan, yaitu apa yang ditinggalkan oleh Mayit baik itu berupa harta ataupun lainnya.
    - Hasilnya : Penyampaian seluruh hak kepada mereka yang berhak menerimanya diantara ahli waris.
    - Faridhah : adalah jatah tertentu sesuai syari'at bagi setiap ahli waris, seperti : sepertiga, seperempat dan lainnya.
    - Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan ada lima, dilaksanakan berurutan jika semua itu ada, sebagaimana dibawah ini :
    1- Dikeluarkan dari harta waris untuk penyelesaian kebutuhan mayit, seperti kain kafan dan lainnya.
    2- kemudian hak-hak yang berhubungan dengan barang yang ditinggalkan, seperti hutang dengan sebuah jaminan barang dan semisalnya.
    3- Kemudian pelunasan hutang, baik itu yang berhubungan dengan Allah seperti zakat, kafarat dan semisalnya, ataupun yang berhubungan dengan manusia.
    4- Kemudian pelaksanakan wasiat.
    5- kemudian pembagian waris –dan inilah yang dimaksud dalam ilmu ini-
    - Rukun waris ada tiga :
    1- Al-Muwarrits, yaitu mayit.
    2- Al-Warits, yaitu dia yang masih hidup setelah meninggalnya Al-Muwarrits.
    3- Alhaqqul Mauruts, yaitu harta peninggalan
    - Penyebab waris ada tiga :
    1- Nikah dengan akad yang benar, hanya dengan akad nikah maka suami bisa mendapat harta warisan istrinya dan istripun bisa mendapat jatah dari suaminya.
    2- Nasab (keturunan), yaitu kerabat dari arah atas seperti kedua orang tua, keturunan seperti anak, ke arah samping seperti saudara, paman serta anak-anak mereka.
    3- Perwalian, yaitu ashobah yang disebabkan kebaikan seseorang terhadap budaknya dengan menjadikannya merdeka, maka dia berhak untuk mendapatkan waris jika tidak ada ashobah dari keturunannya atau tidak adanya ashab furudh.


    Penghalang waris ada tiga :
    1- Perbudakan : Seorang budak tidak bisa mewarisi dan tidak pula mendapat waris, karena dia milik tuannya.
    2- Membunuh tanpa dasar : Pembunuh tidak berhak untuk mendapat waris dari orang yang dibunuhnya.
    3- Perbedaan agama : seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafirpun tidak mewarisi Muslim.
    Dari Usamah bin Zaid r.a bahwa Nabi SAW bersabda :
    " لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم " متفق عليه
    "Orang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafirpun tidak mewarisi orang Muslim" Muttafaq alaihi .
    - Seorang istri yang di ceraikan dengan talak ruju' masih tetap mendapatkan jatah waris antara dia dengan suaminya selama masih dalam iddahnya.
    - Seorang istri jika di cerai suaminya dengan talak bain, jika suaminya dalam keadaan sehat maka tidak ada perwarisan diantara keduanya, sedangkan jika dalam keadaan sakit parah dan tidak ada sangkaan kalau dia menceraikan dengan tujuan agar istrinya tidak mendapat waris, maka dalam keadaan seperti inipun istrinya tidak berhak untuk mendapat waris, akan tetapi jika diperkirakan kalau dia menceraikannya dengan tujuan agar istrinya tidak mendapat waris maka sesungguhnya dia berhak untuk mendapatkannya.
    - Macam-macam waris :
    1- Waris dengan fard : yaitu jika seorang ahli waris mendapat jatah tertentu, seperti: setengah, seperempat (ataupun lainnya).
    2- Waris dengan Ta'shib: yaitu seorang ahli waris yang mendapat jatah yang tidak terbatasi.
    Furudh yang terdapat dalam Al-Qur'an ada enam: Setengah, Seperempat, Seperdelapan, Dua pertiga, Sepertiga, Seperenam, adapun sepertiga dari sisa ditetapkan oleh ijtihad.
    Secara rinci Laki-laki yang berhak mendapat waris ada lima belas, mereka adalah:
    Putra serta putranya (cucu) dan seterusnya dari keturunan laki-laki, ayah serta kakek dan seterusnya dari orang tua laki-laki, saudara kandung, saudara satu ayah, saudara satu ibu, putra saudara kandung serta putra saudara satu ayah dan seterusnya dari keturunan laki-laki mereka, suami, paman kandung dan keatasnya, paman satu ayah dan keatasnya, putra paman kandung serta putra paman satu ayah dan keturunan mereka yang laki-laki, orang yang memerdekakan dan asobahnya.
    Laki-laki selain dari mereka termasuk Dzawil Arham, seperti: saudara-saudara ibu (paman dari ibu), putra saudara satu ibu, paman satu ibu, putra paman satu ibu dan lainnya.
    Secara rinci wanita yang berhak mendapat waris ada sebelas, mereka adalah:
    Putri, putri dari anak laki (cucu) dan keturunannya selama ayahnya dari anak laki, ibu, nenek dari ibu dan keatasnya dari ibu mereka, nenek (ibunya ayah) dan keatasnya dari ibu mereka, neneknya ayah, saudari kandung, saudari satu ayah, saudari satu ibu, istri dan wanita yang memerdekakan budak.
    Wanita selain dari mereka termasuk dari Dzawil Arham, seperti para saudari ibu (bibi) dan lainnya.
    Allah berfirman:
     للرجال نصيب مما ترك الوالدان والأقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان والأقربون مما قلّ منه أو كثر نصيبًا مفروضا 
    "Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan" (An-Nisaa: 7)

    Minggu, 19 Februari 2012

    Rasulullah SAW dan Pengemis Yahudi Buta

    Rasulullah SAW dan Pengemis Yahudi Buta
    Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata "Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya". Setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya hingga menjelang Beliau SAW wafat. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.

    Suatu hari Abubakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah r.ha. Beliau bertanya kepada anaknya, "anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan", Aisyah r.ha menjawab pertanyaan ayahnya, "Wahai ayah engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja". "Apakah Itu?", tanya Abubakar r.a. Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana", kata Aisyah r.ha.

    Ke esokan harinya Abubakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepada nya. Ketika Abubakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, "siapakah kamu ?". Abubakar r.a menjawab, "aku orang yang biasa". "Bukan !, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku", jawab si pengemis buta itu. Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan pada ku dengan mulutnya sendiri", pengemis itu melanjutkan perkataannya.

    Abubakar r.a. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, aku memang bukan orang yang biasa datang pada mu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW. Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar r.a. ia pun menangis dan kemudian berkata, benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.... Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar r.a.

    meneladani akhlak Rosululloh SAW

    Hikmah Maulid Nabi] Meneladani Akhlak Nabi Muhammad SAW.
    A’uudzu billahi minasy syaithanirrajiim Bismillahirrahmanirrahim Allahumma salli ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa sahbihi wasallim
    Setelah Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya – tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, “Ceritakan padaku akhlak Muhammad!”. Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.
    Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi.
    Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata, “Ceritakan padaku keindahan dunia ini!.” Badui ini menjawab, “Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini….” Ali menjawab, “Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]: 4)”

    Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam yang sering disapa “Khumairah” oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur’an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam itu bagaikan Al-Qur’an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Qur’an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS Al-Mu’minun [23]: 1-11.
    Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.
    Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, Aisyah hanya menjawab, “Ah semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. “Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ‘Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.’” Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.
    Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, “Mengapa engkau tidur di sini?” Nabi Muhammmad menjawab, “Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu.” Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam mengingatkan, “berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya.” Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.
    Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam memanggilnya. Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi malah mencium sorban Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam tersebut.
    Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.
    Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam selalu memujinya. Abu Bakar- lah yang menemani Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam sakit. Tentang Umar, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pernah berkata, “Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta’wil) mimpimu itu? Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam menjawab “ilmu pengetahuan.”
    Tentang Utsman, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam sangat menghargai Utsman karena itu Utsman menikahi dua putri Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, hingga Utsman dijuluki Dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. “Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.” “Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik.”
    Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ah…ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.
    Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam. Buktinya, dalam Al-Qur’an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam, Allah menyapanya dengan “Wahai Nabi”. Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.
    Para sahabat pun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam. Mereka ingin Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam memutuskan siapa, Abu Bakar berkata: “Angkat Al-Qa’qa bin Ma’bad sebagai pemimpin.” Kata Umar, “Tidak, angkatlah Al-Aqra’ bin Habis.” Abu Bakar berkata ke Umar, “Kamu hanya ingin membantah aku saja,” Umar menjawab, “Aku tidak bermaksud membantahmu.” Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu turunlah ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal- amal kamu dan kamu tidak menyadarinya” (QS. Al-Hujurat 1-2)
    Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, “Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia.” Umar juga berbicara kepada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam takut akan terhapus amal mereka karena melanggar etiket berhadapan dengan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam.
    Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi’ah. Ia berkata pada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, “Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami”
    Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam bertanya, “Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?” “Sudah.” kata Utbah. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.
    Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan sebenarnya adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya Allah!
    Ketika Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah yang meminta janji Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam bahwa Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam akan mengembalikan siapapun yang pergi ke Madinah setelah perginya Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Selang beberapa waktu kemudian. Seorang sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Sahabat ini meninggalkan isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam? “Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu.” Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam janji adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk berhijrah, bagi Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam janji adalah janji; bahkan meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam telah menyerap di sanubari kita atau tidak.
    Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berkata pada para sahabat, “Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!” Sahabat yang lain terdiam, namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “Dahulu ketika engkau memeriksa barisan di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini.” Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap “membereskan” orang itu. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun melarangnya. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah beliau. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam keheranan ketika Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam berikan pada mereka.
    Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berkata, “Lakukanlah!”
    Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan memeluk Nabi seraya menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah”. Seketika itu juga terdengar ucapan, “Allahu Akbar” berkali-kali. Sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam sebelum Allah memanggil Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam ke hadirat-Nya.
    Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pun sangat hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat manusia? Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. Na’udzu billah…..
    Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam ketika saat haji Wada’, di padang Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, “Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?” Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam melanjutkan, “Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah kusampaikan pada kalian wahyu dari Allah…..?” Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “Benar ya Rasul!”
    Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, “Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah!”. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian ini saya pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam. “Ya Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin meniru semua perilakunya yang indah; semua budi pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad, betapa kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya Nabi kami. Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlah”

    sejarah puasa seniin kamis

    sejarah puasa seniin kamis



    Suatu ketika seorang sahabat bertanya pada Rasulullah. “Wahai Rasulullah. Kenapa engkau selalu melaksanakan puasa pada hari Senin dan Kamis saja?”. Ada yang tahu apa jawaban Rasulullah? Inilah topic pembicaraan pada Selasa (18 Jan’11) lalu. Check it out untuk lebih jelasnya, kawan.

    Seketika Rasulullah menjawab, “Ketahuilah, Saudaraku. Hari Senin adalah hari dimana aku diturunkan ke dunia. Hari dimana aku lahir dari rahim ibuku, pertama kalinya aku menyentuh alam ini. Aku sangat bersyukur atas kelahiranku di dunia, dan aku menunjukkan rasa syukurku dengan melaksanakan puasa pada hari itu,”. “Lalu bagaimana dengan hari Kamis, ya Rasul? Apa istimewanya hari itu?” Tanya sahabat lagi. Dengan tenang Rasulullah menjawab, “Tahukah engkau, Saudaraku? Bahwa pada hari itu (Kamis) semua amal ibadah umat manusia dikumpulkan dihadapan Allah oleh para malaikat. Tidakkah engkau merasa bahagia jika di saat amalmu sedang diperiksa, engkau sedang dalam keadaan beribadah kepadaNya?”.
    Yah.. Itulah tadi secuplik reka ulang dari Pak Sudarkajin. Jika kita mau mencari tahu, ternyata sejarah adanya puasa Senin-Kamis sangatlah menarik. Tidak hanya mendapat pahala, tapi selama berpuasa tersebut kita telah memperingati hari kelahiran (Senin) Nabi besar junjungan kita. Namun hal yang perlu kita ingat, bahwa bukan berarti hanya pada hari Kamis saja Allah memeriksa amalan kita. Setiap hari, setiap jam, setiap saat, Allah tahu apa yang kita lakukan, bahkan jika hal tersebut masih berupa pemikiran atau niatan. Subhanallah…
    Timbul sebuah pertanyaan baru dari Oche (salah satu warga A67O K.). “Bagaimana jika pada hari Kamis kita tidak dapat melaksanakan puasa dikarenakan tidak kuat karena adanya pelajaran olahraga?”. Seketika semua anak tersenyum. Tentu saja hal ini yang menjadi kendala bagi kami, warga A67O, dalam melaksanakan puasa Senin-Kamis karena pada hari Kamis kami ada jadwal olahraga.
    Dengan tenang Pak Sudarkajin menjawab, “Tidak apa-apa jika kita menggantinya dengan hari lain, misalnya selasa atau minggu. Akan tetapi, fadilah(keutamaan)nya akan berbeda jika kita melaksanakannya tidak pada hari Kamis. Karena sudah pasti fadilah berpuasa hari Kamis lebih besar dibanding dengan hari yang lain,”. Sejenak kutarik nafas panjang mendengar hal itu (sedikit kecewa, kurasa).
    Muncul pertanyaan lain lagi dari Ena, “Pak, katanya orang dulu puasa hari Jumat itu tidak boleh. Itu gimana hukumnya, Pak?”. Pak Sudarkajin menjelaskan bahwa puasa pada hari Jumat dan Sabtu adalah haram hukumnya. Sebab pada hari itulah umat Yahudi berpuasa. Beliau mengatakan, kita diperbolehkan melaksanakan puasa pada hari Jumat atau Sabtu asalkan diikuti dengan puasa sebelum hari Jumat atau sesudah hari Sabtu. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka puasanya dinilai HARAM.
    Sebenarnya masih banyak yang ingin kutulis. Berhubung minim pengetahuan, jadi saya cari info dulu ya… Hehe. Nantikan info lebih lanjut pada artikel selanjutnya. Wassalamu’alaikum… 

    maulid nabi

    Sejarah maulid nabi moehamad
    In: ilmu, sejarah
    Sejarah maulid nabi moehamad – Perayaan maulid Nabi, pertama kali dirintis oleh Shalahuddin al-Ayyubi, sultan Mesir dari Bani Ayyub yang memerintah pada 570-590 Hijriah atau 1174-1193 Masehi dengan daerah kekuasaan yang membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Ketika itu dunia Islam tengah terlibat dalam perang salib berhadapan dengan bangsa Eropa, terutama bangsa Perancis, Jerman, dan Inggris. Pada 1099, pasukan gabungan eropa berhasil merebut Yerusalem dengan mengubah Masjid Al-Aqsha menjadi gereja. Ketika itu dunia Islam seperti kehilangan semangat jihad dan ukhuwah, sebab secara politis terpecah belah dalam beberapa kerajaan dan kesultanan meskipun khalifahnya satu, yaitu Khalifah Bani Abbas di Baghdad, Iraq.
    Melihat suasana lesu itu, Shalahuddin berusaha untuk membangkitkan semangat jihad kaum muslimin dengan menggelar Maulid Nabi pada 12 Rabiul Awwal. Menurutnya, semangat jihad itu harus dibangkitkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Rasulullah SAW. Namun gagasan itu sebenarnya bukan usulan dia, tetapi usulan dari saudara iparnya, Muzaffaruddin Gekburi, yaitu seorang atabeg (bupati) di Irbil, Suriah Utara.

    Awalnya, gagasan Shalahuddin ditentang para ulama, sebab sejak zaman Nabi perayaan maulid itu tidak ada. Apalagi, di dalam agama islam hari raya resmi cuma ada 2 yaitu, Hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Namun Shalahuddin menegaskan bahwa perayaan Maulid hanyalah semarak syiar Islam, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dikategorikan sebagai bid’ah. Kebetulan Khlaifah An Nashir di Baghdad pun menyetujuinya.
    Maka, di tengah musim haji pada 579 Hijriah atau 1183 Masehi, shalahuddin mengimbau seluruh jamaah hajji agar setiap tahun merayakan maulid Nabi di kampong halaman masing-masing. Salah satu kegiatan yang dalam maulid yang pertama kali digelar oleh Shalahuddin pada 580 H/1184 M adalah sayembara menulis riwayat Nabi yang diikuti oleh sejumlah ulama dan sasterawan.
    Setelah diseleksi, pemenang pertamanya dalahSyaikh Ja’far Al-Barzanji-yang menulis riwayat Rasulullah SAW dan keluhuran akhlaknya dalam bentuk syair yang panjang, yaitu Maulid Barzanji.
    Ternyata, peringatan Maulid Nabi yang digagas oleh Shalahuddin al-Ayyubi mampu menggelorakan semangat jihad kaum muslim dalam menghadapi serangan agresi Barat dalam Perang salib. Shalahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga Yerusalem berhasil direbut pada 583 H atau 1187 M.
    Pada zaman sekarang, kebanyakan muslim di Negara-negara Islam merayakan Maulid Nabi, diantaranya: Mesir, Syria, Lebanon, Yordania, Palestina, Iraq, Kuwait, Uni Emirat Arab (tidak secra resmi karena mereka menyambut secara sembunyi-sembunyi di rumah masing-masing), Sudan, Yaman, Libya, Tunisia, Algeria, Maroko, Mauritania, Djibouti, Somalia, Turki, Pakistan, India, Sri Lanka, Iran, Afghanistan, Azerbaidjan, Uzbekistan, Turkistan, Bosnia, Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan kebanyakan Negara islam yang lain. Di kebanyakan Negara Arab, Maulidurrasul Saw merupakan hari cuti umum.
    Oleh karena itu, sangatlah pantas bagi kita untuk selalu memperingati kelahiran beliau sebagai bentuk syukur dan terima kasih yang dalam kepada Allah SWT atas karunia-Nya yang agung dengan lahirnya Rasulullah SAW.”man ahabbani fahuwwa ma’i fil-jannah” (al-hadits aw kama qala).

    Fiqih Mumalah

    Fiqih Mumalah adalah pengetahuan tentang kegiatan atau transaksi yang berdasarkan hukum-hukum syariat, mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil islam secara rinci. Ruang lingkup fiqih muamalah adalh seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan hokum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan seperti wajib,sunnah,haram,makruh dan mubah.hokum-hukum fiqih terdiri dari hokum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertical antara manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia lainnya.

    Ruang lingkup fiqih muamalah mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti social,ekonomi,politik hokum dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih sering disebut dalam bahasa arab dengan istilah iqtishady, yang artinya adalah suatu cara bagaimana manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat pilihan di antara berbagai pemakaian atas alat pemuas kebutuhan yang ada, sehingga kebutuhan manusia yang tidak terbatas dapat dipenuhi oleh alat pemuas kebutuhan yang terbatas.

    Sumber-sumber fiqih secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqly yang berupa Al-Quran dan Al-Hadits, dan dalil Aqly yang berupa akal (ijtihad). Penerapan sumber fiqih islam ke dalam tiga sumber, yaitu Al-Quran, Al-Hadits,dan ijtihad.

     Al-Quran
    Al-Quran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab yang memiliki tujuan kebaikan dan perbaikan manusia, yang berlaku di dunia dan akhirat. Al-Quran merupakan referensi utama umat islam, termasuk di dalamnya masalah hokum dan perundang-undangan.sebagai sumber hukum yang utama,Al-Quran dijadikan patokan pertama oleh umat islam dalam menemukan dan menarik hukum suatu perkara dalam kehidupan.

     Al-Hadits
    Al-Hadits adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan,perbuatan,maupun ketetapan. Al-Hadits merupakan sumber fiqih kedua setelah Al-Quran yang berlaku dan mengikat bagi umat islam.

     Ijma’ dan Qiyas
    Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syar’i dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW. Suatu hukum syar’i agar bisa dikatakan sebagai ijma’, maka penetapan kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid, walau ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ijma’ bisa dibentuk hanya dengan kesepakatan mayoritas mujtahid saja. Sedangkan qiyas adalah kiat untuk menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak terdapat dalam nash (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), dengan cara menyamakan pada kasus baru yang sudah terdapat dalam nash.

     PRINSIP DASAR FIQIH MUAMALAH

    Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha mendialektikkan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah atau pun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengan dialektika nilai materialisme dan spiritualisme. Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran transendental di dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap nilai-nilai humanisme. Di antara kaidah dasar fiqh muamalah adalah sebagai berikut :

     Hukum asal dalam muamalat adalah mubah
     Konsentrasi Fiqih Muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan
     Menetapkan harga yang kompetitif
     Meninggalkan intervensi yang dilarang
     Menghindari eksploitasi
     Memberikan toleransi
     Tabligh, siddhiq, fathonah amanah sesuai sifat Rasulullah

     KAIDAH FIQIH DALAM TRANSAKSI EKONOMI (MUAMALAH)

    Kegiatan ekonomi merupakan salah satu dari aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga kaidah fiqih yang digunakan dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi ekonomi juga menggunakan kaidah fiqih muamalah. Kaidah fiqih muamalah adalah “al ashlu fil mua’malati al ibahah hatta yadullu ad daliilu ala tahrimiha” (hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Ini berarti bahwa semua hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.

    Kaidah fiqih dalam muamalah di atas memberikan arti bahwa dalam kegiatan muamalah yang notabene urusan ke-dunia-an, manusia diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk melakukan apa saja yang bisa memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya, selama hal tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya. Kaidah ini didasarkan pada Hadist Rasulullah yang berbunyi: “antum a’alamu bi ‘umurid dunyakum” (kamu lebih tahu atas urusan duniamu). Bahwa dalam urusan kehidupan dunia yang penuh dengan perubahan atas ruang dan waktu, Islam memberikan kebebasan mutlak kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya, tanpa memberikan aturan-aturan kaku yang bersifat dogmatis. Hal ini memberikan dampak bahwa Islam menjunjung tinggi asas kreativitas pada umatnya untuk bisa mengembangkan potensinya dalam mengelola kehidupan ini, khususnya berkenaan dengan fungsi manusia sebagai khalifatul-Llah fil ‘ardlh (wakil Allah di bumi).

    Efek yang timbul dari kaidah fiqih muamalah di atas adalah adanya ruang lingkup yang sangat luas dalam penetapan hukum-hukum muamalah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu transaksi baru yang muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum ada/dikenal, maka transaksi tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam. Sedangkan transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh faktor:

     Haram zatnya
    Di dalam Fiqih Muamalah, terdapat aturan yang jelas dan tegas mengenai obyek transaksi yang diharamkan, seperti minuman keras, daging babi, dan sebagainya. Oleh karena itu melakukan transaksi yang berhubungan dengan obyek yang diharamkan tersebut juga diharamkan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih: “ma haruma fi’luhu haruma tholabuhu” (setiap apa yang diharamkan atas obyeknya, maka diharamkan pula atas usaha dalam mendapatkannya). Kaidah ini juga memberikan dampak bahwa setiap obyek haram yang didapatkan dengan cara yang baik/halal, maka tidak akan merubah obyek haram tersebut menjadi halal.

     Haram selain zatnya
    Beberapa transaksi yang dilarang dalam Islam yang disebabkan oleh cara bertransaksi-nya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah, yaitu: tadlis (penipuan), ikhtikar (rekayasa pasar dalam supply), bai’ najasy (rekayasa pasar dalam demand), taghrir (ketidakpastian), dan riba (tambahan).

     Tidak sah
    Segala macam transaksi yang tidak sah/lengkap akadnya, maka transaksi itu dilarang dalam Islam. Ketidaksah/lengkapan suatu transaksi bisa disebabkan oleh: rukun (terdiri dari pelaku, objek, dan ijab kabul) dan syaratnya tidak terpenuhi, terjadi ta’alluq (dua akad yang saling berkaitan), atau terjadi two in one (dua akad sekaligus). Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, di mana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua. Yang seperti ini, terjadi bila suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus sehingga terjadi ketidakpastian (grarar) akad mana yang harus digunakan.maka transaksi ini dianggap tidak sah.

     KONSEP AQAD FIQIH EKONOMI (MUAMALAH)

    Setiap kegiatan usaha yang dilakukan manusia pada hakekatnya adalah kumpulan transaksi-transaksi ekonomi yang mengikuti suatu tatanan tertentu. Dalam Islam, transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah transaksi riil yang menyangkut suatu obyek tertentu, baik obyek berupa barang ataupun jasa. kegiatan usaha jasa yang timbul karena manusia menginginkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau dilakukannya sesuai dengan fitrahnya manusia harus berusaha mengadakan kerjasama di antara mereka. Kerjasama dalam usaha yang sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam:

     Bekerja sama dalam kegiatan usaha, dalam hal ini salah satu pihak dapat menjadi pemberi pembiayaan dimana atas manfaat yang diperoleh yang timbul dari pembiayaan tersebut dapat dilakukan bagi hasil. Kerjasama ini dapat berupa pembiayaan usaha 100% melalui akad mudharaba maupun pembiayaan usaha bersama melalui akad musyaraka.

     Kerjasama dalam perdagangan, di mana untuk meningkatkan perdagangan dapat diberikan fasilitas-fasilitas tertentu dalam pembayaran maupun penyerahan obyek. Karena pihak yang mendapat fasilitas akan memperoleh manfaat, maka pihak pemberi fasilitas berhak untuk mendapatjan bagi hasil (keuntungan) yang dapat berbentuk harga yang berbeda dengan harga tunai.

     Kerja sama dalam penyewaan asset dimana obyek transaksi adalah manfaat dari penggunaan asset.

    Kegiatan hubungan manusia dengan manusia (muamalah) dalam bidang ekonomi menurut Syariah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dan menjadi dasar terjadinya sesuatu, yang secara bersama-sama akan mengakibatkan keabsahan. Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah:

    1. Adanya pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli, penyewa dan pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa.

    2. Adanya barang (maal) atau jasa (amal) yang menjadi obyek transaksi.

    3. Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan (ijab) bersama dengan kesepakatan menerima (kabul).

    Disamping itu harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya menjadi pelengkap dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang melakukan transaksi adalah cakap hukum, syarat obyek transaksi adalah spesifik atau tertentu, jelas sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya.

    Obyek transaksi menurut Syariah dapat meliputi barang (maal) atau jasa, bahkan jasa dapat juga termasuk jasa dari pemanfaatan binatang. Pada prinsipnya obyek transaksi dapat dibedakan kedalam:

    1. obyek yang sudah pasti (ayn), yaitu obyek yang sudah jelas keberadaannya atau segera dapat diperoleh manfaatnya.

    2. obyek yang masih merupakan kewajiban (dayn), yaitu obyek yang timbul akibat suatu transaksi yang tidak tunai.

    Secara garis besar aqad dalam fiqih muamalah adalah sebagai berikut :

    1. aqad mudharaba
    Ikatan atau aqad Mudharaba pada hakekatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran berupa hubungan kerjasama antara Pemilik Usaha dengan Pemilik Harta

    2. aqad musyarakah
    Ikatan atau aqad Musyaraka pada hakekatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran antara para pihak yang bersama-sama menjadi Pemilik Usaha,

    3. aqad perdagangan
    Aqad Fasilitas Perdagangan, perjanjian pertukaran yang bersifat keuangan atas suatu transaksi jual-beli dimana salah satu pihak memberikan fasilitas penundaan pembayaran atau penyerahan obyek sehingga pembayaran atau penyerahan tersebut tidak dilakukan secara tunai atau seketika pada saat transaksi.

    4. aqad ijarah
    Aqad Ijara, adalah aqad pemberian hak untuk memanfaatkan Obyek melalui penguasaan sementara atau peminjaman Obyek dgn Manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik Obyek. Ijara mirip dengan leasing namun tidak sepenuhnya sama dengan leasing, karena Ijara dilandasi adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan.

    Dari berbagai penjelasan di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan dahwa Fiqih Muamalah merupakan ilmu yang mempelajari segala perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh falah (kedamaian dan kesejahteraan dunia akhirat). Perilaku manusia di sini berkaitan dengan landasan-landasan syariah sebagai rujukan berperilaku dan kecenderungan-kecenderungan dari fitrah manusia. Kedua hal tersebut berinteraksi dengan porsinya masing-masing sehingga terbentuk sebuah mekanisme ekonomi (muamalah) yang khas dengan dasar-dasar nilai ilahiyah.

