Kamis, 29 Maret 2012
Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum (Kedudukan, Problem dan Prospeknya)
Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum (Kedudukan, Problem dan Prospeknya)
A. PENDAHULUAN
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, fleksibel dan nilai-nilai ajarannya selalu dapat diterima seperti apa pun dinamika perkembangan zaman. Tidak ada ajaran agama yang setolerir ajaran Islam. Sehingga sungguh bijak jika pemerintah menjadikan pendidikan agama Islam menjadi salah satu komponen yang dipelajari secara kontinyu dalam dunia pendidikan formal kita. Bahkan menjadi mata pelajaran wajib di tingkat pendidikan dasar, menengah, dan mata kuliah wajib pada perguruan tinggi. Sekalipun pada perguruan tinggi umum.
Pada dasarnya pendidikan agama di perguruan tinggi merupakan kelanjutan dari pendidikan agama yang dilaksanakan pada jenjang pendidikan sebelumnya. Yaitu mulai dari jenjang TK dilanjutkan ke SD, lalu ke SMP kemudian ke SMA. Dari SMA dilanjutkan ke perguruan tinggi.
Dinamika Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum telah terukir dalam sejarah pendidikan di tanah air sejak awal hadirnya perguruan tinggi di negri ini. Bermula dari sebagai mata kuliah yang dianggap kehadirannya tidak diperlukan hingga eksistensinya ‘dihadirkan’ sebagai mata kuliah wajib.
Makalah ini akan membahas tentang Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Bagaimana kedudukan, problem dan prospek Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum, itu lah yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini.
B. PEMBAHASAN
1. Kedudukan Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum.
Sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia telah mencatat bahwa pada tahun 1910 pendapat umum masih menyatakan bahwa Indonesia belum matang untuk suatu perguruan tinggi, karena belum mempunyai sekolah menengah sebagai sumber murid yang potensial dapat menjadi calon mahasiswa dan lebih penting lagi Indonesia belum mempunyai suasana intelektual tempat ilmu dapat bersemi. Namun ada suara-suara yang menyatakan bahwa pada suatu saat Indonesia tak dapat tidak harus mempunyai perguruan tinggi untuk melatih para ahli dan pekerja untuk kedudukan tinggi. Sebaliknya ada pula pendapat bahwa pendidikan tinggi bagi orang Indonesia akan merusak pribadinya karena ia akan tidak sesuai lagi dengan lingkungannya dan akan mengalami konflik untuk mengasimilasikan dirinya dengan masyarakat Belanda. Ada pula keragu-raguan apakah orang Indonesia dapat dididik dalam ilmu pengetahuan yang setaraf dengan orang Barat, sekalipun orang Indonesia telah menunjukkan prestasi yang luar biasa dalam mencapai gelar akademik.
Secara historis sosial politik, pada saat itu Indonesia adalah Negara jajahan Belanda. Salah satu ciri Belanda dalam menjajah ialah melakukan pembodohan terhadap Negara jajahannya. Jadi tidaklah mengherankan jika situasi seperti ini yang muncul pada saat itu. Cara Belanda menjajah sangat berbeda dengan cara Inggris. Kalau Inggris justru mencerdaskan Negara jajahannya. Apabila Negara jajahannya mulai ‘cerdas’ mereka memberi kemerdekaan.
Waktu terus berjalan dan dukungan terhadap perguruan tinggi di Indonesia bertambah kuat. Perang Dunia I yang menghalangi banyak lulusan HBS melanjutkan pelajarannya di negeri Belanda membuat perguruan tinggi di Indonesia sangat urgen. Sebagai tindakan darurat suatu lembaga untuk Pendidikan Tinggi mengumpulkan dana di Nederland untuk membuka kursus persiapan dua tahun. Pada tahun 1919 dimulai pembangunan gedung perguruan tinggi teknik di Bandung yang secara resmi dibuka pada tahun 1920. Dengan ini lengkaplah sistem pendidikan di Indonesia yang memungkinkan seorang anak menempuh pendidikan dari sekolah rendah sampai pendidikan tertinggi melalui suatu rangkaian sekolah yang saling bertalian. Bagi anak Indonesia jalan ini masih sempit, akan tetapi jalan itu telah ada.
Dalam tahun akademis 1920-1921 Technische Hogeschool atau Sekolah Teknik Tinggi (yang kemudian menjelma menjadi ITB) mempunyai 28 mahasiswa di antara 22 orang Belanda, 4 Cina dan 2 orang Indonesia. Sekolah ini menghasilkan lulusannya pertama pada tahun 1923-1924 yakni 9 Belanda 3 Cina dan tak seorang pun orang Indonesia. Orang Indonesia pertama lulus pada tahun akademis 1925-1926, yakni sekaligus 4 orang di antaranya Ir.Soekarno yang kemudian menjadi Presiden pertama Republik Indonesia.
Pembelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa ini adalah jangan pernah menyerah sebelum mencoba. Karena Allah sendiri telah mengingatkan kita bahwa Dia tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali oleh kaum itu sendiri (Q.S;13;11). Keep spirit and never give up.
Kemudian dalam perjalan sejarah pendidikan di Indonesia, pada tanggal 2 April 1950 tepatnya di Yogyakarta muncullah UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk seluruh Indonesia. Jika kita tinjau dari segi politik pada saat itu bentuk Negara Indonesia adalah Republik Indonesia Serikat (RIS) dan ibukota Negara berada di Yogyakarta (RIS berdiri 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950). Undang-Undang ini seluruhnya terdiri dari 17 bab dan 30 pasal. Uniknya Undang-Undang ini tidak begitu dikenal, sehingga sulit menemukannya dalam referensi Undang-Undang pendidikan.
Kedudukan pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum dalam UU No. 4 tahun 1950 belum dibicarakan secara spesifik. Baik itu dalam tujuan umum pendidikan maupun dalam tujuan pendidikan tinggi. Berikut kutipan bunyi pasal 3, pasal 7 ayat 4 dan pasal 20 yang menunjukkan hal tersebut:
Pasal 3.
Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
Pasal 7
4. Pendidikan dan pengajaran tinggi bermaksud memberi kesempatan kepada pelajar untuk menjadi orang yang dapat memberi pimpinan di dalam masyarakat dan yang dapat memelihara kemajuan ilmu dan kemajuan hidup kemasyarakatan.
Pasal 20.
1. Dalam sekolah-sekolah Negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
2. Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah Negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.
Dari rumusan pasal-pasal di atas, dapat dinyatakan bahwa tidak tercermin adanya perhatian terhadap usaha pembinaan mental spiritual dan keagamaan secara terus menerus melalui proses pendidikan. Dengan kata lain kedudukan pendidikan agama Islam dalam Undang-Undang ini masih sangat lemah. Kondisi ini bisa dipahami jika kita meninjau perjalanan hadirnya Undang-Undang ini, bahwa Undang-Undang No. 4 tahun 1950 tidak lahir dengan begitu saja, tapi melalui proses panjang seperti halnya pembentukan UU Sisdiknas tahun 2003 yang sulit untuk disahkan karena banyak kepentingan, baik secara politik, sosial, budaya, ekonomi dan emosi (sentiment) keagamaan turut ikut serta di dalamnya (terutama jika mengingat tahun 1950-an Partai Komunis Indonesia masih ‘berkuku’ di parlemen).
Selanjutnya Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi baru dimulai sejak tahun 1960 dengan adanya ketetapan MPRS No. II/ MPRS/1960 yang berarti pendidikan agama sebelum itu secara formalnya baru diberikan di Sekolah Rakyat sampai dengan Sekolah Lanjutan Tingkat atas saja. Adapun dasar operasionalnya, pelaksanaan pendidikan Agama di Perguruan Tinggi tersebut ditetapkan dalam UU No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Dalam BAB III Pasal 9 ayat 2 sub b, terdapat ketentuan sebagai berikut: ”Pada Perguruan Tinggi Negeri diberikan Pendidikan Agama sebagai mata pelajaran dengan pengertian bahwa mahasiswa berhak tidak ikut serta apabila menyatakan keberatan”.
Jika merujuk pada sejarah, dapat dipahami bahwa sebelum tahun 1965 salah satu organisasi politik yang berpengaruh di parlemen adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Maka tidak heran jika dalam mengambil kebijakan tentang pendidikan di parlemen, mereka tentu berusaha memasukkan missi-nya. Agar segala sesuatunya tetap terlihat ‘bijak’, unsur pendidikan agama tetap dimasukkan dalam mata kuliah, namun diberi kebebasan jika tidak berkenan untuk mengikutinya.
Kemudian setelah meletusnya G.30.S.PKI pada tahun 1965, diadakan sidang umum MPRS pada tahun 1966, maka mulai saat itu status pendidikan agama di sekolah-sekolah berubah dan bertambah kuat. Dengan adanya ketetapan MPRS XXVII/ MPRS/1966 Bab I pasal 1 berbunyi: “Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari SD sampai dengan Universitas-Universitas Negeri.”
Peristiwa G.30.S.PKI memang rajutan sejarah yang telah memberikan luka mendalam serta pelajaran mahal bagi bangsa Indonesia. Terlepas dari beberapa fakta yang memunculkan ada skenario apa sebenarnya di balik peristiwa G.30.S.PKI, yang jelas peristiwa tersebut telah membuka mata bangsa Indonesia untuk lebih waspada akan menyelusupnya paham-paham yang menjauhkan bangsa ini dari kehidupan beragama.
Berikutnya pada tanggal 27 Maret 1989 hadirlah UU No. 2 tahun 1989. Kedudukan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi dalam Undang-Undang ini secara umum tertuang dalam tujuan Pendidikan Nasional tercantum dalam Bab II pasal 4 yang berbunyi:
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan
Kemudian dari segi kurikulum, telah dinyatakan dalam pasal 39 ayat 2, yaitu:
Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikah wajib memuat:
a. pendidikan Pancasila;
b. pendidikan agama; dan
c. pendidikan kewarganegaraan.
Kemudian diperjelas dalam PP No. 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi tanggal 10 Juli 1990. Dalam PP ini tepatnya pada Bab II pasal 2 tentang Tujuan Pendidikan Tinggi dinyatakan:
(1) Tujuan pendidikan tinggi adalah:
1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian;
2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
(2) Penyelenggaraan kegiatan untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman pada:
1. tujuan pendidikan nasional;
2. kaidah, moral dan etika ilmu pengetahuan;
(3) Kepentingan masyarakat; serta memperhatikan minat, kemampuan dan prakarsa pribadi.
Dari kutipan pasal-pasal di atas, terlihat bahwa walaupun tujuan Pendidikan Tinggi menekankan pada nilai-nilai akademik dan professional namun tetap berpedoman pada tujuan pendidikan nasional. Maka dapat dinyatakan ada ‘benang merah’ antara UU No. 2 tahun 1989 dengan PP No. 30 tahun 1990, yang semuanya menunjukkan kedudukan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi umum semakin diperhitungkan.
Begitu juga dalam UU No. 20 tahun 2003, dalam Bab II pasal 3 dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Kemudian dalam pasal 37 ayat 2 tentang kurikulum dinyatakan:
(2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan; dan
c. bahasa.
Mengacu pada kutipan di atas, maka jelaslah bahwa kedudukan pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum dalam UU No. 2 tahun 1989 dan UU No. 20 tahun 2003 menempati posisi yang diperhitungkan, yaitu sebagai mata kuliah wajib. Ataupun dengan kata lain pendidikan agama islam telah menjadi bagian dalam sistem pendidikan nasional. Namun sayangnya masih ada Perguruan Tinggi Umum yang belum melaksanakannya, terutama Perguruan Tinggi Umum swasta yang tidak memiliki political will yang jelas.
Mata kuliah Pendidikan Agama pada perguruan tinggi dalam proses belajarnya menggunakan sistem kredit semester yang masing-masing perguruan tinggi menggunakan jumlah dan besar SKS yang bervariasi. Rata-rata pendidikan agama Islam di perguruan tinggi hanya mendapat 2 SKS dalam satu semester awal yang dimasukkan dalam komponen mata kulian MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum).
Kemudian muncul SK Mendiknas No.232/U/2000 pada tanggal 20 Desember 2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, pada Bab I; Ketentuan Umum, yaitu pada pasal 1 ayat 7 dinyatakan bahwa Kelompok matakuliah pengembangan kepribadian (MPK) adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Selanjutnya PAI di perguruan tinggi umum, menurut Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 Tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi menjelaskan Visi dan Misi Mata kuliah Pengembangan Kepribadian serta Kompetensi MPK sebagai berikut:
Pasal 1
Visi Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK)
Visi kelompok MPK di perguruan tinggi merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya.
Pasal 2
Misi Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK)
Misi kelompok MPK di perguruan tinggi membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudyaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dimilikinya dengan rasa tanggungjawab.
Pasal 3
Kompetensi Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK)
(1) Standar kompetensi kelompok MPK yang wajib dikuasai mahasiswa meliputi pengetahuan tentang nilai-nilai agama, budaya, dan kewarganegaraan dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari; memiliki kepribadian yang mantap; berpikir kritis; bersikap rasional, etis, estetis, dan dinamis; berpandangan luas; dan bersikap demokratis yang berkeadaban.
(2) Kompetensi dasar untuk masing-masing mata kuliah dirumuskan sebagai berikut :
a. Pendidikan Agama
Menjadi ilmuwan dan profesional yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan memiliki etos kerja, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan.
Dari kutipan di atas, jelaslah bahwa kedudukan pendidikan agama Islam di perguruan tinggi umum secara yuridis telah mengalami restrukturisasi yang cukup signifikan. Eksistensinya semakin diakui dan dibutuhkan dalam mengembangkan potensi sumber daya generasi muda (mahasiswa) di masa depan. Kondisi ini tentu tidak terlepas dari para pengambil kebijakan di parlemen yang pasca reformasi makin kelihatan upaya ‘cerdas’-nya, walaupun masih ada kebijakan dalam segmen lain yang mengecewakan.
Sementara itu Aminuddin dalam Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum memaparkan bahwa untuk mewujudkan visi dan misi PAI di perguruan tinggi seperti yang diuraikan di atas maka diberikan pokok-pokok ajaran Islam dengan materi-materi ajar antara lain sebagai berikut:
1. Konsep Ketuhanan, alam, dan manusia.
2. Sumber-sumber kebenaran.
3. Sumber-sumber ajaran Islam.
4. Akidah.
5. Syariah.
6. Khilafah.
7. Akhlak.
8. Akhlak dalam bidang ekonomi.
9. Islam, Pengetahuan, dan teknologi.
10. Keadilan, kepemimpinan, dan kerukunan.
Kesepuluh poin tersebut pada umumnya direalisasikan dengan alokasi waktu 2 SKS. Maka dapat dinyatakan betapa perguruan tinggi umum membutuhkan tenaga pendidik (dosen) yang memiliki skill yang tidak dapat diremehkan begitu saja. Bayangkan hanya dengan 2 SKS tujuan tersebut harus tercapai. Hanya tenaga pendidik (dosen) yang memiliki ketrampilan mumpuni yang mampu menjalani tugas ini dengan baik.
3. Problem Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum.
Berdasarkan uraian kedudukan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum di atas, maka ditemukan beberapa problem yang masih menjadi batu sandungan. Bagaimana mewujudkan tujuan-tujuan tersebut seefektif mungkin.
Beberapa problem tersebut antara lain:
a. Beban SKS yang Minimalis (hanya 2 SKS)
Frekuensi perkuliahan agama yang hanya 2 (dua) SKS dirasa kurang memadai mengingat harapan yang demikian besar kepada pendidikan agama. Oleh karena itu bobotnya dipandang perlu untuk ditingkatkan menjadi 4 (empat) SKS. Kecuali tenaga pendidik (dosen) di perguruan tinggi umum mampu mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam mata kuliah lain. Begitu juga dosen untuk mata kuliah pendidikan agama Islam. Namun skill ini masih sulit didapat.
b. Pola Pembelajaran Yang Berkelanjutan
Perlunya menjabarkan pendidikan agama di perguruan tinggi, sebagai kelanjutan dari materi pendidikan agama dari TK sampai dengan SLTA. Apabila pada tingkat TK materi pendidikan agama tekanannya kepada akhlak, tingkat SD kepada ibadah, tingkat SLTP kepada muamalat, tingkat SLTA kepada munakahat, maka pada perguruan tinggi materi pendidikan agama diarahkan kepada pengenalan terhadap perkembangan pemikiran dalam Islam. Penyusunan program seperti ini secara berkelanjutan dapat pula disusun pada mata kuliah agama lain.
Namun pola ini lah yang belum muncul, bahkan terkadang kita jumpai ada tenaga pendidik yang menganggap pembelajaran pendidikan agama islam itu ya itu-itu saja dari SD sampai perguruan tinggi. Paradigma tenaga pendidik yang seperti ini menunjukkan betapa PAI cenderung dinilai dari segi simbolis-kuantitatif, dan bukan substansial-kualitatif. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga pendidiknya pun belum mampu menumbuhkan kesinambungan pendidikan itu.
c. Pola Pengembangan Pendidikan Agama Islam
Fenomena pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah atau Perguruan Tinggi Umum tampaknya sangat bervariasi. Dalam arti ada yang cukup puas dengan pola horizontal lateral (independent), yakni bidang studi (non-agama) kadang-kadang berdiri sendiri tanpa dikonsultasikan dan berinteraksi dengan nilai-nilai agama, dan ada yang mengembangkan pola relasi lateral-sekuensial, yakni bidang studi (non agama) dikonsultasikan dengan nilai-nilai agama. Ada pula yang mengembangkan pola vertical linier, mendudukkan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi dari berbagai bidang studi. Namun demikian, pada umumnya dikembangkan ke pola horizontal-lateral (independent), kecuali bagi lembaga pendidikan tertentu yang memiliki komitmen, kemampuan, atau political will dalam mewujudkan relasi/hubungan lateral-sekuensial dan vertical linier.
Dari kutipan di atas dapat dinyatakan bahwa masih banyak perguruan tinggi umum yang menjadikan PAI sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri. Tidak terintegrasi dengan mata kuliah yang lain. Ibarat syair lagu “Kau di sana, dan aku di sini”.
d. Tenaga Pendidik/dosen Agama Islam.
Faktor inilah yang memegang central core (intinya) pelaksanaan pelajaran agama Islam di Perguruan Tinggi. Bagaimanapun dosen yang mengajar di Perguruan Tinggi harus sarjana dari suatu Perguruan Tinggi. Hal ini menyangkut gezaag di mata mahasiswa. Akan ada persoalan : apakah dosen tersebut harus sarjana agama Islam ataukah sarjana umum yang beragama Islam? Bilamana kedua-duanya dapat dipandang qualified sudah tentu harus mendapat upgrading dalam pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan : sarjana agama di-upgrade dalam pengetahuan umum menurut corak dasar fakultas dimana ia mengajar, sedangkan sarjana umum yang beragama Islam juga harus di-upgrade dalam pengetahuan agama Islam yang secara luas. Kedua-duanya mungkin dapat dipakai dengan persyaratan-persyaratan antara lain punya kepribadian yang dapat jadi suri tauladan mahasiswa serta masyarakat sekitarnya, memahami metode-metode penyajian yang menarik minat mahasiswa, punya sikap sosio-kultural yang baik, dan sebagainya.
Selain dari itu, kesediaan dari para pengasuh pendidik agama di perguruan tinggi untuk mengembangkan kemampuan penalaran akademisnya. Misalnya, untuk mengikuti program S-2 dan S-3 merupakan hal yang sangat dianjurkan. Karena dengan demikianlah diharapkan munculnya kemampuan untuk mengembangkan memahami ajaran-ajaran agama secara komprehensif, dan atas dasar itu tumbuhlah rasa kebanggaan terhadap ajaran agama yang dianutnya. Karena mengikuti kuliah agama diharapkan tidak hanya bagi mahasiswa sekedar mengejar target 2 (dua) SKS, tetapi yang lebih penting lagi semakin meyakini akan kebenaran ajaran agama yang dianutnya.
Namun kebijakan ini terkadang ditanggapi sebagai suatu pemaksaan. Sehingga tidak jarang, banyak dosen yang melanjutkan jenjang pendidikannya, tetapi tidak mengikuti proses pembelajaran yang semestinya. Dosen-dosen seperti ini cenderung beranggapan ijazah lebih penting daripada proses tersebut. Inilah yang menyebabkan banyak sarjana-sarjana ‘mandul’ di Indonesia. Sarjana-sarjana yang motivasi belajarnya telah mati, namun masih tergiur dengan iming-iming tahta. Mereka tak ubahnya sebagai penyembah berhala di era digital ini. Maka jika kita sekarang meributkan tentang pendidikan karakter, muncullah suatu pertanyaan; dari manakah pendidikan karakter itu harus dimulai? Fenomena ini tak ubahnya bagaikan lingkaran setan.
Kemudian seiring perkembangan Teknologi Informasi saat ini, maka tenaga pendidik untuk Pendidikan Agama di perguruan tinggi umum juga harus berperan aktif. Karena dunia IT telah merambah ke berbagai disiplin ilmu. Salah satu cara untuk mengantisipasi dampak negatif IT adalah dengan memperkenalkan IT dari segi positif-nya. Tenaga pendidik PAI adalah salah satu personil yang tepat untuk memperkenalkan ini kepada peserta didik (mahasiswa).
e. Perilaku mahasiswa yang menyimpang dari nilai-nilai akademik.
Melalui media cetak atau pun media elektronik kita selalu mendapati berita yang menunjukkan berbagai perilaku mahasiswa yang jauh dari nilai-nilai akademik. Misalnya saja banyak mahasiswa yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa amoral, seperti kasus VCD porno, aksi tawuran, perkelahian, tindak kriminalitas yang tinggi (seperti pembunuhan yang dilakukan mahasiswa terhadap pacarnya yang sedang hamil), dan lain-lain.
Fenomena di atas menunjukkan betapa pendidikan agama di perguruan tinggi nyaris ‘tidak tepat sasaran’. Problem pendidikan agama ini tidak lain cerminan problem hidup keberagamaan di Tanah Air yang telah terjebak ke dalam formalisme agama. Pemerintah merasa puas sudah mensyaratkan pendidikan agama sebagai mata kuliah wajib dalam kurikulum. Guru agama/dosen merasa puas sudah mengajarkan materi pelajaran sesuai kurikulum. Peserta didik merasa sudah beragama dengan menghafal materi pelajaran agama. Semua pihak merasa puas dengan obyektifikasi agama dalam bentuk kurikulum dan nilai rapor atau nilai mata kuliah, namun jauh dari implementasinya.
Perlu juga kita cermati, semata-mata menyalahkan (menganggap gagal) pendidikan agama untuk kasus seperti ini adalah tidak bijak. Tetapi itulah image yang terkadang hadir di masyarakat.
f. Lingkungan Kampus.
Lingkungan perguruan tinggi berada harus juga dijadikan perhatian pendidik yang bersangkutan dalam arti lingkungan sosio-kulturilnya; yang menjadi persoalan dalam hubungan ini ialah : apakah dosen dan mahasiswa harus menyesuaikan diri secara alloplastis atau secara autoplastis ?
Juga masih dalam masalah lingkungan yaitu yang langsung berpengaruh pada mahasiswa dalam kampus, atau bahkan dalam kelas perlu diciptakan religious environment seperti adanya musholla dalam kampus, peringatan-peringatan hari besar Islam, tatasusila dalam pergaulan, berpakaian, bertingkah laku sopan, dan sebagainya.
Sehubungan dengan hal ini Azyumardi Azra juga mengemukakan bahwa pendidikan memberikan kepada anak didik dorongan dan rasa berprestasi melalui penguasaan pelajaran dengan sebaik-baiknya. Prestasi akademis yang mereka capai, pada gilirannya, juga mendorong munculnya rasa elitisme, yang kemudian memunculkan sikap dan gaya hidup tersendiri, termasuk dalam kehidupan politik. Semakin terpisah lingkungan sekolah dari lingkungan masyarakat pada umumnya, maka semakin tinggi pula sikap elitisme tersebut. Elitisme yang bersumber dari sekolah ini kemudian memunculkan elitisme “terpisah” dari masyarakat; tetapi pada saat yang bersamaan, mereka memegangi pendapat bahwa dengan keunggulan dan priveleges yang mereka miliki, mereka mempunyai “hak” alamiah untuk memerintah masyarakat.
Mengacu pada beberapa kutipan di atas, lingkungan kampus juga mendukung keberhasilan pendidikan agama Islam di perguruan tinggi umum. Lingkunga yang dimaksud bukan hanya dari segi hardware, tetapi juga software.
Beberapa problem yang dipaparkan di atas hanyalah segelintir dari berbagai problem kompleks yang hadir di sekitar kita. H.M. Ridwan Lubis mengemukakan kekhawatirannya akan fenomena problem tersebut yang nantinya berujung pada kegagalan pendidikan agama di perguruan tinggi. Ini dikhawatirkan akan menimbulkan problem yang serius bagi jalannya pembangunan di masa depan karena dikhawatirkan munculnya ilmuan yang disatu sisi memiliki tingkat keahlian yang tinggi dalam disiplin ilmu yang ditekuninya tetapi mengalami kekosongan batin yaitu landasan etik, moral dan dari ketinggian profesionalisme itu membawa dampak negatif yaitu tidak diimbanginya penemuan itu dengan kokohnya prinsip-prinsip moral. Padahal tujuan pendidikan itu sesungguhnya adalah memanusiakan manusia.
Kemudian jika dihubungkan dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri, sebagaimana yang dinyatakan Alhaji A.D. Ajijola dalam Restructure of Islamic Education, yaitu “Islamic education is an education which trains the sensibility of pupils in such a manner that in their attitude to life, their actions, decisions and approach to all kinds of knowledge, they are governed by the spiritual and deeply felt ethical values of Islam. They are trained, and mentally disciplined, so that they want to acquire knowledge not merely to satisfy an intellectual curiosity or just for material worldly benefit, but to develop as rational, righteous beings and bring about the spiritual, moral and physical welfare of their families, their people, their country and mankind”.
Terjemahan bebasnya adalah Pendidikan Islam adalah pendidikan yang melatih kepekaan murid sedemikian rupa dalam menyikapi kehidupan, tindakan mereka, keputusan dan pendekatan untuk semua jenis pengetahuan, mereka dibangun secara spiritual dan sangat merasakan nilai-nilai etika Islam. Mereka dilatih, secara mental disiplin, sehingga mereka ingin memperoleh pengetahuan bukan hanya untuk memuaskan keingintahuan intelektual atau hanya untuk keuntungan materi duniawi, melainkan untuk berkembang secara rasional, makhluk sebenarnya dan bermental spiritual, moral dan sumber kesejahteraan bagi keluarga mereka, masyarakat disekitar mereka, negara mereka dan umat manusia.
Berdasarkan kutipan tujuan pendidikan Islam di atas, maka dapat dinyatakan betapa pentingnya solusi guna menyelesaikan beberapa problem tersebut. Karena problem-problem tersebut jika dibiarkan bisa ber-transformasi menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
4. Prospek Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum.
Beranjak dari beberapa problem yang telah dipaparkan di atas maka kenyataan tersebut telah mendorong pihak-pihak yang perduli akan pendidikan untuk melakukan terobosan baru yang dapat mencerahkan prospek pendidikan agama di perguruan tinggi umum. Beberapa terobosan tersebut antara lain:
a. Paradigma Baru Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama.
Muhaimin dalam Rekonstruksi Pendidikan Islam memaparkan tentang perbedaan model-model pengembangan PAI di perguruan tinggi umum. Perbedaan model ini muncul karena adanya perbedaan pemikiran dalam memahami aspek-aspek kehidupan. Apakah agama merupakan bagian dari aspek kehidupan, sehingga hidup beragama berarti menjalankan salah satu aspek dari berbagai aspek kehidupan, ataukah agama merupakan sumber nilai-nilai dan operasional kehidupan, sehingga agama akan mewarnai segala aspek kehidupan itu sendiri? Maka dalam konteks ini muncullah model dikotomis, model mekanisme dan model organism/sistemik.
Model dikotomis memandang segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat dan tidak bulat, pendidikan agama dan pendidikan non agama, demikian seterusnya. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani, sehingga pendidikan agama Islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja.
Sedangkan model mekanisme memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri dari beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak.
Model organism/sistemik dalam konteks pendidikan Islam bertolak dari pandangan bahwa aktifitas kependidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang religius atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama.
Pandangan semacam itu menggaris bawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrines dan fundamental value yang tertuang dan terkandung dalam Al Qur’an dan al-sunnah ash-shahihah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insan yang mempunyai hubungan vertikal-linier dengan nilai Illahi/agama.
Dari ketiga model tersebut maka model organism/sistemik yang paling ideal jika disandingkan dengan Visi dan Misi PAI di perguruan tinggi umum. Hal ini sudah tergambar dalam Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI No. 43/DIKTI/Kep/2006. Jika hal ini dapat terealisasi, maka PAI di perguruan tinggi umum akan cerah prospeknya di masa yang akan datang.
b. Integrasi Inklusivitas Islam dalam Pendidikan Agama Islam.
Dadan Muttaqien dalam Prospek Pendidikan Agama Islam di Tengah Perubahan Zaman menawarkan paradigm yang hampir senada dengan yang telah diuraikan di bagian ‘a’. Paradigma tersebut dalam bentuk Integrasi Inklusivitas Islam dalam Pendidikan Agama Islam. Pemaparannya dalam hal ini yaitu :
Jika masih ingin eksis dan survive, semangat inklusivitas ajaran Islam harus benar-benar integral dalam materi ajar dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam. Namun yang perlu menjadi catatan jangan sampai terjebak oleh inklusivitas menurut retorika Barat dalam hal-hal teori tentang pluralisme, HAM dan lain-lainnya karena semua itu harus dikembalikan kepada sumbernya yang asli yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah meskipun tetap dengan semangat yang mengkritisi setiap interpretasi terhadap kedua sumber tersebut.
Sikap Islam terhadap pluralitas misalnya, merupakan sikap pertengahan di antara dua kutub ekstrim pandangan manusia terhadap pluralitas: yang menolak pluralitas mentah-mentah dan yang menerima pluralitas mentah-mentah. Pandangan manusia yang menolak pluralitas mentah-mentah adalah pandangan yang menganggap pluralitas sebagai sebuah bencana yang membawa pada perpecahan sehingga pluralitas harus dihilangkan dan keseragaman mutlak harus dimunculkan. Hal tersebut dapat dilihat pada “totaliterisme Barat” yang diwakili oleh Uni Soviet saat itu. Pandangan manusia yang menerima pluralitas mentah-mentah adalah pandangan yang menganggap pluralitas sebagai sebuah bentuk kebebasan individu yang tidak ada keseragaman sedikit pun. Hal ini terlihat pada model “liberalisme Barat” di banyak negara. Sikap Islam yang moderat, yang menerima pluralitas sekaligus menerima keseragaman, dapat dilihat dari penerimaan Islam terhadap beragam mazhab fikih, tetapi tetap dalam kerangka kesatuan atau keseragaman syariat Islam.
Pernyataan di atas juga relevan dalam upaya memprotek mahasiswa yang cenderung ‘darah muda’ yang gampang berapi-api dan labil. Terutama dalam menerima paham-paham dengan atas nama agama, seperti paham-paham Negara Islam Indonesia (NII) yang marak akhir-akhir ini. Disamping itu konsep integrasi inklusivitas ini sangat tepat jika diterapkan pada Perguruan Tinggi Umum yang masih menyajikan Pendidikan Agama Islam hanya 2 SKS. Karena ada juga beberapa perguruan tinggi umum yang menyajikan mata kuliah Pendidikan Agama lebih dari 2 SKS.
C. Kesimpulan
Dalam studi agama Islam tidak ada pemisahan antara pengajaran dengan pendidikan. Jika dapat dibedakan hanya sebatas maknanya saja. Pengajaran merupakan strategi untuk mengaktualkan pendidikan, sedangkan pendidikan merupakan suatu nilai (value) yang terus berjalan agar dapat diwujudkan. Namun dalam prosesnya pengajaran dan pendidikan merupakan sebuah proses yang integral.
Perjalanan panjang kebijakan yang menunjukkan eksistensi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum bukanlah hal yang mudah. Mulai dari kehadiran UU Pendidikan No. 4 tahun 1950 hingga kehadiran SK Mendiknas No.23/U/2000 pada tanggal 20 Desember 2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, kemudian Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI No. 43/DIKTI/Kep/2006 Tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, telah menempatkan Pendidikan Agama sebagai Mata Kuliah Pengembangan. Ini berarti PAI di perguruan tinggi umum telah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Ada nuansa integrasi antara mata kuliah Pendidikan Agama dengan mata kuliah lainnya. Dinamika ini telah melalui pergolakan berbagai kepentingan, baik kepentingan secara politik, sosial, budaya, ekonomi dan emosi (sentiment) keagamaan turut ikut serta di dalamnya.
Jika proses pengajaran dan pendidikan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum terintegrasi secara kontekstual maka akan menghadirkan cendekiawan muda yang bukan hanya memiliki value, tetapi juga bermental spiritual yang dapat diandalkan untuk pembangunan masyarakat bahkan pembangunan peradaban manusia di masa yang akan datang.
DAFTAR BACAAN
Ahmad Ali Riyadi, Politik Pendidikan; Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), h. 179-180S.Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001)
Alhaji A.D. Ajijola, Restructure of Islamic Education (Delhi: Adam publisher & Distributors, 1999)
Aminuddin, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005)
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)
H.M.Arifin, Kapita Selecta Pendidikan (Semarang: Toha Putra, 1981)
M.Ridwan Lubis, Aktualisasi Nilai-nilai Keislaman Terhadap Pembangunan Masyarakat (Medan: Media Persada, 2000)
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Raja GRafindo Persada, 2009)
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2009)
Salinan UU No. 4 Tahun 1950 Tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran
Salinan UU No. 22 Tahun 1961 Tentang Perguruan Tinggi
Salinan UU No. 2 Tahun 1989 Tentang Sisdiknas
Salinan PP No. 30 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Tinggi
Salinan SK Mendiknas No.232/U/2000 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa
Salinan UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas
Salinan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia No : 43/DIKTI/Kep/2006 Tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi
S.Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001)
Sumardi, Muljanto, Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia 1945-1975, (Jakarta: LPIAK Balitbang Agama Depag, 1977)
Dadan Muttaqien, Prospek Pendidikan Agama Islam di Tengah Perubahan Zaman, http://master.islamic.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=90&Itemid=57, diakses tanggal 25 April 2011, pukul: 21.39 WIB
Label:
MKPAI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar