Seorang
da’i haruslah menyeru kepada Alloh dengan hikmah. Dan alangkah pahitnya orang
yang tidak memiliki hikmah. Dakwah ke jalan Alloh itu haruslah dengan : (1)
hikmah, (2) mau’izhah hasanah (pelajaran yang baik), (3) berdebat dengan
cara yang lebih baik kepada orang yang tidak zhalim, kemudian (4)
berdebat dengan cara yang tidak lebih baik kepada orang yang zhalim.
Jadi, tingkatan ini ada empat. Alloh Ta’ala berfirman
:
ادْعُ
إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَـادِلْهُم
بِالَّتِى هِىَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
”Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS an-Nahl :
125)
Dan
firman-Nya :
وَلاَ
تُجَـادِلُواْ أَهْلَ الْكِتَـبِ إِلاَّ بِالَّتِى هِىَ أَحْسَنُ إِلاَّ الَّذِينَ
ظَلَمُواْ مِنْهُمْ وَقُولُواْ ءَامَنَّا بِالَّذِى أُنزِلَ إِلَيْنَا وَأُنزِلَ
إِلَيْكُمْ وَإِلَـهُنَا وَإِلَـهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ
مُسْلِمُونَ
”Dan
janganlah kamu berdebat denganAhli kitab, melainkan dengan cara yang paling
baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: Kami
Telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang
diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami Hanya
kepada-Nya berserah diri.”
(QS al-Ankabuut : 49)
Sesungguhnya
hikmah itu adalah : menetapkan suatu perkara secara mantap dan tepat, dengan
cara menempatkan suatu perkara pada tempatnya dan mendudukkan suatu perkara pada
kedudukannya. Bukanlah termasuk hikmah apabila anda tergesa-gesa dan
menginginkan manusia akan berubah keadaannya dari keadaan mereka sebelumnya
menjadi seperti keadaan para sahabat hanya dalam sehari semalam.
Barangsiapa
yang berkeinginan seperti itu maka ia adalah orang yang tolol akal fikirannya,
jauh dari hikmah. Karena hikmah Alloh Azza wa Jalla jauh dari hal ini,
dan yang menunjukkan hal ini kepada anda adalah, bahwa Muhammad Rasulullah
Shallallahu
’alaihi wa Salam,
al-Kitab diturunkan kepada beliau secara bertahap sampai menjadi mantap dan
sempurna di dalam jiwa.
Sholat
diwajibkan pada saat mi’raj tiga tahun sebelum hijrah,
ada yang berpendapat satu tahun setengah, ada juga yang berpendapat lima tahun.
Para ulama berselisih pendapat tentangnya... namun, sholat ketika itu tidak
diwajibkan sebagaimana kondisi saat ini. Sholat yang pertama kali diwajibkan
adalah dua rakaat zhuhur, ashar, isya’ dan fajar serta tiga rakaat maghrib
sebagai witir pada pertengahan hari. Setelah hijrah dan setelah
Rasulullah Shallallahu
’alaihi wa Salam
melewati masa 13 tahuh di Makkah, rakaat shalat ditambah dan menjadi empat
rakaat untuk zhuhur, ashar dan isya’, sedangkan sholat fajar (shubuh) tetap
sebagaimana rakaat sebelumnya, dikarenakan panjangnya bacaan di dalamnya, juga
demikian dengan maghrib yang tetap sebanyak tiga rakaat dikarenakan ia merupakan
witr pada pertengahan hari.
Zakat
diwajibkan pada tahun kedua setelah hijrah, atau (ada yang berpendapat)
diwajibkan di Makkah namun belum ditentukan kadar nishab dan wajibnya, serta
Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam juga belum mengutus perwakilan khusus
untuk mengumpulkan zakat kecuali pada tahun kesembilan setelah hijrah. Hukum seputar zakat
berkembang dalam tiga tahap : (1) di Makkah : ”Tunaikanlah
haknya di hari memetik hasilnya”,
namun belum diterangkan akan wajibnya juga belum diterangkan akan takarannya
yang wajib serta urusan ini dipercayakan sepenuhnya kepada manusia. (2) tahun
kedua hijriyah, telah diterangkan zakat dengan nishabnya, dan (3) pada
tahun kesembilan hijriyah, Nabi Shallallahu
’alaihi wa Salam
mengutus perwakilan khusus untuk memungut zakat kepada pemilik ladang dan harta.
Maka cermatilah bagaimana perhatian khusus pensyariatan Alloh Azza wa
Jalla terhadap kondisi manusia dan Dia (Alloh) adalah sebaik-baik pemberi
keputusan (hakim).
Demikian
pula dengan puasa, pensyariatannya
dilakukan secara bertahap. Kewajiban pertama puasa adalah manusia diberikan
kebebasan untuk memilih antara berpuasa atau memberi makan (fakir miskin),
kemudian hukum puasa dispesifikasikan (menjadi wajib) dan memberi makan (fakir
miskin) statusnya berubah boleh dilakukan oleh orang yang tidak mampu berpuasa
secara terus menerus.
Saya
berkata : Sesungguhnya hikmah itu menolak bahwa dunia ini dapat berubah hanya
dalam sehari semalam, untuk itu haruslah ada kelapangan jiwa. Terimalah dari
saudara yang anda dakwahi kebenaran yang ada padanya hari ini dan berjalanlah
bersamanya secara bertahap sedikit demi sedikit sampai akhirnya ia terbebas dari
kebatilan. Janganlah anda beranggapan bahwa manusia itu memiliki tingkatan yang
sama, karena sungguh berbeda antara orang yang jahil dengan orang yang
menentang. Mungkin ada baiknya aku berikan beberapa contoh dari dakwah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Contoh
Pertama :
Seorang
pria badui datang dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sedang
duduk-duduk dengan sahabat-sahabat beliau di Masjid. Kemudian Badui itu kencing
di salah satu sisi dalam Masjid, maka para sahabatpun mencercanya, yaitu
menghardiknya dengan keras. Akan
tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang telah Alloh anugerahkan
kepada beliau al-Hikmah melarang mereka. Setelah Badui itu menyelesaikan
kencingnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintahkan untuk
menyiram kencingnya dengan satu ember air. Mafsadat (kerusakan) pun sirna
lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam memanggil Badui tersebut dan
berkata padanya :
إن
هذه المساجد لا يصلح فيها شيء من الأذى أو القذر إنما هي للصلاة وقراءة
القرآن
“Sesungguhnya
masjid-masjid ini tidak selayaknya di dalamnya ada sesuatu dari gangguan dan
kotoran, sesungguhnya masjid itu hanyalah untuk sholat dan membaca
al-Qur`an.”1 Atau sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Maka
menjadi lapanglah dada si Badui tersebut disebabkan oleh muamalah yang baik ini.
Oleh karena itulah aku melihat sebagian ulama menukilkan ucapan Badui ini yang
mengatakan:
اللهم
ارحمني ومحمداً ولا ترحم معنا أحداً
“Ya
Alloh rahmatilah aku dan Muhammad dan janganlah Engkau merahmati seorangpun
selain kami.”
Karena
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah mensikapinya dengannya dengan
sikap yang baik. Adapun para sahabat ridhwanullah ‘alaihi, mereka
tergesa-gesa untuk menghilangkan kemungkaran, tanpa mempertimbangkan keadaan
orang yang jahil.
Contoh
Kedua :
Mu’awiyah
bin al-Hakam radhiyallahu ‘anhu datang dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam sedang sholat dengan manusia, kemudian salah seorang dari mereka
bersin dan mengucapkan alhamdulillah –(perlu diketahui) apabila ada
seseorang yang bersin maka hendaklah ia mengucapkan alhamdulillah baik di
saat ia berdiri, ruku’ ataupun sujud-.
Orang
ini (orang yang bersin) mengucapkan alhamdulillah, maka sekonyong-konyong
Mu’awiyah meresponnya dengan mengucapkan yarhamukalloh. Hal ini termasuk berbicara di dalam sholat
yang dapat membatalkan sholat. Orang-orang pun memandang dan melototi beliau.
Mu’awiyah berkata : واثكل
أمِّياه
“ibuku
telah kehilanganku”, dan واثكل maknanya adalah kehilangan.
Perkataan
ini (yaitu واثكل
أمِّياه) hanya diucapkan tanpa dimaksudkan makna sebenarnya. Sebagaimana
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah mengatakannya kepada Mu’adz bin
Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika mengatakan : “Maukah engkau aku tunjukkan
sesuatu yang dapat mengendalikan itu semua?”, Mu’adz menjawab : “Tentu, wahai
Rasulullah”. Lalu Nabi bersabda : “Jagalah ini” dan beliau memegang lisannya
sambil berkata, “jagalah ini”. Mu’adz berkata : “Apakah kita akan diadzab
dikarenakan apa yang kita ucapkan?”, lantas Nabi menjawab
:
ثكلتك
أمك يا معاذ وهل يكب الناس في النار على وجوههم أو قال على مناخرهم إلا حصائد
ألسنتهم
“Ibumu
kehilanganmu wahai Mu’adz! Karena apa seseorang dijungkirbalikkan di dalam
neraka di atas wajah mereka –atau dalam riwayat lain di atas hidung mereka- jika
bukan karena buah perkataan lisan mereka.”2
Kemudian
Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu melanjutkan sholatnya, setelah selesai
sholat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam memanggil beliau. Mu’awiyah
radhiyallahu ‘anhu berkata :
فوالله
ما رأيت معلماً أحسن تعليماً منه، اللهم صلي وسلم عليه، والله ما كهرني، ولا نهرني
وإنما قال: «إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء من كلام الناس إنما هي التسبيح،
والتكبير وقراءة القرآن»
“Demi
Alloh, belum pernah aku melihat seorang pendidik yang lebih baik cara
mendidiknya daripada beliau. Semoga Alloh senantiasa memberikan sholawat
dan salam kepada beliau. Demi Alloh, beliau tidak membentakku dan tidak
pula mencercaku. Beliau hanya berkata, Sesungguhnya di dalam sholat ini tidak
selayaknya ada sesuatu dari ucapan manusia, sesungguhnya sholat itu adalah
tasbih, takbir dan membaca al-Qur`an.”3 Atau sebagaimana sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Perhatikanlah
dakwah yang dijawab oleh jiwa dan diterima oleh manusia serta melapangkan dada
ini!!!
Kita
mengambil dari hadits ini sebuah faidah fiqhiyyah, yaitu bahwasanya
barang siapa yang berbicara di dalam sholatnya, sedangkan ia tidak mengetahui
bahwa hal itu dapat membatalkan sholat maka sholatnya sah.
Contoh
Ketiga :
Seorang
lelaki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam lalu berkata :
”Wahai Rasulullah, saya telah binasa”. Rasulullah bertanya : ”Apa yang
membinasakanmu?”. Orang itu menjawab : ”Aku telah menggauli isteriku di bulan
Ramadhan sedang aku tengah berpuasa.” Lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam memerintahkannya untuk memerdekakan budak, dan orang itu menjawab,
“saya tidak punya”. Lalu Nabi memerintahkannya untuk berpuasa dua bulan
berturut-turut, dan orang itu menjawab, ”aku tidak mampu”. Kemudian beliau
memerintahkannya untuk memberi makan enam puluh orang miskin dan ia tetap
menjawab, ”aku tidak mampu”. Lalu orang itu duduk dan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam datang sambil membawa kurma sembari berkata : ”ambillah ini
dan sedekahkanlah”.
Namun,
orang tersebut menjadi loba terhadap kedermawanan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam yang mana beliau adalah orang yang paling dermawan terhadap makhluk,
karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah orang yang paling
mulia. Orang itu berkata : ”Apakah aku harus mensedekahkannya kepada orang yang
lebih miskin dariku wahai Rasulullah? Demi
Alloh, tidak ada keluarga yang lebih miskin dari keluargaku diantara dua dataran
(Madinah) ini.”
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam pun tertawa sampai tampak gigi taring atau
gerahamnya. Hal ini disebabkan karena orang ini datang dengan rasa takut dan
berkata ”aku telah binasa” namun ia pergi dengan gembira. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam bersabda : “Berilah makan keluargamu dengan kurma
ini.”4 Maka orang itupun pergi dengan rasa tenang dan riang gembira
dengan agama ini dan dengan kemudahan dari da’i pertama (yaitu Nabi) terhadap
agama Islam ini, semoga Shalawat dan Salam Alloh senantiasa tercurahkan kepada
beliau.
Contoh
Keempat :
Mari
kita perhatikan bagaimana cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
bermuamalah dengan orang yang berbuat dosa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam melihat seorang pria menggunakan cincin emas di tangannya, lalu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam melepaskan cincin itu dengan tangannya yang
mulia dan membuangnya di tanah. Lalu beliau bersabda :
يعمد
أحدكم إلى جمرة من نار فيضعها في يده
”Salah
seorang dari kalian dengan sengaja melihat bara api dari neraka dan
menggunakannya di tangannya”
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak bermuamalah dengannya sebagaimana
bentuk muamalah pada awal tadi, namun beliau mencabutnya dari tangannya dan
membuangnya ke tanah. Tidak lama setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam pergi, ada seseorang yang berkata kepada orang itu : ”ambil cincinmu
dan manfaatkanlah”. Namun orang itu berkata :
والله
لا آخذ خاتماً طرحه النبي صلى الله عليه وسلّم
”Demi
Alloh, saya tidak akan mengambil cincin yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam telah membuangnya.” 5
Allohuakbar,
sungguh ini adalah kepatuhan yang luar biasa pada sahabat ridhawanullahu
’alaihim.
Yang
penting, wajib bagi da’i untuk berdakwah ke jalan Alloh Azza wa Jalla
dengan hikmah dan tidaklah sama antara orang jahil dengan orang berilmu, antara
orang yang menentang dengan orang yang menerima. Setiap ucapan ada tempatnya dan
setiap tempat ada kondisinya tersendiri.
1.
Dikeluarkan
oleh al-Bukhari di dalam Kitabul Wudhu` , Bab Tarkun Nabii Shallallahu
’alaihi wa Salam wan Naas al-A’robiy hatta farogho min Baulihi fil Masjid
(219); Kitabul Wudhu`, Bab Shubbul Maa` ’ala Baul fil Masjid (221) dan
Kitab al-Adab, Bab ar-Rifqu fil Amri Kulluhu (625); dan Muslim di dalam
Kitabuth Thoharoh, Bab Wujubu Ghoslil Baul wa Ghoirihi minan Najasaat
(285).
2.
Dikeluarkan
oleh Imam Ahmad (2236), Turmudzi pada Bab-Bab al-Iman, Bab Ma ja’a fi
Hurmatish Sholah (2616) dan Ibnu Majah di dalam bab-bab al-Fitan,
Bab Kaf al-Lisaan fil Fitnah (3973).
3.
Dikeluarkan
oleh Muslim, Kitabul Masajid, Bab Tahrimul Kalam fish Sholah
(537).
4.
Dikeluarkan
oleh al-Bukhari dalam Kitabush Shaum Bab Idza Jama’a fi Ramadhan wa lam yakun
lahu syai’ fatashoddaqo ‘alaihi falyukaffir (1936) dan Muslim dalam
Kitabush Shiyam Bab Taghlith Tahrim al-Jima’ fi Nahari Ramadhan
(1111).
5.
Dikeluarkan
oleh Muslim dalam Kitabul Libaas Bab Tahrimu Khotam adz-Dzahab ‘alar
Rijaal (2090).
0 komentar:
Posting Komentar