    Jumat, 17 Februari 2012

    Rukun, Syarat dan Sebab Warisan

    Rukun, Syarat dan Sebab Warisan
    1. Rukun Waris
    Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi tiga rukun waris. Bila salah satu dari tiga rukun ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
    Ketiga rukun itu adalah al-muwarrits, al-waarist dan al-mauruts. Lebih rincinya :
    1.1. Al-Muwarits
    Al-Muwarrits (المُوَرِّث) sering diterjemahkan sebagai pewaris, yaitu orang yang memberikan harta warisan. Dalam ilmu waris, al-muwarrits adalah orang yang meninggal dunia, lalu hartanya dibagi-bagi kepada para ahli waris.
    Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara bukanlah termasuk pewaris.
    1.2. Al-Warits
    Al-Warits (الوَارِث) sering diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menerima harta peninggalan, karena adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
    1.3. Harta Warisan
    Harta warits (المَوْرُوث) adalah benda atau hak kepemilikan yang ditinggalkan, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya. Sedangkan harta yang bukan milik pewaris, tentu saja tidak boleh diwariskan.
    Misalnya, harta bersama milik suami istri. Bila suami meninggal, maka harta itu harus dibagi dua terlebih dahulu untuk memisahkan mana yang milik suami dan mana yang milik istri. Barulah harta yang milik suami itu dibagi waris. Sedangkan harta yang milik istri, tidak dibagi waris karena bukan termasuk harta warisan.
    2. Syarat Waris
    Selain rukun, juga ada syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk sebuah pewarisan. Bilamana salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan. Syarat pewarisan ada tiga:
    2.1. Meninggalnya Muwarrits
    Ada dua macam meninggal yang dikenal oleh para ulama ahli fiqih, yaitu meninggal secara hakiki dan meninggal secara hukum.
    a. Meninggal secara hakiki
    Meninggal secara hakiki adalah ketika ahli medis menyatakan bahwa seseorang sudah tidak lagi bernyawa, dimana unsur kehidupan telah lepas dari jasad seseorang.
    b. Meninggal secara hukum
    Meninggal secara hukum adalah seseorang yang oleh hakim ditetapkan telah meninggal dunia, meski jasadnya tidak ditemukan.
    Misalnya, seorang yang hilang di dalam medan perang, atau hilang saat bencana alam, lalu secara hukum formal dinyatakan kecil kemungkinannya masih hidup dan kemudian ditetapkan bahwa yang bersangkutan telah telah meninggal dunia.
    Bagi Waris Sebelum Meninggal
    Ada fenomena lucu yang terjadi di tengah masyarakat, yaitu membagi-bagi harta waris sebelum muwarritsnya meninggal dunia. Malah, justru si muwarrits itulah yang membagi-bagi.
    Padahal dalam hukum waris Islam, tidak terjadi ahli waris mendapat harta warisan, manakala seorang muwarrits belum lagi meninggal dunia.
    Seorang tidak mungkin membagi-bagi warisan dari harta yang dimilikinya sendiri kepada anak-anaknya, pada saat dia masih hidup segar bugar.
    Sebab syarat utama dari masalah warisan adalah bahwa pemilik harta itu, yaitu al-muwarrist, sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Jadi memang tidak mungkin seseorang membagi-bagikan sendiri harta warisan miliknya kepada keturunannya.
    Bila hal tersebut dilakukannya, maka sebenarnya yang terjadi adalah hibah (pemberian), bukan warisan. Dan hibah itu sendiri memang tidak ada aturan mainnya. Dan siapapun pada hakikatnya boleh menghibahkan harta miliknya kepada siapa saja dengan nilai berapa saja.
    Tapi konsekuensinya, harta yang sudah dihibahkan itu sudah pindah kepemilikan. Bila seseorang telah menghibahkan harta kepada anaknya, maka pada hakikatnya dia sudah bukan lagi pemiliknya, sebab harta itu sudah menjadi milik anaknya sepenuhnya. Bahkan bila kepemilikan itu ditetapkan dengan surat resmi, si anak berhak melalukan perubahan surat kepemilikannya.
    Misalnya seorang ayah menghibahkan sebidang tanah berikut rumah kepada anaknya, maka si anak berhak untuk mengubah surat kepemilikan tanah dan rumah itu begitu dia menerimanya. Dan konsekuensi lainnya, berhubung si anak telah menjadi pemilik sepenuhnya tanah dan rumah itu, dia pun berhak untuk menjualnya kepada pihak lain. Meski si ayah masih hidup.
    Sedangkan bila si ayah masih ingin memiliki sebidang tanah dan rumah itu selama hidupnya, tapi berpikir untuk memberikannya dengan jumlah yang dikehendakinya kepada anaknya setelah kematiannya, maka hal itu namanya washiyat.
    Dalam hukum Islam, seorang ahli waris seperti anak tidak boleh menerima washiat berupa harta dari ayahnya (pewaris), sebab Rasulullah SAw bersabda bahwa tidak ada washiyat bukan ahli waris. Maka bila hal itu dilakukan juga, hukumnya haram.
    Jadi yang dibenarkan hanya dua kemungkinan, yaitu harta diberikan ketika ayah masih hidup dan namanya hibah. Atau diberikan setelah dia meninggal dan namanya warisan. Dan ketika dibagi secara warisan, aturan pembagiannya telah baku sesuai dengan nash Al-Quran dan As-Sunnah. Maskudnya, si ayah yang dalam hal ini sebagai pemilik harta, tidak lagi berhak membagi-bagi sendiri harta warisan untuk para ahli warisnya. Semua harus diserahkan kepada hukum warisan, setelah dia meninggal dunia.
    2.2. Hidupnya Ahli Waris
    Hidup yang dimaksud adalah hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
    Ini adalah syarat yang kedua, yaitu orang yang akan menerima warisan haruslah masih hidup secara hakiki ketika pewaris meninggal dunia.
    Seorang anak yang telah meninggal lebih dulu dari ayahnya, tidak akan mendapatkan warisan. Meski anak itu telah punya istri dan anak. Istri dan anak itu tidak mendapatkan warisan dari mertua atau kakek mereka. Sebab suami atau ayah mereka meninggal lebih dulu dari kakek.
    Jalan keluar dari masalah ini ada tiga kemungkinan. Pertama, dengan washiyah wajibah, yaitu si kakek berwashiyat semenjak masih hidup agar cucu dan menantunya diberikan bagian harta. Bukan dengan jalan warisan melainkan dengan cara washiat.
    Kedua, bisa juga dengan cara kesepakatan di antara para ahli waris untuk mengumpulkan harta dan diberikan kepada saudara ipar atau kemenakan mereka.
    Ketiga, dengan cara hibah, yaitu si kakek sejak masih hidup telah menghibahkan sebagian hartanya kepada cucunya atau menantunya, sebab dikhawatirkan nanti pada saat membagi warisan, cucu dan menantunya akan tidak mendapat apa-apa.
    Dan jika ada dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup.
    Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
    2.3. Ahli Waris Diketahui
    Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima.
    Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.
    3. Sebab-sebab Adanya Hak Waris
    Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
    3.1. Kerabat hakiki
    Yaitu hubungan yang ada ikatan nasab, seperti ayah, ibu, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
    Seorang anak yang tidak pernah tinggal dengan ayahnya seumur hidup tetap berhak atas warisan dari ayahnya bila sang ayah meninggal dunia.
    Demikian juga dengan kasus dimana seorang kakek yang telah punya anak yang semuanya sudah berkeluarga semua, lalu menjelang ajal, si kakek menikah lagi dengan seorang wanita dan mendapatkan anak, maka anak tersebut berhak mendapat warisan sama besar dengan anak-anak si kakek lainnya.
    3.2. Pernikahan
    Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya.
    Tapi berbeda dengan urusan mahram, yang berhak mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu tinggal serumah. Maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya meninggal dunia.
    Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak memberikan wairsan kepada adik iparnya, meski mereka tinggap serumah. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali dan saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara suami dan istri.
    3.3. Al-Wala
    Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi.
    Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
    Namun di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah tidak berlaku lagi sistem perbudakan di tengah peradaban manusia, sebab yang terakhir ini nyaris tidak lagi terjadi.

    Alokasi Harta Warits

    Alokasi Harta
    Bila ada seorang muslim meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta, tidak semua harta peninggalannya langsung dibagi sebagai warisan. Ada sejumlah pos pengeluaran yang harus ditunaikan terlebih dahulu. Tentu saja bila pos-pos pengeluaran itu memang ada. Setelah itu, barulah sisanya dibagi menurut hukum waris.
    1. Menetapkan Kepemilikan Harta
    Meski pun bagian ini nyaris tidak kita temukan di kitab-kitab fiqih klasik, namun pada kenyataannya, terutama di negeri kita, justru bagian ini paling rumit dari semua urusan pembagian warisan. Pertama yang harus dilakukan adalah memilah dan memilih mana yang merupakan harta almarhum dan mana yang harta milik orang lain, tetapi tercampur di dalam harta almarhum.
    Mengapa demikian?
    Karena ketentuan dalam hukum waris Islam, harta yang dibagi waris itu harus harta yang 100% dimiliki oleh almarhum yang meninggal dunia. Padahal kenyataan yang sering terjadi harta yang ada itu masih menjadi milik bersama, baik antara suami istri atau pun dengan pihak lain.
    Ada beberapa contoh kasus yang sering terjadi dimana di dalam harta seseorang masih tercampur hak milik orang lain, diantaranya :
    a. Usaha Bersama Suami Istri
    Sepasang suami istri sejak menikah telah membangun usaha bersama, katakanlah membuka toko. Keduanya mengeluarkan harta benda dan tenaga untuk memajukan usaha keluarga itu secara bersama-sama. Bisa dikatakan harta yang mereka miliki itu menjadi harta berdua. Ketika keduanya masih hidup, barangkali tidak timbul persoalan, lantran kedua suami istri.
    Tapi akan muncul masalah saat istri meninggal dunia. Apalagi bila suami kawin lagi. Tentu di dalam harta berupa usaha toko itu ada hak milik istri sebelumnya. Suami tentu tidak bisa menguasai begitu saja peninggalan itu.
    Boleh jadi akan muncul masalah dengan anak-anak. Mereka akan mengatakan bahwa ibu mereka punya hak atas harta yang kini menjadi milik ayah dan ibu tiri mereka.
    Dalam hal ini, harus dirunut ke belakang tentang status kepemilikan usaha keluarga itu. Berapakah besar yang menjadi milik suami dan berapa yang menjadi bagian istri, seharusnya ditetapkan terlebih dahulu.
    Kalau istri sebagai pemilik atau pemegang saham, maka berapa besar saham istri harus ditetapkan secara jelas. Dan kalau istri berstatus sebagai pegawai, gajinya harus ditetapkan secara jelas juga.
    Maka hanya harta yang sudah benar-benar 100% milik istri saja yang dibagi waris, sedangkan yang milik suami tentu tidak dibagi waris, karena dia masih hidup.
    b. Suami Memberi Hadiah Kepada Istri
    Sebuah keluarga pecah gara-gara istri almarhum dan anak-anaknya diteror oleh adik-adik almarhum sendiri. Pasalnya, menurut adik-adik almarhum, mereka berhak mendapat harta warisan berupa kolam pemancingan dari peninggalan harta kakak mereka, lantaran sang kakak tidak punya anak laki-laki. Dalam hal ini, kalau almarhum tidak punya anak laki-laki, sisa warisan jatuh kepada ashabah yang tidak lain adalah adik-adik almarhum.
    Tapi menurut istri almarhum yang kini sudah menjanda, kolam pancing ikan yang diributkan itu pada dasarnya bukan asset harta milik suaminya yang sudah almarhum. Karena semasa hidupnya, almarhum telah menghadiahkan kolam pancing itu kepada dirinya sebagai hadiah ulang tahun.
    Hal itu terbukti dari surat tanah yang memang atas nama istri. Maka harta itu tidak bisa dibagi waris, karena statusnya bukan milik almarhum.
    Maka seberapa benar pernyataan dari masing-masing pihak, harus ditelusuri terlebih dahulu, baik dengan menghadirkan saksi-saksi atau pun dengan surat-surat bukti kepemilikan. Barulah setelah semua jelas, bagi waris bisa dilakukan.
    c. Pinjam atau Beli
    Ini kisah nyata. Seorang adik pinjam uang kepada kakaknya untuk naik haji. Dan sebagai jaminannya, sepetak sawah digadaikan kepada sang kakak.
    Sayangnya sampai sekian puluh tahun kemudian, uang pinjaman ini tidak dikembalikan. Otomatis sawah sebagai jaminan pun juga masih di tangan sang kakak.
    Ketika kedua kakak beradik ini sudah meninggal, anak dan cucu mereka bermaksud membagi harta warisan. Muncul masalah tentang status sawah, karena para ahli waris meributkan statusnya. Anak keturunan sang adik mengatakan bahwa sawah itu milik orang tua mereka, karena orang tua mereka tidak pernah menjual sawah itu semasa hidupnya, kecuali hanya menjadikannya sebagai jaminan hutang.
    Sedangkan anak keturunan sang kakak mengatakan bahwa sawah itu sudah menjadi hak orangtua mereka, lantaran utang belum pernah dikembalikan.
    Anak keturunan si adik akhirnya bersedia mengembalikan hutang orangtua mereka, tetapi nilainya hanya Rp. 30.000 saja, karena dulu pinjam uangnya hanya senilai itu saja. Karuan saja keluarga sang kakak meradang, karena apa artinya uang segitu di zaman sekarang ini. Padahal di masa lalu, uang segitu senilai dengan biaya pergi haji ke tanah suci. Mereka meminta setidaknya uang itu dikembalikan seharga biaya ONH sekarang, yaitu sekitar 30-an juta.
    Dan masih banyak lagi kasus-kasus di tengah masyarakat, yang intinya menuntut penyelesaian terlebih dahulu dalam hal status kepemilikan harta almarhum.
    2. Pengurusan Jenazah
    Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.
    Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
    3. Hutang
    Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
    "Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."
    Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan.
    Al-Hanafiyah
    Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.
    Mereka beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya.
    Jumhur Ulama
    Jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak.
    Asy-syafi'iyah
    Menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba.
    Al-Malikiyah
    Mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada Allah.
    Al-Hanabilah
    Ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris.
    4. Washiyat
    Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya.
    Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
    Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada :
    • ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya),
    • kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).
    Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.

    Pengertian Waris

    Pengertian Waris
    1. Definisi
    1.1. Bahasa
    Al-miirats (الميراث) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata (وَرِثَ يَرِثُ إِرْثًا وَمِيْرَاثًا) waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
    Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
    وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ
    "Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
    وَكُنَّا نَحْنُ الْوَارِثِينَ
    "... Dan Kami adalah yang mewarisinya." (al-Qashash: 58)
    Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:
    العُلَمَاءُ ْوَرَثَةُ الأَنْبِيَاءَ
    'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
    1.2. Pengertian syariah
    Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah : berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.

    2. Waris, Hibah dan Wasiat
    Ada tiga istilah yang berbeda namun memiliki kesamaan dalam beberapa halnya, yaitu waris, hibah dan wasiat. Ketiganya memiliki kemiripan sehingga kita seringkali kesulitan saat membedakannya.
    Tetapi akan terasa lebih mudah kalau kita buatkan tabel seperti berikut ini.
    WARIS HIBAH WASIAT
    Waktu Setelah wafat Sebelum wafat Setelah wafat
    Penerima Ahli waris ahli waris &
    bukan ahli waris bukan ahli waris
    Nilai Sesuai faraidh Bebas Maksimal 1/3
    Hukum wajib Sunnah Sunnah

    2.1. Waktu
    Dari segi wattu, harta waris tidak dibagi-bagi kepada para ahli warisnya, juga tidak ditentukan berapa besar masing-masing bagian, kecuali setelah pemiliknya (muwarrits) meninggal dunia. Dengan kata lain, pembagian waris dilakukan setelah pemilik harta itu meninggal dunia. Maka yang membagi waris pastilah bukan yang memiliki harta itu.
    Sedangkan hibah dan washiyat, justru penetapannya dilakukan saat pemiliknya masih hidup. Bedanya, kalau hibah harta itu langsung diserahkan saat itu juga, tidak menunggu sampai pemiliknya meninggal dulu. Sedangkan washiyat ditentukan oleh pemilik harta pada saat masih hidup namun perpindahan kepemilikannya baru terjadi saat dia meninggal dunia.
    2.2. Penerima
    Yang berhak menerima waris hanyalah orang-orang yang terdapat di dalam daftar ahli waris dan tidak terkena hijab hirman. Tentunya juga yang statusnya tidak gugur.
    Sedangkan washiyat justru diharamkan bila diberikan kepada ahli waris. Penerima washiyat harus seorang yang bukan termasuk penerima harta waris. Karena ahli waris sudah menerima harta lewat jalur pembagian waris, maka haram baginya menerima lewat jalur washiat.
    Sedangkan pemberian harta lewat hibah, boleh diterima oleh ahli waris dan bukan ahli waris. Hibah itu boleh diserahkan kepada siapa saja.
    2.3. Nilai
    Dari segi nilai, harta yang dibagi waris sudah ada ketentuan besarannya, yaitu sebagaimana ditetapkan di dalam ilmu faraidh.
    Ada ashabul furudh yang sudah ditetapkan besarannya, seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 hingga 2/3. Ada juga para ahli waris dengan status menerima ashabah, yaitu menerima warisan berupa sisa harta dari yang telah diambil oleh para ashabul furudh. Dan ada juga yang menerima lewat jalur furudh dan ashabah sekaligus.
    Sedangkan besaran nilai harta yang boleh diwasiatkan maksimal hanya 1/3 dari nilai total harta peninggalan. Walau pun itu merupakan pesan atau wasiat dari almarhum sebagai pemilik harta, namun ada ketentuan dari Allah SWT untuk membela kepentingan ahli waris, sehingga berwasiat lebih dari 1/3 harta merupakan hal yang diharamkan.
    Bahkan apabila terlanjur diwasiatkan lebih dari 1/3, maka kelebihannya itu harus dibatalkan.
    2.4. Hukum
    Pembagian waris itu hukumnya wajib dilakuan sepeninggal muwarrits, karena merupakan salah satu kewajiban atas harta.
    Sedangkan memberikan washiyat hukumnya hanya sunnah. Demikian juga memberikan harta hibah hukumnya sunnah.
    3. Istilah-istilah dalam ilmu waris
    Setiap cabang ilmu memiliki istilah-istilah yang khas, dimana istilah itu seringkali tidak sama dengan istilah yang umum. Berikut ini kami uraikan beberapa istilah yang akan seringkali muncul dalam mata kuliah ini.
    3.1. Tarikah
    Tarikah, (تركة) kadang dibaca tirkah, adalah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan.
    Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
    3.2. Fardh
    Fardh (فرض) adalah bagian harta yang didapat oleh seorang ahli waris yang telah ditetapkan langsung oleh nash Al-Quran, As-Sunnah atau ijma' ulama. Fardh itu adalah bilangan pecahan berupa 1/2, 1/3. 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3. Harta yang dibagi waris itu adalah 1 lalu dipecah-pecah sesuai bilangan fardh.
    Misalnya seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan mendapat 1/8 bagian dari harta suaminya, apabila suaminya punya keturunan. Atau mendapat 1/4 bagian bila suaminya tidak punya keturunan.
    3.3. Ashhabul Furudh.
    Ashabul furudh (أصحاب الفروض) sesuai dengan namanya, berarti adalah orang-orangnya, yaitu orang-orang yang mendapat waris secara fardh. Mereka adalah ahli waris yang punya bagian yang pasti dari warisan yang diterimanya. Contoh ashabul furudh adalah suami, istri, ibu, ayah dan lainnya.
    Besar harta yang diterimanya sudah ditetapkan oleh nash, tapi tergantung keadaannya. Sebagai contoh, seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/4 atau 1/8. Seandainya suaminya punya anak, maka istri mendapat 1/8 dari harta suami. Tapi kalau suami tidak punya anak, istri menapat 1/4 dari harta suami.
    Begitu juga seorang suami yang ditinggal mati istrinya, sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/2 atau 1/4, tergantung keberadaan anak dari istri. Seandainya istri punya anak, maka suami mendapat 1/4 dari harta istri. Tapi kalau istri tidak punya anak, suami mendapat 1/2 dari harta istri.
    Tapi intinya, ashabul furudh adalah para ahli waris yang sudah punya bagian pecahan tertentu dari harta muwarristnya.
    3.4. Ashabah
    Istilah ashabaha (عصبة) berposisi sebagai lawan fardh, yaitu bagian harta yang diterima oleh ahli waris, yang besarnya belum diketahui secara pasti. Karena harta itu hanyalah sisa dari apa yang telah diambil sebelumnya oleh ahli waris yang menjadi ashhabul-furudh.
    Besarnya bisa nol persen hingga seratus persen. Tergantung seberapa banyak harta yang diambil oleh ahli waris ashhabul furudh. Kalau jumlah mereka banyak, maka bagian untuk ashabah menjadi kecil, kalau jumlah mereka sedikit, biasanya ashahabnya menjadi besar.
    Misalnya, seorang anak laki-laki tunggal adalah ahli waris ashabah dari ayahnya yang meninggal dunia. Ibunya adalah ahli waris dari ashabul furudh, mendapat 1/8 dari harta suaminya. Sedangkan anak tersebut mendapat waris sebagai ashabah, atau sisa dari apa yang sudah diambil ibunya, yaitu 1 – 1/8 = 7/8.
    3.5. Sahm
    Sahm (سهم) adalah istilah untuk menyebut bagian harta yang diberikan kepada setiap ahli waris yang berasal dari asal masalah. Atau disebut juga jumlah kepala mereka.
    Misalnya,
    3.6. Nasab
    Nasab (نسب) adalah hubungan seseorang secara darah, baik hubungan ke atasnya seperti ayah kandung, kakek kandung dan seterusnya. Hubugnan ke atas ini disebut abuwwah. Bisa juga hubungan seseorang ke arah bawah (keturunannya) seperti dengan anak kandungnya, atau anak dari anaknya (cucu) dan seterusnya. Hubngan ini disebut bunuwwah.
    3.7. Al-Far'u
    Istilah (الفرع) bila kita temukan di dalam ilmu waris, maksudnya adalah anak laki-laki atau anak perempuan dari almarhum yang akan dibagi hartanya. Termasuk juga anak dari anaknya (cucu) baik laki-laki maupun perempuan. Bila disebut Al-far'ul-warists maksudnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan, atau ahli waris anak-anak tersebut ke bawahnya.
    3.8. Al-Ashl
    Yang dimaksud dengan istilah al-ashl (الأصل) adalah ayah kandung dan ibu kandung, juga termasuk ayah kandung atau ibu kandung dari ayah kandung (kakek). Dan kakek atau nenek yang merupakan ayah dan ibunya ayah ini disebut juga al-jaddu ash-shahih.

    Urgensi dan Pensyariatan warits

    Urgensi dan Pensyariatan
    1. Mengapa Kita Belajar Hukum Waris
    Untuk apa kita mempelajari hukum waris? Bukankah sudah ada kiyai dan para ulama yang bisa menangani urusan waris? Bukankah biasanya membagi waris menjadi tugas dan wewenang Kantor Urusan Agama (KUA)?
    Barangkali pertanyaan seperti itu muncul di benak kita ketika pertama kali melihat buku ini.
    Pertanyaan seperti itu mungkin ada benarnya. Sebab biasanya urusan pembagian waris memang menjadi urusan para kiyai dan ulama, setidaknya menjadi 'job' pak KUA. Jadi buat apa kita yang tidak punya urusan ini pakai sok belajar ilmu waris?
    Pada bab pertama ini kita akan mempelajari kenapa kita yang awam ini perlu dan harus belajar ilmu waris. Ada beberapa sebab dan alasan yang melatarbelakangi hal itu. Antara lain :
    1.1. Ilmu Waris Akan Dicabut
    Sebagaimana kita sadari meski bangsa Indonesia ini mayoritas muslim, namun kita tahu bahwa agama kita diperangi lewat berbagai macam bentuk penggerogotan dari dalam. Salah satunya adalah dijejalinya kita dengan berbagai produk hukum yang bukan hukum Islam, seperti hukum barat dan hukum adat, lewat berbagai kurikulum pendidikan yang kita dapat dari sistem pendidikan nasional, atau dari adat istiadat turun temurun.
    Maka lahirlah dari bangsa ini berlapis generasi muslim yang rajin shalat 5 waktu, fasih membaca Al-Quran, aktif mengaji kesana-kemari, gemar menghidupkan amaliyah sunnah, tetapi sama sekali tidak paham alias merasa asing dengan hukum waris Islam.
    Keterasingan mereka atas hukum waris Islam ini merupakan kehancuran umat Islam yang sudah diprediksi oleh Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu.
    Rasulullah SAW secara khusus telah memberikan perintah untuk mempelajari ilmu waris, sebab ilmu waris itu setengah dari semua cabang ilmu. Lagi pula Rasulullah SAW mengatakan bahwa ilmu warisan itu termasuk yang pertama kali akan diangkat dari muka bumi.
    عَنِ الأَعْرَجِ  قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ  يَا أَبَا هُرَيْرَةَ تَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهَا فَإِنَّهُ نِصْفُ العِلْمِ وَإِنَّهُ يُنْسَى وَهُوَ أَوَّلُ مَا يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي
    Dari A'raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku". (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)
    1.2. Perintah Khusus Dari Nabi SAW
    عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ  قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ  تَعَلَّمُوا القُرْآنَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ وَتَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ فَإِنِّي امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ وَإِنَّ العِلْمَ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُ الفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ الاِثْنَانِ فيِ الفَرِيْضَةِ لاَ يَجِدَانِ مَنْ يَقْضِي بِهَا – رواه الحاكم
    Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang-orang. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkan kepada orang-orang. Karena Aku hanya manusia yang akan meninggal. Dan ilmu waris akan dicabut lalu fitnah menyebar, sampai-sampai ada dua orang yang berseteru dalam masalah warisan namun tidak menemukan orang yang bisa menjawabnya". (HR. Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)
    1.3. Sejajar Dengan Belajar Al-Quran
    Selain Rasulullah SAW memerintahkan kita belajar ilmu waris, khalifah Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu juga secara khusus memerintahkan umat Islam mempelajari ilmu waris. Bahkan beliau menyebutkan kita harus mempelajari ilmu waris sebagaimana kita belajar Al-Quran Al-Kariem.
    عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ  أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: تَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ كَمَا تَتَعَلَّمُوْنَ القُرْآنَ .
    Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu beliau berkata, "Pelajarilah ilmu faraidh sebagaimana kalian mempelajari Al-Quran".
    Perintah ini mengandung pesan bahwa belajar ilmu waris ini sangat penting bagi umat Islam. Karena disejajarkan dengan belajar Al-Quran.
    1.4. Menghindari Perpecahan Keluarga
    Seringkali di antara penyebab perpecahan keluarga adalah masalah harta waris. Dari banyak kasus yang terjadi, umumnya berhulu dari kurang pahamnya para anggota keluarga atas aturan dan ketentuan dalam hukum waris Islam.
    Tidak dipelajarinya lagi ilmu waris oleh generasi Islam ternyata punya dampak yang sangat besar. Salah satunya adalah munculnya perpecahan keluarga. Lantaran ketika orang tua wafat, anak-anak yang tidak mengenal ilmu waris itu saling berebut harta disebabkan karena parameter yang mereka gunakan saling berbeda.
    Sebagian anak ada yang ingin menerapkan hukum waris versi adat. Yang lainnya mau versi barat. Sebagiannya mau pakai hukum Islam.
    Seandainya orang tua mereka telah mengjaari dan mendidik mereka sejak kecil dengan ilmu waris Islam, niscaya perpecahan keluarga tidak akan terjadi. Sebab selayaknya anak-anak muslim yang tumbuh dengan pendidikan Islam, mereka pun dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama yang mengajarkan bagaimana cara membagi waris sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
    Dari berbagai kasus perpecahan keluarga tentang masalah waris, umumnya yang menjadi penyebab utama adalah awamnya para anggota keluarga dari ilmu hukum waris Islam.
    Jalan keluar untuk menghindari perpecahan keluarga yang barangkali bukan terjadi hari ini adalah mempersiapkan anak-anak kita, terutama generasi muda, dengan bekal ilmu hukum waris. Sehingga sejak awal merea sudah punya pedoman buat bekal ketika dewasa nanti.
    1.5. Ancaman Akhirat
    Selain dua alasan di atas, memang Allah SWT telah mewajibkan umat Islam untuk membagi warisan sesuai dengan petunjuk dan ketetapan-Nya. Mereka yang secara sengaja melanggar dan tidak mengindahkan ketentuan Allah ini, maka Dia akan memasukkannya ke dalam api neraka.
    Tidak hanya itu, tetapi dengan tambahan bahwa keberadaan mereka itu kekal abadi selamanya di dalam neraka. Bahkan masih ditambahkan lagi dengan jenis siksaan yang menghinakan.
    Ketentuan seperti ini telah Allah cantumkan di dalam Al-Quran Al-Kariem.
    وَمَن يَعْصِ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
    Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.(QS. An-Nisa' : 13-14)
    Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan bahwa membagi warisan adalah bagian dari hudud, yaitu sebuah ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar. Bahkan di akhirat nanti akan diancam dengan siksa api neraka. Tidak seperti pelaku dosa lainnya, mereka yang tidak membagi warisan sebagaimana yang telah ditetapkan Allah SWT tidak akan dikeluarkan lagi dari dalamnya, karena mereka telah dipastikan akan kekal selamanya di dalam neraka sambil terus menerus disiksa dengan siksaan yang menghinakan.
    Sungguh berat ancaman yang Allah SWT telah tetapkan buat mereka yang tidak menjalankan hukum warisan sebagaimana yang telah Allah tetapkan. Cukuplah ayat ini menjadi peringatan buat mereka yang masih saja mengabaikan perintah Allah sebagai ancaman. Jangan sampai siksa itu tertimpa kepada kita semua. Nauzu billahi min zalik.
    2. Pensyariatan
    Ketentuan dan kewajiban membagi waris dalam syariah Islam ditetapkan berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, serta ijma' para ulama.
    2.1. Dalil Quran
    Di dalam Al-Quran ada banyak ayat yang secara detail menyebutkan tentang pembagian waris menurut hukum Islam. Khusus di surat An-Nisa' saja ada tiga ayat, yaitu ayat 11,12 dan 176. Selain itu juga ada di dalam surat Al-Anfal ayat terakhir, yaitu ayat 75.
    a. Ayat waris untuk anak
    يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
    Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. (QS. An-Nisa' : 11)
    b. Ayat waris untuk orang tua
    وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيما حَكِيمًا
    Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa' : 11)
    c. Ayat waris buat suami dan istri
    .وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
    Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. (QS. An-Nisa' : 12)
    d. Ayat waris Kalalah
    Kalalah adalah seorang wafat tanpa meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau perempuan.
    وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلاَلَةً أَو امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثُّلُثِ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَآرٍّ وَصِيَّةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
    Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun (QS. An-Nisa' : 12)
    e. Ayat waris Kalalah
    Kalalah lainnya adalah seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan saudara perempuan.
    يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلاَلَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ
    Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya. (QS. An-Nisa' : 176)
    وَأُوْلُواْ الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللّهِ إِنَّ اللّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
    Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Anfal : 75)
    2.2. Dalil Sunnah
    Ada begitu banyak dalil sunnah nabi yang menunjukkan pensyariatan hukum waris buat umat Islam. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini :
    عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ  قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ  أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَر.
    Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabdam"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
    عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ  قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ  لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ الكاَفِرَ وَلاَ الكَافِرُ المُسْلِمَ
    Dari Usamah bin zaid radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Seorang muslim tidak mendapat warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak mendapat warisan dari seorang muslim. (HR Jamaah kecuali An-Nasai)
    عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرو  قَالَ قَالَ رَسُولُ الله  لاَ يَتَوَارَثُ أَهْلُ مِلَّتَيْنِ شَتَّى
    Dari Abullah bin Amr radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Dua orang yang berbeda agama tidak saling mewarisi.(HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah)
    عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ  قَالَ أنَّ النَّبِيَّ  قَضَى لِلْجَدَّتَيْنِ مِنَ الِمْيراَثِ بِالسُّدُسِ بَيْنَهُمَا
    Dari Ubadah bin As-Shamith radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan buat dua orang nenek yaitu 1/6 diantara mereka.(HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah)
    عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ  قَضَى النَّبِيُّ  لِلاِبْنَةِ النِّصْفُ وَلاِبْنَةِ الاِبْنِ السُّدُسُ تَكْمِلَةً لِلثُّلُثَيْنِ وَمَا بَقِيَ فَلِلأُخْتِِ
    Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan bagi anak tunggal perempuan setengah bagian, dan buat anak perempuan dari anak laki seperenam bagian sebagai penyempurnaan dari 2/3. Dan yang tersisa buat saudara perempuan .(HR. Jamaah kecuali Muslim dan Nasai)
    2.3. Dalil Ijma'
    Para shahabat, tabiin dan para ulama yang mewarisi nabi telah berijma' tentang pensyariatan hukum waris ini.

    SEBAB-SEBAB YANG MENJADI PENGHALANG KEWARISAN DAN HIJAB

    SEBAB-SEBAB YANG MENJADI
    PENGHALANG KEWARISAN
    Hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang terhalang untuk mewarisi
    ( موانع الارث ) ada tiga macam, yaitu : (Perbudakan, Pembunuhan, Berlainan
    A. PERBUDAKAN
    Perbudakan menjadi penghalang untuk mewarisi berdasarkan adanya petunjuk umum yang menyatakan budak tidak memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum. Hal ini berdasarkan surat al-Anfal ayat 75 :
    Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesutupun…(Q.S. Al-Anfal : 75).
    Mafhum ayat tersebut menjelaskan bahwa budak itu tidak cakap untuk mengurusi hak milik kebendaan dengan jalan apa saja. Hak-hak kebendaannya sepenuhnya berada ditangan tuannya. Dan status kekerabatan dengan keluarganya sudah putus. Sebagaimana dinyatakan oleh Drs. Fatchur Rahman, bahwa budak tidak dapat mewarisi karena :
    a. Ia dipandang tidak cakap mengurusi harta milik;
    b. Status kekeluargaannya terhadap kerabat-kerabatnya sudah putus dan karenanya ia sudah menjadi keluarga asing (bukan keluarganya).
    Menurut Ali Ahmad Al-Juejawy, budak itu tidak dapat mewarisi harta peninggalan tuannya bila tuannya meninggal, disebabkan budak itu sendiri berstatus sebagai harta milik bagi tuannya.
    Kitab Undang-undang Kewarisan Mesir tidak memuat pasal tentang penghalang mewarisi karena perbudakan, karena di negara tersebut perbudakan dilarang oleh undang-undang.
    Hal tersebut merupakan hal yang sangat positif, karena pada hakikatnya Islam tidak menghendaki adanya perbudakan. Hal tersebut dapat kita perhatikan dari gencarnya Islam menghapuskan perbudakan dengan adanya hukuman yang diberikan kepada seseorang berupa pembebasan budak. Budak adalah tetap manusia yang mempunyai harkat dan martabat, hanya karena statusnya yang tidak memiliki kecakapan apapun. Hal tersebut terjadi karena masa jahiliyah (sebelum Islam dating) budak diposisikan dengan cara yang tidak terhormat, dapat diperlakukan apa saja dan dianggap seperti barang/harta. Sehingga ajaran Islam yang sangat memperhatikan keadaan dan kondisi suatu masyarakat, tidak dengan serta merta (secara totalitas) menghapuskan tradisi tersebut. Proses tasyri’ yang sedemikian dapat juga kita perhatikan dari proses pengharaman khamar (minuman keras) yang dilakukan dengan bertahap.
    B. PEMBUNUHAN
    Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap al-muwarris menyebabkannya tidak dapat mewarisi hartanya. Demikian kesepakatan mayoritas (jumhur) ulama. Hal tersebut merupakan hal yang cukup beralasan, karena tidak menutup kemungkinan untuk menguasai harta seseorang membunuh orang lain. Karena motivasi yang tidak baik tersebut, maka terhadap orang yang membunuh tidak diperkenankan dan tidak berhak mewarisi harta peninggalannya.
    Terhadap masalah ini, golongan khawarij, yang memisahkan diri dari Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, menentang pendapat ini. Alasan mereka, ayat-ayat al-Quran bersifat umum dan tidak mengecualikan si pembunuh. Karena ayat-ayat kewarisan hanya memberi petunjuk umum, sehingga keumuman ayat-ayat tersebut harus diamalkan.
    Dalam hal ini mereka hanya mengacu pada keumuman ayat-ayat kewarisan. Padahal dalam hadis nabi Muhammad SAW. adanya pengecualian terhadap pembunuh. Adapun dasar hukum yang dipergunakan oleh mayoritas (jumhur) ulama yang menyatakan pembunuh terhalang untuk mewarisi adalah;
    1. Riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas :
    Rasulullah SAW. bersabda : Barang siapa membunuh seseorang korban, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya. (Begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri. Maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan. (H.R. Ahmad).
    2. Riwayat An-Nasai :
    Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi. (H.R. An-Nasai).
    Berdasarkan hadis-hadis tersebut, maka secara jelas dinyatakan pembunuh terhalang untuk mewarisi harta orang yang dibunuhnya. Hal tersebut, walaupun tidak ada ahli waris lain selain dirinya, ataupun yang dibunuhnya orang tua atau anaknya. Yang menjadi permasalahan adalah, mengingat banyaknya jenis dan macam pembunuhan. Apakah secara keseluruhan pembunuhan menjadi penghalang untuk mewarisi. Dalam hal ini ada beberapa pendapat, yaitu :
    C. BERLAINAN AGAMA
    Terhadap orang yang berlainan agama, maka hal tersebut dalam Islam menjadi penghalang mewarisi. Semisal seorang muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang beragama non Islam.
    Adapun dasar hukumnya adalah hadis rasulullah SAW. : Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam.
    Kemudian hadis riwayat Ashab Al-Sunan (Imam Abu daud, Al-Tirmizi, Al-Nasai, dan Ibnu majah) :
    Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda.
    Dalam hal ini nabi Muhammad SAW. ketika membagikan harta warisan paman beliau, Abu Thalib, orang yang cukup berjasa dalam perjuangan nabi SAW. yang meninggal sebelum masuk Islam, oleh nabi harta warisannya hanya dibagikan kepada anak-anaknya yang masih kafoir, yaitu, ‘Uqail dan Talib. Sedangkan terhadap anak-anaknya yang sudah masuk Islam, yaitu Ali dan Ja’far, tidak diberi bagian.
    Dalam hal ini terdapat permasalahan, yaitu apabila pewaris masuk Islam sesudah meninggalnya orang yang mewarisi, dan harta peninggalan (ketika ia masuk Islam) belum dibagikan. Ada beberapa pendapat sebagai berikut :
    1. Jumhur ulama tetap berpendapat terhalangnya orang tersebut untuk mewarisi hartanya. Karena yang menyebabkan timbulnya hak mewarisi adalah sejak (karena) kematian orang yang mewarisi, bukan saat dimulainya pembagian harta waris.
    2. Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, menyatakan bahwa pewaris tersebut tidak terhalang, dengan alas an predikat “berlainan agama’ sudah hilang sebelum pembagian harta warisan.
    3. Fuqaha aliran Imamiyah berpendapat sama dengan Ahmad bin Hanbal, tidak terhalang, karena harta peninggalan itu belum menjadi milik harta waris secara tetap, sebelum dibagi-bagikan kepada ahli waris
    AHLI WARIS, HARTA YANG HARUS DIKELUARKAN,
    HAJIB DAN MAHJUB
    A. AHLI WARIS
    Ahli Waris ialah orang yang berhak menerima warisan, ditinjau jenisnya dapat dibagi dua, yaitu zawil furud dan ashobah.
    Penggolongan ahli waris ahli waris ada dua jenis lelaki dan perempuan .
    1. Ahli Waris lelaki terdiri dari.
    a. Anak laki-laki
    b. Cucu laki-laki sampai keatas dari garis anak laki-laki.
    c. Ayah
    d. Kakek sampai keatas garis ayah
    e. Saudara laki-laki kandung
    f. Saudara laki-laki seayah
    g. Saudara laki-laki seibu
    h. Anak laki-laki saudara kandung sampai kebawah.
    i. Anak laki-laki saudara seayah sampai kebawah.
    j. Paman kandung
    k. Paman seayah
    l. Anak paman kandung sampai kebawah.
    m. Anak paman seayah sampai kebawah.
    n. Suami
    o. Laki-laki yang memerdekakan
    2. Ahli Waris wanita terdiri dari
    a. Anak perempuan
    b. Cucu perempuan sampai kebawah dari anak laki-laki.
    c. Ibu
    d. Nenek sampai keatas dari garis ibu
    e. Nenek sampai keatas dari garis ayah
    f. Saudara perempuan kandung
    g. Saudara perempuan seayah
    h. Yang Saudara perempuan seibu.
    i. Isteri
    j. Wanita yang memerdekakan
    Ditinjau dari sudut pembagian, Ahli waris terbagi dua yaitu : Ashhabul furudh dan Ashobah.
    1. Ashabul furudh yaitu orang yang mendapat bagian tertentu. Terdiri dari
    a. Yang dapat bagian ½ harta.
    o Anak perempuan kalau sendiri
    o Cucu perempuan kalau sendiri
    o Saudara perempuan kandung kalau sendiri
    o Saudara perempuan seayah kalau sendiri
    o Suami
    b. Yang mendapat bagian ¼ harta
    o Suami dengan anak atau cucu
    o Isteri atau beberapa kalau tidak ada (anak atau cucu)
    c. Yang mendapat 1/8
    o Isteri atau beberapa isteri dengan anak atau cucu.
    d. Yang mendapat 2/3
    o dua anak perempuan atau lebih
    o dua cucu perempuan atau lebih
    o dua saudara perempuan kandung atau lebih
    o dua saudara perempuan seayah atau lebih
    e. Yang mendapat 1/3
    o Ibu jika tidak ada anak, cucu dari grs anak laki-laki, dua saudara kandung/seayah atau seibu.
    o Dua atau lebih anak ibu baik laki-laki atau perempuan
    f. Yang mendapat 1/6
    o Ibu bersama anak lk, cucu lk atau dua atau lebih saudara perempuan kandung atau perempuan seibu.
    o Nenek garis ibu jika tidak ada ibu dan terus keatas
    o Nenek garis ayah jika tidak ada ibu dan ayah terus keatas
    o Satu atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki bersama satu anak perempuan kandung
    o Satu atau lebih saudara perempuan seayah bersama satu saudara perempuan kandung.
    o Ayah bersama anak lk atau cucu lk
    o Kakek jika tidak ada ayah
    o Saudara seibu satu orang, baik laki-laki atau perempuan.
    2. Ahli waris ashobah yaitu para ahli waris tidak mendapat bagian tertentu tetapi mereka dapat menghabiskan bagian sisa ashhabul furud. Ashobah terbagi tiga jenis yaitu ashabah binafsihi, ashobah bighairi dan ashobah menghabiskan bagian tertentu
    a. Ashobah binafsihi adalah yang ashobah dengan sndirinya. Tertib ashobah binafsihi sebagai berikut:
    o Anak laki-laki
    o Cucu laki-laki dari anak laki-laki terus kebawah
    o Ayah
    o Kakek dari garis ayah keatas
    o Saudara laki-laki kandung
    o Saudara laki-laki seayah
    o Anak laki-laki saudara laki-laki kandung sampai kebawah
    o Anak laki-laki saudara laki-laki seayah sampai kebawah
    o Paman kandung
    o Paman seayah
    o Anak laki-laki paman kandung sampai kebawah
    o Anak laki-laki paman seayah sampai kebawah
    o Laki-laki yang memerdekakan yang meninggal
    b. Ashobah dengan dengan saudaranya
    o Anak perempuan bersama anak laki-laki atau cucu laki.
    o Cucu perempuan bersama cucu laki-laki
    o Saudara perempkuan kandung bersama saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah.
    o Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
    c. Menghabiskan bagian tertentu
    o Anak perempuan kandung satu orang bersama cucu perempuan satu atau lebih (2/3).
    o Saudara perempuan kandung bersama saudara perempuan seayah (2/3)
    B. Harta yang harus dikeluarkan
    Harta yang harus dikeluarkan sebelum dibagikan kepada ahli waris:
    1. Biaya jenazah
    2. Utang yang belum dibayar
    3. Zakar yang belum dikeluarkan
    4. Wasiat
    C. Hajib dan mahjub
    1. Nenek dari garis ibu gugur haknya karena adanya ibu.
    2. Nenek dari garis ayah gugur haknya karena adanya ayah dan ibu
    3. Saudara seibu gugur haknya baik laki-laki ataupun perempuan oleh:
    a. anak kandung laki/perempuan
    b. cucu baik laki-laki/perempuan dari garis laki-laki
    c. bapak
    d. kakek
    4. Saudara seayah baik laki-laki/perempuan gugur haknya oleh :
    a. ayah
    b. anak laki-laki kandung
    c. cucu laki-laki dari garis laki-laki
    d. Saudara laki-laki kandung
    5. Saudara laki-laki/perempuan kandung gugur haknya oleh:
    a. anak laki-laki
    b. cucu laki-laki dari garis anak laki-laki
    c. ayah
    6. Jika semua ahli waris itu laki-laki yang dapat bagian ialah.
    a. suami
    b. ayah
    c. anak laki-laki
    7. Jika semua ahli waris itu semuanya perempuan dan ada semua, maka yang dapat warisan ialah:
    a. Isteri
    b. Anak perempuan
    c. Cucu perempuan
    d. Ibu
    e. Saudara perempuan kandung
    8. Urutan pembagian antara saudara laki-laki kandung/ saudara laki-laki seayah sampai kebawah dan urutan paman kandung / paman seayah sampai kebawah.
    a. Saudara laki-laki kandung menggugurkan saudara seayah( L/P )
    b. Saudara laki-laki seayah menggugurkan anak lk saudara kandung
    c. Anak laki-laki saudara kandung menggugurkan anak lk saudara seayah
    d. Anak laki-laki saudara seayah menggugurkan cucu lk saudara kandung.
    e. Cucu laki-laki saudara kandung menggugurkan cucu lk saudara seayah dts
    f. Cucu laki-laki saudara seayah menggugurkan Paman kandung
    g. Paman kandung menggugurkan paman seayah
    h. Paman seayah menggugurkan anak laki-laki paman kandung
    i. Anak laki-laki paman kandung menggugurkan anak lk paman seayah
    j. Anaklaki-laki paman seayah menggugurkan cucu lk paman kandung
    k. Cucu laki-laki paman kandung menggugurkan cucu lk paman seayah.
    b. demikian seterusnya.