Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

wibiya widget

My Blog List

flag counter

daftar menu

Loading...
Tag this on nabtag

twiter

Recent Comments

google seacrh


  • Web
  • alwafaalmuttaqiin
  • buku tamu

    google translite


    clock

    Voting

    My Ballot Box
    Bagaimana Menurutmu blog ku ni ?







    wibiya widget

    Kamis, 19 Januari 2012

    SYIRKAH,MUDHAROBAH , MUSAQAH, DAN MUZARA’AH

    SYIRKAH,MUDHAROBAH , MUSAQAH, DAN MUZARA’AH

    A.Pendahuluan
    Strategi keuangan Nabi Muhammad s.a.w. bertujuan pemanfaatan sumberdaya keuangan untuk mendukung bisnis, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Strategi keuangan ini mencakup penghapusan riba, spekulasi (gharar) dan perjudian (maisir) dalam semua transaksi, peningkatan kekayaan dan pemerataan distribusi pendapatan serta pencapaian masyarakat yang sejahtera dibawah perlindungan Allah SWT. Prinsip transaksi bisnis tersebut meliputi prinsip bagi hasil, prinsip jual beli, prinsip kepercayaan, prinsip sewa dan prinsip kebajikan.

    B. Prinsip Bagi Hasil
    Prinsip bagi hasil (Profit and Loss Sharing) mencakup musyarakah, mudharabah, muzara’ah dan musaqah. Prinsip bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah sudah ada sebelum datangnya Islam. Di Timur Tengah Pra-Islam, kemitraan-kemitraan bisnis yang berdasarkan atas konsep mudharabah berjalan berdampingan dengan konsep sistem bunga sebagai cara membiayai berbagai aktivitas ekonomi (Crone, 1987; Kazarian, 1991; Cizaka, 1995).
    Teknik kemitraan bisnis, dengan menggunakan prinsip mudharabah, dipraktekkan sendiri oleh Nabi Muhammad saw. Ketika bertindak sebagai mudharib (wakil atau pihak yang dimodali) untuk istrinya Khadijah. Sementara Khalifah yang kedua, Umar bin Khattab, menginvestasikan uang anak yatim pada para saudagar yang berdagang di jalur perdagangan antara Madinah dan Irak.
    Kemitraan bisnis berdasarkan bagi-hasil (profit-and-loss sharing) yang sederhana semacam ini berlanjut dengan bentuk yang sama sekali tidak berubah selama beberapa abad, tetapi tidak berkembang menjadi sarana investasi berskala luas yang membutuhkan pengumpulan dana besar-besaran dari banyak penabung perorangan, meskipun menurut mazhab Hanafi, bisa saja memperluas kemitraan mudharabah dengan mengikuti bentuk sederhana seperti itu. Perkembangan tidak terjadi sampai bermunculannya institusi-institusi keuangan Islam (Algaoud dan Lewis,2001, 14-15).






    Masjid Nabawi di Madinah
    1. Musyarakah (Syirkah)
    Syirkah atau syarikah atau musyarakah merujuk pada kemitraan dua orang atau lebih. Al Qur’an menggunakan akar kata sy-r-k sebanyak 170 kali, walaupun tidak ada yang menggunakan istilah musyarakah yang mempunyai arti kemitraan dalam suatu kongsi bisnis. Namun demikian, surat berkait erat dengan musyarakah adalah An Nisaa’ ayat 12 : ...Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersyarikat dalam yang sepertiga itu. Demikian pula surat Shaad ayat 24 : .... Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh....
    Rasulullah s.a.w. melakukan kemitraan (syirkah) dalam berbisnis. Dari As-Saib bin Syuraik, dia berkata : ”Aku mendatangi Rasulullah s.a.w.,lalu para sahabat menyanjungku. Rasulullah s.a.w. kemudian bersabda :”Aku lebih tahu daripada kalian tentang dirinya (Saib)”. Aku berkata : ”Engkau benar, demi bapak dan ibuku engkau adalah mitra usahaku dan engkau adalah sebaik-baik mitra, engkau tidak membujuk dan tidak membantah (Abu Daud). Demikian pula dari Abu Hurairah r.a., ia berkata : ”Rasulullah s.a.w. bersabda : Allah azza wa jalla berfirman : Aku adalah ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah seorang dari keduanya tidak mengkhianati sahabatnya. Apabila ia telah mengkhianatinya, maka Aku keluar dari keduanya (Abu Daud dan Al Hakim).
    a. PENSYARI’ATAN SYIRKAH
    Allah swt berfirman:
    “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS Shaad: 24).
    “Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS An-Nisaa': 12)
    Dari Saib ra bahwa ia berkata kepada Nabi saw, “Engkau pernah menjadi kongsiku pada (zaman) jahiliyah, (ketika itu) engkau adalah kongsiku yang paling baik. Engkau tidak menyelisihku, dan tidak berbantah-bantahan denganku.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1853 dan Ibnu Majah II: 768 no: 2287).
    b. SYIRKAH SYAR’IYAH (BENTUK KONGSI YANG DISYARATKAN)
    Dalam kitabnya, as-Sailul Jarrar III: 246 dan 248, Imam Asy-Syaukani rahimahullah menulis sebagai berikut, “(Syirkah syar’iyah) terwujud (terealisasi) atas dasar sama-sama ridha di antara dua orang atau lebih, yang masing-masing dari mereka mengeluarkan modal dalam ukuran yang tertentu. Kemudian modal bersama itu dikelola untuk mendapatkan keuntungan, dengan syarat masing-masing di antara mereka mendapat keuntungan sesuai dengan besarnya saham yang diserahkan kepada syirkah tersebut. Namun manakala mereka semua sepakat dan ridha, keuntungannya dibagi rata antara mereka, meskipun besarnya modal tidak sama, maka hal itu boleh dan sah, walaupun saham sebagian mereka lebih sedikit sedang yang lain lebih besar jumlahnya. Dalam kacamata syari’at, hal seperti ini tidak mengapa, karena usaha bisnis itu yang terpenting didasarkan atas ridha sama ridha, toleransi dan lapang dada.”
    Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 687 - 689.
    2. Mudharabah
    Mudharabah berasal dari kata dh-r-b, di dalam Al Qur’an terdapat 58 buah, yang mempunyai arti perjalanan atau perjalanan untuk tujuan dagang. Secara istilah, mudharabah merupakan kontrak antara dua pihak, pihak pertama disebut rab al maal (shahibul maal) atau investor mempercayakan kepada pihak kedua, yang disebut mudharib, dengan tujuan menjalankan dagang. Mudharib menyediakan tenaga dan waktunya serta mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Keuntungan dibagi antara rab al maal dengan mudharib berdasarkan yang telah disepakati. Jika mengalami kerugian, ditanggung shahibul maal, selama kerugian itu bukan kelalaian mudharib. Orang Medinah menyebut kemitraan ini dengan muqaradhah, yang berasal dari bahasa Arab qarad yang berarti pemberian hak atas modal oleh pemilik kepada pemakai modal. Muqaradhah juga disebut qiradh.
    Surat dalam Al Qur’an yang memiliki kaitan erat dengan mudharabah antara lain surat Al Baqarah ayat 272 : (Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) dimuka bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Surat An Nisaa’ ayat 101: Dan apabila kamu berjalan di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat (mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu musuh yang nyata bagimu. Demikian pula surat Al Muzzammil ayat 20 : ..Orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah ...
    Dari Shalih bin Suhaib r.a., bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda : Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual (Ibnu Majah).
    a. PENGERTIAN MUDHARABAH
    Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu melakukan perjalanan untuk berniaga.
    Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (QS Al-Muzzammil : 20).
    Mudharabah disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.
    Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah III: 212).
    b. PENSYARI’ATAN MUDHARABAH
    Dalam kitabnya al-Ijma’ hal. 124, Ibnul Mundzir menulis, “Para ulama’ sepakat atas bolehnya melakukan qiradh, pemberian modal untuk berdagang dengan memperoleh bagian laba dalam bentuk Dinar dan Dirham. Mereka juga sepakat bahwa si pengelola modal boleh memberi syarat perolehan sepertiga atau separuh dari laba, atau jumlah yang telah disepakati mereka berdua, setelah sebelumnya segala sesuatunya sudah menjadi clear, jelas.”
    Bentuk kerjasama model ini sudah pernah dipraktikkan oleh para sahabat Rasulullah saw.
    Dari Zaid bin Aslam dari bapaknya bahwa ia pernah bercerita, “Dua anak Umar bin Khattab ra, Abdullah dan Ubaidullah keluar pergi bersama pasukan menuju negeri Irak. Tatkala mereka kembali dari sana, mereka melewati Abu Musa al-Asy’ari yang sedang menjabat sebagai Amir, gubernur di Bashrah. Setelah ia mengucapkan selamat datang dan menyambutnya, kemudian berkata kepada mereka berdua, “Kalau saya tetapkan suatu urusan untuk kalian yang sangat bermanfa’at bagi kalian, tentu aku mampu menetapkannya.” Kemudian ia melanjutkan, “Baik, di sini ada sebagian harta kekayaan Allah. Saya bermaksud hendak mengirimnya (melalui kalian) kepada Amirul Mukminin, yaitu saya pinjamkan kepada kalian berdua, lalu (boleh) kalian belikan barang dagangan dari Irak ini, kemudian dijual di Madinah, lalu modal pokoknya kalian serahkan kepada Amirul Mukminin, sedangkan labanya untuk kalian berdua.” Mereka berdua menjawab, “Kami ingin melaksanakannya.” Setelah harta negara itu diserahkan kepada keduanya, kemudian ia menulis sepucuk surat kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab agar menerima harta itu dari mereka berdua. Tatkala mereka tiba (di Madinah), maka mereka mendapatkan keuntungan. Kemudian ketika keduanya menyerahkan harta negara itu kepada Umar, maka Umar bertanya kepada mereka, “Apakah setiap pasukan mendapatkan pinjaman seperti yang dipinjamkan kepada kalian berdua?” Jawab mereka, “Tidak.” Kemudian Umar bin Khattab menyatakan, “Karena dua anak Amirul Mukminin, maka ia (Abu Musa) telah meminjamkan harta negara kepada kalian berdua! Serahkanlah kepada negara modal dan keuntungannya!” Adapun Abdullah diam membisu, sedangkan Ubaidullah, “Wahai Amirul Mukminin, tidak sepatutnya engkau menetapkan seperti ini? (Karena) andaikata modal ini berkurang atau musnah, sudah barang tentu kamilah yang bertanggung jawab untuk menggantinya.” Kemudian Umar menyatakan, “Kalian harus mengembalikan seluruhnya!” Kemudian Abdullah diam seribu bahasa, lalu Ubaidullah mengulangi pernyataannya. Maka seorang laki-laki yang termasuk rekan dekat Umar berkata, “Wahai Amirul Mukminin, alangkah baiknya kalau kau jadikan modal itu sebagai qiradh.” Kemudian Umar menjawab, “Kalau begitu, kujadikan modal itu sebagai qiradh.” Kemudian Umar mengambil modalnya dan separuh dari keuntungannya. Sedangkan Abdullah dan Ubaidullah, dua anak Umar bin Khattab mendapatkan separuh dari keuntungan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 291, Muwaththa’ Imam Malik halaman 479 no: 1385 dan Baihaqi VI: 110).
    c. ORANG YANG MENGEMBANGKAN MODAL HARUS AMANAH
    Mudharabah hukumnya jaiz, boleh baik secara mutlak maupun muqayyad (terikat/bersyarat), dan pihak pengembang modal tidak mesti menanggung kerugian kecuali karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir menegaskan, “Para ulama’ sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengembang modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara kredit, maka ia harus menanggung resikonya.” (al-Ijma’ hal. 125).
    Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah saw, bahwa Beliau pernah mempersyaratkan atas orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan berkata), “Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan ia di lembah yang rawan banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut, maka engkau harus mengganti hartaku.” (Shahih Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293, Daruquthni II: 63 no: 242, Baihaqi VI: 111).
    Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 689 - 692.
    http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=269&Itemid=22


    3.Musaqah
    Musaqah merupakan kerjasama antara orang yang memiliki tanah yang ditanami pohon menghasilkan buah-buahan dengan orang yang mampu memelihara (menyirami) pohon tersebut dengan imbalan orang yang memelihara tersebut mendapat imbalan sesuai dengan kesepakatan dari hasil panen. Musaqah berasal dari akar kata saqyu. Surat dalam Al Qur’an yang berhubungan dengan akar kata saqyu adalah Surat Ar Ra’d ayat 4 : Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang disirami dengan air yang sama.
    Rasulullah s.a.w. memberi kepada Yahudi-yahudi Khaibar kebun kurma Khaibar dan tanah-tanahnya dengan perjanjian mereka akan kerjakan dengan modal mereka dan buat mereka separoh dari buahnya. (Muslim).

    4. Muzara’ah
    Muzara’ah adalah kerjasama antara orang yang mempunyai tanah yang subur untuk ditanami dengan orang yang mempunyai ternak dan mampu untuk menggarapnya, imbalannya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak atau prosentase dari hasil panen yang telah ditentukan. Kata muzara’ah tidak terdapat dalam Al Qur’an. Muzara’ah berasal dari kata zara’a yang berarti menyemai, menanam, menaburkan benih.
    Suku kata zara’a (za-ra-’ain) di dalam Al Qur’an baik sebagai kata kerja maupun kata benda disebutkan 7 kali, yang mempunyai arti tanam-tanaman. Surat yang berkait erat dengan akar kata tersebut dalah surat Al An’aam ayat 141 : Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak sama. Makanlah dari buahnya bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
    Dari Abdullah bin Umar r.a., ia bercerita bahwa Nabi s.a.w. mempekerjakan penduduk Khaibar dengan (upah) seperdua hasil daerah itu yang berupa buah-buahan dan tanam-tanaman. Beliau memberi para isteri beliau seratus wasq, yaitu 80 wasq kurma dan 20 wasq gandum. Kemudian Umar membagi-bagikan tanah Khaibar. Para isteri Nabi disuruh memilih tanah atau hasil. Di antara mereka yangmemilih tanah dan adapula yang memilih wasq. Aisyah r.a. memilih tanah (Bukhari dan Muslim).
    Bentuk lain dari muzara’ah adalah mukhabarah. Mukhabarah adalah menyewakan kebun atau ladang dengan pembayaran 1/3 atau 1/4 hasil panennya atau seperberapanya. Dari Thawus, bahwa ia pernah menyuruh orang lain untuk menggarap ladangnya dengan sistem mukhabarah. Kata Amru : Saya katakan kepada Thawus, ”Hai ayah Abdurrahman! Sebaiknya kau hindari sistem mukhabarah ini! Karena orang-orang mengatakan bahwa Nabi s.a.w. melarang mukhabarah.” Kata Thawus : ”Hai Amru! Saya telah diberitahu orang yang lebih tahu tentang itu (yakni, Ibnu Abbas r.a.) bahwa Nabi s.a.w. tidak melarang mukhabarah. Beliau hanya bersabda :”Seseorang mempersilakan saudara muslimnya untuk menggarap tanahnya, tanpa sewa adalah lebih baik daripada dia memungut sewa tertentu.” (Bukhari dan Muslim).
    a.PENSYARI’ATAN MUZARA’AH
    Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar ra, bahwa ia pernah mengabarkan kepada Nafi’ ra pernah memperkejakan penduduk Khaibar dengan syarat bagi dua hasil kurmanya atau tanaman lainnya. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari VI: 13 no: 2329, Muslim XCIII: 1186 no: 1551, ‘Aunul Ma’bud IX: 272 no: 3391, Ibnu Majah II: 824 no: 2467, Tirmidzi II: 421 no: 1401).
    Imam Bukhari menulis, Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata, “Seluruh Ahli Bait yang hijrah ke Madinah adalah petani dengan cara bagi hasil sepertiga dan seperempat. Di antaranya lagi yang telah melaksanakan muzara’ah adalah Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, al-Qasim, Urwah, Keluarga Abu Bakar, Keluarga Umar, Keluarga Ali dan Ibnu Sirin.” (Fathul Bari V: 10).
    b.PENANGGUNG MODAL MUZARA’AH
    Tidak mengapa modal mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh petani yang mengelolanya, atau ditanggung kedua belah pihak.
    Dalam Fathul Bari V: 10, Imam Bukhari menuturkan, “Umar pernah mempekerjakan orang-orang untuk menggarap tanah dengan ketentuan; jika Umar yang memiliki benih, maka ia mendapat separuh dari hasilnya dan jika mereka yang menanggung benihnya maka mereka mendapatkan begitu juga.” Lebih lanjut Imam Bukhari mengatakan, “al-Hasan menegaskan, tidak mengapa jika tanah yang digarap adalah milik salah seorang di antara mereka, lalu mereka berdua menanggung bersama modal yang diperlukan, kemudian hasilnya dibagi dua. Ini juga menjadi pendapat az-Zuhri.”
    c.YANG TIDAK BOLEH DILAKUKAN DALAM MUZARA’AH
    Dalam muzara’ah, tidak boleh mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini untuk si pemilik tanah dan sebidang tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh mengatakan, “Bagianku sekian wasaq.”
    Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, ia bercerita, “Telah mengabarkan kepadaku dua orang pamanku, bahwa mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil yang tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan oleh si pemilik tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu.” Kemudian saya (Hanzhalah bin Qais) bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?” Maka jawab Rafi’, “Tidak mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits berkata, “Yang dilarang dari hal tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai pengetahuan perihal halal dan haram memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka tidak membolehkannya karena di dalamnya terkandung bahaya.” (Shahih: irwa-ul Ghalil V: 299, Fathul Bari V: 25 no: 2347 dan 46, Nasa’i VII: 43 tanpa perkataan al-Laits).
    Dari Hanzhalah juga, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa. Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (gailengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 302, Muslim III: 1183 no: 116 dan 1547, ‘Aunul Ma’bud IX: 250 no: 3376 dan Nasa’i VII : 43).
    Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 677 - 679.
    d.HUKUM MUZARA’AH
    Muzara’ah adalah seorang yang memberikan lahan kepada orang lain untuk ditanami dengan upah bagian tertentu dari hasil tanah tersebut.
    Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa “Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam menyuruh penduduk Khaibar menggarap lahan Khaibar dengan upah separohnya dari tanaman atau buah yang dihasilkan lahan tersebut. Ketika itu, Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam memberi istri-istrinya sebanyak 100 wasaq (6000 gatang).”
    Dari Rafi’ bin Khadij, ia berkata, “aku orang dari kaum Anshar yang paling banyak kebunnya. Dulu aku menyewakan tanah dengan syarat aku mendapatkan sesuatu dan para penggarap mendapatkan sesuatu, dan terkadang pohon mengeluarkan hasil dan terkadang tidak. Kemudian aku dilarang dari itu semua.” (Muttafaq Alaih).
    Ibnu Abbas berkata, “sesungguhnya Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam tidak melarangnya, hanya saja beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian memberi kepada saudaranya, itu lebih baik baginya daripada ia menetapkan pajak dalam jumlah tertentu kepadanya.” (Al Bukhari)
    Hukum-hukum muzara’ah :
    • Masanya harus ditentukan.
    • Bagian yang disepakati harus diketahui.
    • Bibit tanaman harus berasal dari pemilik tanah, jika dari penggarap namanya mukhabarah dan ini dilarang, sesuai hadits dari Jabir berkata, “Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam melarang mukhabarah.” (HR Ahmad dengan sanad shahih).
    • Jika pemilik mengambil bibit dari hasil panen dan penggarap mendapat sisanya sesuai kesepakatan berdua, maka akadnya batal.
    • Menyewakan tanah dengan harga kontan lebih baik daripada muzara’ah. Rafi bin Khadij berkata, “Adapun emas dengan emas, atau perak dengan perak, maka Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam tidak melarangnya.”
    • Orang yang mempunyai tanah lebih disunnahkan memberikan kepada saudara seagama tanpa kompensasi. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda, “Barangsiapa mempunyai tanah lebih, hendaklah ia menanamnya atau memberikan kepada saudaranya.” (HR Bukhari). “Jika salah seorang dari kalian memberikan kepada saudaranya, itu lebih baik baginya daripada ia menetapkan pajak dalam jumlh tertentu kepadanya.” (HR Bukhari).
    • Jumhur ulama melarang sewa tanah dengan makanan, karena itu adalah jual beli makanan dengan makanan dengan pembayaran tunda. Hadits yang dibawakan Imam Ahmad ditafsirkan kepada muzara’ah, bukan sewa tanah.

    0 komentar:

    Posting Komentar