Alokasi Harta
Bila ada seorang muslim meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta, tidak semua harta peninggalannya langsung dibagi sebagai warisan. Ada sejumlah pos pengeluaran yang harus ditunaikan terlebih dahulu. Tentu saja bila pos-pos pengeluaran itu memang ada. Setelah itu, barulah sisanya dibagi menurut hukum waris.
1. Menetapkan Kepemilikan Harta
Meski pun bagian ini nyaris tidak kita temukan di kitab-kitab fiqih klasik, namun pada kenyataannya, terutama di negeri kita, justru bagian ini paling rumit dari semua urusan pembagian warisan. Pertama yang harus dilakukan adalah memilah dan memilih mana yang merupakan harta almarhum dan mana yang harta milik orang lain, tetapi tercampur di dalam harta almarhum.
Mengapa demikian?
Karena ketentuan dalam hukum waris Islam, harta yang dibagi waris itu harus harta yang 100% dimiliki oleh almarhum yang meninggal dunia. Padahal kenyataan yang sering terjadi harta yang ada itu masih menjadi milik bersama, baik antara suami istri atau pun dengan pihak lain.
Ada beberapa contoh kasus yang sering terjadi dimana di dalam harta seseorang masih tercampur hak milik orang lain, diantaranya :
a. Usaha Bersama Suami Istri
Sepasang suami istri sejak menikah telah membangun usaha bersama, katakanlah membuka toko. Keduanya mengeluarkan harta benda dan tenaga untuk memajukan usaha keluarga itu secara bersama-sama. Bisa dikatakan harta yang mereka miliki itu menjadi harta berdua. Ketika keduanya masih hidup, barangkali tidak timbul persoalan, lantran kedua suami istri.
Tapi akan muncul masalah saat istri meninggal dunia. Apalagi bila suami kawin lagi. Tentu di dalam harta berupa usaha toko itu ada hak milik istri sebelumnya. Suami tentu tidak bisa menguasai begitu saja peninggalan itu.
Boleh jadi akan muncul masalah dengan anak-anak. Mereka akan mengatakan bahwa ibu mereka punya hak atas harta yang kini menjadi milik ayah dan ibu tiri mereka.
Dalam hal ini, harus dirunut ke belakang tentang status kepemilikan usaha keluarga itu. Berapakah besar yang menjadi milik suami dan berapa yang menjadi bagian istri, seharusnya ditetapkan terlebih dahulu.
Kalau istri sebagai pemilik atau pemegang saham, maka berapa besar saham istri harus ditetapkan secara jelas. Dan kalau istri berstatus sebagai pegawai, gajinya harus ditetapkan secara jelas juga.
Maka hanya harta yang sudah benar-benar 100% milik istri saja yang dibagi waris, sedangkan yang milik suami tentu tidak dibagi waris, karena dia masih hidup.
b. Suami Memberi Hadiah Kepada Istri
Sebuah keluarga pecah gara-gara istri almarhum dan anak-anaknya diteror oleh adik-adik almarhum sendiri. Pasalnya, menurut adik-adik almarhum, mereka berhak mendapat harta warisan berupa kolam pemancingan dari peninggalan harta kakak mereka, lantaran sang kakak tidak punya anak laki-laki. Dalam hal ini, kalau almarhum tidak punya anak laki-laki, sisa warisan jatuh kepada ashabah yang tidak lain adalah adik-adik almarhum.
Tapi menurut istri almarhum yang kini sudah menjanda, kolam pancing ikan yang diributkan itu pada dasarnya bukan asset harta milik suaminya yang sudah almarhum. Karena semasa hidupnya, almarhum telah menghadiahkan kolam pancing itu kepada dirinya sebagai hadiah ulang tahun.
Hal itu terbukti dari surat tanah yang memang atas nama istri. Maka harta itu tidak bisa dibagi waris, karena statusnya bukan milik almarhum.
Maka seberapa benar pernyataan dari masing-masing pihak, harus ditelusuri terlebih dahulu, baik dengan menghadirkan saksi-saksi atau pun dengan surat-surat bukti kepemilikan. Barulah setelah semua jelas, bagi waris bisa dilakukan.
c. Pinjam atau Beli
Ini kisah nyata. Seorang adik pinjam uang kepada kakaknya untuk naik haji. Dan sebagai jaminannya, sepetak sawah digadaikan kepada sang kakak.
Sayangnya sampai sekian puluh tahun kemudian, uang pinjaman ini tidak dikembalikan. Otomatis sawah sebagai jaminan pun juga masih di tangan sang kakak.
Ketika kedua kakak beradik ini sudah meninggal, anak dan cucu mereka bermaksud membagi harta warisan. Muncul masalah tentang status sawah, karena para ahli waris meributkan statusnya. Anak keturunan sang adik mengatakan bahwa sawah itu milik orang tua mereka, karena orang tua mereka tidak pernah menjual sawah itu semasa hidupnya, kecuali hanya menjadikannya sebagai jaminan hutang.
Sedangkan anak keturunan sang kakak mengatakan bahwa sawah itu sudah menjadi hak orangtua mereka, lantaran utang belum pernah dikembalikan.
Anak keturunan si adik akhirnya bersedia mengembalikan hutang orangtua mereka, tetapi nilainya hanya Rp. 30.000 saja, karena dulu pinjam uangnya hanya senilai itu saja. Karuan saja keluarga sang kakak meradang, karena apa artinya uang segitu di zaman sekarang ini. Padahal di masa lalu, uang segitu senilai dengan biaya pergi haji ke tanah suci. Mereka meminta setidaknya uang itu dikembalikan seharga biaya ONH sekarang, yaitu sekitar 30-an juta.
Dan masih banyak lagi kasus-kasus di tengah masyarakat, yang intinya menuntut penyelesaian terlebih dahulu dalam hal status kepemilikan harta almarhum.
2. Pengurusan Jenazah
Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.
Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
3. Hutang
Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."
Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan.
Al-Hanafiyah
Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.
Mereka beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya.
Jumhur Ulama
Jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak.
Asy-syafi'iyah
Menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba.
Al-Malikiyah
Mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada Allah.
Al-Hanabilah
Ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris.
4. Washiyat
Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada :
• ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya),
• kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).
Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.
Jumat, 17 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar