PENGANTAR
Ini adalah kisah yang panjang dan alurnya mengalir jelas.
Peristiwanya gambling, yang menceritakan tentang
bapak kita Ismail bin Khalilullah Ibrahim ‘Alayhi Salam
dan tentang ibu kita Hajar Ummu Ismail. Semua orang
Arab adalah keturunan Ismail. Ada yang menyatakan
bahwa sebagian orang Arab berasal dari asal-usul Arab
kuno yang bukan anak keturunan Ismail. Ibu kita Hajar
adalah wanita Mesir yang dihadiahkan oleh penguasa
dzalim Mesir kepada Sarah dalam sebuah kisah yang akan
disebutkan selanjutnya.
Manakala Ibrahim belum kunjung dikaruniai anak dari
istrinya, Sarah, maka Sarah memberikan hamba
sahayanya kepada Ibrahim untuk dinikahi dengan
harapan bahwa darinya Allah akan memberi anak. Hajar
pun hamil dan melahirkan Ismail di bumi yang penuh
berkah, Palestina.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menceritakan
kisah Hajar kepada kita, apa yang terjadi antara dia
dengan Sarah dan bagaimana Allah memerintahkan
Ibrahim agar pindah bersama Hajar dan Ismail ke
belahan bumi termulia (Makkah). Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam menjelaskan kondisi tempat di mana
Hajar dan putranya, Ismail, berdiam. Beliau menjelaskan
kepada kita tentang Ibrahim yang meninggalkan
keduanya di tempat yang sepi, tanpa makanan, minuman
dan penduduk. Beliau juga menjelaskan apa yang terjadi
dengan Hajar dan Ismail sepeninggal Ibrahim sampai
akhirnya Ibrahim dan Ismail membangun Baitullah Al-
Haram sebagai rumah pertama yang diletakkan untuk
manusia.
Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Said bin
Jubair yang berkata bahwa Ibnu Abbas berkata, "Wanita
pertama yang membuat ikat pinggang adalah ibu Ismail.
Hal itu ia lakukan agar dapat menutupi jejak kakinya
dari Sarah. Kemudian Ibrahim membawa istri dan
putranya, Ismail, yang masih disusuinya. Hingga akhirnya
Ibrahim menempatkan keduanya di dekat Baitullah di sisi
sebuah pohon besar di atas sumur Zamzam di bagian atas
Masjidil Haram. Pada saat itu Makkah tidak berpenghuni
seorang pun, dan tidak ada air. Beliau meninggalkan
keduanya, juga meletakkan sebuah kantong berisi kurma
dan kantong kulit berisi air. Ketika Ibrahim melangkah
pergi, Hajar menyusulnya seraya bertanya, "Wahai
Ibrahim, ke mana engkau akan pergi? Apakah engkau
akan meninggalkan kami di lembah yang tidak ada
seorang manusia pun dan tidak ada sesuatu pun?" Hajar
terus-menerus menanyakan hal itu, dan Ibrahim tidak
menoleh kepadanya. Maka Hajar bertanya kembali,
"Apakah Allah yang menyuruhmu melakukan ini?" Ibrahim
menjawab, "Ya." Hajar pun berucap, "Kalau memang
demikian, Dia tidak akan mengabaikan kami."
Selanjutnya Hajar kembali.
Ibrahim terus berjalan hingga ketika sampai di sebuah
bukit di mana mereka tidak melihatnya, beliau
menghadapkan wajahnya ke Baitullah, lalu berdoa
dengan beberapa kalimat seraya mengangkat kedua
tangannya dan mengucapkan, "Ya Tuhan kami,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian
keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-
tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati.
Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka
mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian
manusia cenderung kepada mereka dan berikanlah rizki
kepada mereka dari buah-buahan. Mudah-mudahan
mereka bersyukur." (QS. Ibrahim: 37)
Hajar menyusui Ismail dan meminum dari air yang
berada di dalam kantong kulit. Air sudah habis, ia
merasa kehausan, demikian pula putranya yang
merengek-rengek kehausan. Ia pun pergi karena tidak
tega melihatnya. Hingga ia menemukan Shafa, gunung
yang paling dekat dengannya. Maka ia berdiri di atasnya,
menghadap ke lembah sambil melihat-lihat adakah
seseorang, tetapi dia tidak melihat seorang pun. Setelah
turun dari Shafa, ia sampai di lembah, ia mengangkat
ujung bajunya dan berusaha keras seperti orang yang
berjuang mati-matian, hingga berhasil melewati lembah.
Lalu dia mendatangi Marwah, berdiri di atasnya sembari
melihat apakah ada seseorang yang dapat dilihatnya,
tetapi dia tetap tidak melihat seorang pun. Dia
melakukan hal itu sebanyak tujuh kali."
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Salam berkata, "Karena hal inilah orang-orang
melakukan sa'i di antara keduanya (Shafa dan Marwah)."
Ketika mendekati Marwah, ia mendengar sebuah suara.
Ia pun berkata kepada dirinya, "Diam. Kemudian ia
berusaha mendengar lagi hingga ia pun mendengarnya.
Lalu ia berkata, "Engkau telah memperdengarkan.
Adakah Engkau dapat menolong?" Tiba-tiba ia
mendapatkan Malaikat di tempat sumber air Zamzam.
Kemudian Malaikat itu menggali tanah dengan tumitnya -
dalam riwayat lain, dengan sayapnya- hingga muncullah
air. Ia membendung air dengan tangannya. Ia menciduk
dan memasukkan air itu ke kantongnya. Air itu terus
mengalir deras setelah ia menciduknya."
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Salam bersabda, "Semoga Allah melimpahkan rahmat
kepada ibu Ismail, jika saja ia membiarkan Zamzam.”
Atau beliau bersabda, ”Seandainya ia tidak menciduk
airnya, niscaya Zamzam menjadi mata air yang
mengalir."
Lebih lanjut, Ibnu Abbas mengatakan bahwa kemudian ia
meminum air itu dan menyusui anaknya. Lalu Malaikat
berkata kepadanya, "Janganlah engkau khawatir akan
disia-siakan, karena di sini terdapat sebuah rumah Allah
yang akan dibangun oleh anak ini dan bapaknya. Dan
sesungguhnya Allah tidak akan menelantarkan
penduduknya." Posisi rumah Allah itu terletak lebih
tinggi dari permukaan bumi, seperti sebuah anak bukit
yang diterpa banjir sehingga mengikis bagian kiri dan
kanannya.
Kondisi ibu Ismail terus seperti itu sampai sekelompok
Bani Jurhum atau sebuah keluarga dari kalangan Bani
Jurhum melewati mereka.
Mereka datang melalui jalan
Keda'. Kemudian mereka mendiami daerah Makkah yang
paling bawah. Mereka melihat seekor burung berputar di
angkasa, mereka berkata, "Burung itu pasti sedang
mengitari air. Kita mengenal bahwa di lembah ini tidak
ada air." Mereka pun mengutus satu atau dua orang.
Ternyata utusan itu menemukan air. Lalu mereka
kembali dan memberitahukan perihal air tersebut. Maka
mereka pun datang. Ibnu Abbas selanjutnya
menceritakan, "Ibu Ismail ketika itu masih berada di
sumber air tersebut. Maka mereka pun bertanya
kepadanya, 'Apakah engkau mengizinkan kami untuk
singgah di sini?’ ’Ya, tetapi kalian tidak berhak atas air
ini,’ jawab ibu Ismail.
Mereka pun menyahut, ’Baiklah.’
Kemudian, lanjut Ibnu Abbas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam pun bersabda, "Maka ibu Ismail menerima hal itu,
karena ia memerlukan teman." Mereka pun singgah di
sana dan mengirimkan utusan kepada keluarga mereka
agar ikut datang dan menetap di sana bersama mereka.
Hingga berdirilah beberapa rumah. Akhirnya sang bayi
(Ismail) pun tumbuh besar dan belajar bahasa Arab dari
mereka, serta menjadi orang yang paling dihargai dan
dikagumi ketika menginjak usia remaja. Setelah dewasa
mereka menikahkannya dengan seorang wanita dari
kalangan mereka.
Setelah itu ibu Ismail meninggal dunia. Setelah Ismail
menikah, Ibrahim datang untuk mencari yang dulu
ditinggalkannya, tetapi ia tidak menemukan Ismail di
sana. Lalu Ibrahim menanyakan keberadaan Ismail
kepada istrinya (menantu Ibrahim). Istri Ismail
menjawab, "Ia sedang pergi mencari nafkah untuk kami."
Kemudian Ibrahim menanyakan perihal kehidupan dan
keadaan mereka, maka istrinya menjawab, "Kami berada
dalam kondisi yang buruk. Kami hidup dalam kesusahan
dan kesulitan." Ia mengeluh kepada Ibrahim.
Ibrahim pun
berpesan, "Jika suamimu datang, sampaikan salamku
kepadanya dan katakan kepadanya agar mengubah
palang pintunya." Ketika Ismail datang, seolah-olah ia
merasakan sesuatu, kemudian ia bertanya, "Apakah ada
orang yang datang mengunjungimu?" "Ya, kami didatangi
seorang yang sudah tua, begini dan begitu, lalu ia
menanyakan kepada kami mengenai dirimu, dan aku
memberitahukannya. Selain itu, ia pun menanyakan
ihwal kehidupan kita di sini, maka aku pun menjawab
bahwa kita hidup dalam kesulitan dan kesusahan," jawab
istrinya.
"Apakah ia berpesan sesuatu kepadamu?" tanya Ismail.
Istrinya menjawab, "Ia menitipkan salam kepadaku untuk
aku sampaikan kepadamu dan menyuruhmu agar
mengubah palang pintu rumahmu." Ismail pun berujar,
"Ia adalah ayahku. Ia menyuruhku untuk menceraikanmu.
Karenanya, kembalilah engkau kepada keluargamu."
Maka Ismail menceraikannya, lalu mengawini wanita lain
dari Bani Jurhum.
Ibrahim tidak mengunjungi mereka selama beberapa
waktu.
Setelah itu Ibrahim mendatanginya, namun ia
tidak juga mendapatinya. Kemudian ia menemui istrinya
dan menanyakan perihal keadaan Ismail. Maka istrinya
menjawab, "Ia sedang pergi mencari nafkah untuk kami."
"Bagaimana keadaan dan kehidupan kalian?" tanya
Ibrahim. Istri Ismail menjawab, "Kami baik-baik saja dan
berkecukupan." Seraya memuji (bersyukur kepada) Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian Ibrahim bertanya, "Apa
yang kalian makan?" Istri Ismail menjawab, "Kami
memakan daging." "Apa yang kalian minum?" lanjut
Ibrahim. Istri Ismail menjawab, "Air."
Kemudian Ibrahim
berdoa, "Ya Allah, berkatilah mereka pada daging dan
air."
Selanjutnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
"Pada saat itu mereka belum mempunyai makanan
berupa biji-bijian. Seandainya mereka memilikinya,
niscaya Ibrahim akan mendoakannya supaya mereka
diberikan berkah pada biji-bijian itu." Lebih lanjut Ibnu
Abbas berkata, "di luar Makkah, kedua jenis itu (daging
dan air) bisa didapatkan dengan mudah, hanya saja
keduanya tidak cocok (sebagai makanan pokok)." Ibrahim
berpesan, "Jika suamimu datang, sampaikan salamku
kepadanya dan suruh ia untuk memperkokoh palang
pintunya."
Ketika datang, Ismail bertanya, "Apakah ada
orang yang datang mengunjungimu?" Istrinya menjawab,
"Ya, ada orang tua yang berpenampilan sangat bagus –
seraya memuji Ibrahim- dan ia menanyakan kepadaku
perihal dirimu, lalu kuberitahukan. Setelah itu ia
menanyakan perihal kehidupan kita, maka aku
menjawab bahwa kita baik-baik saja."
"Apakah ia berpesan sesuatu hal kepadamu?" tanya
Ismail. Istrinya menjawab, "Ya, ia menyampaikan salam
kepadamu dan menyuruhmu agar memperkokoh palang
pintumu." Lalu Ismail berkata, "Ia adalah ayahku.
Engkaulah palang pintu yang dimaksud. Ia menyuruhku
untuk tetap hidup rukun bersamamu."
Kemudian Ibrahim meninggalkan mereka selama
beberapa waktu. Setelah itu ia datang kembali, ketika
itu Ismail tengah meraut anak panah di bawah pohon
besar dekat sumur Zamzam. Ketika melihatnya, Ismail
bangkit. Keduanya melakukan apa yang biasa dilakukan
oleh anak dengan ayahnya dan ayah dengan anaknya jika
bertemu. Ibrahim berkata, "Wahai Ismail, sesungguhnya
Allah memerintahkan sesuatu kepadaku." "Laksanakanlah
apa yang telah diperintahkan Tuhanmu itu," sahut Ismail.
Ibrahim pun bertanya, "Apakah engkau akan
membantuku?" "Aku pasti akan membantumu," jawab
Ismail.
Ibrahim bertutur, "Sesungguhnya Allah
menyuruhku untuk membangun sebuah rumah di sini."
Seraya menunjuk ke anak bukit kecil yang letaknya lebih
tinggi dari sekelilingnya.
Ibnu Abbas pun melanjutkan ceritanya bahwa pada saat
itulah keduanya meninggikan pondasi Baitullah. Ismail
mengangkat batu, sedang Ibrahim memasangnya. Ketika
bangunan itu sudah tinggi, dia meletakkan sebongkah
batu untuk dijadikan pijakannya. Ibrahim berdiri di
atasnya sambil memasang batu, sementara Ismail
menyodorkan batu-batu kepadanya. Keduanya pun
berdoa, "Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan
kami). Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 127)
Ibnu Abbas meneruskan, bahwa keduanya terus
membangun hingga menyelesaikan seluruh bangunan
Baitullah. Keduanya berdoa, "Ya Tuhan kami, terimalah
dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-
Baqarah: 127)
Dalam riwayat lain dalam Shahih dari Said bin Jubair dari
Ibnu Abbas berkata, "Ketika terjadi apa yang terjadi
antara Ibrahim dan keluarganya, Ibrahim membawa pergi
Ismail dan ibunya dan mereka membawa kantong air. Ibu
Ismail minum air dari kantong itu dan menyusui anaknya,
sampai Ibrahim tiba di Makkah. Lalu Ibrahim
meletakkannya di bawah rindang pohon besar. Ibrahim
pun meninggalkannya untuk pulang kepada keluarganya.
Ibu Ismail menguntitnya. Sesampainya di Keda', ibu
Ismail memanggilnya, "Wahai Ibrahim, kepada siapa
kamu meninggalkan kami?" Ibrahim menjawab, "Kepada
Allah." Ibu Ismail menjawab, "Aku rela dengan Allah."
Ibnu Abbas meneruskan, "Lalu ibu Ismail kembali,
meminum air itu dan menyusui anaknya. Manakala air
telah habis, dia berkata, 'Sebaiknya aku pergi memeriksa
sekeliling, mungkin ada orang lain di sekitar sini." Lalu
ibu Ismail pergi. Dia naik ke bukit Shafa. Dia melihat-
lihat apakah ada seseorang. Tetapi tak seorang pun yang
dilihatnya. (Lalu dia turun) ketika sampai di lembah, dia
berlari-lari kecil. Dia mendatangi Marwah. Dia
melakukan hal itu sebanyak tujuh kali putaran.
Kemudian ibu Ismail berkata, ’Sebaiknya aku kembali
menengok anakku, apa yang dilakukannya?’ Ibu Ismail
pulang menengok putranya, ternyata putranya masih
dalam keadaan seperti semula.
Dia mengerang-erang
hampir mati kehausan, maka ibu Ismail tidak tenang
karenanya. Ibu Ismail berkata, ’Sebaiknya aku pergi
melihat-lihat mungkin ada seseorang.’ Lalu dia pergi dan
naik ke bukit Shafa, dia melihat dan melihat, tetapi
tidak seorang pun yang dilihatnya sampai dia
menggenapkan menjadi tujuh kali (putaran). Kemudian
ibu Ismail berkata, ’Sebaiknya aku kembali untuk
melihat apa yang terjadi dengan anakku.’ Ternyata dia
mendengar suara, dia berkata, ’Bantulah aku jika kamu
membawa kebaikan.’ Ternyata dia adalah Jibril. Ibnu
Abbas berkata, "Lalu Jibril mengisyaratkan dengan
tumitnya begini. Dia menjejak bumi dengan tumitnya.
Maka air memancar.
Ibu Ismail terkagum-kagum, lalu dia
menciduki air itu."
Ibnu Abbas berkata bahwa Abul Qasim berkata,
"Seandainya dia membiarkannya, niscaya air itu akan
mengalir." Ibnu Abbas meneruskan, "Lalu ibu Ismail
minum air itu dan menyusui anaknya."
Lanjut Ibnu Abbas, "Lalu sekelompok orang dari Jurhum
melewati dasar lembah. Mereka melihat burung. Mereka
terheran-heran seraya berkata, 'Burung itu pasti terbang
di atas air.’ Mereka pun mengutus seorang utusan.
Utusan itu melihat dan ternyata ada air. Lalu dia
kembali dan menyampaikan hal itu kepada mereka.
Maka mereka mendatanginya. Mereka bertanya, "Wahai
Ibu Ismail, apakah engkau berkenan jika kami
menyertaimu atau tinggal bersamamu?" Ismail beranjak
dewasa dan menikah dengan seorang wanita dari
mereka.
Ibnu Abbas meneruskan, "Ibrahim ingin berkunjung.
Dia
berkata kepada keluarganya, 'Aku akan menengok
anakku.’ Ibrahim datang, dia memberi salam dan
berkata, ’Di mana Ismail?’ Istrinya menjawab, ’Pergi
berburu.’ Ibrahim berkata, ’Jika dia pulang katakan
kepadanya agar mengubah palang pintunya.’ Ketika
Ismail datang, istrinya menyampaikan perihal kejadian
yang baru dialaminya. Lalu Ismail berkata, "Kamulah
orang yang dimaksud. Pulanglah kamu kepada
keluargamu."
Kemudian Ibrahim ingin berkunjung lagi. Dia berkata
kepada keluarganya, ’Aku akan menengok anakku.’
Ibrahim pun datang dan bertanya, ’Di mana Ismail?’
Istrinya menjawab, ’Pergi berburu.’ Istrinya
melanjutkan, ’Singgahlah untuk makan dan minum.’
Ibrahim bertanya, ’Apakah makanan dan minuman
kalian?’ Istri Ismail menjawab, ’Makanan kami adalah
daging dan minuman kami adalah air.’ Ibrahim berkata,
’Ya Allah, berkahilah mereka pada makanan dan
minuman mereka.’ Ibnu Abbas berkata bahwa Abul
Qasim Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
"Keberkahan dengan doa Ibrahim ‘Alayhi Salam."
Ibnu Abbas melanjutkan, "Kemudian Ibrahim ingin
berkunjung lagi.
Dia berkata kepada keluarganya, 'Aku
hendak menengok anakku.’ Ibrahim datang pada saat
Ismail sedang meraut anak panah di belakang Zamzam.
Ibrahim berkata, ’Wahai Ismail, sesungguhnya Tuhanmu
memerintahkan kepadaku agar aku membangun rumah
untuk-Nya.’ Ismail menjawab, ’Taatilah perintah
Tuhanmu.’ Ibrahim berkata, ’Dia telah memerintahkanku
agar kamu membantuku.’ Ismail menjawab, ’Kalau
begitu akan aku lakukan.’ Atau sebagaimana yang dia
katakan.
Ibnu Abbas berkata, "Lalu keduanya berdiri. Ibrahim
membangun sementara Ismail menyodorkan batu
kepadanya, dan keduanya berkata, 'Ya Tuhan kami,
terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya
Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-
Baqarah: 127)
TAKHRIJ HADIS
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya di
dalam Kitabul Anbiya’, bab 'Dan Allah mengangkat
Ibrahim' (QS. An-Nisa: 125), 6/396, no. 3364. Hafizh Ibnu
Hajar telah menjelaskan jalan-jalan periwayatannya dan
imam-imam yang meriwayatkannya dalam Fathul Bari,
6/399.
Ucapan Ibnu Abbas di dalam hadis ini menunjukkan
bahwa dia mengangkatnya (menisbatkannya) kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Kalaupun Ibnu
Abbas tidak mendengar dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam secara langsung, itu berarti dia
mendengar dari sahabat lain. Maka hadis ini termasuk
mursal sahabi (hadis yang diriwayatkan oleh sahabat
yang tidak dia saksikan atau dengar sendiri dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam). Para ulama
telah sepakat bahwa mursal sahabi tetap sah bila
dijadikan sebagai dalil.
PENJELASAN HADIS
Di dalam hadis ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam menyampaikan kepada kita tentang kisah bapak
kita, Ismail, dan ibunya, Hajar, yang tinggal di tanah
suci Makkah. Keduanya adalah orang pertama yang
tinggal di sana. Tempat keduanya tinggal adalah belahan
bumi tersuci di muka bumi ini, yang terdapat Baitul
Haram. Di sanalah kaum muslimin berhaji. Di sanalah
mereka menghadap dalam shalat. Di sanalah wahyu
turun kepada Ismail dan orang setelahnya, yaitu Rasul
termulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Penyebab keluarnya Hajar dari Palestina ke Makkah
adalah persoalan yang terjadi antara Hajar dan Sarah
setelah Hajar melahirkan Ismail. Hajar terpaksa menjauh
dari Sarah manakala dirinya tidak merasa aman di
sisinya, sebagaimana hal itu diisyaratkan oleh hadis.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyampaikan
kepada kita bahwa dalam kepergiannya Hajar menyeret
bajunya di belakangnya untuk menghapus jejak kakinya
agar Sarah tidak mengetahui ke mana dia pergi.
Dan Allah memerintahkan Ibrahim agar memindahkan
Hajar dan putranya ke Baitullah, tempat jauh yang tidak
bisa dijangkau oleh kendaraan kecuali dengan kelelahan
jiwa.
Ini adalah perkara yang mungkin sulit dan berat bagi
Ibrahim yang sudah tua, yang diberi anak Ismail dalam
usia lanjut. Perkaranya bertambah sulit manakala
Ibrahim meletakkan belahan jiwanya dan ibunya di
tempat yang sepi tanpa air, tanpa makanan dan tanpa
penduduk.
Akan tetapi Allah memiliki hikmah yang mendalam.
Walaupun secara lahir perkara itu sulit dan berat, akan
tetapi ia banyak memuat rahmat dan kebaikan. Dan kita
melihat rahmat dan kebaikan ini pada hari ini secara
jelas dan gamblang. Dengan didiami oleh Ismail, daerah
itu tumbuh menjadi sebuah kota tempat dibangunnya
Baitullah yang banyak direalisasikan ibadah-ibadah,
syiar-syiar dan segala kebaikan. Dengannya Ibrahim dan
Ismail memperoleh pahala dan balasan yang tidak
diketahui kecuali oleh Allah. Itu adalah karunia Allah
yang Dia berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya,
dan Allah adalah Pemilik karunia yang besar.
Ibrahim membawa anak kecil, Ismail, dan ibunya dari
tanah yang penuh berkah dengan udaranya yang sejuk,
kebunnya yang hijau, airnya yang mengalir ke lembah
itu, dan kemudian meletakkan keduanya di bawah
pohon. Lalu dia meninggalkannya tanpa berpikir untuk
membangunkan rumah sebagai tempat berlindung
keduanya. Dia juga tidak mencarikan orang-orang yang
bersedia tinggal di sisinya untuk melindunginya dari
ancaman para begal atau serangan binatang buas.
Allah telah memerintahkan Ibrahim agar meninggalkan
keduanya di lembah itu, maka dia pun melakukan seperti
yang Allah perintahkan kepadanya. Dia menyerahkan
keduanya kepada Allah, karena Dialah yang
memerintahkannya untuk melakukan itu. Tentunya, Dia
mampu melindungi keduanya, memberi makan dan
minum kepada keduanya, serta menghibur keterasingan
keduanya. Ibrahim tidak mempedulikan protes Hajar
yang membuntutinya. Hajar berkata, "Engkau
membiarkan kami dan pergi begitu saja?" Hajar
mengulang itu berkali-kali, sementara Ibrahim tidak
meladeninya. Ini adalah perintah Allah, dan perintah
Allah tidak boleh dibantah. Inilah Islam di mana Ibrahim
membawa dirinya kepadanya. "Ketika Tuhannya
berfirman kepadanya, 'Tunduk patuhlah!' Ibrahim
menjawab, 'Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta
alam." (QS. Al-Baqarah: 131)
Manakala Hajar merasa gagal mengorek jawaban, dia
berkata, "Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk
melakukan ini?" Ibrahim menjawab, "Ya." Pada saat itu
tenanglah hati dan jiwa Hajar. Seorang mukmin
mengetahui bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan
orang yang menjawab perintah-Nya dan mewujudkan
keinginan-Nya.
Ibrahim terus berjalan pulang. Ketika sampai di Tsaniyah
dan tidak terlihat oleh Hajar, dia berhenti menghadap
ke arah Baitullah, mengangkat kedua tangannya ke
langit dan berbisik kepada Tuhannya, "Ya Tuhan kami,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian
keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-
tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang
dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar
mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati
sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri
rizkilah mereka dari bauh-buahan, mudah-mudahan
mereka bersyukur." (QS. Ibrahim: 37).
Allah telah
mengabulkan doanya dan merealisasikan harapannya.
Ibu Ismail tinggal selama berhari-hari. Dia minum dari
kantong air yang ditinggalkan oleh Ibrahim untuknya dan
makan kurma serta menyusui putranya. Akan tetapi
kurma dan air itu cepat habis. Ibu Ismail haus dan lapar.
Anaknya pun ikut lapar dan haus bersamaan dengan
lapar hausnya ibunya. Dia berguling-guling karena
kehausan. Ibu Ismail tidak tega melihatnya. Kondisi itu
mendorongnya untuk mencari sesuatu yang bisa
menghapus rasa hausnya dan menghidupi dirinya.
Ibu Ismail melihat Shafa, bukit paling dekat dengannya.
Jika seseorang ingin mengetahui apa yang ada di
sekelilingnya, maka dia akan naik ke tempat yang tinggi
agar bisa leluasa memandang dan mencari apa yang dia
inginkan.
Ibu Ismail naik ke Shafa. Dia memandang dengan cermat.
Tak seorang pun terlihat. Maka dia turun ke lembah
untuk menuju bukit lain yang dekat, yaitu Marwah. Dia
naik ke Marwah. Dia melihat seperti yang dia lakukan di
bukit Shafa. Tak ada yang membantunya, tak ada yang
menolongnya. Begitulah dia mondar-mandir di antara
Shafa dan Marwah sampai tujuh kali. Pada saat dia
mondar-mandir itu, dia menyempatkan diri menengok
anaknya, untuk menghilangkan rasa cemas dan
mengetahui keadaannya. Kemudian dia meneruskan
mondar-mandir. Inilah sa'i pertama di antara bukit Shafa
dan Marwah. Dan sa'i yang pertama kali dilakukan oleh
Hajar ini menjadi salah satu syiar ibadah haji dan umrah.
"Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari
syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke
Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa'i antara keduanya." (QS. Al-Baqarah:
158)
Setelah putaran ketujuh dia mendengar suara. Dia
mencermatinya. Dia berkata kepada dirinya, "Diamlah."
Sepertinya dia ingin agar bisa mendengar sejauh
mungkin. Ternyata suara itu terdengar oleh telinganya
untuk kedua kalinya. Dia berkata kepada sumber suara
itu, "Aku telah mendengar suaramu, jika kamu berkenan
untuk menolong." Dia meneliti sumber suara itu. Dia
melihat, ternyata suara itu berasal dari putranya.
Ternyata Malaikat Allah, Jibril, sedang memukulkan
tumitnya atau sayapnya ke tanah di tempat Zamzam. Air
pun memancar.
Ibu Ismail telah mencari air dari atas bukit-bukit yang
tinggi, lalu Allah mengeluarkan air untuknya dari bawah
kaki putranya yang masih bayi. Tentu kebahagiaan ibu
Ismail sangatlah besar sekali. Tidak ada air, itu berarti
kematian untuknya dan putranya. Memancarnya air
adalah kehidupannya dan kehidupan putranya beserta
kehidupan lembah di mana dia tinggal.
Menurut pengamatanku, Jibril menjelma dalam bentuk
seorang laki-laki, sehingga Hajar melihatnya dan
berbicara kepadanya dan dia pun berbicara kepada
Hajar. Sebagaimana Jibril juga pernah menjelma
menjadi seorang laki-laki pada masa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan dilihat oleh para
sahabat, dan mereka pun mendengarkan ucapannya. Hal
ini berdasarkan kepada bukti bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak pernah melihat Jibril
dalam bentuk aslinya seperti yang diciptakan oleh Allah
kecuali dua kali. Pada kali pertama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam sangat ketakutan.
Ibu Ismail, karena didorong oleh insting untuk
mengumpulkan air dan menjaga persediaannya sebanyak
mungkin, maka dia membendung air itu hingga dia bisa
mengisi kantong airnya. Seandainya dia membiarkannya
mengalir dan berjalan, niscaya ia akan menjadi mata air
yang mengalir.
Tentang hal ini Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam bersabda, "Semoga Allah memberi
rahmat kepada ibu Ismail. Seandainya dia membiarkan
Zamzam” –atau beliau bersabda, "Tidak menciduk air-”
niscaya zamzam menjadi mata air yang mengalir."
Allah memberikan air kepada ibu Ismail untuk
menghapus dahaganya, dan air susunya kembali
menetes. Dia pun bisa menyusui putranya. Malaikat
menenangkannya, "Jangan takut terlantar." Malaikat
menyampaikan berita gembira kepadanya, bahwa
bayinya akan membangun Baitullah bersama ayahnya
dan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan keluarganya.
Allah menyempurnakan nikmat kepada Ismail dan
ibunya. Maka datanglah orang-orang ke lembah itu untuk
menetap. Ibu dan Ismail pun mulai kerasan.
Keterasingan sedikit demi sedikit mulai lenyap.
Sekelompok orang dari suku Jurhum melewati daerah di
dekat mereka. Mereka singgah di Makkah bagian bawah.
Mereka melihat seekor burung berputar-putar di udara.
Mereka mengetahui bahwa berputar-putarnya burung itu
tidak lain karena di daerah itu terdapat air. Karena jika
tidak ada air, maka burung itu akan terus berlalu dan
tidak berhenti. Burung yang berputar-putar di udara
seperti yang mereka saksikan itu adalah burung yang
mengitari air dan mendatanginya.
Hanya saja, mereka
tetap meragukan perkiraan mereka sendiri, karena
mereka mengenal betul daerah tersebut, sebuah lembah
tanpa air dan tanpa penghuni. Untuk memastikannya,
mereka mengutus seseorang dari kalangan mereka.
Utusan itu kembali dengan menyampaikan apa yang
dilihatnya kepada mereka. Mereka pergi kepada ibu
Ismail. Dengan mata kepala mereka sendiri, mereka
melihat air yang memancar dari bebatuan. Mereka
takjub dan meminta ibu Ismail agar mengizinkan mereka
untuk tinggal bersamanya. Ibu Ismail setuju, dengan
syarat bahwa mereka tidak berhak terhadap air. Mereka
hanya boleh minum. Mata air tetap menjadi hak ibu dan
Ismail. Maka mereka mendatangkan keluarga mereka dan
tinggal bersama ibu Ismail.
Ismail tumbuh dengan baik menjadi seorang pemuda di
lingkungan itu. Seorang pemuda yang giat lagi rajin,
diimbangi oleh akhlak mulia dan sifat-sifat luhur. Orang-
orang yang tinggal bersamanya menghormatinya dan
mencintainya. Mereka menikahkannya dengan gadis
mereka.
Ibu Ismail meninggal setelah Ismail menjadi seorang
pemuda, dan dia pun tenang kepadanya. Kematian
adalah akhir kehidupan yang hidup. Lalu Ibrahim datang
menengok anaknya. Dia tidak menemukan Ismail di
rumahnya. Ismail sedang keluar mencari rizki untuk
keluarganya. Istri Ismail mengeluhkan kehidupannya.
Manakala Ibrahim bertanya tentangnya, dia
memberitahukan bahwa mereka hidup dalam keadaan
sulit dan sengsara. Ibrahim meminta kepada istri Ismail
agar menyampaikan salamnya kepada Ismail dan
berpesan kepadanya agar dia merubah palang pintu
rumahnya.
Istri Ismail tidak tahu bahwa bapak tua yang singgah
padanya adalah mertuanya. Dia juga tidak tahu jika
pesannya yang disampaikan kepada suaminya berisi
perintah untuk menceraikannya. Ismail mentaati pesan
bapaknya, dan istrinya ditalaknya.
Ibrahim melihat wanita tersebut tidak layak menjadi
istri seorang Nabi sekaligus Rasul yang disiapkan untuk
memimpin dan mengarahkan serta mendidik keluarga,
anak-anaknya dan orang-orang di sekitarnya. Istri yang
memperpanjang keluhan dan hobi ngedumel tidak
mungkin menjadi penopang suami yang memikul tugas-
tugas besar.
Ketika Ibrahim kembali lagi, dia bertemu dengan seorang
wanita yang lain dari sebelumnya. Ibrahim rela putranya
menikah dengannya dan meminta anaknya agar
mempertahankannya. Ibrahim bertanya tentang
kehidupan mereka. Istri Ismail menjawab, "Segala puji
bagi Allah, kami dalam kebaikan dan kemudahan."
Ibrahim bertanya tentang makanan dan minuman
mereka. Dia menjawab, "Daging dan air." Maka Ibrahim
mendoakan keberkahan kepada mereka pada daging dan
air. Seandainya mereka mempunyai biji-bijian yang
mereka makan, niscaya Ibrahim akan mendoakannya
juga sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyampaikan
bahwa di antara keberkahan doa Ibrahim adalah, bahwa
penduduk Makkah tetap hidup sehat walau hanya makan
daging dan minum air. Padahal, selain mereka bisa
berakibat celaka jika hanya makan daging dan air saja.
Untuk ketiga kalinya Ibrahim datang mengunjungi
anaknya dan mencari tahu tentang beritanya. Ibrahim
mendapatkannya di rumah sedang duduk meraut anak
panah di bawah pohon itu, pohon di mana dulu Ibrahim
meninggalkannya dengan ibunya pada saat mereka
datang pertama kali di tempat itu. Ismail bangkit
kepadanya.
Keduanya melakukan apa yang biasa
dilakukan oleh ayah kepada anaknya dan anak kepada
ayahnya yang lama tidak bertemu. Mereka saling
memberi salam, berangkulan, berjabat tangan, dan lain
sebagainya. Ibrahim menyampaikan perintah Allah
kepadanya, agar membangun Baitul Haram dan bahwa
Dia memerintahkan Ismail untuk membantunya. Maka
Ismail bersegera melaksanakan perintah Allah. Ibrahim
membangun Baitullah dengan bantuan Ismail. Sambil
membangun keduanya berdoa, "Ya Tuhan kami,
terimalah dari kami (amal kebaikan kami).
Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha
mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 127)
VERSI TAURAT
Kisah ini terdapat di dalam Taurat. Akan tetapi, kamu
tidak akan mendapatkan penjelasan dan perincian
seperti yang ada di dalam hadis. Jika kamu membaca
kisah Taurat dengan kacamata hadis, maka kamu akan
menemukan bagaimana hadis membenarkan riwayat
Taurat dan membongkar penyelewengan dan
penggubahan yang menimpa kisah ini sepanjang masa.
Kisah ini tertulis dalam Ishah 16 dan Ishah 21 dalam
Safar Takwin. Nashnya adalah, "Saray istri Abram9 belum
8 Taurat adalah kitab yang diturunkan kepada Musa. Ia telah mengalami
banyak penyimpangan, dan sisa-sisanya terdapat di dalam kitab yang diberi
nama Taurat di kitab-kitab lima yang pertama, yang dinamakan dengan nama
syariat. Orang-orang Yahudi yang menulisnya telah banyak melakukan
penambahan dan semuanya mereka beri nama Taurat dengan perselisihan di
antara mereka, mana yang diterima dan mana yang ditolak.
kunjung melahirkan anak. Dia memiliki hamba sahaya
dari Mesir bernama Hajar. Saray berkata kepada Abram,
"Tuhan belum mengizinkanku untuk melahirkan.
Menikahlah dengan hamba sahayaku. Mudah-mudahan
aku mempunyai anak darinya." Abram mendengar ucapan
Saray. Maka Saray, istri Abram, mengambil hamba
sahayanya, Hajar Al-Misriyah, setelah sepuluh tahun
berlalu sejak Abram tinggal di bumi Kan'an. Saray
memberikan Hajar kepada Abram, suaminya, agar
memperistrinya. Maka Abram melakukannya dan Hajar
hamil.
Manakala Saray melihat Hajar hamil, dia merasa rendah
di depan matanya. Saray berkata kepada Abram,
"Kedzalimanku atasmu.
Aku memberikan hamba
sahayaku kepadamu. Ketika aku melihatnya hamil, aku
merasa rendah di matanya. Semoga Allah memutuskan
antara diriku dengan dirimu."
Abram berkata kepada Saray, "Itu dia hamba sahayamu
di tanganmu. Lakukanlah apa yang menurutmu baik di
matamu." Maka Saray menghinakannya dan Hajar
minggat dari sisinya.
Malaikat Tuhan mendapatkan Hajar di tanah lapang di
sebuah mata air di jalan Syur. Malaikat bertanya, "Wahai
Hajar hamba sahaya Saray, dari mana kamu datang dan
kemana kamu pergi?" Hajar menjawab, "Aku minggat dari
sisi majikanku, Saray." Malaikat Tuhan berkata
kepadanya, "Pulanglah kamu kepada majikanmu dan
tunduklah di bawah kekuasaannya."
9 Saray adalah nama Sarah sebelumnya, dan Abram adalah nama Ibrahim
sebelumnya. Taurat menyatakan bahwa pergantian kedua nama itu dengan
perintah Allah.
Malaikat Tuhan berkata kepada Hajar, "Semoga
keturunanmu banyak hingga tidak terhitung." Malaikat
Tuhan berkata kepadanya, "Inilah kamu yang sekarang
hamil. Kamu akan melahirkan anak laki-laki. Kamu
memanggil namanya Ismail. Sesungguhnya Tuhan telah
mendengar kesengsaraanmu. Anakmu akan menjadi
orang kuat.
Tangannya di atas setiap orang dan tangan
setiap orang di atasnya, dan di depan seluruh
saudaranya, dia tenang."
Lalu Hajar memanggil nama Tuhan yang berbincang
dengannya, "Engkau adalah il Raay," karena dia berkata,
"Apakah di sini juga saya melihat setelah melihat, oleh
karena itu sumurnya diberi nama sumur kaum Raay,
inilah sumur itu di antara Qadisy dan Barid." Lalu Hajar
melahirkan anak laki-laki Abram. Abram memanggil
anaknya yang dilahirkan oleh Hajar dengan nama Ismail.
Pada saat Hajar melahirkan Ismail, umur Abram adalah
86 tahun.
Dalam Ishah 21 dalam Safar Takwin tertulis:
"Sarah melihat putra Hajar Al-Misriyah sedang bergurau,
Sarah berkata kepada Ibrahim, 'Usirlah wanita itu dan
anaknya, karena putra wanita hamba sahaya itu tidak
berhak atas warisan di depan anakku Ishaq." Ucapan
yang sangat buruk dalam pandangan Ibrahim karena
anaknya. Lalu Allah berfirman kepada Ibrahim, "Jangan
menjadi buruk di matamu hanya karena anak laki-laki
dan hamba sahayamu dalam segala ucapan Sarah
kepadamu. Dengarkanlah ucapannya, karena kamu
dianggap memiliki keturunan melalui Ishaq. Dan putra
hamba sahayamu itu akan Aku jadikan sebagai umat,
karena dia adalah keturunanmu."
Pada pagi harinya Ibrahim bersiap-siap. Dia membawa
roti dan kantong air lalu memberikannya kepada Hajar
dengan meletakkan keduanya di pundak Hajar yang
menggendong anak dan memerintahkannya pergi. Hajar
pergi dan tersesat di daratan sumur tujuh. Ketika air
yang di kantong telah habis, Hajar meninggalkan
anaknya di bawah sebuah pohon.
Hajar menjauh dan
duduk membelakanginya sejauh lemparan busur. Dia
berkata, "Aku tidak mau melihat kematian anak." Hajar
duduk membelakanginya dan menangis dengan keras.
Lalu Allah mendengar suara anaknya dan Malaikat Allah
memanggil Hajar dari langit. Dia berkata kepadanya,
"Ada apa denganmu, wahai Hajar? Jangan takut, karena
Allah telah mendengar suara anakmu seperti adanya.
Bangkitlah, bawalah anakmu, kuatkan tanganmu
padanya, karena aku akan menjadikannya umat yang
besar." Dan Allah membuka kedua mata Hajar maka dia
melihat sumur air. Dia mendekatinya dan memenuhi
kantongnya dengan air dan memberi minum anaknya.
Allah bersama anak itu, hingga dia menjadi besar dan
tinggal di daratan. Dia tumbuh menjadi seorang
pemanah. Dia tinggal di daratan Faran dan ibunya
menikahkannya dengan seorang wanita dari Mesir."
KOMENTAR MENYANGKUT KISAH DALAM TAURAT
Ada beberapa poin dalam kisah ini yang benar karena
sesuai dengan pemberitaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam dalam hadis yang kami sebutkan dan hadis-
hadis lainnya. Di antaranya, bahwa Sarah memberikan
hamba sahayanya Hajar kepada Ibrahim dengan harapan
agar Ibrahim bisa memperoleh anak darinya dan Hajar
hamil setelah Ibrahim menikahinya; bahwa Hajar
menjadi percaya diri ketika dia hamil, sementara
majikannya menjadi turun pamornya di matanya; bahwa
Sarah marah terhadap Hajar yang kemudian minggat dari
hadapannya; bahwa Sarah meminta Ibrahim untuk
mengusir Hajar dan putranya, sehingga Ibrahim
mengeluarkan Hajar ke daratan dengan dibekali sedikit
makanan dan kantong air; bahwa Hajar bersedih ketika
airnya habis; dan bahwa Malaikat Tuhan turun dan
menenangkannya serta memberitahukan tempat air
kepadanya.
Tidaklah benar apa yang disebutkan dalam kisah Taurat
bahwa Ibrahim memberi Hajar sekantong air dan
makanan dan memintanya membawanya, dan bahwa
Hajar pergi tak tentu arah di daratan tersebut. Yang
benar adalah seperti yang tercantum di dalam hadis,
bahwa Ibrahim membawa sekantong air dan tempat
bekal berisi kurma dan dia meninggalkan Hajar beserta
anaknya di sebuah lembah tandus di Baitullah Al-Haram.
Apa yang disebutkan di dalam hadis tentang keadaan
Hajar, habisnya air, sa'i Hajar di antara Shafa dan
Marwah, datangnya Jibril yang memancarkan air, dan
perincian-perincian lain tidaklah disinggung dalam
Taurat. Apa yang disebutkan dalam Taurat tidaklah
secermat dan sejelas seperti dalam hadis.
Tidak benar kalau Sarah menyuruh Ibrahim mengusir
Ismail ketika dia melihatnya bergurau, dan bahwa Sarah
menolak Ismail menjadi ahli waris bersama Ishaq
anaknya. Karena, pada saat Ismail dibawa oleh bapaknya
ke Makkah, ia masih seorang bayi yang menyusu dan
belum sampai pada umur yang memungkinkan untuk
bergurau.
Adapun Ishaq, dia pada saat itu belum
dilahirkan.
Apa yang disebutkan dalam Taurat bahwa Ibrahim
menggauli Hajar setelah sepuluh tahun dari tinggalnya
di bumi Kan'an; bahwa minggatnya Hajar dari Sarah
adalah ke mata air di jalan Syur, dan Malaikat meminta
agar Hajar kembali kepada Sarah dan patuh kepadanya;
dan bahwa Ibrahim pada waktu Ismail lahir berumur 86
tahun; semua itu Allah lebih mengetahui kebenarannya.
PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADIS
1. Kisah ini mengandung banyak informasi dan fakta
yang tidak mungkin kita ketahui seandainya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak
memberitahukannya kepada kita. Informasi-informasi
berharga tentang nenek moyang yang mulia, tentang
tumbuhnya kota suci, tentang pembangunan Baitul
Atiq, dan lain sebagainya.
2. Ketaatan Ibrahim kepada perintah Allah agar
membawa istri dan anaknya ke tempat itu, walaupun
perkaranya sedemikian sulit atas dirinya. Seorang
hamba bisa jadi membenci sesuatu, sementara
kebaikan tersimpan di dalamnya; dan dia bisa jadi
menyukai sesuatu, padahal itu buruk baginya.
3. Allah menjaga dan melindungi para walinya
sebagaimana Dia telah menjaga Hajar dan Ismail
manakala Ibrahim meninggalkannya di tempat itu.
4. Berserah diri kepada perintah Allah tidak menafikan
usaha seorang hamba dalam perkara yang
mengandung kebaikannya. Hajar mencari sesuatu
yang bisa menjaga kelangsungan hidupnya dan hidup
putranya, walaupun dia berserah diri kepada
perintah Allah.
5. Kemampuan Allah mengeluarkan air dari batu yang
tuli, seperti Dia mengeluarkan air Zamzam.
6. Perhatian dan nasihat bapak kepada anak tentang
sesuatu yang menurutnya baik bagi anaknya. Ibrahim
selalu mengunjungi anaknya untuk mengetahui
kondisi dan keadaannya dan mengarahkan kepada
sesuatu yang baik baginya.
7. Ngedumel karena minimnya rizki dan sulitnya hidup
bukan termasuk akhlak orang-orang shalih. Ibrahim
membenci sifat ngedumel dari istri Ismail akan
beratnya kehidupannya bersama Ismail. Sebaliknya,
sabar atas minimnya bekal dan sikap syukur atas
nikmat Allah termasuk akhlak orang-orang shalih.
Oleh karena itu, Ibrahim memuji istri Ismail yang
ridha dan bersyukur.
8. Doa orang shalih agar makanan dan minuman
menjadi berkah, sebagaimana Ibrahim mendoakan
daging dan air bagi penduduk Makkah agar menjadi
berkah.
9. Menampakkan perasaan bahagia dan senang pada
waktu bertemu orang yang dicintai.
Mengungkapkannya dengan sikap seperti yang
dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail ketika keduanya
bertemu.
10. Ismail adalah seorang pemanah yang mahir dan
pemburu yang ahli. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam bersabda kepada sahabat-sahabatnya, "Wahai
Bani Ismail, panahlah karena bapak kalian adalah
seorang pemanah."10
11. Saling tolong menolong di antara anggota keluarga
dalam berbuat kebaikan, sebagaimana Ismail
membantu bapaknya membangun Ka'bah.
12. Bakti Ismail kepada bapaknya. Dia taat kepada
ayahnya untuk menceraikan istri pertamanya dan
menahan istri keduanya. Jika ayah yang meminta
mentalak istri dengan pertimbangan-pertimbangan
Islamiah seperti Ibrahim, maka anak tidak boleh
menolak.
13. Ismail adalah bapak orang Arab Musta'ribah, yaitu
Arab Hejaz. Adapun kabilah–kabilah Himyar, yaitu
Yaman, maka mereka kembali kepada Qahthan.
Orang-orang Arab sebelum Ismail dikenal dengan
sebutan orang Arab Aribah, dan mereka terdiri dari
banyak kabilah. Di antara mereka adalah Ad,
Tsamud, Jurhum, Thasm, Jadis dan Qahthan.
Kebanyakan dari mereka telah binasa dan punah.11
Dalam hadis shahih disebutkan bahwa Ismail adalah
orang pertama yang mengucapkan bahasa Arab
dengan lisan yang jelas ketika dia berumur empat
belas tahun.12
14. Koreksi Al-Qur'an dan hadis yang shahih terhadap
kesalahan dan penyimpangan Taurat.
10 Diriwayatkan oleh Bukhari di beberapa tempat dalam Shahih-nya. Lihat no.
97 dan 3371.
11 Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir, 1/120, 2/165.
12 Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menisbatkannya kepada Thabrani dan
Dailami, dihasankan oleh Ibnu Hajar, dan dishahihkan oleh Albani dalam
Shahihul Jami', no. 2581.
0 komentar:
Posting Komentar