Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324)
Silsilah beliau adalah: ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin ‘Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Bardah bin Abi Musa Al-Asy’ariy.
(Sumber: kitab “Tarikh Baghdad” karangan Al-Khathib Al-Baghdadi, Kitab “Thabaqat Asy-Syafi’iyyah” karangan Ibnu Qadhi Syuhbah).
LAHIR
Dilahirkan di kota Bashrah pada tahun 260 hijriah.
WAFAT
Wafat di Baghdad pada tahun 324 hijriah.
(Sumber: kitab “Tarikh Baghdad” karangan Al-Khathib Al-Baghdadi).
MADZAB FIQIH
Imam Abu Hasan Al-Asy’ari bermadzhab fiqih kepada Madzhab Imam
Syafi’i. Demikian tertulis dalam kitab Al-Habaik Fi Akhbar Al-Malaik
karangan Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Dan Ustadz Abu Ishaq dan Abubakar
al-Furak dalam kitab “Thabaqat Mutakallimin”.
Mungkin juga Imam Abu Hasan Al-Asy’ari bermadzhab fiqih kepada
Madzhab Imam Maliki sebagaimana disebutkan dalam kitab “Hasyiyah
ad-Dusuqiy ‘Ala Ummil Baraahiin Lil Imam Muhammad As-Sanusiy” karangan
Imam Muhammad ad-Dusuqiy.
PERJALANAN DAN PENDIDIKAN
Beliau adalah guru dan Imam Besar dalam ilmu kalam, pembela sunnah
Sayyidil Mursalin, membetulkan ‘aqidah kaum muslimin yang sudah rusak,
berguru ilmu kalam kepada Abi ‘Ali Al-Jabaaiy yang merupakan guru besar
Mu’tazilah. Kemudian Abu Hasan Al-Asy’ari meninggalkan Jabaaiy dan
menjauhkan diri dari Faham Mu’tazilah lalu membongkar kesesatan
Mu’tazilah. Beliau menolak faham Mu’tazilah dan menyusun kitab tentang
kesalahan faham Mu’tazilah. Kemudian, Abu Hasan Al-Asy’ari memasuki
Baghdad dan belajar ilmu hadits dan fiqih pada Syaikh Zakaria As-Saajiy
dan lainnya, hingga Beliau wafat di Baghdad.
Berkata al-Khathib al-Baghdadiy : Abu Hasan Al-Asy’ari
Al-Mutakallimin mempunyai kitab dan karangan yang tidak kurang dari 55
kitab untuk menolak faham mulhidah dan lainnya, yakni faham Mu’tazilah,
Rafidhah, Jahmiyyah, Khawarij, dan seluruh faham bid’ah yang lain.
(Sumber: Kitab “Thabaqat Asy-Syafi’iyyah” karangan Ibnu Qadhi
Syuhbah, Kitab “Abu Hasan Al-Asy’ari Al-Asy’ari” karangan Himad bin
Muhammad al-Anshar)
BERPINDAH DARI FAHAM MU’TAZILAH KEPADA FAHAM AHLUSSUNNAH
Manakala Beliau sudah banyak memiliki ilmu teologi Mu’tazilah laksana
lautan dan telah sampai pada taraf yang diharapkan, Beliau mengajukan
beberapa pertanyaan kepada gurunya, tetapi beliau tidak mendapatkan
jawaban yang memuaskan, sehingga beliau menjadi bingung sendiri.
Beliau bercerita : Setelah peristiwa itu maka pada suatu malam
tiba-tiba jatuh dalam dadaku sesuatu tentang masalah ‘aqidah, maka aku
bangkit dan shalat dua rakaat, serta aku memohon kepada Allah bahwa
diberikan untukku petunjuk kepada jalan yang lurus, lalu aku pun
tertidur, dan dalam tidurku aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam maka aku membuat pengaduan kepada Baginda dari apa yang sedang
menimpa diriku, maka Rasulullah bersabda kepadaku : “Diatasmu adalah
sunnahku” maka aku pun terjaga. Aku hadapkan masalah kalam dengan apa
yang aku dapatkan dalam Al-Qur’an dan hadits, maka aku menetapkannya
(yang aku dapatkan dalam Al-Qur’an dan Hadits) dan aku membuang yang
lainnya kebelakang punggungku.
Sumber: http://dayahdarulkhairat.wordpress.com/2011/03/24/manaqib-abu-hasan-al-asy%E2%80%99ari-260-324/
.
Al Asy’ari (250 – 324 H)
Nama lengkap beliau adalah ‘Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Abul Hasan al Asy’ari, lahir tahun 250 H. di Basrah (Iraq).
Inilah Ulama besar dalam Ilmu Usuluddin, perumus dan pembela faham
Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu faham Nabi, sahabat-sahabat dan tabi’in
yang banyak.
Dalam furu’ syari’at beliau pnganut yang kuat dari Madzhab Syafi’i.
Beliau belajar fiqih kepada Abu Ishaq al Marwadzi, demikian dikatakan
oleh Ustadz Abu Bakar bin Furak pengarang kitab Tabaqatul Mutakallimin,
dan demikian juga dikatakan oleh Ustadz Abu Ishaq al Arfaraini sebagai
yang dinukilkan oleh Syeikh Abu Muhammad al Junaidi dalam kitab Syarah
Risalah.
Abu Hasan al Asy’ari adalah seorang Ulama Besar, ikutan ratusan juta
umat Islam dari dulu sampai sekarang, karena beliau yang menjadi Imam
kaum Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai lawan dari kaum Mu’tazilah, kaum
Syi’ah, kau’m Mujassimah, dan lain-lain firqah yang sesat.
Walaupun beliau seorang Imam Besar dalam usuluddin, tetapi dalam
furu’ syari’at beliau menganut dan mempertahankan Madzhab Syafi’i
Rahimahullah
Sumber: Sejarah dan Keagungan Madzab Syafi’i, karangan KH. Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah, 1994.
.
Dengan wajah sayu, lelaki paruh baya itu melangkah
gontai ke masjid jamik Basrah ‘tuk menghadiri Salat Jumat. Wajahnya
tidak dapat menyembunyikan gejolak batin yang sedang menderanya. Lima
belas hari sudah ia menyendiri di rumahnya yang sederhana. Usai
pelaksanaan salat, dengan langkah tegap penuh keyakinan, ia menaiki
mimbar masjid. Ia pandangi seluruh penjuru masjid, lalu dengan lantang
ia berkata, “aku bertobat atas apa yang telah aku yakini selama ini.
Dan, aku nyatakan keluar dari Mu‘tazilah seperti halnya aku lepas baju
ini!” serentak ia mencopot baju yang ia kenakan. Kontan seluruh hadirin
kaget. Betapa tidak, lelaki yang berdiri di depan mereka itulah yang
digadang-gadang menjadi salah satu generasi emas kelompok Mu‘tazilah
(Rasionalis) kala itu. Tak pelak, keputusan mengejutkan ini menjadi
topik hangat setiap pembicaraan di seluruh sudut kota Basrah. Penduduk
Basrah pun mulai mencoba mereka-reka alasan lelaki itu hengkang dari
kelompok ini. Mereka semua mafhum kalau sejak kecil, ia memang
dipersiapkan untuk membentengi kelompok rasionalis ini. Tak ada yang
mengira kalau lelaki hebat ini kelak justru menyerang dan membleteti
ajaran-ajaran kelompok yang membesarkannya.
Keturunan Abu Musa al-Asy‘ari
Lelaki yang bernama lengkap Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin
Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa
al-Asy‘ari ini dilahirkan di Basrah pada tahun 260 H.
Namanya dinisbatkan pada Abu Musa al-Asy‘ari, seorang Sahabat Nabi yang
juga salah satu juru runding kubu Ali bin Abi Thalib dalam perundingan
Ali-Muawiyah usai perang Shiffin.
Sejak kecil, ia memang dikenal cerdas dan terampil. Pada awalnya, ia
adalah pengikut setia aliran Mu‘tazilah. Ia berguru pada Abu Ali
al-Jubba’i, seorang pemimpin Mu‘tazilah di Basrah. Ia mempelajari aliran
ini hingga mencapai tingkatan atas dalam mengkaji ajarannya. Hingga tak
jarang ia menggantikan guru-gurunya untuk memberi ceramah dan
menghadiri perdebatan-perdebatan ilmiah. Pada masa itu ia banyak
mengarang kitab yang membela dan mem-back-up ajaran Mu‘tazilah.
Aktifitas itu ia lakukan hingga umur 40 tahun.
Untuk membekali ilmu agamanya, ia belajar fikh pada Abu Ishaq al-Marwazi. Yang kelak gurunya ini belajar Ilmu Kalam kepadanya.
Spekulasi Perpindahan dari Mu‘tazilah
Setelah 40 tahun menganut aliran Mu‘tazilah, ia akhirnya hengkang dari
kelompok itu. Banyak kalangan yang mulai menebak-nebak alasan
al-Asy‘ari. Ada beberapa opini publik yang mengemuka kala itu tentang
alasan al-Asy‘ari menarik diri dari Mu‘tazilah. Di antaranya, 1) beliau
bermimpi bertemu Nabi Muhammad saw. Dalam mimpinya Nabi memerintahkannya
untuk kembali ke aliran yang sesuai dengan sunnah Nabi; 2) al-Asy‘ari
tidak puas terhadap jawaban dan penjelasan gurunya, al-Jubba’i, dalam
berbagai perdebatan tentang masalah keagamaan; 3) dia menilai bahwa
ajaran Mu‘tazilah tidak dapat diterima oleh mayoritas umat Islam yang
cenderung memilih sederhana dalam pemikiran; 4) al-Asy‘ari kalah
bersaing dengan Abu Hasyim (putra al-Jubba’i) untuk menggantikan posisi
al-Jubba’i sebagai tokoh Mu‘tazilah di Basrah.
Keilmuannya Setelah Beralih Madzhab
Setelah mengubah jalur akidahnya, ia mulai mengajar di masjid jamik
Basrah. Tak hanya mengajar, ia juga menjawab semua permasalahan akidah
yang datang dari berbagai pelosok daerah. Ia juga kembali menulis
beberapa kitab. Sebanyak 55 judul kitab yang sudah ia karang. Semua
karangannya ia kupas tuntas dalam kitabnya, al-Amd. Ia juga membantah
teori-teori Aristoteles dalam kitabnya al-Samâ’ wa al-‘Âlam.
Lewat beberapa kitabnya, ia menentang tokoh-tokoh Mu‘tazilah seperti al-Jubba’i, al-Balkhi, al-Iskafi, Abi al-Hazil, Abi Hasyim, Wara’, dan lainnya. Bahkan ia mengarang kitab yang mengkritik dirinya sendiri ketika masih beraliran Mu‘tazilah.
Lewat beberapa kitabnya, ia menentang tokoh-tokoh Mu‘tazilah seperti al-Jubba’i, al-Balkhi, al-Iskafi, Abi al-Hazil, Abi Hasyim, Wara’, dan lainnya. Bahkan ia mengarang kitab yang mengkritik dirinya sendiri ketika masih beraliran Mu‘tazilah.
Selain itu, Ia juga dikenal sebagai seorang sejarawan tentang
perkembangan akidah Islam. Kemampuannya dalam mengurai sejarah bisa
dilihat dalam kitabnya, Maqâlât al-Islâmîyîn. Yang cukup mengagumkan, ia
juga seorang yang punya kemampuan di bidang fikih. Karya fikihnya
antara lain, al-Qiyâs dan al-Ijtihâd. Ia juga meluangkan waktunya untuk
mengarang tafsir yang konon ia karang ketika masih beraliran Mu‘tazilah.
Dia sering berdebat melawan ulama-ulama Mu‘tazilah mengenai teori-teori
Mu‘tazilah. Dalam berdebat, ia menggunakan senjata yang digunakan
Mu‘tazilah, yaitu akal (rasio). Satu pendekatan ilmiah yang tidak
disukai madzhab Hanbali. Jika melihat arah pemikirannya, sejatinya ia
mengambil jalan moderat antara dua sisi ekstrem; Mu‘tazilah dan pengikut
Ahmad bin Hanbal.
Bahkan dalam satu kesempatan, ia mengaku sebagai pengikut setia Ibnu
Hanbal. Dalam salah satu tulisannya, ia berkata, “Ucapan kami yang
terucapkan dan agama yang kami anut berpegang teguh pada Kitabullah,
sunnah Nabi-Nya, riwayat Sahabat, Tabi’in, dan ahli Hadis. Kami sangat
memegang teguh hal-hal tersebut, serta apa yang disampaikan Ibnu Hanbal.
Orang-orang yang menentang pendapatnya menjauh, karena dia adalah imam
yang memiliki kelebihan, kesempurnaan, dan diberi kebenaran oleh Allah
ketika muncul kesesatan”
Pokok-Pokok Pemikiran Al-Asy‘ari
1.Membenarkan teori Mu‘tazilah tentang berbagai istilah dalam al-Quran
seperti Yadul-lâh dan Wajhul-lâh yang menurutnya tidak harus digambarkan
bahwa Allah memiliki tangan dan wajah.
2.Menentang Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa al-Quran adalah makhluk. Al-Asy‘ari sendiri dengan lantang menegaskan kalau kalamullah itu qadîm. Dengan menyodorkan dalil naqlî dan ‘aqlî dalam kitabnya, al-Luma‘ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Ziyâgh wa al-bida‘ dan al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah.
3.Menentang Mu‘tazilah yang berpandangan bahwa manusia bebas melakukan perbuatan yang diinginkannya (Jabariah/Fatalisme). Sedangkan menurutnya, semua perbuatan baik dan buruk bergantung kepada kehendak Allah yang menciptakan semua perbuatan hamba-Nya.
4.Menentang Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar tidak lagi mukmin dan juga bukan orang kafir. Menurut al-Asy‘ari, ia berada di tengah-tengah antara keduanya. Artinya, Ia tetap muslim tapi diancam dengan siksa neraka.
5.Dalam pandangan al-Asy‘ari, akal tidak memiliki kedudukan seperti yang diyakini Mu‘tazilah. Kelompok ini berpendapat bahwa kekuatan akal sanggup membedakan antara hal yang baik dan yang buruk. Sedangkan menurutnya, wahyu adalah satu-satunya perangkat untuk mengetahui Allah dan syariat-Nya. Akal hanya berguna untuk mengetahui saja, tidak lebih.
2.Menentang Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa al-Quran adalah makhluk. Al-Asy‘ari sendiri dengan lantang menegaskan kalau kalamullah itu qadîm. Dengan menyodorkan dalil naqlî dan ‘aqlî dalam kitabnya, al-Luma‘ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Ziyâgh wa al-bida‘ dan al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah.
3.Menentang Mu‘tazilah yang berpandangan bahwa manusia bebas melakukan perbuatan yang diinginkannya (Jabariah/Fatalisme). Sedangkan menurutnya, semua perbuatan baik dan buruk bergantung kepada kehendak Allah yang menciptakan semua perbuatan hamba-Nya.
4.Menentang Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar tidak lagi mukmin dan juga bukan orang kafir. Menurut al-Asy‘ari, ia berada di tengah-tengah antara keduanya. Artinya, Ia tetap muslim tapi diancam dengan siksa neraka.
5.Dalam pandangan al-Asy‘ari, akal tidak memiliki kedudukan seperti yang diyakini Mu‘tazilah. Kelompok ini berpendapat bahwa kekuatan akal sanggup membedakan antara hal yang baik dan yang buruk. Sedangkan menurutnya, wahyu adalah satu-satunya perangkat untuk mengetahui Allah dan syariat-Nya. Akal hanya berguna untuk mengetahui saja, tidak lebih.
Penganut Ajarannya
Pemikiran-pemikiran al-Asy‘ari banyak diterima oleh semua lapisan umat
Islam, karena sederhana dan tidak terpengaruh filsafat. Perkembangan
alirannya sangat pesat. Hal itu disebabkan dukungan dari pemerintah
dinasti Abbasyiah. Terutama pada masa kekuasaan al-Mutawakkil. Kemampuan
al-Asy‘ari dalam mempertahankan pendapatnya dari serangan lawan juga
membantu penyebaran ajarannya.
Pengikut al-Asy‘ari (lebih dikenal dengan sebutan al-Asyâ‘irah) mengalami tekanan keras pada zaman Buwayhi yang menganut Mu‘tazilah dan Syi‘ah. Namun, dengan kedatangan Bani Saljuk, komunitas ini kembali mendapat dukungan kuat dari pemerintah. Salah satunya dukungan dari menteri yang terkenal kala itu, Nizham al-Mulk (1063-1092). Pendapat-pendapat al-Asy‘ari banyak mendapat dukungan dari tokoh-tokoh besar Islam semisal, al-Ghazali, Abu Bakar Muhammad al-Baqillani, al-Isfirayaini, al-Qusyairi, al-Juwaini, dan as-Sanusi. Bahkan, dalam Ihya’, al-Ghazali menulis, “Jika anda mendapati kata ahlussunnah wal Jamaah, maka yang dimaksud adalah pengikut al-Asy‘ari dan al-Maturidi.”
Pengikut al-Asy‘ari (lebih dikenal dengan sebutan al-Asyâ‘irah) mengalami tekanan keras pada zaman Buwayhi yang menganut Mu‘tazilah dan Syi‘ah. Namun, dengan kedatangan Bani Saljuk, komunitas ini kembali mendapat dukungan kuat dari pemerintah. Salah satunya dukungan dari menteri yang terkenal kala itu, Nizham al-Mulk (1063-1092). Pendapat-pendapat al-Asy‘ari banyak mendapat dukungan dari tokoh-tokoh besar Islam semisal, al-Ghazali, Abu Bakar Muhammad al-Baqillani, al-Isfirayaini, al-Qusyairi, al-Juwaini, dan as-Sanusi. Bahkan, dalam Ihya’, al-Ghazali menulis, “Jika anda mendapati kata ahlussunnah wal Jamaah, maka yang dimaksud adalah pengikut al-Asy‘ari dan al-Maturidi.”
Wafat
Setelah berjuang keras mempertahankan
pendapat-pendapatnya, akhirnya pada tahun 324 H, ia meninggal dunia dan
dimakamkan di Baghdad. Pusaranya berdekatan dengan pusara Imam Ahmad.
Setelah meninggal, banyak yang memperdebatkan perihal mazhab fikihnya.
Tapi dalam kitab al-Thabaqât ditegaskan bahwa al-Asy‘ari adalah
bermadzhab Syafii.
Ya Allah, curahkan dan limpahkanlah keridhoan
atasnya dan anugerahilah kami dengan rahasia-rahasia yang Engkau simpan
padanya, Amin
0 komentar:
Posting Komentar