Pengertian Manajemen Sekolah
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi
sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama,
mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan
inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada
administrasi ( administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang
menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai
fungsi yang sama, yaitu:
1. merencanakan (planning),
2. mengorganisasikan (organizing),
3. mengarahkan (directing),
4. mengkoordinasikan (coordinating),
5. mengawasi (controlling), dan
6. mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
1. merencanakan (planning),
2. mengorganisasikan (organizing),
3. mengarahkan (directing),
4. mengkoordinasikan (coordinating),
5. mengawasi (controlling), dan
6. mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Manajemen berbasis sekolah
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan
sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam
pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan
birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan.
Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk
mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang
penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah
pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya.
Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan
pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke
daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang
masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima
di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya.
Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana
pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang
berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai
isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan
keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan
yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar
pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang
terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat
seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih
dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di
beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana
terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen
berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur.
Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah
diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili
pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu
jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi dunia. Tema dari
pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari
empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri
sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi
dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi,
seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya
akan bervariasi di masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap
setting.
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara.
Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah
3. Manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS
MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian
sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah
strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan
pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan
demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah
merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan
secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala
sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak
maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara
lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta
menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas
program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang
berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi
kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS
bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru
dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi
beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut :
1. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
2. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
3. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
1. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
2. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
3. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
4. Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat
(Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan Manajemen sekolah?
(Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan Manajemen sekolah?
Penerapan MBS dalam sistem yang pemerintahan yang masih
cenderung terpusat tentulah akan banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa
penerapan MBS akan sangat sulit jika para pejabat pusat dan daerah masih
bertahan untuk menggenggam sendiri kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke
sekolah. Bagi para pejabat yang haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah ancaman
besar.
MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh
jajarannya lebih banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan keputusan di
tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara
nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara
lain mencakup standar kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah,
standar kepegawaian, standar kualifikasi guru, dan sebagainya. Penerapan
standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini kemudian
dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (dinas pendidikan) dengan melibatkan
sekolah-sekolah di daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah harus lebih
rela untuk memberi kesempatan bagi setiap sekolah yang telah siap untuk
menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah akan tetap tidak
berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah
harus mampu memberikan bantuan jika sekolah tertentu mengalami kesulitan
menerjemahkan visi pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi program-program
pendidikan yang berkualitas tinggi. Pemerintah daerah juga masih bertanggung
jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
Kita belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah, ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.
Dalam rangka penerapan MBS di Indonesia, kantor dinas pendidikan
kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi
pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi
keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit
banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang
diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat,
sedangkan sekolah menentukan sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah
boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran
(buku misalnya), sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan
sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di
semua sekolah.
Di Amerika Serikat, kebanyakan sekolah memiliki apa yang disebut
dewan manajemen sekolah (school management council). Dewan ini beranggotakan
kepala sekolah, wakil orang tua, wakil guru, dan di beberapa tempat juga
anggota masyarakat lainnya, staf administrasi, dan wakil murid. Dewan ini
melakukan analisis kebutuhan dan menyusun rencana tindakan yang memuat tujuan
dan sasaran terukur yang sejalan dengan kebijakan dewan sekolah di tingkat
distrik.
Di beberapa distrik, dewan manajemen sekolah mengambil semua
keputusan pada tingkat sekolah. Di sebagian distrik yang lain, dewan ini memberi
pendapat kepada kepala sekolah, yang kemudian memutuskannya. Kepala sekolah
memainkan peran yang besar dalam proses pengambilan keputusan, apakah sebagai
bagian dari sebuah tim atau sebagai pengambil keputusan akhir.
Dalam hampir semua model MBS, setiap sekolah memperoleh anggaran
pendidikan dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan.
Pemerintah daerah menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang
diperlukan untuk pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya
administrasi dan transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap
sekolah. Alokasi ke setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang
memperhitungkan jumlah dan jenis murid di setiap sekolah.
Setiap sekolah menentukan sendiri pengeluaran anggaran yang
dialokasikan kepada mereka untuk pembayaran gaji pegawai, peralatan, pasok, dan
pemeliharaan. Kemungkinan variasi penggunaan anggaran dalam setiap daerah dapat
terjadi dan tidak perlu disesalkan, karena seragam belum tentu bagus. Misalnya,
di sebagian daerah, sisa anggaran dapat ditambahkan ke anggaran tahun
berikutnya atau dialihkan ke program yang memerlukan dana lebih besar. Dengan
cara ini, didorong adanya perencanaan jangka panjang dan efisiensi.
5. Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika
kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik,
teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam
kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan
anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi
tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan
pelatihan kepemimpinan.
Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut.
1. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
1. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
6. Hambatan Dalam Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam
penerapan MBS adalah sebagai berikut :
1) Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2). Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3). Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4) Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5) Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6). Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak
awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum
penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan
klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua
pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa
saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan
pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan
kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain
menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan
harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan
keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
7. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang berhubungan Prestasi
Belajar Murid
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.
Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi
belajar murid. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya
mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak
penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih
diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh
jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah
diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi
standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasikan
sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen
justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang
ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya
hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka
waktu tidak lama pula.
Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di
sekolah di daerah pingiran kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan
prestasi murid dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika keturunan
Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun,
di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan MBS selama
tiga tahun, prestasi murid di sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai
indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup
banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap
dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang
didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah
seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat
mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa
kepuasan murid sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak
hal setelah diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan
dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan
penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan
pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas
pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika
para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan
saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga
tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih
nyaman dan lebih sedikit murid yang bermasalah.
Namun, survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS
tidak selamanya popular di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru
yang disurvei menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago
telah gagal meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi
responden yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.
Studi-studi terkini (Caldwell & Hayward, 1998; Caldwell
& Spinks, 1998; Fullan & Watson, 2000; Ouchi & Segal, 2003;
Volansky & Friedman, 2003) telah menggarisbawahi pentingnya pembuatan
keputusan setempat yang sejak awal tertuju pada belajar dan mengajar dan
dukungan terhadap belajar dan mengajar, terutama dalam membangun kapasitas staf
untuk mendesain dan menyampaikan kurikulum dan pembelajaran yang memenuhi
kebutuhan siswa, dengan memperhatikan prioritas kebutuhan setempat, termasuk
kemampuan mengidentifikasi kebutuhan dan memonitori keluaran. Juga terlihat
pentingnya membangun kapasitas masyarakat untuk mendukung upaya sekolah. Dengan
kata lain, penerapakn manajemen berbasis sekolah mungkin tidak berdampak pada
belajar kecuali aturan-aturan ini, yang secara umum disebut peningkatan
kapasitas dan pemanfaatan kapasitas, telah berhasil.
Di tingkat makro, studi internasional tentang prestasi siswa
seperti TIMSS dan TIMSS-R dan PISA dan PISA telah mengkonfirmasi pentingnya
keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi, dengan manajemen berbasis
sekolah relatif lebih tinggi sebagai satu unsur desentralisasi, termasuk
pembuatan keputusan lokal menyangkut masalah personel, profesionalisme,
monitoring keluaran, dan membangun dukungan masyarakat.
Hal-hal di atas mencerminkan pentingnya modal intelektual dan
modal sosial dalam membangun satu sistem sekolah yang mengelola diri sendiri.
(self-managing school). Membangun modal intelektual merupakan contoh
pengembangan kapasitas, yang dibahas lebih rinci pada proposisi 11. Modal
sosial merujuk pada membangun hubungan yang saling mendukung di antara sekolah,
rumah, masyarakat, lembaga keagamaan, dunia usaha dan industri, dan lembaga
lain di sektor publik dan swasta.
Pengalaman menunjukkan bahwa, batapapun kuatnya kehendak
strategis, diperluan waktu betahun-tahun agar pergeseran dalam keseimbangan
antara sentralisasi dan desentralisasi memungkinkan desentralisasi berdampak
pada keluaran. Ini merupakan pengesahan satu legislasi untuk pergeseran kewenangan,
otoritas, tanggung jawab, dan pengaruh dari satu tingkat ke tingkat lain
pergeseran itu merupakan perubahan dalam struktur. Pergeseran lain adalah
membangun kapasitas agar diperoleh dampak yang diharapkan dari belajar dan
mengubah kultur di semua tingkat.
Satu implikasi penting adalah, pemimpin sekolah harus memastikan
bahwa dia dan koleganya memperbarui pengetahuan tentang praktik yang baik dalam
peningkatan sekolah, dan bahwa membangun modal sosial dan intelektual merupakan
inti pekerjaan pemimpin senior di sekolah
Dalam praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa
banyak kelemahan MBS dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya
MBS diterapkan sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya
dikendalikan oleh kepala sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak
berperan. Pola lama di mana administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru
mengajar, dan orang tua mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang
tertanam kuat ini sukar ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak
disiapkan dengan baik, mereka seringkali sangat bingung dan cemas untuk
mengemban tanggung jawabnya yang baru.
Ada juga Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar
kegiatan pembelajaran. Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah
cenderung memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti
penghargaan dan pendisiplinan murid ketimbang pada pengajaran dan kurikulum.
Selain itu, ada pula indikasi bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih
berminat dengan hal-hal teknis administratif dengan mengorbankan aspek
pembelajaran. Dengan kata lain, peran kepemimpinan pendidikannya diabaikan.
Namun, kekurangpedulian terhadap proses pembelajaran di dalam
kelas bukanlah penyakit bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena
tidak berhasil mendongkrak skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan
untuk melakukan hal itu. Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa
wewenang pendidikan sebagian besar telah didelegasikan kepada orang tua dan
anggota masyarakat lainnya. Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya
dampak atas suatu reformasi pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang
telah porak-poranda oleh seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan,
dan kemiskinan.
8. Bagaimana Agar MBS Meningkatkan Prestasi Belajar ?
MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung jawab atas kinerja mereka.
MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung jawab atas kinerja mereka.
Penerapan MBS yang efektif seyogyanya dapat mendorong kinerja
kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid.
Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan
berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan
multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan
taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan
memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.
Pertanyaannya, sudahkan daerah siap melaksanakan MBS? Penulis
khawatir tidak banyak daerah di Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS.
Masih terlalu banyak hambatan yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar
menetapkan MBS sebagai model untuk melakukan perubahan.
Manajemen berbasis sekolah telah menimbulkan perdebatan karena berbagai
kekuatan pendorong telah membentuk kebijakan, dan kekuatan-kekuatan ini telah
tercermin atau diduga mencerminkan preferensi politik atau orientasi ideologi.
Manajemen berbasis sekolah yang digerakkan oleh kepedulian terhadap
pemberdayaan masyarakat dan peningkatan profesi sering diasosiasikan dengan
pemerintahan Pusat. Manajemen berbasis sekolah telah digerakkan oleh
kepentingan untuk memberikan kebebasan yang lebih besar atau lebih banyak diferensiasi
sering diasosiasikan dengan pemerintahan Daerah, Manajemen berbasis sekolah
yang telah digerakkan, dimana manajemen berbasis sekolah sering dipandang
sebagai manifestasi dari upaya menciptakan satu pasar di antara sekolah dalam
sistem pendidikan umum.
Manajemen berbasis sekolah sering menimbulkan perdebatan pada tahap-tahap awal
pengadopsian, tetapi ia terus diterima setelah beberapa waktu, sedemikian rupa
sehingga hanya sedikit pemangku kepentingan ingin kembali pada pendekatan yang
lebih sentralistik dalam mengelola sekolah.
Akan tetapi ada pengecualian penting, terutama mengenai kasus di Hong Kong –
Cina. School Management Initiative (SMI) merupakan inisitatif manajemen
berbasis sekolah mulai awal 1990-an. Tetapi pelaksanaannya lambat, terutama
pada sektor yang dibantu, dimana banyak orang berpendapat bahwa SMI menghambat
ketimbang memberdayakan. Leung (2003) menyimpulkan bahwa “tujuan reformasi
desentralisasi oleh pemerintah adalah memperkuat kendali dan memastikan mutu
pendidikan melalui teknik-teknik manajemen. Yaitu bahwa ‘mutu’ diartikan dalam
hal penggunaan sumber daya yang lebih efisien, asesmen keluaran (outcome),
indikator kinerja, dan evaluasi eksternal. Bukan pembagian kewenangan ataupun
pemberdayaan stakeholder menjadi tujuan”. Reformasi tetap menjadi perdebatan di
Hong Kong.
Dalam analisis terakhir, meskipun ada kekuatan pendorong yang lain, kriteria
kritis untuk menilai efektivitas reformasi yang mencakup manajemen berbasis
sekolah adalah sejauh mana manajemen berbasis sekolah mengarah pada atau
berhubungan dengan pencapaian hasil belajar yang membaik, termasuk prestasi
siswa ke tingkat yang lebih tinggi, bagaimana pun mengukurnya.
Belakangan banyak terjadi perubahan dalam pandangan bahwa tujuan utama
manajemen berbasis sekolah adalah peningkatan hasil pembelajaran, dan untuk
alasan inilah, kebanyakan pemerintahan memasukkan manajemen berbasis sekolah
dalam kebijakan bagi reformasi pendidikan.
Satu implikasi penting adalah bahwa pemimpin sekolah harus memastikan bahwa
perhatian masyarakat sekolah (termasuk tenaga kependidikan) tidak hentinya
difokuskan pada hasil belajar siswa, dan ini harus menjadi kepedulian utama
meskipun makna manajemen berbasis sekolah sangat sering menimbulkan perdebatan.
Para pengeritik sering mengutip temuan ini. Akan tetapi banyak dari penelitian
terdahulu hanya mengambil informasi atau opini dari sistem dimana dampak dari
keluaran tidak pernah menjadi tujaun utama, atau bahkan tujuan kedua.
Hal ini terutama berlaku bila manajemen berbasis sekolah diimplementasikan sebagai
satu strategi untuk membongkar birokrasi pusat yang besar, mahal, dan tidak
responsif atau sebagai satu strategi untuk memberdayakan masyarakat dan
profesional. Bahkan ketika dampak atas keluaran menjadi tujuan utama, sulit
menarik kesimpulan terhadap dampak karena database tentang prestasi siswa
lemah.
Satu telaah terhadap penelitian (Caldwell, 2002) menunjukkan bahwa telah ada
tiga generasi studi, dan justeru pada studi generasi ketiga bahwa bukti dampak
pada hasil ditemukan, tetapi hanya bila kondisi-kondisi tertentu dipenuhi.
Generasi pertama adalah saat di mana dampak atas hasil tidak menjadi tujuan
utama atau kedua. Generasi kedua adalah ketika dampak menjadi tujuan utama atau
kedua tetapi database lemah. Ketiga, muncul pada akhir 1990-an dan dengan
mengumpulnya momentum awal 2000-an, yang berbarengan dengan kepedulian terhadap
hasil belajar dan pengembangan database yang kuat.
Satu implikasi penting adalah, para pemimpin sekolah harus sadar bahwa
manajemen-diri tidaklah selalu berdampak pada hasil belajar siswa dan mereka
harus melakukan setiap upaya untuk menjamin bahwa ada mekanisme untuk
menghubungkan manajemen dengan beberapa area dalam pelaksanaan sekolah.
Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu
pendidikan ternyata sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan negatif.
Ada yang kosong-kosong. Ada pula yang positif.
Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a)
dengan 83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap
mutu pendidikan ternyata negatif, “there is virtually no firm”. Fullan (1993)
juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. “There is also no doubt that
evidence of a direct cause-and-effect relationship between self-management and
improved outcomes is minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat
hubungan antara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal.
Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait
dengan kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”.
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”.
Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif
terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap keberhasilan sekolah. Hasil
penelitan William (1997) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa
“the increase decision-making power of principals has allowed them to introduce
innovative programs and practices”. Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam
pengambilan keputusan telah membuat memperkenalkan program dan praktik
(penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif. Geoff Spring, arsitek reformasi di
Australia Selatan dan Victoria menyatakan bahwa “school-based management has
led to higher student achievement” De Grouwe (1999).
Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler
(1998) menyatakan bahwa “enhanced community and parental involvement in EDUCO
schools has improved students’ language skills and diminished absenteeism”.
Jemenez dan Sawada (1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orangtua
siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.
9. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
1. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3. Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
1. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3. Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
Kesimpulan.
Satu cara yang berguna dalam menyimpulkan adalah melihat
tantangan sebagai satu cara menciptakan suatu jenis sistem pendidikan baru yang
sesuai abad ke-21. Kita membutuhkan sistem-sistem baru yang terus-menerus mampu
merekonfigurasi kembali dirinya untuk menciptakan sumber nilai publik baru. Ini
berarti secara interaktif menghubungkan lapisan-lapisan dan fungsi tata kelola
yang berbeda, bukan mencari cetak biru (blueprint) yang statis yang membatasi
berat relatifnya.
Pertanyaan mendasar bukannya bagaimana kita secara tepat dapat
mencapai keseimbangan yang tepat antara lapisan-lapisan pusat, regional, dan
lokal atau antara sektor-sektor berbeda: publik, swasta, dan sukarela. Justeru,
kita perlu bertanya Bagaimana suatu sistem secara keseluruhan menjadi lebih
dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya ?. (Bentley & Wilsdon, 2004).
Secara sederhana dikatakan, manajemen berbasis sekolah bukanlah
“senjata ampuh” yang akan menghantar pada harapan reformasi sekolah. Bila
diimplementasikan dengan kondisi yg benar, ia menjadi satu dari sekian strategi
yang diterapkan dalam pembaharuan terus-menerus dengan strategi yang melibatkan
pemerintah, penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu sistem sekolah.
Referensi
Caldwell, B. J. (2002). Autonomy and self-management: Concepts and evidence. In Bush, T., & Bell, L. (Eds.), The Principles and Practice of Educational Management’ (pp. 21-40 ). London: Paul Chapman Publishing.
Bentley, T. & Wilsdon, J. (2004). The Adaptive State: London: Demos.
Caldwell, B. J., & Hayward, D. K. (1998). The Future of Schools: Lessons from the Reform of Public Education. London: Falmer Press.
Caldwell, B. J., & Spinks, J. M. (1998). Beyond the Self-Managing School. London: Falmer Press.
Fullan, M., & Watson, N. (2000). School-based management: Reconceptualizing to improve learning outcomes. School Effectiveness and School Improvement, 11(4), 453-474.
Hargreaves, D. (2003). Education Epidemic. London: Demos.
Jesson, D. (2004). Educational Outcomes andValueAdded by Specialist Schools. London: Specialist Schools Trust.
Leung, Y.H. (2003). The politics of decentralization: A case study of school management reform in Hong Kong. In Mok, K.H. (Ed.), Centralization and Decentralization: Educational Reforms and Changing Governance in Chinese Societies (pp. 21-38). Hong Kong: Comparative Education Research Centre, The University of Hong Kong, & Kluwer Academic Publishers.
LLECE (2002). Qualitative Study of Schools with Outstanding Results in Seven Latin American Countries. Report of the Latin American Laboratory for Assessment of the Quality of Education (LLECE). Santiago: UNESCO.
Ouchi, W. G., & Segal, L. G. (2003). Making Schools Work: A Revolutionary Plan To Get Your Children The Education They Need. New York: Simon & Schuster.
Prime Minister’s Delivery Unit (2003). ‘Key Stage 4 Priority Review: Final Report’. London: PMDU.
Ross, K. N., & Levacic, R. (Eds.). (1999). Needs-Based Resource Allocation in Education Via Formula Funding of Schools. Paris: International Institute for Educational Planning, UNESCO.
Volansky, A., & Friedman, I. A. (2003). School-based management: An International Perspective. Israel: Ministry of Education.
American Association of School Administrators, National Association of Elementary
School Principals, and National Association of Secondary School Principals. School-
Based Management: A Strategy for Better Learning. Arlington, Virginia: 1988.
David Peterson, School-Based Management and Student Performance,
Caldwell, B. J. (2002). Autonomy and self-management: Concepts and evidence. In Bush, T., & Bell, L. (Eds.), The Principles and Practice of Educational Management’ (pp. 21-40 ). London: Paul Chapman Publishing.
Bentley, T. & Wilsdon, J. (2004). The Adaptive State: London: Demos.
Caldwell, B. J., & Hayward, D. K. (1998). The Future of Schools: Lessons from the Reform of Public Education. London: Falmer Press.
Caldwell, B. J., & Spinks, J. M. (1998). Beyond the Self-Managing School. London: Falmer Press.
Fullan, M., & Watson, N. (2000). School-based management: Reconceptualizing to improve learning outcomes. School Effectiveness and School Improvement, 11(4), 453-474.
Hargreaves, D. (2003). Education Epidemic. London: Demos.
Jesson, D. (2004). Educational Outcomes andValueAdded by Specialist Schools. London: Specialist Schools Trust.
Leung, Y.H. (2003). The politics of decentralization: A case study of school management reform in Hong Kong. In Mok, K.H. (Ed.), Centralization and Decentralization: Educational Reforms and Changing Governance in Chinese Societies (pp. 21-38). Hong Kong: Comparative Education Research Centre, The University of Hong Kong, & Kluwer Academic Publishers.
LLECE (2002). Qualitative Study of Schools with Outstanding Results in Seven Latin American Countries. Report of the Latin American Laboratory for Assessment of the Quality of Education (LLECE). Santiago: UNESCO.
Ouchi, W. G., & Segal, L. G. (2003). Making Schools Work: A Revolutionary Plan To Get Your Children The Education They Need. New York: Simon & Schuster.
Prime Minister’s Delivery Unit (2003). ‘Key Stage 4 Priority Review: Final Report’. London: PMDU.
Ross, K. N., & Levacic, R. (Eds.). (1999). Needs-Based Resource Allocation in Education Via Formula Funding of Schools. Paris: International Institute for Educational Planning, UNESCO.
Volansky, A., & Friedman, I. A. (2003). School-based management: An International Perspective. Israel: Ministry of Education.
American Association of School Administrators, National Association of Elementary
School Principals, and National Association of Secondary School Principals. School-
Based Management: A Strategy for Better Learning. Arlington, Virginia: 1988.
David Peterson, School-Based Management and Student Performance,
0 komentar:
Posting Komentar