Pengertian Waris
1. Definisi
1.1. Bahasa
Al-miirats (الميراث) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata (وَرِثَ يَرِثُ إِرْثًا وَمِيْرَاثًا) waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
وَكُنَّا نَحْنُ الْوَارِثِينَ
"... Dan Kami adalah yang mewarisinya." (al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:
العُلَمَاءُ ْوَرَثَةُ الأَنْبِيَاءَ
'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
1.2. Pengertian syariah
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah : berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
2. Waris, Hibah dan Wasiat
Ada tiga istilah yang berbeda namun memiliki kesamaan dalam beberapa halnya, yaitu waris, hibah dan wasiat. Ketiganya memiliki kemiripan sehingga kita seringkali kesulitan saat membedakannya.
Tetapi akan terasa lebih mudah kalau kita buatkan tabel seperti berikut ini.
WARIS HIBAH WASIAT
Waktu Setelah wafat Sebelum wafat Setelah wafat
Penerima Ahli waris ahli waris &
bukan ahli waris bukan ahli waris
Nilai Sesuai faraidh Bebas Maksimal 1/3
Hukum wajib Sunnah Sunnah
2.1. Waktu
Dari segi wattu, harta waris tidak dibagi-bagi kepada para ahli warisnya, juga tidak ditentukan berapa besar masing-masing bagian, kecuali setelah pemiliknya (muwarrits) meninggal dunia. Dengan kata lain, pembagian waris dilakukan setelah pemilik harta itu meninggal dunia. Maka yang membagi waris pastilah bukan yang memiliki harta itu.
Sedangkan hibah dan washiyat, justru penetapannya dilakukan saat pemiliknya masih hidup. Bedanya, kalau hibah harta itu langsung diserahkan saat itu juga, tidak menunggu sampai pemiliknya meninggal dulu. Sedangkan washiyat ditentukan oleh pemilik harta pada saat masih hidup namun perpindahan kepemilikannya baru terjadi saat dia meninggal dunia.
2.2. Penerima
Yang berhak menerima waris hanyalah orang-orang yang terdapat di dalam daftar ahli waris dan tidak terkena hijab hirman. Tentunya juga yang statusnya tidak gugur.
Sedangkan washiyat justru diharamkan bila diberikan kepada ahli waris. Penerima washiyat harus seorang yang bukan termasuk penerima harta waris. Karena ahli waris sudah menerima harta lewat jalur pembagian waris, maka haram baginya menerima lewat jalur washiat.
Sedangkan pemberian harta lewat hibah, boleh diterima oleh ahli waris dan bukan ahli waris. Hibah itu boleh diserahkan kepada siapa saja.
2.3. Nilai
Dari segi nilai, harta yang dibagi waris sudah ada ketentuan besarannya, yaitu sebagaimana ditetapkan di dalam ilmu faraidh.
Ada ashabul furudh yang sudah ditetapkan besarannya, seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 hingga 2/3. Ada juga para ahli waris dengan status menerima ashabah, yaitu menerima warisan berupa sisa harta dari yang telah diambil oleh para ashabul furudh. Dan ada juga yang menerima lewat jalur furudh dan ashabah sekaligus.
Sedangkan besaran nilai harta yang boleh diwasiatkan maksimal hanya 1/3 dari nilai total harta peninggalan. Walau pun itu merupakan pesan atau wasiat dari almarhum sebagai pemilik harta, namun ada ketentuan dari Allah SWT untuk membela kepentingan ahli waris, sehingga berwasiat lebih dari 1/3 harta merupakan hal yang diharamkan.
Bahkan apabila terlanjur diwasiatkan lebih dari 1/3, maka kelebihannya itu harus dibatalkan.
2.4. Hukum
Pembagian waris itu hukumnya wajib dilakuan sepeninggal muwarrits, karena merupakan salah satu kewajiban atas harta.
Sedangkan memberikan washiyat hukumnya hanya sunnah. Demikian juga memberikan harta hibah hukumnya sunnah.
3. Istilah-istilah dalam ilmu waris
Setiap cabang ilmu memiliki istilah-istilah yang khas, dimana istilah itu seringkali tidak sama dengan istilah yang umum. Berikut ini kami uraikan beberapa istilah yang akan seringkali muncul dalam mata kuliah ini.
3.1. Tarikah
Tarikah, (تركة) kadang dibaca tirkah, adalah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan.
Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
3.2. Fardh
Fardh (فرض) adalah bagian harta yang didapat oleh seorang ahli waris yang telah ditetapkan langsung oleh nash Al-Quran, As-Sunnah atau ijma' ulama. Fardh itu adalah bilangan pecahan berupa 1/2, 1/3. 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3. Harta yang dibagi waris itu adalah 1 lalu dipecah-pecah sesuai bilangan fardh.
Misalnya seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan mendapat 1/8 bagian dari harta suaminya, apabila suaminya punya keturunan. Atau mendapat 1/4 bagian bila suaminya tidak punya keturunan.
3.3. Ashhabul Furudh.
Ashabul furudh (أصحاب الفروض) sesuai dengan namanya, berarti adalah orang-orangnya, yaitu orang-orang yang mendapat waris secara fardh. Mereka adalah ahli waris yang punya bagian yang pasti dari warisan yang diterimanya. Contoh ashabul furudh adalah suami, istri, ibu, ayah dan lainnya.
Besar harta yang diterimanya sudah ditetapkan oleh nash, tapi tergantung keadaannya. Sebagai contoh, seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/4 atau 1/8. Seandainya suaminya punya anak, maka istri mendapat 1/8 dari harta suami. Tapi kalau suami tidak punya anak, istri menapat 1/4 dari harta suami.
Begitu juga seorang suami yang ditinggal mati istrinya, sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/2 atau 1/4, tergantung keberadaan anak dari istri. Seandainya istri punya anak, maka suami mendapat 1/4 dari harta istri. Tapi kalau istri tidak punya anak, suami mendapat 1/2 dari harta istri.
Tapi intinya, ashabul furudh adalah para ahli waris yang sudah punya bagian pecahan tertentu dari harta muwarristnya.
3.4. Ashabah
Istilah ashabaha (عصبة) berposisi sebagai lawan fardh, yaitu bagian harta yang diterima oleh ahli waris, yang besarnya belum diketahui secara pasti. Karena harta itu hanyalah sisa dari apa yang telah diambil sebelumnya oleh ahli waris yang menjadi ashhabul-furudh.
Besarnya bisa nol persen hingga seratus persen. Tergantung seberapa banyak harta yang diambil oleh ahli waris ashhabul furudh. Kalau jumlah mereka banyak, maka bagian untuk ashabah menjadi kecil, kalau jumlah mereka sedikit, biasanya ashahabnya menjadi besar.
Misalnya, seorang anak laki-laki tunggal adalah ahli waris ashabah dari ayahnya yang meninggal dunia. Ibunya adalah ahli waris dari ashabul furudh, mendapat 1/8 dari harta suaminya. Sedangkan anak tersebut mendapat waris sebagai ashabah, atau sisa dari apa yang sudah diambil ibunya, yaitu 1 – 1/8 = 7/8.
3.5. Sahm
Sahm (سهم) adalah istilah untuk menyebut bagian harta yang diberikan kepada setiap ahli waris yang berasal dari asal masalah. Atau disebut juga jumlah kepala mereka.
Misalnya,
3.6. Nasab
Nasab (نسب) adalah hubungan seseorang secara darah, baik hubungan ke atasnya seperti ayah kandung, kakek kandung dan seterusnya. Hubugnan ke atas ini disebut abuwwah. Bisa juga hubungan seseorang ke arah bawah (keturunannya) seperti dengan anak kandungnya, atau anak dari anaknya (cucu) dan seterusnya. Hubngan ini disebut bunuwwah.
3.7. Al-Far'u
Istilah (الفرع) bila kita temukan di dalam ilmu waris, maksudnya adalah anak laki-laki atau anak perempuan dari almarhum yang akan dibagi hartanya. Termasuk juga anak dari anaknya (cucu) baik laki-laki maupun perempuan. Bila disebut Al-far'ul-warists maksudnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan, atau ahli waris anak-anak tersebut ke bawahnya.
3.8. Al-Ashl
Yang dimaksud dengan istilah al-ashl (الأصل) adalah ayah kandung dan ibu kandung, juga termasuk ayah kandung atau ibu kandung dari ayah kandung (kakek). Dan kakek atau nenek yang merupakan ayah dan ibunya ayah ini disebut juga al-jaddu ash-shahih.
Jumat, 17 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar