Bank Syariah VS Bank Konvensional
BAB I
PENDAHULUAN
Gagasan adanya lembaga perbankan yang beroperasi berdasarkan prinsip syariat Islam berkaitan erat dengan gagasan terbentuknya suatu sistem ekonomi Islam.
Gagasan mengenai konsep ekonomi Islam secara internasional muncul sekitar dasawarsa 70-an, ketika pertama kali diselenggarakan konferensi Internasional tentang ekonomi Islam di Makkah pada tahun 1976.
Di antara pemikir-pemikir Islam tersebut terdapa pola kecenderungan yang berbeda-beda, pada dasarnya terdapat dua kelompok kecenderungan yaitu kecenderungan teoretis, dengan memberikan alternatif konsep dan kecenderungan pragmatis dengan mendirikan lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan yang beroperasi berdasarkan prinsip Syariah. Salah satu kecenerungan kelompok kedua tersebut adalah mendirikan Bank-bank Syariah.
Di dalam perkembangannya, kelompok pragmatis yang lebih tampak keberhasilannya karena jauh sebelum adanya gagasan ekonomi Islam telah diawali dengan suatu upaya untuk mendirikan bank-bank Syariah.
Pada tahun 1920 di Mesir didirikan bank Syariah yang pertama dengan nama Bank Mesir, kemudian disusul tindakan pemerintah Republik Arab yang menasionalisasikan bank Syariah.
Lembaga perbankan mengalami perkembangan yang amat pesat dengan lahirnya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan bagi Negara-negara anggota dan masyarakat Muslim pada umumnya.
Pesatnya perkembangan lembaga perbankan Syariah ini karena Bank Syariah memiliki keistemawaan-keistimewaan. Salah satu keistemawaan yang utama adalah yang melekat pada konsep dengan berorientasi pada kebersamaan. Orientasi kebersamaan itulah yang menjadikan Bank Syariah mampu tampil sebagai alternatif pengganti sistem bunga yang selama ini digunakan oleh bank konvensional. Namun demikian, sebagai lembaga yang keberadaannya masih baru daripada bank-bank konvensional, Bank Syariah menghadapi berbagai permasalahan-permasalahan, baik yang melekat pada aktivitas maupun pelaksananya.
Pada dasarnya aktivitas bank Syariah tidak jauh berbeda dengan aktivitas bank-bank yang telah ada, perbedaanya selain terletak pada orientasi konsep juga terletak pada konsep dasar operasionalnya yang berlandaskan pada ketentuan-ketentuan dalam Syariah.
Hal-hal di atas yang berkaitan dengan operasional Bank Syariah, permasalahan-permasalahan dalam opersional Bank Syariah serta perbedaan antara Bank Syariah dan bank konvensional merupakan pokok pembahasan dalam makalah ini yang akan dipaparkan secara lebih jelas lagi pada bagian pembahasan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Falsafah Operasional Bank Syariah
Setiap lembaga keuangan syariah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah untuk memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, setiap kegitan lembaga keuangan yang dikhawatirkan menyimpang dari tuntunan agama harus dihindari. Berikut adalah falsafah operasional bank syariah:
1. Menjauhkan diri dari unsur riba,
2. Menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan dengan mengacu pada al-Quran Surah A-Baqarah ayat 275 dan Annisa ayat 29.
Berdasarkan kerangka falsafah di atas , maka hal yang mendasar yang membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah terletak pada pengembalian dan pembagian keuntungan yang diberikan oleh nasabah kepada lembaga keuangan dan/atau yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada nasabah sehinga terdapat istilah bunga dan bagi hasil.[1]
B. Sistem Operasional Bank Syariah
Pada sistem operasi bank syariah, pemilik dana menanamkan uangnya di bank tidak dengan motif mendapatkan bunga, tapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil. Dana nasabah tersebut kemudian disalurkan kepada mereka yang membutuhkan (misalnya modal usaha), dengan perjanjian pembagian keuntungan sesuai kesepakatan. Sistem operasional tersebut meliputi:
1. Sistem Bagi Hasil Sebagai Karakteristik Dasar Bank Syariah
Sistem bagi hasil merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank syariah secara keseluruhan. Secara syariah, prinsipnya berdasarkan kaidah al-mudharabah. Berdasarkan prinsip ini, bank syariah akan berfungsi sebagai mitra, baik dengan penabung maupun dengan pengusaha yang meminjam dana.[2] Terhadap penabung bank syariah bertindak sebagai pengelola, sedangkan penabung bertindak sebagai pemilik dana. Antara keduanya diadakan akad mudharabah yang menyatakan pembagian keuntungan dan kerugian masing-masing pihak.
Di sisi lain, dengan peminjam dana bank syariah bertindak sebagai pemilik dana. Sementara itu, peminjam dana akan bertindak sebagai pengelola. Meskipun demikian, dalam perkembangannya, para pengguna dana bank syariah tidak hanya membatasi dirinya pada satu akad, yaitu mudharabah saja. Sesuai dengan jenis usahanya, mereka ada yang memperoleh dana dengan sistem perkongsian, sistem jual beli, sewa-menyewa, dan lain-lain. Oleh karena itu hubungan bank syariah dengan nasabahnya menjadi sangat kompeks karena tidak hanya berurusan dengan satu akad, namun berbagai jenis akad.
2. Sistem Penghimpunan Dana Bank Syariah
a. Modal
Modal adalah dana yang diserahkan oleh para pemilik. Pada akhir periode tahun buku, setelah dihitung keuntungan yang diapat pada tahun tersebut, pemmilik modal akan memperoleh bagian dari hasil usaha yang biasa dikenal dengan deviden. Dana modal dapat digunakan untuk pembelian gedung, tanah, perlengkapan dan sebagainya yang secara langsung tidak menghasilkan. Selain itu, modal juga dapat digunakan untuk hal-hal yang produktif, yaitu disalurkan menjadi pembiayaan. Pembiayaan yang berasal dari moda, tidak dibagikan kepada pemilik dana lainnya.[3]
Mekanisme penyertaan modal pemegang saham dalam perbankan syariah, dapat dilakukan melalui musyarakah fi sahm asy-syarikah atau equity participation pada saham perseroan bank.
b. Titipan
Salah satu prinsip yang digunakan bank syariah dalam memobilisasi dana adalah prinsip titipan. Adapun akad yang sesuai dengan prinsip ini ialah al-wadi’ah. Dalam prinsip ini, bank menerima titipan dari nasabah dan bertanggung jawab penuh atas titipan tersebut. Nasabah sebagai penitip berhak untuk mengambil setiap saat, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.[4] Secara umum terdapat dua jenis al-wadi’ah yaitu wadi’ah yad al-amanah dan wadi’ah yad adh-dhamanah.
c. Investasi
Prinsip lain yang digunakan adalah prinsip investasi. Akad yang sesuai dengan prinsip ini adalah mudharabah. Tujuan dari mudharabah adalah kerja sama antara pemilik dana dan pengelola dana.[5]
3. Sistem Pembiayaan Bank Syariah
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal berikut.
a. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memnuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.[6]
Menurut Abdul Gafoor, pembiayaan konsumsi terdiri dari mark-up, leasing, hire-purchase, sell-and-buy-back, dan letters of credit.
Disebut mark-up apabila pihak bank membeli barang yang diinginkan klien dengan kesepakatan bahwa klien setuju untuk membayar barang itu beserta keuntungannya kepada bank. Leasing; dimana bank membeli barang yang diinginkan klien dan menyewakannya kepada klien dengan periode yang disepakati bersama. Di akhir periode, klien membayar selisih harga yang disepakati di awal periode kepada bank untuk menjadi pemilik barang tersebut. Skema hire-purchase hampir sama dengan leasing. Bedanya klien hanya membayar sewa dengan periode tertentu yang telah disepakati dan pada akhir periode, klien secara otomatis menjadi pemilik barang tersebut. Jika klien menjual salah satu barang miliknya kepada bank dengan harga yang disepakati bersama dengan syarat ia akan membeli kembali barang itu setelah periode tertentu dengan harga yang telah disepakati. Skema ini dinamakan sell-and-buy-back. Letters of credit adalah skema dimana bank menggaransi atau menjamin impor suatu barang dengan dananya sendiri untuk pihak klien, lalu kedua pihak berbagi keuntungan dari hasil penjualan barang tersebut.[7]
b. Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi.
Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua hal berikut.
1.) Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan yang memenuhi kebutuhan: (a) meningkatkan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi, dan (b) untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.[8]
Unsur-unsur modal kerja terdiri atas alat likuid, piutang dagang, dan persediaan yang terdiri atas persediaan bahan baku, persediaan barang dalam proses, dan persediaan barang jadi. Oleh karena itu, pembiayaan modal kerja merupakan salah satu atau kombinasi dari pembiayaan likuiditas, pembiayaan piutang, dan pembiayaan persediaan.
Bank syariah dapat membantu memenuhi kebutuhan modal kerja tersebut bukan dengan meminjamkan, melainkan dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah, di mana bank bertindak sebagai penyandang dana, sedangkan nasabah sebagai pengusaha. Skema pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharabah. Fasilitas ini dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara periodik dengan nisbah yang disepakati. Setelah jatuh tempo, nasabah mengembalikan jumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasi yang menjadi bagian bank.
Menurut Abdul Gafoor, pembiayaan modal kerja terdiri dari: pinjaman dengan ongkos pelayanan (loans with a service charge), pinjaman tanpa ongkos (no-cost loans), dan overdrafts.
Pinjaman dengan ongkos pelayanan adalah pinjaman yang diberikan bank tanpa bunga, namun untuk menutupi pengeluarannya, bank menetapkan ongkos pelayanan. Penetapan ongkos pelayanan maksimal dilakukan oleh pihak yang berwenang (pemerintah). Pinjaman tanpa ongkos dan overdrafts diberikan bank kepada golongan ekonomi lemah seperti petani kecil, wiraswasta, produsen kecil, dan sebagainya. Dana pinjaman ini diperoleh dengan menyisihkan sebagian pendapatan bank.[9]
2.) Pembiayaan investasi adalah pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu. Pembiayaan investasi diberikan kepada para nasabah untuk keperluan investasi, yaitu keperluan penambahan modal guna mengadakan rahabilitasi, perluasan usaha, ataupun pendirian proyek baru. Ciri-ciri pembiyaan investasi adalah:
· Untuk pengadaan barang-barang modal;
· Mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan terarah;
· Berjangka waktu menengah dan panjang.
Pada bank syariah, pembiayaan investasi menggunakan skema musyarakah mutanaqishah. Dalam hal ini, bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan. Secara bertahap, bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih kembali, baik dengan menggunakan surplus cashflow yang tercipta maupun dengan menambah modal, baik yang berasal dari setoran pemegang saham yang ada maupun dengan mengundang pemegang saham baru.[10]
Syarat-Syarat Administratif Memperoleh Pembiayaan
Seperti juga dalam perbankan konvensional, perbankan syariah menetapkan syarat-syarat umum untuk sebuah pembiayaan, yaitu sebagai berikut:
· Surat permohonan tertulis, dengan dilampiri proposal yang memuat (antara lain) gambaran umum usaha, rencana atau prospek usaha, rincian dan rencana penggunaan dana, jumlah kebutuhan dana, dan jangka waktu pengguanaan dana.
· Legalitas usaha, seperti identitas diri, akta pendirian usaha, surat izin umum perusahaan, dan tanda daftar perusahaan.
· Laporan keuangan, sepeti neraca laporan laba rugi, data persediaan terakhir, data penjualan dan fotokopi rekening bank.[11]
C. Permasalahan Bank Syariah di Dalam Operasionalnya
Sebagai lembaga keuangan baru yang muncul lebih belakangan daripada bank-bank konvensional, bank syariah menghadapi berbagai permasalahan dalam operasionalnya yang juga merupakan tantangan tersendiri bagi bank syariah.
Permasalahan-permasalahan operasional yang dihadapi oleh bank syariah adalah:
1. Hubungan kerjasama antara pengelola bank dan nasabah yang hanya didasari dengan kepercayaan menimbulkan permasalahan dalam hal manajemen dan administrasi.[12]
2. Sistem bagi hasil yang adil menuntut profesionalisme pengelola bank yang tinggi, sedangkan pengelola yang profesional merupakan persoalan yang belum terpecahkan bahkan dalam perbankan konvensional yang kelahirannya lebih lama.[13]
3. Semakin banyaknya umat Islam yang memanfaatkan fasilitas bank syariah , sementara belum tersedia proyek yang bisa dibiayai sebagai akibat dari tenaga-tenaga profesional yang siap pakai, maka bank Syariah akan menghadapi masalah kelebihan likuiditas.[14]
4. Salah satu misi bank syariah adalah mengurangi kemiskinan yang sebagian besar terdapat di daerah pedesaan. Ini berarti bank harus menjaring nasabah sebesar-besarnya di pedesaan. Dalam hal ini bank syariah menghadapi masalah sebagai berikut: (a) kebiasaan masyarakat desa yang masih puas menyimpan uang sendiri dan kebiasaan meminjam uang kepada sesame warga, dan (b) tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakat yang relatif rendah, padahal pendapatan bank syariah deengan sistem bagi hasil tergantung dari keberhasilan usaha nasabah. [15]
5. Pengenaan pajak berganda pada beberapa produk bank syariah mengakibatkan produk bank syariah lebih mahal daripada produk bank konvensional. Misalnya produk murabahah yang dalam pandangan Direktorat jenderal Pajak merupakan transaksi ganda sehingga dikenakan pajak berganda.[16]
D. Perbedaan Antara Bank Syariah dan Bank Konvensional
1. Akad dan Aspek Legalitas
Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan atau perjanjjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hokum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti.
Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut.
a. Rukun, Seperti:
- Penjual
- Pembeli
- Barang
- Harga
- Ijab/qabul.
b. Syarat, Seperti syarat berikut.
- Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hokum syariah.
- Harga barang dan jasa harus jelas.
- Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena berkaitan dengan biaya transportasi.
- Barang yang ditransaksikan harus ssepenuhnya dalam kepemilikan.[17]
2. Lembaga Penyelesai Sengketa
Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya diperadilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata dan cara hukum materi syariah.
Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama BadanArbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI yang didirikan secara bersama oleh Kebijaksanaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.
3. Struktur Organisasi
Bank syariah dapat memiliki struktur organisasi yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antar bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi opersional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.[18]
a. Dewan Pengawas Syariah
Tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha bank agar tidak menyimpang dari ketentuan dan prisnip syariah yang telah difatwakan oleh DSN. Selain itu DPS juga mempunyai fungsi : (1) sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan Unit Usaha Syariah dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syariah.
(2) Sebagai mediator antara bank dan DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari bank yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN. (3) Sebagai perwakilan DSN yang ditempatkan pada bank. DPS wajib melaporkan kegiatan usaha serta perkembangan bank syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun. Bank yang akan membentuk DPS dalam rangka perubahan kegiatan usaha atau membuka kantor cabang syariah untuk pertama kalinya dapat menyampaikan permohonan penempatan anggota DPS kepada DSN.[19]
Tugas lain Dewan Pengawas Syariah ialah meneliti dan membuat rekomendasi produk baru yang diawasinya. Dengan demikian, dewan Pengawas Syariah bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu produk diteliti kembali difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.[20]
b. Dewan Syariah Nasional
Anggota DSN terdiri dari para ulama, praktisi dan pakar dalam bidang-bidang yang terkait dengan perekonomian dan syariah muamalah. Anggota DSN ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4 tahun. DSN merupakan satu-satunya badan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia.[21]
Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan member fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Produk-produk baru tersebut harus diajukan oleh manajemen setelah direkomendasikan oleh Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan.[22]
4. Bisnis Dan Usaha Yang Dibiayai
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan.[23]
5. Lingkungan Kerja dan Corporate Culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik.[24]
6. Perbandingan Antara Bank Syariah dan Konvensional
BANK ISLAM
BANK KONVENSIONAL
1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja.
2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual-beli atau sewa.
3. Profit dan falah oriented.
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan.
5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah.
1. Investasi yang halal dan haram.
2. Memakai perangkat bunga.
3. Profit oriented.
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitur-debitur.
5. Tidak terdapat dewan sejenis.[25]
BAB III
SIMPULAN
Secara garis besar ada tiga macam sistem operasional bank syariah, yaitu sistem bagi hasil sebagai karakteristik dasar bank syariah, sistem penghimpunan dana, dan sistem pembiayaan.
Pada sistem bagi hasil, prinsip yang digunakan adalah prinsip al-mudharabah dimana pada prinsip ini bank syariah berfungsi sebagai mitra, baik bagi penabung maupun bagi pengusaha sebagai peminjam dana.
Sistem penghimpunan dana bank syariah terdiri atas tiga, yaitu: modal, titipan dan investasi. Berbeda dengan bank konvensional, bank syariah tidak melakukan pendekatan tunggal dalam menyediakan produk penghimpunan dana bagi nasabahnya. Misalnya pada tabungan, bebrapa bank memperlakukannya seperti giro, sementara itu ada pula yang memperlakukannya seperti deposito.
Sistem pembiayaan bank syariah terbagi kepada dua, yaitu: pembiayaan produktif dan pembiayaan konsumtif. Pembiayaan produktif ialah pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi. Sedangkan pembiayaan konsumtif ialah pembiayaan yang digunakan untuk memnuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
DAFTAR PUSTAKA
· Muhammad. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMKP YKPN.
· Syafi’I Antonio , Muhammad. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani. 2001.
· http://id.shvoong.com/business-management/investing/2047567-sistem-operasional-bank-syariah/
· Gafoor , Abdul. Interest-Free Commercial Banking. 1995
· Fadil. Tinjauan Pustaka: Sistem Pembiayaan Pada Bank Syariah. http://fazilet.blogspot.com. 13-10-2010.
· Sumitro, Warkum. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, takaful, dan pasar modal syariah) di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004.
· Arifin, Zainul. Pola Manajemen Bank Syariah. http://shariahlife.wordpress.com. 01-10-2010.
· Amin, A. Riawan. Menata Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta: UIN Press. 2009.
[1] Muhammad. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. (Yogyakarta: UPP AMKP YKPN) hlm. 2
[2] Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. (Jakarta: Gema Insani. 2001). hlm. 137
[3] Muhammad Syafi’I Antonio. Ibid. hlm. 146-147
[4] http://id.shvoong.com/business-management/investing/2047567-sistem-operasional-bank-syariah/
[5] Syafi’I Antonio, Muhammad. Op Cit. hlm. 150
[6] Ibid. hlm. 160
[7] Abdul Gafoor. Interest-Free Commercial Banking. 1995. Hlm. 43-44
[8] Muhammad Syafi’I Antonio. Op Cit. hlm. 160
[9] Fadil. Tinjauan Pustaka: Sistem Pembiayaan Pada Bank Syariah. http://fazilet.blogspot.com. 13-10-2010.
[10] Muhammad Syafi’I Antonio. Op Cit. hlm. 167
[11] Ibid. hlm. 171
[12] Warkum Sumitro. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, takaful, dan pasar modal syariah) di Indonesia. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004). Hlm. 27-28
[13] Ibid, hlm. 28
[14] Ibid, hlm. 28-29
[15] Ibid, hlm. 29
[16] A. Riawan Amin. Menata Perbankan Syariah di Indonesia. (Jakarta: UIN Press. 2009) hlm. 166
[17] Syafi’I Antonio, Muhammad. Op Cit. hlm. 29-30
[18] Ibid. hlm. 30
[19] Zainul Arifin. Pola Manajemen Bank Syariah. http://shariahlife.wordpress.com. 01-10-2010.
[20] Muhammad Syafi;I Antonio. Op Cit. hlm. 31
[21] Zainul Arifin. Pola Manajemen Bank Syariah. http://shariahlife.wordpress.com. 01-10-2010.
[22] Muhammad Syafi’I Antonio. Op Cit. hlm. 32
[23] Ibid. hlm. 33
[24] Ibid. hlm. 34
[25] Ibid.
Minggu, 22 Januari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar