Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

wibiya widget

My Blog List

flag counter

daftar menu

Loading...
Tag this on nabtag

twiter

Recent Comments

google seacrh


  • Web
  • alwafaalmuttaqiin
  • buku tamu

    google translite


    clock

    Voting

    My Ballot Box
    Bagaimana Menurutmu blog ku ni ?







    wibiya widget

    Selasa, 27 Desember 2011

    perang salib

    BAB 1
    PENDAHULUAN
    A. Latar Belakang Masalah
    Perang Salib adalah gerakan umat Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim di Palestina secara berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai abad ke-13, dengan tujuan untuk merebut Tanah Suci dari kekuasaan kaum Muslim dan mendirikan gereja dan kerajaan Latin di Timur. Dinamakan Perang Salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur dalam peperangan memakai tanda salib pada bahu, lencana dan panji-panji mereka.
    Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan.
    Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk internal antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti Perang Salib Keempat) bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel-kota yang paling maju dan kaya di benua Eropa saat itu.

    B. Rumusan Masalah
    Rumusan masalah dari makalah ini adalah meliputi :
    1. Bagaimana keadaan sebelum perang salib ?
    2. Apa dan bagaimana latar belakang terjadinya perang salib 1 – perang salib 4 ?
    3. Bagaimana kondisi setelah perang salib ?
    4. Apa saja peninggalan-peninggalan akibat perang salib ?

    C. Tujuan Masalah
    Tujuan masalah dari makalah ini meliputi :
    1. Untuk mengetahui keadaan sebelum perang salib ?
    2. Untuk mengetahui penyebab utama meledaknya perang salib, dan apa saja yang melatar belakanginya ?
    3. Untuk mengetahui kondisi setelah perang salib dan peninggalan-peninggalannya ?



    BAB 2
    PEMBAHASAN
    A. Situasi Sebelum Perang salib
    Situasi di Eropa
    Asal mula ide perang salib adalah perkembangan yang terjadi di Eropa Barat sebelumnya pada Abad Pertengahan, selain itu juga menurunnya pengaruh Kekaisaran Byzantium di timur yang disebabkan oleh gelombang baru serangan Muslim Turki. Pecahnya Kekaisaran Carolingian pada akhir Abad Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan Eropa sesudah peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slavia, dan Magyar, telah membuat kelas petarung bersenjata yang energinya digunakan secara salah untuk bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk setempat.Gereja berusaha untuk menekan kekerasan yang terjadi melalui gerakan-gerakan Pax Dei dan Treuga Dei. Usaha ini dinilai berhasil, akan tetapi para ksatria yang berpengalaman selalu mencari tempat untuk menyalurkan kekuatan mereka dan kesempatan untuk memperluas daerah kekuasaan pun menjadi semakin tidak menarik. Pengecualiannya adalah saat terjadi Reconquista di Spanyoldan Portugal, dimana pada saat itu ksatria-ksatria dari Iberia dan pasukan lain dari beberapa tempat di Eropa bertempur melawan pasukan Moor Islam, yang sebelumnya berhasil menyerang dan menaklukan sebagian besar Semenanjung Iberia dalam kurun waktu 2 abad dan menguasainya selama kurang lebih 7 abad.
    Pada tahun 1063, Paus Alexander II memberikan restu kepausan bagi kaum Kristen Iberia untuk memerangi kaum Muslim. Paus memberikan baik restu kepausan standar maupun pengampunan bagi siapa saja yang terbunuh dalam pertempuran tersebut. Maka, permintaan yang datang dari Kekaisaran Byzantium yang sedang terancam oleh ekspansi kaum Muslim Seljuk, menjadi perhatian semua orang di Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari Kaisar Michael VII kepada Paus Gregorius VII dan sekali lagi pada tahun 1095, dari Kaisar Alexius I Comnenus kepada Paus Urbanus II.
    Perang Salib adalah sebuah gambaran dari dorongan keagamaan yang intens yang merebak pada akhir abad ke-11 di masyarakat. Seorang tentara Salib, sesudah memberikan sumpah sucinya, akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan dianggap sebagai “tentara gereja”. Hal ini sebagian adalah karena adanya Kontroversi Investiture, yang berlangsung mulai tahun 1075 dan masih berlangsung selama Perang Salib Pertama. Karena kedua belah pihak yang terlibat dalam Kontroversi Investiture berusaha untuk menarik pendapat publik, maka masyarakat menjadi terlibat secara pribadi dalam pertentangan keagamaan yang dramatis. Hasilnya adalah kebangkitan semangat Kristen dan ketertarikan publik pada masalah-masalah keagamaan. Hal ini kemudian diperkuat oleh propaganda keagamaan tentang Perang untuk Keadilan untuk mengambil kembali Tanah Suci – yang termasuk Yerusalem (dimana kematian, kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga terjadi menurut ajaran Kristen) dan Antiokhia (kota Kristen yang pertama) - dari orang Muslim. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di Neraka. Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk surga pada saat mereka meninggal dunia. Akan tetapi, kontroversi yang terjadi adalah apa sebenarnya yang dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada saat itu. Suatu teori menyatakan bahwa jika seseorang gugur ketika bertempur untuk Yerusalemlah “penebusan dosa” itu berlaku. Teori ini mendekati kepada apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II dalam pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa jika para tentara salib berhasil merebut Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam pertempuran tidak akan diberikan “penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa jika seseorang telah sampai ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari dosa-dosanya sebelum Perang Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap bisa masuk Neraka jika melakukan dosa sesudah Perang Salib. Seluruh faktor inilah yang memberikan dukungan masyarakat kepada Perang Salib Pertama dan kebangkitan keagamaan pada abad ke-12.

    Situasi Timur Tengah
    Keberadaan Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak penaklukan bangsa Arab terhadap Palestina dari tangan Kekaisaran Bizantium pada abad ke-7. Hal ini sebenarnya tidak terlalu memengaruhi penziarahan ke tempat-tempat suci kaum Kristiani atau keamanan dari biara-biara dan masyarakat Kristen di Tanah Suci Kristen ini. Sementara itu, bangsa-bangsa di Eropa Barat tidak terlalu perduli atas dikuasainya Yerusalem–yang berada jauh di Timur–sampai ketika mereka sendiri mulai menghadapi invasi dari orang-orang Islam dan bangsa-bangsa non-Kristen lainnya seperti bangsa Vikingdan Magyar. Akan tetapi, kekuatan bersenjata kaum Muslim Turki Saljuk yang berhasil memberikan tekanan yang kuat kepada kekuasaan Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen OrtodoksTimur.
    Titik balik lain yang berpengaruh terhadap pandangan Barat kepada Timur adalah ketika pada tahun 1009, kalifah Bani Fatimiyah, Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre Penerusnya memperbolehkan Kekaisaran Byzantium untuk membangun gereja itu kembali dan memperbolehkan para peziarah untuk berziarah di tempat itu lagi. Akan tetapi, banyak laporan yang beredar di Barat tentang kekejaman kaum Muslim terhadap para peziarah Kristen. Laporan yang didapat dari para peziarah yang pulang ini kemudian memainkan peranan penting dalam perkembangan Perang Salib pada akhir abad itu.

    B. Perang Salib Pertama
    Perang Salib Pertama dilancarkan pada 1095 oleh Paus Urban II untuk merebut serta membebaskan tanah kota suci Yerusalem yang juga merupakan tanah suci bagi umat Kristen dari umat Muslim yang pada saat itu terdapat perkembangan dan banyak kunjungan yang dilakukan oleh terutama para pedagang juga ulama muslim kaum seljuk Turki. perang salib pertama adalah tidak lebih dari suara - suara yang dilebih - lebihkan dari para ulama kristen yang diakibatkan oleh gangguan yang dilakukan oleh segelintir pedagang kaum seljuk Turki juga bukan mengatasnamakan agama yang dilakukan pada jalur perdagangan kaum kristiani. Keberangkatan atau migrasi dari pasukan salib pertama ini berubah dari misi atau tugas yang diberikan yaitu untuk melindungi dan merekonsiliasi antara tiga umat beragama disana menjadi sebuah usahapenaklukan,pembantaian terhadap umat non kristen dan yahudi serta penguasaan keseluruhan wilayah Yerusalem.
    Baik ksatria dan orang awam dari banyak negara di Eropa Barat, dengan sedikit pimpinan terpusat, berjalan melalui tanah dan laut menuju Yerusalem dan menguasai kota tersebut pada Juli 1099, serta mendirikan Kerajaan Yerusalem atau kerajaan Latin di Yerusalem. Meskipun penguasaan ini hanya berakhir kurang dari dua ratus tahun, Perang salib merupakan titik balik penguasaan dunia Barat, dan satu-satunya yang berhasil meraih tujuannya.

    Latar belakang
    Meskipun menjelang abad kesebelas sebagian besar Eropa memeluk agama Kristen secara formal — setiap anak dipermandikan, hierarki gereja telah ada untuk menempatkan setiap orang percaya di bawah bimbingan pastoral, pernikahan dilangsungkan di Gereja, dan orang yang sekarat menerima ritual gereja terakhir.
    Pada tahun 1088, seorang Perancis bernama Urbanus II menjadi Paus. Kepausannya itu ditandai dengan pertikaian raja Jerman, Henry IV — kelanjutan kebijakan pembaruan oleh Paus Gregorius VIII yang tidak menghasilkan apa-apa. Paus yang baru ini tidak ingin meneruskan pertikaian ini. Tetapi ia ingin menyatukan semua kerajaan Kristen. Ketika Kaisar Alexis dari Konstantinopel meminta bantuan Paus melawan orang-orangMuslim Turki, Urbanus melihat bahwa adanya musuh bersama ini akan membantu mencapai tujuannya.
    Tidak masalah meskipun Paus telah mengucilkan patriark Konstantinopel, dan Kristen Ortodoks Timor tidak lagi merupakan satu gereja. Urbanus mencari jalan untuk menguasai Timur, sementara ia menemukan cara pengalihan bagi para pangeran Barat yang bertengkar terus.
    Pada tahun 1095 Urbanus mengadakan Konsili Clermont. Di sana ia menyampaikan kotbahnya yang bertujuan untuk menggerakkan bahkan membakar walaupun pada faktanya kabar itu tidak benar dan bersifat propaganda untuk menimbulkan kebencian terhadap umat muslim kabar itu ialah : "Telah tersebar sebuah cerita mengerikan ... sebuah golongan terkutuk yang sama sekali diasingkan Allah ... telah menyerang tanah (negara) orang Kristen dan memerangi penduduk setempat dengan pedang, menjarah dan membakar." Ia berseru: "Pisahkanlah daerah itu dari tangan bangsa yang jahat itu dan jadikanlah ia sebagai milikmu." inilah perkataan yang dianggap sebuah momentum pergerakan kaum kristiani eropa dan juga sebuah pencapaian yang luar biasa dari Urbanus untuk dapat menguasai timur yang gerbangnya ialah yerusalem tanah suci bagi tiga agama dan kaum yaitu yahudi,kristiani dan muslim.
    "Deus vult! Deus vult! (Allah menghendakinya)," teriak para peserta. Ungkapan itu telah menjadi slogan perang pasukan Perang Salib. Ketika para utusan Paus melintasi Eropa, merekrut para ksatria untuk pergi ke Palestina dengan menggunakan kata-kata propaganda pemimpin mereka, mereka mendapatkan respons antusias dari pejuang-pejuang eropa terutama Perancis dan Italia. Banyak di antaranya tersentak dan terbakar karena tujuan agamawi, tetapi tidak diragukan juga bahwa yang lain berangkat juga untuk keuntungan ekonomi. Ada juga yang ingin berpetualang merampas kembali tanah peziarahan di Palestina, yang telah jatuh ke tangan kaum Muslim.
    Untuk mendorong tentara Perang Salib, Urbanus dan para paus yang mengikutinya menekankan "keuntungan" spiritual dari perang melawan orang-orang Muslim itu. Dari sebuah halaman Bible, Urbanus meyakinkan para pejuang itu bahwa dengan melakukan perbuatan ini, mereka akan langsung masuk surga, atau sekurang-kurangnya dapat memperpendek waktu di api penyuciankata mereka kaum ulama eropa kalau tujuannya benar tetapi ada niat terselubung yang memang kaum eropa ingin lakukan dari zaman Alexander the great sampai zaman imperium roma yaitu penaklukan daerah timur.
    Dalam perjalanannya menuju tanah suci, para tentara Perang Salib berhenti di Konstantinopel. Selama mereka ada di sana, hanya satu hal yang ditunjukkan: Persatuan antara Timur dan Barat masih mustahil. Sang kaisar melihat para prajurit yang berpakaian besi itu sebagai ancaman bagi takhtanya. Ketika para tentara Perang Salib mengetahui bahwa Alexis telah membuat perjanjian dengan orang-orang Turki, mereka merasakan bahwa "pengkhianat" ini telah menggagalkan bagian pertama misi mereka: menghalau orang-orang Turki dari Konstantinopel.
    Dengan bekal dari sang kaisar, pasukan tersebut melanjutkan perjalanannya ke selatan dan timur, menduduki kota-kota Antiokhia dan Yerusalem. Banjir darah dan pembantaian terhadap kaum muslim mengikuti kemenangan mereka di Kota Suci itu. Taktik para tentara Perang Salib ialah "tidak membawa tawanan" yang kita semua tahu bahwa sebab berhasilnya perang salib I ini adalah ketidaktahuan para umat baik itu muslim, kristen dan yahudi di yerusalem bahwa mereka datang untuk menyerang karena itulah para muslim tidak menyiagakan pasukannya dan memang yang pada waktu itu yerusalem bukan daerah kekuasaan atau jajahan kekaisaran muslim, biadabnya lagi yang mereka bantai adalah para penduduk dan pedagang muslim yang sudah menyerah,inilah yang menyebabkan kebencian umat islam. Seorang pengamat yang merestui tindakan biadab tersebut menulis bahwa para prajurit "menunggang kuda mereka dalam darah yang tingginya mencapai tali kekang kuda".dan memang kaum kristiani eropa cenderung menutupi kejadian ini dan yang semacam ini, demi nama baik mereka, tidak seperti pembantaian kaum yahudi yang selalu mereka gembar-gemborkan.
    Setelah mendirikan kerajaan Latin di Yerusalem, dan dengan mengangkat Godfrey dari Bouillon sebagai penguasanya, mereka berubah sikap, dari penyerangan ke pertahanan yang dikarenakan para kaum muslim telah tersadar dan mengirimkan bala tentaranya Mereka kaum kristiani eropa mulai membangun benteng-benteng baru, yang hingga kini, sebagian darinya masih terlihat.
    Pada tahun-tahun berikutnya, terbentuklah ordo-ordo baru yang bersifat setengah militer dan setengah keagamaan. Ordo paling terkenal adalah Ordo Bait Allah (bahasa Inggris: Knights Templars) danOrdo Rumah Sakit (bahasa Inggris: Knights Hospitalers). Meskipun pada awalnya dibentuk untuk membantu para tentara Perang Salib, mereka menjadi organisasi militer yang tangguh dan berdiri sendiri.
    Perang Salib pertama merupakan yang paling sukses. Meskipun agak dramatis dan bersemangat, berbagai upaya kemiliteran ini tidak menahan orang-orang Muslim secara efektif.

    C. Perang Salib Kedua
    Perang Salib Kedua (1145–1149) adalah perang salib kedua yang dilancarkan dari Eropa. Perang ini meletus akibat jatuhnya County Edessa pada tahun sebelumnya. Edessa adalah negara tentara salib yang pertama kali didirikan selama Perang Salib Pertama (1095–1099), dan juga negara yang pertama kali jatuh. Perang Salib Kedua diumumkan oleh Paus Eugenius III, dan merupakan Perang Salib pertama yang dipimpin oleh raja-raja Eropa, seperti Louis VII dari Perancis dan Conrad III dari Jerman, dengan bantuan dari bangsawan-bangsawan Eropa penting lainnya. Pasukan-pasukan kedua raja tersebut bergerak menyeberangi Eropa secara terpisah dan sedikit terhalang oleh kaisar Romawi Timur, Manuel I Comnenus. Setelah melewatiBizantium dan memasuki Anatolia, pasukan-pasukan kedua raja tersebut dikalahkan oleh tentara Seljuk. Louis, Conrad, dan sisa dari pasukannya berhasil mencapai Yerusalem dan melancarkan serangan yang "keliru" ke Damaskus pada tahun 1148. Perang Salib di Timur mencapai kemenangan. Kegagalan ini memicu jatuhnya kota Yerusalem dan Perang Salib Ketiga pada akhir abad ke-12.
    Tentara salib yang mampu menggapai kemenangan adalah gabungan tentara salib Flandria, Frisia, Normandia, Inggris, Skotlandia, dan Jerman. Mereka berlayar menuju Tanah Suci. Di tengah perjalanan, tentara tersebut berhenti dan membantu bangsa Portugis merebut Lisboa tahun 1147. Sementara itu,Perang Salib Utara dikobarkan sebagai upaya untuk mengubah orang-orang yang menganut paganisme menjadi beriman Kristen, dan mereka harus berjuang selama berabad-abad.

    Latar belakang
    Setelah meletusnya Perang Salib Pertama dan Perang Salib 1101, ada tiga negara tentara salib yang didirikan di timur, yaitu Kerajaan Yerusalem,Kepangeranan Antiokhia, dan County Edessa. County Tripoli didirikan pada tahun 1109. Edessa adalah negara yang secara geografis terletak paling utara dari keempat negara ini, dan juga merupakan negara yang paling lemah serta hanya memiliki sedikit penduduk. Maka dari itu, daerah ini sering diserang oleh negara-negara Muslim seperti Ortoqid, Danishmend, dan Seljuk. Baldwin II dan Joscelin dari Courtenay ditangkap akibat kekalahan mereka dalamPertempuran Harran tahun 1104. Baldwin dan Joscelin ditangkap kedua kalinya pada tahun 1122, dan meskipun Edessa kembali pulih setelahPertempuran Azaz pada tahun 1125, Joscelin tewas dalam pertempuran pada tahun 1131. Penerusnya, Joscelin II, terpaksa bersekutu dengan kekaisaranRomawi Timur, namun, pada tahun 1143, Kaisar Romawi Timur, John II Comnenus dan Raja Yerusalem Fulk dari Anjou, meninggal dunia. Joscelin juga bertengkar dengan Count Tripoli dan Pangeran Antiokhia, sehingga Edessa tidak memiliki sekutu yang kuat.
    Sementara itu, Zengi, seorang Atabeg dari Mosul, merebut Aleppo pada tahun 1128. Aleppo merupakan kunci kekuatan di Suriah. Baik Zengi maupun raja Baldwin II mengalihkan perhatian mereka ke arah Damaskus. Sayangnya, Baldwin dapat ditaklukan di luar kota tersebut pada tahun 1129. Damaskus yang dikuasai oleh Dinasti Burid, selanjutnya bersekutu dengan raja Fulk ketika Zengi mengepung kota Damaskus pada tahun 1139 dan tahun 1140.
    Pada akhir tahun 1144, Joscelin II bersekutu dengan Ortoqid dan menyerang Edessa dengan hampir seluruh pasukannya untuk membantu Ortoqid melawan Aleppo. Zengi, yang hendak mengambil kesempatan atas kematian Fulk tahun 1143, dengan cepat bergerak ke utara untuk mengepung Edessa, yang akhirnya jatuh ke tangannya setelah sebulan pada tanggal 24 Desember 1144. Manasses dari Hierges, Philip dari Milly dan lainnya dikirim dari Yerusalem untuk membantu, tetapi mereka sudah terlambat. Joscelin II terus menguasai sisa wilayah Edessa dari Turbessel, tetapi sedikit demi sedikit sisa daerah tersebut direbut atau dijual kepada Bizantium. Zengi sendiri dipuji sebagai "pelindung kepercayaan" dan al-Malik al-Mansur, "raja yang berjaya". Ia tidak menyerang sisa teritori Edessa, atau kerajaan Antiokhia. Peristiwa di Mosul memaksanya untuk pulang, dan ia sekali lagi mengalihkan perhatiannya pada Damaskus, namun ia dibunuh oleh seorang budak pada tahun 1146 dan digantikan oleh anaknya, Nuruddin.[4] Joscelin berusaha untuk merebut kembali Edessa dengan terbunuhnya Zengi, tapi Nuruddin dapat mengalahkannya pada November 1146.

    Reaksi dari Barat
    Berita jatuhnya Edessa dikabarkan oleh para peziarah pada awal tahun 1145, lalu kemudian oleh duta besar dari Antiokhia, Yerusalem dan Armenia. Uskup Hugh dari Jabala melaporkan berita ini kepada Paus Eugenius III, yang mengeluarkan bula kepausan quantum praedecessores pada tanggal 1 Desember 1145 yang memerintahkan dilaksanakannya Perang Salib Kedua. Hugh juga memberitahu Paus bahwa seorang raja Kristen timur diharapkan akan memberi pertolongan kepada negara-negara tentara salib.
    Perang salib yang baru diharapkan akan lebih teratur daripada Perang Salib Pertama. Apalagi, tentara salib akan dipimpin oleh raja-raja terkuat dari Eropa. Sayangnya, paus hanya mendapat sedikit tanggapan. Louis VII dari Perancis telah memikirkan ekspedisi baru tanpa campur tangan Paus. Ia telah mengumumkan hal itu pada istanannya di Bourges tahun 1145. Saat ini masih diperdebatkan, apakah Louis merencanakan perang salibnya sendiri, atau ia hendak memenuhi janjinya kepada saudaranya, Phillip, bahwa ia akan pergi ke Tanah Suci. Mungkin Louis menghendaki pilihan bebasnya setelah mendengar tentang quantum praedecessores. Sayangnya, Kepala Biara Suger dan bangsawan lainnya tidak senang dengan rencana Louis, karena ia akan pergi dari kerajaan selama beberapa tahun. Louis berkonsultasi dengan Bernardus dari Clairvaux, yang menyuruhnya menemui Eugenius. Kini Louis pasti telah mendengar tentang bula kepausan, dan Eugenius dengan penuh semangat mendukung perang salib Louis. Bula kepausan dikeluarkan kembali pada tanggal 1 Maret 1146, dan Paus Eugenius memberikan kekuasaan kepada Bernardus untuk berkhotbah di Perancis.

    Bernardus dari Clairvaux
    Paus memerintahkan Bernardus untuk mengkhotbahkan Perang Salib Kedua dan memberikan indulgensi sebagaimana yang diberikan oleh Paus Urbanus II untuk Perang Salib Pertama. Parlemen dihimpunkan di Vézelay, Burgundia tahun 1146, dan Bernardus berkhotbah dihadapan dewan pada 31 Maret. Louis VII dari Perancis, istri Louis Aliénor dari Aquitania, pangeran dan pemimpin-pemimpin hadir dan bersujud dibawah kaki Bernardus untuk menerima salib peziarah. Conrad III dari Jerman dan keponakannya Frederick Barbarossa, menerima salib dari tangan Bernardus. Paus Eugenius sendiri datang ke Perancis untuk menyemangati. Bernardus kemudian pergi ke Jerman.
    Walaupun semangatnya meluap-luap, namun pada dasarnya Bernardus bukanlah seorang fanatik maupun penganiaya. Seperti pada Perang Salib Pertama, khotbahnya dengan tidak sengaja menyebabkan serangan terhadap orang Yahudi. Pendeta fanatik Perancis yang bernama Rudolf telah menyebabkan pembantaian Yahudi di Rhineland, Cologne, Mainz,Worms, dan Speyer. Rudolf menyatakan Yahudi tidak membantu secara finansial untuk menyelamatkan Tanah Suci. Bernardus menentang serangan tersebut dan berkelana dari Flandria ke Jerman untuk menyelesaikan masalah dan menenangkan massa. Bernardus lalu bertemu Rudolf di Mainz dan berhasil membuatnya diam, lalu mengembalikannya ke biara.

    D. Perang salib Wend
    Ketika Perang Salib Kedua diserukan, banyak orang Jerman Selatan yang menjadi sukarelawan perang. Orang-orang Sachsen di Jerman Utara merasa enggan. Pada pertemuan Reichstag di Frankfurt tanggal 13 Maret 1147, mereka memberitahu Santo Bernardus bahwa mereka lebih ingin berperang melawan bangsa Slavia. Paus Eugenius menerima rencana Sachsen dan mengeluarkan bula kepausan divina dispensatione pada 13 April. Bula Kepausan ini menyatakan bahwa tidak ada perbedaan nilai spiritual yang didapat dalam masing-masing perang salib. Orang yang menjadi sukarelawan melawan bangsa Slavia adalah bangsa Denmark, Sachsen, dan Polandia, dan juga terdapat bangsa Bohemia. Wakil Paus, Anselm dari Havelberg, diberi wewenang untuk memegang kekuasaan secara keseluruhan. Kampanye militer itu sendiri dipimpin oleh keluarga-keluarga Sachsen seperti Ascania, Wettin, dan Schauenburg.
    Kecewa dengan parsitipasi Jerman dalam perang salib, Obotrit menyerang Wagria pada Juni 1147, sehingga tentara salib mulai bergerak pada akhir musim panas tahun 1147. Setelah mengusir Obotrit dari wilayah Kristen, tentara salib menyerang benteng Obotrit di Dobin dan benteng bangsa Liutizia di Demmin. Ketika beberapa tentara salib menganjurkan untuk menghancurkan wilayah di luar kota, beberapa lainnya menolak, dan bertanya, "apakah itu bukan tanah kita sehingga kita hendak menghancurkannya, dan apakah mereka bukan bangsa kita sehingga kita hendak bertempur melawan mereka?" Pasukan Sachsen dibawah Henry si Singa mundur setelah kepala kaum pagan Niklot setuju untuk membaptis garnisun Dobin. Setelah pengepungan Demmin gagal, kontingen tentara salib dialihkan untuk menyerang Pomerania. Mereka telah mencapai kota Kristen Stettin, lalu tentara salib dibubarkan setelah bertemu dengan Uskup Albert dari Pomerania dan PangeranRatibor I dari Pomerania.
    Menurut Bernardus dari Clairvaux, tujuan perang salib ini adalah untuk melawan Slavia pagan "hingga pada saatnya nanti, dengan pertolongan Tuhan, entah mereka akan berpindah agama atau disingkirkan."[13] Sayangnya, tentara salib gagal mengganti agama orang-orang Wend. Orang-orang Sachsen mendapati kaum Slavia di Dobin berbondong-bondong kembali ke kepercayaan pagan mereka ketika tentara Kristen dibubarkan. Albert dari Pomerania menjelaskan, "jika mereka ingin agar Kekristenan mengakar kuat ... yang harus mereka lakukan adalah menyebarkannya melalui pengajaran, bukan menggunakan senjata."
    Pada akhir perang salib, Mecklenburg dan Pomerania mengalami penjarahan dan depopulasi akibat maraknya pertumpahan darah, terutama diakibatkan oleh keganasan tentara Henry si Singa. Akibatnya, penduduk Slavia kehilangan banyak metode produksi, sehingga membatasi perlawanan mereka di masa depan.

    Reconquista dan jatuhnya Lisboa
    Pada musim semi tahun 1147, Paus mengatur perluasan perang salib ke semenanjung Iberia. Ia memerintahkan Alfonso VII dari León untuk menyamakan kampanyenya melawan Moor dengan Perang Salib Kedua.[17] Pada Mei 1147, kontingen tentara salib pertama meninggalkan Dartmouth di Inggris menuju Tanah Suci. Cuaca buruk memaksa kapal mereka berhenti di kota Porto pada 16 Juni 1147. Di sana mereka dibujuk untuk bertemu dengan Afonso I dari Portugal.
    Tentara salib setuju untuk membantu Afonso menyerang Lisboa. Pengepungan Lisboa berlangsung dari 1 Juli hingga 25 Oktober 1147. Pada 25 Oktober, penguasa Moor menyerah, terutama karena kelaparan. Kebanyakan tentara salib menetap di kota yang baru direbut, tetapi beberapa dari mereka berlayar dan meneruskan perjalanan ke Tanah Suci. Beberapa di antara mereka, yang telah berangkat lebih awal, membantu merebut Santarém pada tahun yang sama. Mereka juga membantu menguasai Sintra, Almada, Palmela dan Setúbal, dan dipersilakan untuk tinggal di tanah yang telah ditaklukan. Selanjutnya mereka mulai menghasilkan keturunan.
    Di tempat lain di semenanjung Iberia pada waktu yang hampir sama, Alfonso VII of León, Ramon Berenguer IV, dan lainnya, memimpin tentara salibCatalunya dan Perancis melawan kota pelabuhan Almería yang kaya. Dengan dukungan dari angkatan laut Genova-Pisa, kota ini berhasil diduduki pada Oktober 1147. Ramon Berenger lalu menyerang wilayah Taifa Murabitun di Valencia dan Murcia. Pada Desember 1148, ia merebut Tortosa setelah pengepungan selama lima bulan dengan bantuan tentara salib Perancis dan Genova. Satu tahun kemudian, Fraga, Lleida dan Mequinenza jatuh ke tangan pasukannya.

    E. Perang Salib di Timur
    Joscelin mencoba merebut kembali Edessa setelah pembunuhan Zengi, tetapi Nuruddin menaklukannya pada November 1146. Pada 16 Februari 1147, tentara salib Perancis bertemu di Étampes untuk mendiskusikan rute mereka. Jerman memilih untuk melewati Hongaria karena Roger II, Raja Sisilia, adalah musuh Conrad dan rute laut secara politis tidak praktis. Banyak bangsawan Perancis tidak mempercayai jalur yang akan membawa mereka melalui Kekaisaran Romawi Timur tersebut, yang memiliki sejarah buruk pada masa Perang Salib Pertama. Meskipun demikian, akhirnya mereka memutuskan untuk mengikuti Conrad, dan direncanakan berangkat pada 15 Juni. Roger II merasa tersinggung dan menolak berpartisipasi lebih lanjut. Di Perancis, Kepala Biara Suger dan William II dari Nevers terpilih sebagai wali raja sementara raja pergi mengikuti perang salib. Di Jerman, pengkhotbahan lebih lanjut dikumandangkan oleh Adam dari Ebrach dan Otto dari Freising. Pada 13 Maret di Frankfurt, putra Conrad, Frederick, terpilih sebagai raja dibawah perwakilan Henry, Uskup kepala Mainz. Jerman berencana pergi ke Tanah Suci pada hari Paskah, tetapi mereka tidak berangkat sampai bulan Mei.

    Rute Jerman
    Tentara salib Jerman, tediri dari Franconia, Bayern, dan Swabia, meninggalkan tanah air mereka pada Mei 1147. Ottokar III dari Styria bergabung dengan Conrad di Wina, dan musuh Conrad, Geza II dari Hongaria, akhirnya membiarkan mereka lewat. Ketika 20.000 pasukan Jerman tiba di wilayah Bizantium, Manuel takut mereka akan menyerang Bizantium, dan pasukan Romawi Timur ditugaskan untuk memastikan agar tidak terjadi masalah apapun. Pertempuran-pertempuran kecil dengan beberapa orang Jerman yang tidak mau menurut meletus di dekat Philippopolis dan di Adrianopel, tempat jendral Bizantium, Prosouch, bertempur dengan keponakan Conrad, yang nantinya akan menjadi kaisar, Frederick. Lebih buruk lagi, beberapa pasukan Jerman tewas karena banjir pada awal bulan September. Pada 10 September, mereka tiba di Konstantinopel. Hubungan dengan Manuel kurang baik dan orang Jerman diminta untuk menyeberang ke Asia Kecil secepat mungkin. Manuel ingin Conrad meninggalkan beberapa pasukannya di belakang untuk membantunya bertahan melawan serangan Roger II, yang telah mengambil kesempatan untuk untuk merebut kota-kota di Yunani, tetapi Conrad menolak, walaupun ia adalah musuh dari Roger.
    Di Asia Kecil, Conrad memilih untuk tidak menunggu pasukan Perancis, dan maju menyerang Iconium, ibukota Kesultanan Rum. Conrad memisahkan pasukannya menjadi 2 divisi. Conrad memimpin salah satu 1 divisi, yang hampir dihancurkan oleh Seljuk pada 25 Oktober1147 dalam Pertempuran Dorylaeum Kedua.
    Turki Seljuk menggunakan taktiknya. Mereka berpura-pura mundur, lalu menyerang kavaleri kecil Jerman yang terpisah dari pasukan utama karena mengejar mereka. Conrad mulai mundur pelan-pelan ke Konstantinopel, dan pasukannya diganggu setiap hari oleh Turki Seljuk, yang menyerang dan menaklukan penjaga depan. Bahkan Conrad terluka saat bertempur dengan mereka. Divisi yang lain, dipimpin oleh Otto dari Freising, maju ke selatan pantai Mediterania dan dapat ditaklukan pada awal tahun 1148.


    Rute Perancis
    Tentara salib Perancis berangkat dari Metz pada bulan Juni 1147, dipimpin oleh Louis, Thierry dari Elsas, Renaut I dari Bar, Amadeus III dari Savoy dan saudaranya William V dari Montferrat, William VII dari Auvergne, dan lain-lain, bersama dengan pasukan Lorraine,Bretagne, Burgundi, dan Aquitaine. Pasukan dari Provence, dipimpin oleh Alphonse dari Tolosa, memilih untuk menunggu sampai bulan Agustus. Di Worms, Louis bergabung dengan tentara salib dari Normandia dan Inggris. Mereka mengikuti rute Conrad dengan damai, meskipun Louis datang dalam konflik dengan Geza dari Hongaria sat Geza menemukan Louis telah mempersilakan orang Hongaria untuk bergabung dengan pasukannya.
    Sejak negosiasi awal di antara Louis dan Manuel, Manuel telah menghentikan kampanye militer melawan Kesultanan Rüm dan menandatangani gencatan senjata dengan Mas'ud. Hal ini dilakukan sehingga Manuel dapat memusatkan perhatiannya pada pertahanan kekaisarannya dari tentara salib, yang memiliki reputasi buruk akibat pencurian dan pengkhianatan sejak Perang Salib Pertama. Mereka dituduh melakukan hal yang jahat di Konstantinopel. Hubungan Manuel dengan pasukan Perancis lebih baik daripada dengan orang Jerman. Beberapa orang Perancis marah karena gencatan senjata Manuel dengan Seljuk dan melakukan penyerangan di Konstantinopel, tapi mereka dapat dikendalikan oleh Louis.
    Ketika pasukan dari Savoy, Auvergne, dan Montferrat bergabung dengan Louis di Konstantinopel dengan melewati Italia dan menyeberang dari Brindisi menujuDurres, seluruh pasukan mereka menyeberangi Bosporus menuju Asia Kecil melalui kapal. Mereka disemangati oleh rumor bahwa Jerman telah merebut Iconium, tetapi Manuel menolak memberi Louis bantuan tentara Bizantium. Bizantium baru saja diserang oleh Roger II dari Sisilia, dan seluruh pasukan Manuel dibutuhkan di Balkan. Baik Jerman dan Perancis memasuki Asia tanpa bantuan Bizantium, tidak seperti pada Perang Salib Pertama. Dalam tradisi yang dibuat oleh kakek dari Manuel, Alexios I, Manuel menyuruh orang Perancis untuk menyerahkan wilayah manapun yang direbutnya kepada Romawi Timur.
    Pasukan Perancis bertemu sisa pasukan Conrad di Nicea, dan Conrad bergabung dengan pasukan Louis. Mereka mengikuti rute Otto dari Freising, dan tiba di Efesus pada bulan Desember. Di situ, mereka menyadari bahwa Turki Seljuk mempersiapkan serangan terhadap mereka. Sementara itu, Manuel mengirim utusan yang menyatakan keluhan mengenai penjarahan dan perampasan yang dilakukan oleh Louis, dan tidak ada jaminan bahwa Bizantium akan membantu mereka melawan Turki Seljuk. Setelah itu, Conrad jatuh sakit dan kembali ke Konstantinopel. Louis tidak mendengarkan peringatan mengenai serangan Seljuk dan lalu bergerak keluar Efesus. Seljuk menunggu menyerang, tapi dalam pertempuran kecil diluar Efesus, pasukan Perancis berhasil memenangkan pertempuran. Mereka mencapai Laodicea pada Januari 1148, hampir pada waktu yang sama ketika Otto dari Freising dihancurkan di tempat yang sama. Perjalanan pun tetap dilanjutkan. Barisan depan dibawah pimpinan Amadeus dari Savoy terpisah dari pasukan di Gunung Cadmus, sementara pasukan Louis mengalami kekalahan. Pasukan Turki tidak mengganggu dengan menyerang lebih lanjut dan pasukan Perancis bergerak menuju Adalia. Adalia telah dihancurkan oleh Seljuk, dan juga dibakar agar pasukan Perancis tidak mendapat makanan. Louis tidak lagi ingin melalui jalur darat, dan memilih untuk mengumpulkan armada di Adalia dan berlayar ke Antiokhia. Setelah terlambat selama 1 bulan karena badai, hampir semua kapal yang dijanjikan tidak tiba. Louis dan koleganya mengambil kapal untuk diri mereka sendiri, sementara sisa pasukan harus melanjutkan perjalanan yang jauh ke Antiokhia. Pasukan itu hancur, baik karena serangan Turki maupun karena sakit.

    Perjalanan menuju Yerusalem
    Louis tiba di Antiokhia pada tanggal 19 Maret, setelah terlambat akibat badai. Amadeus dari Savoy meninggal di Siprus selama perjalanan. Louis disambut oleh paman Aliénor, Raymond. Raymond mengharapkan ia membantunya bertahan melawan Seljuk dan menemaninya dalam ekspedisi melawan Aleppo, tetapi Louis menolak. Ia lebih memilih untuk menyelesaikan peziarahannya di Yerusalem daripada memusatkan perhatian pada aspek militer perang salib. Raymond ingin agar Aliénor, istri Louis, tetap berada di belakang dan menceraikan Louis jika ia menolak membantunya. Louis segera meninggalkan Antiokhia menuju County Tripoli, meninggalkan Aliénor. Sementara itu, Otto dari Freising dan sisa pasukannya tiba di Jerusalam pada awal bulan April, setelah itu Conrad segera sampai. Fulk, Patriark Yerusalem, dikirim untuk mengundang Louis bergabung dengan mereka. Armada yang berhenti di Lisboa tiba, dan juga Provencal dibawah komando Aphonse dari Tolosa. Alphonse sendiri tewas dalam perjalanan menuju Yerusalem karena diracuni oleh Raymond II dari Tripoli, keponakannya yang takut akan aspirasi politiknya di Tripoli. Target utama tentara salib adalah dessa, tetapi target yang lebih diutamakan oleh Raja Baldwin III dan Ordo Bait Allahadalah Damaskus.

    Konsili Akko
    Bangsawan Yerusalem menyambut datangnya pasukan dari Eropa, dan diumumkan bahwa konsili harus dihimpunkan untuk menentukan target terbaik tentara salib. Pertemuan berlangsung pada tanggal 24 Juni 1148. Dewan Haute Cour bertemu dengan tentara salib dari Eropa di Palmarea, dekat kota Akko (kota utama di Kerajaan Yerusalem). Baik Louis maupun Conrad dibujuk untuk menyerang Damaskus
    Beberapa bangsawan (baron) Yerusalem menyatakan bahwa menyerang Damaskus adalah tindakan yang tidak bijaksana, karenaDinasti Burid di Damaskus, meskipun Muslim, adalah sekutu mereka melawan dinasti Zengid. Conrad, Louis, dan Baldwin bersikeras bahwa Damaskus adalah kota suci untuk Kekristenan. Seperti Yerusalem dan Antiokhia, Damaskus akan menjadi hadiah yang patut diperhitungkan di mata Kristen Eropa. Pada bulan Juli, pasukan mereka dikumpulkan di Tiberias dan bergerak menuju Damaskus. Mereka berjumlah 50.000 tentara.

    Pengepungan Damaskus
    Tentara salib memilih untuk menyerang Damaskus dari barat, tempat berdirinya kebun buah yang akan memberi mereka makanan. Mereka tiba pada tanggal 23 Juli. Pasukan Muslim sudah siap untuk serangan tersebut dan langsung menyerang pasukan yang bergerak melalui perkebunan diluar Damaskus. Damaskus meminta bantuan dari Saifuddin Ghazi I dari Aleppo dan Nuruddin Zengi dari Mosul. Damaskus lalu menyerang perkemahan tentara salib. Tentara salib dapat dipukul mundur dari tembok ke perkebunan. Di sana mereka rentan terhadap serangan gerilya.
    Menurut William dari Tirus, pada 27 Juli, tentara salib memilih untuk bergerak ke bagian timur, yang lebih sedikit pertahanannya, tetapi lebih kurang lagi persediaan makanan dan airnya. Nuruddin dan Saifuddin telah tiba. Dengan hadirnya Nuruddin di lapangan, sangatlah tidak mungkin bagi tentara salib untuk kembali ke posisi mereka yang lebih baik. Pemimpin tentara salib lokal menolak untuk meneruskan pengepungan, dan ketiga raja tidak memiliki pilihan selain meninggalkan kota. Conrad, lalu sisa pasukan, memilih untuk mundur kembali ke Yerusalem pada 28 Juli. Ketika mundur, mereka diikuti oleh pemanah Turki yang terus menerus menyerang mereka.

    Akibat Perang Salib
    Setiap pihak Kristen merasa saling dikhianati satu sama lain. Rencana baru dibuat untuk menyerang Ascalon, dan Conrad membawa pasukannya kesana, tapi tidak ada bantuan tiba, karena kurangnya kepercayaan akibat kegagalan pengepungan Damaskus. Ketidakpercayaan ini terus berkepanjangan, sehingga menghancurkan kerajaan Kristen di Tanah Suci. Setelah ekspedisi Ascalon dihentikan, Conrad kembali ke Konstantinopel untuk memperkuat aliansi dengan Manuel. Louis tetap berada di Yerusalem sampai tahun 1149.
    Bernardus dari Clairvaux juga dipermalukan oleh kekalahan ini. Bernardus meminta maaf kepada Paus. Menurutnya, dosa tentara salib adalah akibat dari ketidakberuntungan dan kegagalan mereka. Ketika usahanya untuk menyerukan perang salib baru gagal, ia mencoba memisahkan dirinya dari kegagalan Perang Salib Kedua. Bernardus meninggal dunia pada tahun 1153.
    Perang Salib Wend membuahkan hasil yang manis dan pahit. Sementara Sachsen menyatakan Wagria dan Polabia sebagai jajahan mereka, pagan tetap menguasai wilayah Obodrit di sebelah timur Lübeck. Sachsen menerima upeti dari Niklot, memungkinkan kolonisasi Keuskupan Havelberg, dan pembebasan beberapa tahanan Denmark, namun pemimpin-pemimpin Kristen saling mencurigai dan menuduh satu sama lain atas tuduhan mensabotase kampanye militer. Di Iberia, kampanye militer di Spanyol, dan juga pengepungan Lisboa, merupakan satu-satunya kemenangan Kristen dalam Perang Salib Kedua. Kampanye tersebut dianggap sebagai pertempuran penting dalam Reconquista, yang akan selesai pada tahun 1492.
    Serangan terhadap Damaskus membawa malapetaka kepada Yerusalem: Damaskus tidak lagi percaya kepada negara-negara tentara salib, dan kota itu diberikan kepadaNuruddin tahun 1154. Baldwin III menguasai Ascalon pada tahun 1153, yang menyeret Mesir kedalam konflik ini. Yerusalem mampu memasuki Mesir dan merebut Kairopada tahun 1160. Akan tetapi, bantuan dari Eropa jarang datang setelah bencana yang diakibatkan oleh Perang Salib Kedua. Raja Amalric I dari Yerusalem bersekutu dengan Romawi Timur dan melancarkan invasi gabungan ke Mesir tahun 1169, tapi serangan ini gagal. Pada tahun 1171, Salahuddin Ayyubi, keponakan dari salah satu jenderal Nuruddin, menjadi Sultan Mesir. Ia mempersatukan Mesir dan Suriah, lalu mengepung kerajaan tentara salib. Sementara itu, aliansi dengan Bizantium berakhir setelah kematian Kaisar Manuel I pada tahun 1180, dan pada tahun 1187, Yerusalem diserang dan direbut oleh Salahuddin. Pasukannya lalu menyebar ke utara dan merebut semua ibukota negara-negara tentara salib, memicu meletusnya Perang Salib Ketiga.

    F. Perang Salib Ketiga
    Perang Salib Ketiga (1189–1192), juga dikenal sebagai Perang Salib Para Raja, adalah sebuah perang yang dikobarkan para pemimpin Eropa untuk mendapatkan kembali Tanah Suci dari tangan Shalahudin Al-Ayyubi dalam rangkaian Perang Salib.
    Setelah Perang Salib Kedua, dinasti Zengid yang berhasil mengontrol Suriah terlibat dalam konflik dengan Mesir pimpinan dinasti Fatimiyah, yang berakhir dengan bersatunya Mesir dan Suriah di bawah pimpinan Shalahudin Al-Ayyubi. Shalahudin Al-Ayyubi kemudian menggunakan kekuatannya untuk menaklukan Yerusalem pada tahun 1187. Serangan salib ketiga ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Eropa yang paling terkenal: Friedrich I Barbarosa dari Jerman, Richard I Lionheart dari Inggris dan Phillip IIdari Perancis. Namun di antara mereka ini sendiri terjadi perselisihan dan persaingan yang tidak sehat, sehingga Friedrich mati tenggelam, Richard tertawan (akhirnya dibebaskan setelah memberi tebusan yang mahal), sedang Phillip bergegas kembali ke Perancis untuk merebut Inggris justru selama Richard tertawan.
    Kegagalan dari Perang Salib Ketiga lalu mengarah pada panggilan untuk Perang Salib Keempat enam tahun setelah Perang Salib Ketiga berakhir pada 1192.

    G. Perang Salib Keempat
    Perang Salib Keempat (1202-1204) pada awalnya dimaksudkan untuk menaklukkan Yerusalem yang telah dikuasai Muslim melalui suatu invasi melalui Mesir. Sebaliknya, pada April 1204, Tentara Salib dari Eropa Barat menyerang dan menaklukkan Kristen (Ortodoks Timur) kota Konstantinopel, ibukota Kekaisaran Bizantium. Ini dipandang sebagai salah satu dari tindakan yang mengakibatkan skisma besar antara Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik Roma.

    Latar belakang
    Setelah kegagalan Perang Salib Ketiga (1189-1192), Yerusalem kini telah dikendalikan oleh dinasti Ayyubiyah, yang memerintah seluruh Syria dan Mesir, kecuali untuk beberapa kota di sepanjang pantai masih dikuasai oleh tentara salib Kerajaan Yerusalem, sekarang berpusat di Acre. Perang Salib Ketiga juga telah mendirikan sebuah kerajaan di Siprus.
    Paus Innosensius III berhasil menjadi Paus pada 1198, dan penyeruan perang salib baru menjadi tujuan dari kepausannya. Mayoritas pasukan perang salib, yang berangkat dari Venesia pada Oktober 1202 berasal dari daerah-daerah di Perancis. Beberapa daerah lain di Eropa dikirim juga, seperti Flanders dan Montferrat. Kelompok terkenal lainnya berasal dari Kekaisaran Romawi Suci, termasuk orang-orang di bawah Uskup Martin dari Pairis and Uskup Conrad dari Halberstadt, bersama-sama dalam persekutuan dengan tentara dan pelaut Venesia yang dipimpin oleh Enrico Dandolo doge. Perjanjian ini diratifikasi oleh Paus Innosensius, dengan larangan penyerangan terhadap negara-negara Kristen.

    H. Kondisi sesudah Perang Salib
    Perang Salib Pertama melepaskan gelombang semangat perasaan paling suci sendiri yang diekspresikan dengan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan tentara Salib melintasi Eropa dan juga perlakuan kasar terhadap pemeluk Kristen Ortodoks Timur. Kekerasan terhadap Kristen Ortodoks ini berpuncak pada penjarahan kota Konstantinopel pada tahun 1024, dimana seluruh kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya serangan-serangan terhadap orang Yahudi, pendeta lokal dan orang Kristen berupaya melindungi orang Yahudi dari pasukan Salib yang melintas. Orang Yahudi seringkali diberikan perlindungan di dalam gereja atau bangunan Kristen lainnya, akan tetapi, massa yang beringas selalu menerobos masuk dan membunuh mereka tanpa pandang bulu.
    Pada abad ke-13, perang salib tidak pernah mencapai tingkat kepopuleran yang tinggi di masyarakat. Sesudah kota Akka jatuh untuk terakhir kalinya pada tahun 1291 dan sesudah penghancuran bangsa Ositania (Perancis Selatan) yang berpaham Katarisme pada Perang Salib Albigensian, ide perang salib mengalami kemerosotan nilai yang diakibatkan oleh pembenaran lembaga Kepausan terhadap agresi politik dan wilayah yang terjadi di Katolik Eropa.
    Orde Ksatria Salib mempertahankan wilayah adalah orde Ksatria Hospitaller. Sesudah kejatuhan Akka yang terakhir, orde ini menguasai Pulau Rhodes dan pada abad ke-16 dibuang ke Malta. Tentara-tentara Salib yang terakhir ini akhirnya dibubarkan oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798.

    I. Peninggalan
    Benua Eropa
    Perang Salib selalu dikenang oleh bangsa-bangsa di Eropa bagian Barat dimana pada masa Perang Salib merupakan negara-negara Katolik Roma. Perang Salib juga menimbulkan kenangan pahit.Banyak pula kritikan pedas terhadap Perang Salib di negara-negara Eropa Barat pada masa Renaissance.

    Politik dan Budaya
    Perang Salib amat memengaruhi Eropa pada Abad Pertengahan. Pada masa itu, sebagian besar benua dipersatukan oleh kekuasaan Kepausan, akan tetapi pada abad ke-14, perkembangan birokrasi yang terpusat (dasar dari negara-bangsa modern) sedang pesat di Perancis, Inggris, Burgundi, Portugal, Castilia dan Aragon. Hal ini sebagian didorong oleh dominasi gereja pada masa awal perang salib.
    Meski benua Eropa telah bersinggungan dengan budaya Islam selama berabad-abad melalui hubungan antara Semenanjung Iberia dengan Sisilia, banyak ilmu pengetahuan di bidang-bidang sains, pengobatan dan arsitektur diserap dari dunia Islam ke dunia Barat selama masa perang salib.
    Pengalaman militer perang salib juga memiliki pengaruh di Eropa, seperti misalnya, kastil-kastil di Eropa mulai menggunakan bahan dari batu-batuan yang tebal dan besar seperti yang dibuat di Timur, tidak lagi menggunakan bahan kayu seperti sebelumnya. Sebagai tambahan, tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya Eropa ke dunia, terutama Asia.
    Bersama perdagangan, penemuan-penemuan dan penciptaan-penciptaan sains baru mencapai timur atau barat. Kemajuan bangsa Arab termasuk perkembangan aljabar, lensa dan lain lain mencapai barat dan menambah laju perkembangan di universitas-universitas Eropa yang kemudian mengarahkan kepada masa Renaissance pada abad-abad berikutnya.

    Perdagangan
    Kebutuhan untuk memuat, mengirimkan dan menyediakan balatentara yang besar menumbuhkan perdagangan di seluruh Eropa. Jalan-jalan yang sebagian besar tidak pernah digunakan sejak masa pendudukan Romawi, terlihat mengalami peningkatan disebabkan oleh para pedagang yang berniat mengembangkan usahanya. Ini bukan saja karena Perang Salib mempersiapkan Eropa untuk bepergian akan tetapi lebih karena banyak orang ingin bepergian setelah diperkenalkan dengan produk-produk dari timur. Hal ini juga membantu pada masa-masa awal Renaissance di Itali, karena banyak negara-kota di Itali yang sejak awal memiliki hubungan perdagangan yang penting dan menguntungkan dengan negara-negara Salib, baik di Tanah Suci maupun kemudian di daerah-daerah bekas Byzantium.
    Pertumbuhan perdagangan membawa banyak barang ke Eropa yang sebelumnya tidak mereka kenal atau amat jarang ditemukan dan sangat mahal. Barang-barang ini termasuk berbagai macamrempah-rempah, gading, batu-batu mulia, teknik pembuatan barang kaca yang maju, bentuk awal dari mesiu, jeruk, apel, hasil-hasil tanaman Asia lainnya dan banyak lagi.
    Keberhasilan untuk melestarikan Katolik Eropa, bagaimanapun, tidak dapat mengabaikan kejatuhan Kekaisaran Kristen Byzantium, yang sebagian besar diakibatkan oleh kekerasan tentara Salib pada Perang Salib Keempat terhadap Kristen Orthodox Timur, terutama pembersihan yang dilakukan oleh Enrico Dandolo yang terkenal, penguasa Venesia dan sponsor Perang Salib Keempat. Tanah Byzantium adalah negara Kristen yang stabil sejak abad ke-4. Sesudah tentara Salib mengambil alih Konstantinopel pada tahun 1204, Byzantium tidak pernah lagi menjadi sebesar atau sekuat sebelumnya dan akhirnya jatuh pada tahun 1453.
    Melihat apa yang terjadi terhadap Byzantium, Perang Salib lebih dapat digambarkan sebagai perlawanan Katolik Roma terhadap ekspansi Islam, ketimbang perlawanan Kristen secara utuh terhadap ekspansi Islam. Di lain pihak, Perang Salib Keempat dapat disebut sebuah anomali. Kita juga dapat mengambil suatu kompromi atas kedua pendapat di atas, khususnya bahwa Perang Salib adalah cara Katolik Roma utama dalam menyelamatkan Katolikisme, yaitu tujuan yang utama adalah memerangi Islam dan tujuan yang kedua adalah mencoba menyelamatkan ke-Kristen-an, dalam konteks inilah, Perang Salib Keempat dapat dikatakan mengabaikan tujuan yang kedua untuk memperoleh bantuan logistik bagi Dandolo untuk mencapai tujuan yang utama. Meski begitu, Perang Salib Keempat ditentang oleh Paus pada saat itu dan secara umum dikenang sebagai suatu kesalahan besar.

    Dunia Islam
    Perang salib memiliki efek yang buruk tetapi terlokalisir pada dunia Islam. Dimana persamaan antara “Bangsa Frank” dengan “Tentara Salib” meninggalkan bekas yang amat dalam. Muslim secara tradisional mengelu-elukan Saladin, seorang ksatria Kurdi, sebagai pahlawan Perang Salib. Pada abad ke-21, sebagian dunia Arab, seperti gerakan kemerdekaan Arab dan gerakan Pan-Islamisme masih terus menyebut keterlibatan dunia Barat di Timur Tengah sebagai “perang salib”. Perang Salib dianggap oleh dunia Islam sebagai pembantaian yang kejam dan keji oleh kaum Kristen Eropa.
    Konsekuensi yang secara jangka panjang menghancurkan tentang perang salib, menurut ahli sejarah Peter Mansfield, adalah pembentukan mental dunia Islam yang cenderung menarik diri. MenurutPeter Mansfield, “Diserang dari berbagai arah, dunia Islam berpaling ke dirinya sendiri. Ia menjadi sangat sensitive dan defensive……sikap yang tumbuh menjadi semakin buruk seiring dengan perkembangan dunia, suatu proses dimana dunia Islam merasa dikucilkan, terus berlanjut.”

    Komunitas Yahudi
    Terjadi kekerasan tentara Salib terhadap bangsa Yahudi di kota-kota di Jerman dan Hongaria, belakangan juga terjadi di Perancis dan Inggris, dan pembantaian Yahudi di Palestina dan Syria menjadi bagian yang penting dalam sejarah Anti-Semit, meski tidak ada satu perang salib pun yang pernah dikumandangkan melawan Yahudi. Serangan-serangan ini meninggalkan bekas yang mendalam dan kesan yang buruk pada kedua belah pihak selama berabad-abad. Kebencian kepada bangsa Yahudi meningkat.Posisi sosial bangsa Yahudi di Eropa Barat semakin merosot dan pembatasan meningkat selama dan sesudah Perang Salib. Hal ini memuluskan jalan bagi legalisasi Anti-Yahudi oleh Paus Innocentius III dan membentuk titik balik bagi Anti-Semitabad pertengahan.
    Periode perang salib diungkapkan dalam banyak narasi Yahudi. Di antara narasi-narasi itu, yang terkenal adalah catatan-catatan Solomon bar Simson dan Rabbi Eliezer bar Nathan, “The Narrative of The Old Persecution” yang ditulis oleh Mainz Anonymus dan “Sefer Zekhirah” dan “The Book of Remembrance” oleh Rabbi Ephrain dari Bonn.

    Pegunungan Kaukasus
    Orang Armenia merupakan pendukung setia Tentara Salib. Di Pegunungan Kaukasus di Georgia, di dataran tinggi Khevsureti yang terpencil, ada sebuah suku yang disebut Khevsurs yang dianggap merupakan keturunan langsung dari sebuah kelompok tentara salib yang terpisah dari induk pasukannya dan tetap dalam keadaan terisolasi dengan sebagian budaya perang salib yang masih utuh. Memasuki abad ke-20, peninggalan dari baju perang, persenjataan dan baju rantai masih digunakan dan terus diturunkan dalam komunitas tersebut. Ahli ethnografi Rusia, Arnold Zisserman, yang menghabiskan 25 tahun (1842 – 1862) di pegunungan Kaukasus, percaya bahwa kelompok dari dataran tinggi Georgia ini adalah keturunan dari tentara Salib yang terakhir berdasarkan dari kebiasaan, bahasa, kesenian dan bukti-bukti yang lain. Penjelajah Amerika Richard Halliburton melihat dan mencatat kebiasaan suku ini pada tahun 1935.

    BAB 3
    PENUTUP
    A. Kesimpulan
    Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa Perang salib adalah perang untuk merebut daerah kekeuasaan, yaitu tanah suci palestina dari tangan kekuasaan muslim. Perang salib bermula dari abad ke-11 M sampai abad ke-13M, dan terjadi sampai 4 kali.
    Pada abad ke-13, perang salib tidak pernah mencapai tingkat kepopuleran yang tinggi di masyarakat. Sesudah kota Akka jatuh untuk terakhir kalinya pada tahun 1291 dan sesudah penghancuran bangsa Ositania (Perancis Selatan) yang berpaham Katarisme pada Perang Salib Albigensian, ide perang salib mengalami kemerosotan nilai yang diakibatkan oleh pembenaran lembaga Kepausan terhadap agresi politik dan wilayah yang terjadi di Katolik Eropa.
    Perang salib memiliki efek yang buruk tetapi terlokalisir pada dunia Islam. Dimana persamaan antara “Bangsa Frank” dengan “Tentara Salib” meninggalkan bekas yang amat dalam. Menurut Peter Mansfield, “Diserang dari berbagai arah, dunia Islam berpaling ke dirinya sendiri. Ia menjadi sangat sensitive dan defensive……sikap yang tumbuh menjadi semakin buruk seiring dengan perkembangan dunia, suatu proses dimana dunia Islam merasa dikucilkan, terus berlanjut.”

    B. Saran
    Di dalam islam perang tidaklah dianjurkan, tetapi apabila islam diserang maka kita wajib untuk membelanya. Dalam melakukan segala tindakan apapun kita harus senantiasa memikirkan dampak positif dan negativenya dari tindakan tersebut. Dari kejadian di atas kita senantiasa harus mengambil ibroh dari kejadian perang salib tersebut, bahwa islam itu merasa dikucilkan akibat dari perang salib tersebut. Maka dari kita harus senantiasa membangkitkan islam dari keterperukan tersebut.

    0 komentar:

    Posting Komentar