Kamis, 26 April 2012
Hubungan Ilmu dengan Filsafat
2.1. Hubungan Ilmu dengan Filsafat
Pada mulanya ilmu yang pertama kali muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus menjadi bagian dari filsafat. Objek material filsafat sangat umum yaitu seluruh kenyataan, pada hal ilmu-ilmu membutuhkan objek material yang khusus hal ini berakibat berpisahnya ilmu dari filsafat. Meskipun dalam perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusiaan yang luas. Oleh karena itu filsafat merupakan bagian dari proses pendidikan secara alami dari mahluk yang berpikir.
Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah apabila pembahasan ini tidak ingin dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafati yang tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah.Terhadap ilmu-ilmu khusus, filsafat, khususnya filsafat ilmu, secara kritis menganalisis konsep-konsep dasar dan memeriksa asumsi-asumsi dari ilmu untuk memperoleh arti dan validitasnya. Kalau konsep-konsep dari ilmu tidak dijelaskan dan asumsi-asumsi tidak dilakukan maka hasil-hasil yang dicapai ilmu tersebut tanpa memperoleh landasan yang kuat.
Intraksi antara filsafat dan ilmu-ilmu khusus juga menyangkut suatu tujuan yang lebih jauh dari filsafat. Filsafat berusaha untuk mengatur hasil-hasil dari berbagai ilmu-ilmu khusus ke dalam suatu pandangan hidup dan pandangan dunia yang tersatu padukan, komprehensip dan konsisten. Secara komprehensip artinya tidak ada sesuatu bidang yang berada di luar bidang filsafat. Secara konsisten artinya uraia kefilsafatan tidak menyusun pandapat-pandapat yang saling berkontardiksi. Misalnya fisika mendasarkan pada asas bahwa semua benda terikat pada kaidah mekanis(sebab akibat), akan tetapi dalam biologi dapat ditemukan bahwa pada organisme yang lebih tinggi tidak hanya berproses seperti mesin-mesin juga menunjukkan adanya kegiatan yang mengarah pada suatu tujuan (teleologis). Masalah proses mekanisme (sebab akibat) yang berbeda dengan proses teleologis (bertujuan) ini telah ditangani oleh para filsuf yang mencoba menyusun pandangan yang tersatupadukan (integral) dan komprehensip dalam menjelaskan gejala-gejala alam.
Pada hakikatnya filsafat dan ilmu saling terkait satu sama lain, keduanya tumbuh dari sikap refleksif, ingin tahu, dan dilandasi kecintaan pada kebenaran (Pramono, 2008). Hubungan-hubungan tersebut, diantaranya:
1. Perbedaannya, filsafat dengan metodenya mampu mempertanyakan keabsahan dan kebenaran ilmu, sedangkan ilmu tidak mempu mempertanyakan asumsi, kebenaran, metode, dan keabsahannya sendiri.
2. Ilmu lebih bersifat ekslusif, menyelidiki bidang-bidang yang terbatas, sedangkan filsafat lebih bersifat inklusif. Dengan demikian filsafat berusaha mendapatkan pandangan yang lebih komprehensif tentang fakta-fakta.
3. Ilmu dalam pendekatannya lebih bersifat analitik dan deskriptif: menganalisis keseluruhan unsur-unsur yang mnjadi bagian kajiannya, sedangkan filsafat lebih sintetik atau sinoptik menghadapi objek kajiannya sebagai keseluruhan.
4. Filsafat berusaha mencari arti fakta-fakta.
5. Jika ilmu condong menghilangkan faktor-faktor subjektivitas dan menganggap sepi nilai-nilai demi menghasilkan objektivitas, maka filsafat mementingkan personalitas, nilai-nilai dan bidang pengalaman.
6. Filsafat itu tidak salah satu ilmu di antara ilmu-ilmu lain. "Filsafat itu pemeriksaan ('survey') dari ilmu-ilmu, dan tujuan khusus dari filsafat itu menyelaraskan ilmu-ilmu dan melengkapinya."
7. Filsafat mempunyai dua tugas: menekankan bahwa abstraksi-abstraksi dari ilmu-ilmu betul-betul hanya bersifat abstraksi (maka tidak merupakan keterangan yang menyeluruh), dan melengkapi ilmu-ilmu dengan cara ini: membandingkan hasil ilmu-ilmu dengan pengetahuan intuitif mengenai alam raya, pengetahuan yang lebih konkret, sambil mendukung pembentukan skema-skema berpikir yang lebih menyeluruh.
8. Hubungan ilmu dengan filsafat bersifat interaksi. Perkembangan-perkembangan ilmiah teoritis selalu berkaitan dengan pemikiran filsafati, dan suatu perubahan besar dalam hasil dan metode ilmu tercermin dalam filsafat. Ilmu merupakan masalah yang hidup bagi filsafat. Ilmu membekali filsafat dengan bahan-bahan deskriptif dan faktual yang sangat perlu untuk membangun filsafat. Tiap filsafat dari suatu periode condong merefleksikan pandangan ilmiah di periode itu. Ilmu melakukan cek terhadap filsafat dengan membantu menghilangkan ide-ide yang tidak sesuai dengan pengetahuan ilmiah. Sedangkan filsafat memberikan kritik tentang asumsi dan postulat ilmu serta analisa kritik tentang istilah-istilah yang dipakai.
9. Filsafat dapat memperlancar integrasi antara ilmu-ilmu yang dibutuhkan. Searah dengan spesialisasi ilmu maka banyak ilmuwan yang hanya menguasai suatu wilayah sempit dan hampir tidak tahu menahu apa yang dikerjakan di wilayah ilmu lainnya. Filsafat bertugas untuk tetap memperhatikan keseluruhan dan tidak berhenti pada detil-detilnya.
10. Filsafat adalah meta ilmu, refleksinya mendorong peninjauan kembali ide-ide dan interpretasi baik dari ilmu maupun bidang-bidang lain.
11. Filsafat pada masa-masa awal kelahirannya dianggap sebagai mater scientiarum, induknya ilmu. Seiring dengan spesialisasi ilmu sampai dengan akhir-akhir ini, kekhususan setiap ilmu menimbulkan batas-batas yang tegas antara masing-masing ilmu. Tidak ada bidang pengetahuan lain yang menjadi penghubung ilmu-ilmu yang terpisah itu. Di sinilah filsafat berusaha mengatasi spesialisasi dengan mengintegrasikan masing-masing ilmu dengan merumuskan pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusiaan yang luas.
2.2. Persoalan Filsafat
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejal-gejala alam seperti tanah longsor, banjir, dan gempa bumi, atau melihat laut yang luas. Orang yang heran berat dia merasa ingin memperoleh. Darimana jawaban itu dapat diperoleh? Jawaban diperoleh dengan melakukan refleksi, yaitu berpikir tentang pikiran sendiri. Dalam hal ini tidak semua persoalan itu harus persoalan fisafat. Persoalan filsafat berbeda dengan persoalan nonfilsafat. Perbedaannya terletak pad amateri dan ruang lingkupnya.
Ciri-ciri persoalan filsafat seperti berikut ini.
1. Bersifat sangat umum. Artinya, persoalan kefilsafatan tidak bersangkutan dengan objek-objek khusus. Dengan kata lain, sebagian besar masalh kefilsafatan berkaitan dengan ide-ide besar. Misalnya, filsafat tidak menanyakan berapa arta yang anda sedekahkan dalam satu bulan? Akan tetapi, filsafat menanyakan apa jarak itu?
2. Tidak menyangku fakta. Dengan kata lain, persoalan filsafat lebih bersifat spekulatif. Persoalan-persoalan yang dihadapi melampaui batas-batas pengetahuan ilmiah. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang menyangkut fakta. Misalnya, seorang ilmuan memikirkan peristiwa alam yang berupa hujan. Ilmuan dapat memikirkan sebab-sebab terjadi hujan dan memberikan deskripsi tentang peristiwa hujan itu. Semua yang dipikirkan ilmuan ada dalam dunia empiris atau dapat dialami.
3. Berdasarkan dengan nilai-nilai (values). Artinya, persoalan-persoalan kefilsafatan bertalian dengan penilaian, baik nilai moral, etis, agama, maupun sosial. Nilai dalam pemgertian ini adalah suatu kualitas abstrak yang ada pada sesuatu hal. Nilai-nilai dapat di mengerti dan dihayati. Dengan demikian, daopat dikatakan yang dimaksudkan dengan nilai-nilai adalah suatu kualitas abstrak yang dapat menimbulkan rasa senang, puas, atau bahagia bagi orang yang mengalami dan menghayatinya. Para filsuf mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan tentang nilai yang terdalam (ultimate values). Kebanyakan pertanyaan-pertanyaan filsafat berkaitan denegan hakikat nilai-nilai.
4. Bersifat kritis. Artinya, filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap konsep-konsep dan arti-arti yang biasanya di terima dengan begitu saja oleh suatu ilmu tanpa pemeriksaan secara kritis. Setiap bidang pengalaman manusia, baik yang menyangkut bidang ilmu maupun agama mendasarkan penyelidikannya pada asumsi-asumsi yang diterima sebagai titik tolak berpikir maupun berbuat. Asumsi-asumsi tersebut diterima begitu saja dan diterapkan tanpa di periksa secara kritis. Salah satu tugas utama ahli fisafat atau seorang filsuf adalah memeriksa dan menilai asumsi-asumsi tersebut, mengungkapkan artinya, dan menentukan batas-batas penerapannya.
5. Bersifat sinoptik. Artinya, persoalan fisafat mencakup struktur kenyataan secara keseluruhan. Filsafat merupakan ilmu yang membuat susunan kenyataan sebagai keseluruhan.
6. Bersifat implikatif. Artinya, jika suatu persoalan kefilsafatan sudah dijawab, dari jawaban tersebut akan munculkan persoalan baru yanag saling berhubungan. Jawaban yang dikemukakan mengandung akibat-akibat lebih jauh yang menyentuh kepentingan-kepentingan manusia.
Menurut Sumedi dan Mustakim, ada enam persoalan yang selalu menjadi bahan perhatian para filsuf dan memerlukan jawaban secara radikal, dimana tiap-tiapnya menjadi salah satu cabang dari filsafat yaitu : ada, pengetahuan, metode, penyimpulan, moralitas, dan keindahan.
1. Tentang ”Ada”. Persoalan tentang ”äda” (being) menghasilkan cabang filsafat metafisika; dimana sebagai salah satu cabang filsafat metafisika sendiri mencakup persoalan ontologis, kosmologi (perkembangan alam semesta) dan antropologis (perkembangan sosial budaya manusia). Ketiga hal tersebut memiliki titik sentral kajian tersendiri.
2. Tentang ”Pengetahuan” (knowledge). Persoalan tentang pengetahuan (knowledge) menghasilkan cabang filsafat epistemologi (filsafat pengetahuan). Istilah epistemologi sendiri berasal dari kata episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan dan logos berarti teori. Jadi, epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode dan validitas pengetahuan.
3. Tentang ”Metode” (method). Persoalan tentang metode (method) menghasilkan cabang filsafat metologi atau kajian / telaah dan penyusunan secara sistematik dari beberapa proses dan azas-azas logis dan percobaan yang sistematis yang menuntun suatu penelitian dan kajian ilmiah; atau sebagai penyusun ilmu-ilmu vak.
4. Tentang ”Penyimpulan”. Logika (logis) yaitu ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir tepat dan benar. Dimana berpikir adalah kegiatan pikiran atau akal budi manusia. Logika sendiri dapat dibagi menjadi 2, yaitu logika ilmiah dan logika kodratiah. Logika bisa menjadi suatu upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti : Adakah metode yang dapat digunakan untuk meneliti kekeliruan pendapat? Apakah yang dimaksud pendapat yang benar? Apa yang membedakan antara alasan yang benar dengan alasan yang salah? Filsafat logika ini merupakan cabang yang timbul dari persoalan tentang penyimpulan.
5. Tentang ”Moralitas” (morality). Moralitas menghasilkan cabang filsafat etika (ethics). Etika sebagai salah satu cabang filsafat menghendaki adanya ukuran yang bersifat universal.
6. Tentang ”Keindahan”. Estetika adalah salah satu cabang filsafat yang lahir dari persoalan tentang keindahan. Merupakan kajian kefilsafatan mengenai keindahan dan ketidakindahan. Lebih jauhnya lagi, mengenai sesuatu yang indah terutama dalam masalah seni dan rasa serta norma-norma nilai dalam seni.
2.3 Berpikir Secara Kefilsafatan
Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini perkembangan ilmu dan teknologi begitu pesat. Dengan ilmu yang dimiliki manusia, sudah banyak masalah yang berhasil dipecahkan. Rahasia alam semesta, misalnya, telah banyak diungkapkan melalui kemajuan ilmu tersebut, yang pada gilirannya menghasilkan teknologi- teknologi spektakuler, seperti bioteknologi, teknologi di bidang komputer, komunikasi maupun ruang angkasa. Akan tetapi sebanyak dan semaju apapun ilmu yang dimiliki manusia, tetap saja ada pertanyaan-pertanyaan yang belum berhasil dijawab. Maka ketika ilmu tidak lagi mampu menjawab, pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi porsi pekerjaan filsafat.
Berfilsafat adalah berpikir. Hal ini tidak berarti setiap berpikir adalah berfilsafat, karena berfilsafat itu berpikir dengan ciri-ciri tertentu. Kalau dikatakan berfilsafat adalah berpikir, hal ini dmaksudkan bahwa berfilsafat termasuk kegiatan berpikir. Kata “adalah” dalam “berfilsafat adalah berpikir” mengandung pengertian bahwa berfilsafat itu tidak identik dengan berpikir melainkan berfilsafat termasuk dalam berpikir. Dengan demikian tidak semua orang yang berpikir itu mesti berfilsafat. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa orang yang berfilsafat itu pasti berpikir. Hanya saja berfilsafat itu berpikir dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya seorang mahasiswa berpikir bagaimana agar memperoleh IP yang tinggi pada suatu semester, atau seorang pegawai memikirkan gaji yang akan diterima pada bulan yang akan datang. Semua contoh yang dikemukakan itu bukanlah berpikir secara kefilsafatan melainkan berpikir biasa, berpikir sehari-hari, yang jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam.
Sepanjang sejarah kefilsafatan dikalangan filsuf terdapat tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat yaitu kekaguman atau keheranan, keraguan atau kegengsian, kesadaran akan keterbatasan. Pada umumnya seorang filsuf mulai berfilsafat karena adanya rasa kagum atau adanya rasa heran dalam pikiran filsafat itu sendiri. Dalam hal ini dialami oleh Plato (filsuf Yunani) yang mengatakan : “Mata kita memberi pengamatan bintang-bintang, matahari dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan kepada kita untuk menyelidik. Dan dari penyelidikan ini berasal filsafat.”
Berfilsafat dapat pula bermula dari adanya suatu kesadaran akan keterbatasan pada diri manusia. Berfilsafat kadang-kadang dimulai apabila manusia menyadari bahwa dirinya sangat kecil dan lemah terutama di dalam menghadapi kejadian-kejadian alam. Apabila seorang merasa, bahwa ia sangat terbatas dan terikat terutama pada waktu mengalami penderitaan atau kegagalan, maka dengan adanya kesadaran akan keterbatasan dirinya tadi manusia mulai berfilsafat. Ia akan memikirkan bahwa di luar manusia yang terbatas pasti ada sesuatu yang tidak terbatas yang dijadikan bahan kemajuan untuk menemukan kebenaran hakiki. Dengan alasan-alasan tersebut diataslah yang mendorong para filsuf untuk berfilsafat.
Untuk mengenal filsafat secara mendalam ataupun berpikir kefilsafatan, maka perlu dipahami juga bahwa kajian kefilsafatan berkisar pada hal-hal yang fundamental. Oleh karena itu, maka filsafat memiliki beberapa karakteristik yang dalam hal ini sebenarnya banyak perbedaan diantara para filsuf akan tetapi sebenarnya memiliki pemahaman yang sama.
Karakteristik pemikiran kefilsafatan terdiri dari : integralistik (menyeluruh), mendasar (fundamental), dan spekulatif (Syiena, 2008).
a. Menyeluruh, artinya pemikiran yang luas, pemikiran yang meliputi beberapa sudut pandangan. Pemikiran kefilsafatan meliputi beberapa cabang ilmu, dan pemikiran semacam ini ingin mengetahui hubungan antara cabang ilmu yang satu dengan yang lainnya.
b. Mendasar, artinya pemikiran mendalam sampai kepada hasil yang fundamental (keluar dari gejala). Hasil pemikiran tersebut dapat dijadikan dasar berpijak segenap nilai dan masalah-masalah keilmuan (sciense).
c. Spekulatif, artinya hasil pemikiran yang diperoleh dijadikan dasar bagi pemikiran-pemikiran selanjutnya dan hasil pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai medan garapan (objek) yang baru pula.
Jadi, berfilsafat merupakan serangkaian kegiatan berpikir yang sangat fundamental yang walaupun tidak menghasilkan sesuatu hal yang konkret, tapi kiranya salah satu dari fungsi filsafat yang terpenting adalah mempertahankan pemikiran yang benar terhadap fantasi dan kesalahan. Selain itu ada juga beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan yang lain antara lain :
a. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara radikal. Radikal berasal dari kata Yunani radix yang berarti akar. Berpikir secara radikal adalah berpikir sampai ke akar-akarnya. Berpikir sampai ke hakikat, esensi atau sampai ke substansi yang dipikirkan. Manusia yang berfilsafat tidak puas hanya memperoleh pengetahuan lewat indera yang selalu berubah, tidak tetap.
b. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara universal (umum). Berpikir secara universal adalah berpikir tentang hal-hal serta proses-proses yang bersifat umum. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum dari umat manusia (common experience of mankind). Dengan jalan penjajagan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang universal.
c. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara konseptual. Yang dimaksud dengan konsep disini adalah hasil generalisasi (perumuman) dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses individual. Berfilsafat tidak berpikir tentang manusia tertentu atau manusia khusus melainkan berpikir tentang “manusia secara umum”. Berpikir secara kefilsafatan tidak bersangkutan dengan pemikiran terhadap perbuatan-perbuatan bebas yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, khusus, konkrit sebagaimana dipelajari oleh psikolog, melainkan bersangkutan dengan pemikiran “apakah kebebasan itu?”.
d. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara koheren dan konsisten. Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir (logis). Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi. Baik koheren maupun konsisten keduanya dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia : runtut. Yang dimaksud dengan runtut adalah bagan konseptual yang disusun itu tidak terdiri dari pendapat-pendapat yang saling berkontradiksi di dalamnya.
e. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik. Sistematik berasal dari kata sistem. Yang dimaksud dengan sistem adalah kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan tertentu.
f. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara komprehensip. Yang dimaksud komprehensif adalah mencakup secara menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan berusaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan. Kalau suatu sistem filsafat harus bersifat komprehensif, berarti sistem itu mencakup secara menyeluruh, tidak ada sesuatu pun yang berada di luarnya.
g. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas. Sampai batas-batas yang luas maka setiap filsafat boleh dikatakan merupakan suatu hasil dari pemikiran yang bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, cultural ataupun religius. Sikap-sikap bebas demikian ini banyak dilukiskan oleh filsuf-filsuf dari segala zaman. Socrates memilih minum racun dan menatap maut daripada harus mengorbankan kebebasannya untuk berpikir menolak pengangkatannya sebagai guru besar filsafat pada Universitas Heidelberg. Kebebasan berpikir itu adalah kebebasan yang berdisiplin.
h. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan dengan pemikiran yang bertanggung jawab. Seseorang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sambil bertanggung jawab. Pertanggungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya sendiri. Di sini nampaklah hubungan antara kebebasan berpikir dalam filsafat dengan etika yang melandasinya. Seorang filsuf seolah-olah mendapat panggilan untuk membiarkan pikirannya menjelajahi kenyataan. Akan tetapi tidak sampai di situ saja yang dirasakan menjadi tugasnya. Fase berikutnya ialah cara bagaimana ia merumuskan pikiran-pikirannya agar dapat dikomunikasikan pada orang lain dalam ikhtiar ini sebenarnya seorang filsuf berusaha mengajak orang lain untuk ikut serta dalam alam pikirannya.
2.4 Cabang-Cabang Filsafat
Dalam hal ini persoalan-persoalan yang muncul tentang filsafat dapat dikelompokkan berdasarkan cabang-cabang filsafat itu sendiri. Terdapat tiga persoalan filsafat yang utama yaitu persoalan tentang keberadaannya, persoalan tentang pengetahuan, dan persoalan tentang nilai-nilai.
1. Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi (existence). Persoalan tentang keberadaan atau eksistensi berkaitan dengan cabang filsafat metafisika.
2. Persoalan pengetahuan (knowledge) atau kebenaran (truth). Persoalan tentang pengetahuan ditinjau dari segi isinya berkaitan dengan cabang filsafat epistemologi. Jika kebenaran ditinjau dari segi bentuknya maka berkaitan dengan cabang filsafat logika.
3. Persoalan nilai-nilai (values). Dalam hal ini nilai-nilai dapat dibedakan menjadi dua yaitu nilai-nilai kebaikan tingkah laku dan nilai keindahan. Nilai-nilai kebaikan tingkah laku berkaitan dengan cabang filsafat etika sedangkan nilai keindahan berkaitan dengan cabang filsafat estetika.
Berkut adalah penjelasan dari masing-masing cabang-cabang filsafat tersebut.
2.4.1 Metafisika
Ditinjau dari asal katanya metafisika berasal dari bahasa Yunani yaitu metaphysica yang berarti sesuatu yang ada di belakang atau di balik benda-benda fisik. Metafisika dapat diartikan sebagai stuidi atau pemikiran yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan. Metafisika adalah satu cabang filsafat yang mempelajari dan memahami mengenai penyebab adanya segala sesuatu sehingga hal tertentu menjadi ada. Metafisika bisa berarti upaya untuk mengkarakterisasi eksistensi atau realitas sebagai suatu keseluruhan. Istilah ini juga berarti sebagai usaha untuk menyelidiki alam yang berada di luar pengalaman atau menyelidiki apakah hakikat yang berada di balik realitas. Studi ini amat kompleks dan cenderung melampaui rasionalitas atau melampaui jangkauan akal budi.Aristoteles sebagai salah satu tokoh filsafat mempergunakan istilah proto philosophia yang berarti filsafat yang pertama. Filsafat pertama ini membahas tentang sesuatu yang ada di belakang gejala-gejala fisik seperti bergerak, berubah, hidup, atau mati. Metafisika dapat didefinisikan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan. Dalam hal ini persoalan-persoalan metafisik dapat dibedakan menjadi tiga yaitu persoalan ontologi, kosmologi dan antropologi.
a. Persoalan-persoalan ontologis yang menyangkut hal-hal : Apa yang dimaksud dengan ada, keberadaan, atau eksistensi itu? Bagaimana penggolongan dari ada, keberadaan, atau eksistensi itu? Apa sifat dasar (nature) kenyataan atau keberadaan itu?
b. Persoalan-persoalan kosmologis yang berkaitan dengan asal-mula, perkembangan, dan struktur atau susunan alam yang menyangkut hal-hal : Jenis keteraturan apa yang ada di alam? Keteraturan dalam alam seperti halnya sebuah mesin ataukah keteraturan yang bertujuan? Apa hakikat hubungan sebab dan akibat? Apakah ruang dan waktu itu?
c. Persoalan-persoalan atropologi yang menyangkut hal-hal : Bagaimana terjadi hubungan badan dan jiwa? Apa yang dimaksud dengan kesadaran? Manusia sebagai mahluk bebas atau tak bebas?
2.4.2 Epistemologi
Ditinjau dari asal katanya istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme yang artinya pengetahuan dan logos yang artinya teori. Sehingga epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari tentang asal-mula atau sumber, struktur, metode, dan sahnya(validitas) pengetahuan. Epistemologi adalah cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Epistemologi adalah ilmu yang mempelajari berbagai bentuk pengenalan dasar pengetahuan, hakikat dan nilainya. Secara tradisional, yang menjadi pokok permasalahan dalam epistemologi adalah sumber, asal mula dan sifat dasar pengetahuan: bidang, batas dan jangkauan pengetahuan.
Perbedaan mendasarnya dengan metafisika yaitu terletak pada cara mempertanyakan sesuatu dimana dalam metafisika yang ditanyakan adalah keberadaan sesuatu sedangkan epistemologi mempertanyakan tentang pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu. Pengetahuan selalu mempunyai subjek: yang mengetahui. Tanpa ada yang mengetahui maka tidak mungkin ada pengetahuan. Pengetahuan juga mengandaikan objek. Tanpa objek atau hal yang diketahui juga harus dikatakan tidak mungkin ada pengetahuan. Pengetahuan berelasi dengan masalah kebenaran. Kebenaran adalah kesesuaian pengetahuan dengan objek pengetahuan. Masalahnya adalah kebenaran suatu objek pengetahuan tidak bisa serentak diperoleh dalam suatu waktu pengetahuan tertentu. Jarang sekali sebuah objek pengetahuan menampilkan kebenaran mutlak. Kebenaran dicari dalam tahapan pengetahuan yang disusun secara metodis, sistematis dan rasional. Ada tiga jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan biasa atau pengetahuan pra ilmiah, pengetahuan ilmiah dan pengetahuan filosofis.
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu? Dari manakah pengetahuan itu dapat diperoleh?Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai? Apa perbedaan antara pengetahuan a priori(pengetahuan pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori(pengetahuan purna pengalaman)?
2.4.3 Logika
Ditinjau dari asal katanya logika berasal dari bahasa Yunani yaitu logos yang berarti kata, nalar, teori, atau uraian. Sehingga logika dapat didefinisikan sebagai ilmu, kecakapan, atau alat untuk berpikir secara lurus. Istilah logika digunakan pertama kali oleh Zeno. Logika dapat berarti suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Tapi biasanya logika dilihat sebagai sebuah studi tentang struktur atau susunan pembahasan rasional. Logika merupakan cabang filsafat yang mempelajari, menyelidiki proses atau cara berpikir yang benar, yang sehat dan patokan mana yang mesti dipatuhi agar pernyataan yang diambil adalah sah.Dengan demikian, yang menjadi objek material logika adalah pemikiran, sedangkan objek formulanya adalah kelurusan berpikir.
Persoalan-persoalan logika menyangkut hal-hal : Apa yang dimaksud dengan pengertian (concept)? Apa yang dimaksud dengan putusan (proposition)?Apa yang dimaksud dengan kesimpulan (inferensi)? Apa aturan-aturan untuk dapat menyimpulkan secara lurus? Apa macam-macam silogisme?Apa macam-macam sesat pikir (fallaci)?
Dalam logika ada empat hukum dasar logika. Empat hukum dasar logika itu disebut juga postulat-postulat universal semua penalaran. Keempat hukum dasar logika adalah: hukum identitas, hukum kontradiksi, hukum tiada jalan tengah dan hukum cukup alasan. Hukum identitas menyebutkan bahwa sesuatu adalah sama dengan dirinya sendiri. Hukum kontradiksi adalah hukum yang menyatakan bahwa sesuatu pada waktu yang sama tidak dapat sekaligus memiliki sifat tertentu dan juga tidak memiliki sifat tertentu itu. Hukum tiada jalan tengah menyatakan bahwa sesuatu itu pasti memiliki suatu sifat tertentu atau tidak memiliki sifat tertentu itu dan tidak ada kemungkinan ketiga. Hukum cukup alasan menjelaskan bahwa jika terjadi perubahan pada sesuatu, perubahan itu harus berdasarkan alasan yang cukup memadai dan cukup dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
2.4.4 Etika
Dalam hal ini etika juga disebut sebagai filsafat moral. Ditinjau dari asal katanya etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti watak. Sedangkan kata moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos dalam bentuk tunggal dan dalam bentuk jamak mores yang artinya kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata etika atau moral berarti kesusilaan. Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai tindakan manusia dalam kaitannya dengan tujuan utama hidupnya. Etika membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika mempersoalkan bagaimana manusia seharusnya berbuat atau bertindak.
Tindakan manusia ditentukan oleh macam-macam norma. Etika menolong manusia untuk mengambil sikap terhadap semua norma dari luar dan dari dalam, supaya manusia mencapai kesadaran moran yang otonom. Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam etika biasanya dibedakan antara etika deskriptif dan etika normative. Etika deskriptif memberikan gambaran dari gejala kesadaran moral, dari norma dan konsep-konsep etis. Etika normatif tidak berbicara lagi tentang gejala, melainkan tentang apa yang sebenarnya harus merupakan tindakan manusia. Dalam etika normatif, norma dinilai dan setiap manusia ditentukan.
Objek material dalam etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia baik yang dilakukan secara sadar maupun secara tidak sadar. Sedangkan objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan atau bermoral dan tidak bermoral dari tingkah laku tersebut.
Persoalan-persoalan yang dibahas dalam etika adalah : Apa yang dimaksud baik dan buruk secara moral? Apa syarat-syarat suatu perbuatan dikatakan baik secara moral? Bagaimana hubungan antara kebebasan kehendak dengan perbuatan susila? Apa yang dimaksud dengan kesadaran moral? Bagaimana peranan hati nurani (conscience) dalam setiap perbuatan manusia? Bagaimanakah pertimbangan moral berbeda dari dan bergantung pada suatu pertimbangan yang bukan moral?
2.4.5 Estetika
Ditinjau dari asal katanya, estetika berasal dari bahasa Yunani yaitu aisthetika yang berarti hal-hal yang dapat diserap dengan indra atau aisthesis yang berarti serapan indra. Dengan kata lain estetika adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari tentan keindahan. Estetika merupakan ranting filsafat yang membicarakan tentang seni atau keindahan, bukan hanya sebagai karya seni belaka tetapi juga sebagai kegiatan seni.Adapun perbedaannya dengan etika adalah jika etika berkaitan dengan nilai-nilai moral sedangkan estetika berkaitan dengan nilai bukan moral.
Selain itu estetika juga memiliki beberapa pengertian lain (Agus Sachari,2002) yaitu:
a) Estetika adalah segala sesuatu dan kajian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan seni.
b) Estetika merupakan suatu telah yang berkaitan dengan penciptaan, apresisasi, dan kritik terhadap karya seni dalam konteks keterkaitan seni dengan kegiatan manusia dan peranan seni dalam perubahan dunia.
c) Estetika merupakan kajian filsafat keindahan dan juga keburukan.
d) Estetika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keinbdahan, mempelajari semua aspek yang disebut keindahan.
e) Estetika adalah segala hal yang berhubungan dengan sifat dasar nilai-nilai non-moral suatu karya seni.
f) Estetika merupakan cabang filsafat yang berkaitan proses penciptaan karya estetis.
g) Estetika adalah filsafat yang membahas esensi dari totalitas kehidupan estetik dan artistik yang sejalan dengan zaman.
Pengalaman akan keindahan merupakan objek dari estetika. Dalam estetika, manusia mencari hakikat keindahan, bentuk pengalaman keindahan, penyelidikan emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah, yang agung, yang tragis, yang mengharukan. Estetika biasa dibagi dua, yaitu deskriptif dan normatif. Estetika deskriptif menggambarkan gejala pengalaman keindahan. Estetika normatif mencari dasar pengalaman itu.
Persoalan-persoalan yang menjadi bahasan dalam estetika adalah : Apakah keindahan itu? Keindahan bersifat objektif atau subjektif? Apa yang merupakan ukuran keindahan? Apa peranan keindahan dalam kehidupan manusia? Bagaimanakah hubungan keindahan dengan kebenaran?
2.5 Aliran-Aliran Filsafat
2.5.1 Aliran-Aliran Filsafat dalam Persoalan Keberadaan (Ontology Ilmu).
Aliran-aliran filsafat dalam persoalan keberadaan bersangkutan dengan cabang filsafat metafisika umum (Ontologi). Ontologi meliputi apa hakekat ilmu, apa hakekat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) ada itu (Mochamad, 2009). Munculnya berbagai aliran metafisika disebabkan oleh dua hal pokok (Siswanto, 2003). Pertama, terjadinya proses diferensiasi fungsional filsafat itu sendiri. Misalnya posisi filsafat semula adalah sebagai pandangan dunia, lama-kelamaan mau mengganti religi, filsafat ingin memberikan kepada manusia pegangan hidup yang tidak ditemukan dalam religi. Kedua, proses saling menjauhi diri antara aliran yang sudah ada, dan kemudian melahirkan aliran baru. Oleh karena begitu banyak aliran yang muncul dalam dunia metafisika.
Menurut Alisyahbana (dalam Pandowosun,2002), aliran metafisika ini dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu yang mengenai kuantitas (jumlah) dan yang mengenai kualitas (sifat).
a. Dari segi kuantitatif yakni aliran yang menjawab dan mengajarkan tentang jumlah (kuantitas) kenyataan. Dalam hal ini ditemukan tiga aliran yang menonjol yaitu sebagai berikut.
i. Monisme atau disebut aliran yang memberikan ajaran “keseluruhan-kesatuan”. Aliran yang menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan fundamental. Secara sistematis, monisme dimulai dari materialisme sedangkan secara historis, monisme dimulai dari idealisme metafisik yang melihat rohani sebagai kenyataan pertama. Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa materi, Tuhan atau substansi lainnya yang tidak dapat diketahui. Tokoh-tokohnya antara lain adalah Thales (625-545 SM) yang berpendapat bahwa kenyataan yang terdalam adalah satu substansi yaitu air. Anaximenes (585-528 SM) berkeyakinan bahwa yang merupakan unsur kenyataan yang sedalam-dalamnya adalah udara. Anaximander (610-574 SM) berkeyakinan bahwa yang merupakan kenyataan yang terdalam adalah Apeiron yaitu sesuatu yang tanpa batas, tak dapat ditentukan, dan tidak memiliki persamaan dengan salah satu benda yang ada di dunia. Baruch Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu Tuhan yang diidentikan dengan alam.
ii. Pluralisme merupakan tandingan monisme, karena menerima prinsip asas banyak. Para filsuf yang termasuk pluralisme diantaranya adalah Empedokles (490 – 430) yang menyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri dari 4 unsur, yaitu udara, api, air dan tanah. Anaxagoras (500-428 SM) menyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri atas unsur-unsur yang tak terhitung banyaknya dan dikuasai oleh suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur yang disebut nous. Leibniz (1646-1716) menyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri atas monade-monade yang saling berhubungan dalam suatu sistem yang telah diselaraskan. Monade adalah substansi yang tak berluas, selalu bergerak, tak terbagi dan tidak dapat dirusak. Pluralisme dibedakan dalam dua bentuk solidarisme metafisik dan metafisika centris. Solidarisme metafisik memberikan watak kenyataan yang sama pada semua kenyataan yang ada. Seperti pandangan dunia Yunani pada umumnya, yang menerima adanya sebuah hukum yang mencakup segala sesuatu, yang menyatakan diri dalam kosmos yang nampak. Dalam hukum kosmos, segala sesuatu mendapat tempat yang sesuai seperti dewa-dewa, binatang-binatang, manusia, sampai pada yang ilahi. Metafisika sentris menerima prinsip asas yang banyak tetapi salah satu yang utama dan memberi makna. Yang utama itu dapat suatu ketuhanan yang mutlak atau manusia.
iii. Dualisme merupakan aliran yang menganggap adanya dua substansi yang masing-masing berdiri sendiri. Tokoh-tokohnya adalah Plato (428-348 SM) yang membedakan dua dunia yaitu dunia indera (dunia bayang-bayang) dan dua intelek (ide). Descrates (1596 – 1650) yang membedakan substansi pikiran dan substansi keluasan. Leibniz (1646-1716) yang membedakan antara dunia yang sesungguhnya dengan dunia yang mungkin. Immanuel Kant (1724-1804) yang membedakan antara dunia gejala dengan dunia hakiki.
b. Dari segi kualitatif (sifat) ditemukan begitu banyak aliran metafisika. Yang mengenai kualitas dibagi juga menjadi dua bagian besar, yakni yang melihat hakikat kenyataan itu tetap, dan yang melihat hakikat kenyataan itu sebagai kejadian.
a) Hakikat kenyataan itu tetap
i. Spiritualisme adalah ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh yaitu roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam. Aliran ini juga disebut idealisme (serba cita), tokoh-tokoh aliran ini diantaranya adalah Plato (430 – 348 SM) dengan ajarannya tentang idea (cita) dan jiwa yang tidak dapat di tangkap. Idea atau cita adalah gambaran asli segala benda. Semua yang ada di dunia hanyalah bayangan saja. Leibniz (1646 – 1718) dengan teorinya tentang monade. Monade adalah sesuatu yang bersahaja, tidak menempati ruang dan tidak berbentuk. Sifatnya yang terutama adalah gerak, menanggapi, dan berpikir.
ii. Materialisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada hal yang nyata kecuali materi, pikiran dan kesadaran hanyalah penjelmaan dari materi dan dapat dikembalikan pada unsur fisik. Materi adalah sesuatu hal yang kelihatan, dapat diraba, dan menempati ruang. Tokohnya salah satunya democritus (460 – 370 SM), berkeyakinan bahwa alam semesta tersusun atas atom-atom kecil yang memiliki bentuk dan badan serta memiliki sifat yang sama. Jiwa pun terdiri dari atom-atom yang lebih kecil dan sangat mudah bergerak. Thomas Hobbes (1588-1679) berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini merupakan gerak dari materi. Menurut Hobbes, filsafat sama dengan ilmu yang mempelajari benda-benda karena segala sesuatu terjadi dari benda-benda.
b) Hakikat kenyataan itu sebagai kejadian.
i. Mekanisme adalah aliran yang berkeyakinan bahwa kejadian di dunia ini berlaku dengan sendirinya menurut hukum sebab-akibat. Tokoh-tokohnya adalah Leucippus dan Democritus yang berpendapat bahwa alam dapat diterangkan berdasar pada atom yang bergerak pada ruang kosong. Bagi Immanuel Kant, kepastian dari suatu kejadian sesuai dengan kaidah sebab-akibat sebagai suatu kaidah alam.
ii. Teleologi adalah aliran yang berpendirian bahwa yang berlaku di dalam kejadian alam bukanlah kaidah sebab-akibat akan tetapi sejak semua memang ada sesuatu kemauan atau kekuatan yang mengarahkan alam ke suatu tujuan. Menurut aristoteles, ada empat macam sebab yaitu sebab bahan (material cause), sebab bentuk (formal cause), sebab kerja (efficient cause), sebab tujuan (final cause). Sebab bahan adalah bahan yang menjadikan sesuatu itu ada, sebab bentuk adalah yang menjadikan sesuatu itu berbentuk, sebab kerja adalah yang menjadikan bentuk itu bekerja atas bahan, sebab tujuan adalah yang menyebabkan tujuan semata-mata karena perubahan tempat atau gerak.
iii. Vitalisme adalah aliran yang memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara fisika kimiawi karena hakikatnya berbeda dengan yang tidak hidup. Filsuf vitalisme adalah Hans Adolf Eduard Driesch (1867-1940) yang menyatakan bahwa dalam hidup setiap organisme memiliki asas hidup yang disebut entelechy. Henry Bergson (1859-1941) menyebutnya elan vital yaitu sumber dari sebab kerja dan perkembangan dari dalam alam. Asas hidup memimpin dan mengatur gejala hidup yang disesuaikan dengan tujuan hidup.
iv. Organisme adalah aliran ini biasanya dilawankan dengan mekanisme dan vitalisme. Menurut aliran ini, hidup merupakan suatu struktur yang dinamik dan suatu kebulatan yang memiliki bagian-bagian yang heterogen dan sistem yang teratur.
v. Determinisme yaitu aliran yang mengajarkan bahwa kemauan manusia itu tidak merdeka dalam mengambil putusan-putusan yang penting, tetapi sudah terpasti lebih dahulu (Zakaria, 2008).
vi. Indeterminisme yaitu aliran yang berpendirian bahwa kemauan manusia itu bebas dalam arti yang seluas-luasnya (Zakaria, 2008).
2.5.2 Aliran-Aliran Filsafat dalam Persoalan Pengetahuan (Epistemology Ilmu)
Epistemology juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etomologi, istilah epistemology berasal dari kata yunani yaitu episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori. Epistemology dapat didefinisikan sebagai cabang struktur, metode dan validitas pengetahuan (Mochamad, 2009). Aliran ini mencoba menjawab pertanyaan, bagaimana manusia mendapat pengetahuannya sehingga pengetahuan itu benar dan berlaku.
Aliran-aliran dalam persoalan pengetahuan yang bertalian dengan sumber-sumber pengetahuan (origin) adalah sebagai berikut.
a. Rasionalisme merupakan aliran yang berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber pada akal. Menurut Hadiwiyono (dalam Wang Muba, 2009), aliran rasionalisme ini secara luas merupakan pendekatan filosofis yang menekankan adanya akal budi atau rasio sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi. Akal memperoleh bahan lewat indra dan kemudian diolah oleh akal menjadi pengetahuan. Bapak aliran ini adalah Rene Descartes (1596-1650).
b. Empirisme adalah aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan manusia itu berasal dari pengalaman manusia, dari dunia luar yang ditangkap pancainderanya. Menurut David Hume, hakikat ide-ide itu selalu empiris (Yumartana dalam Wang Muba, 2009). Kesan-kesan diperoleh panca indera dari alam nyata yang kemudian berkumpul menjadi pengalaman. John Locke (1632-1704) yang dianggap sebagai bapak aliran ini mengemukakan teori tabula rasa (meja lilin). Maksudnya bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Sesuatu yang tidak bisa diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Kelemahan aliran ini adalah karena keterbatasan indera manusia (Zakaria, 2009).
c. Realisme adalah aliran yang menyatakan bahwa obyek-obyek yang diketahui adalah nyata dalam dirinya sendiri. Keberadaan objek-objek tidak bergantung pada pemikiran, serta interaksi pikiran dengan dunia luar tidak mempengaruhi sifat dasar dunia.
d. Kritisisme (transendentalisme), merupakan aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu berasal dari luar maupun dari jiwa manusia itu sendiri. Immanul Kant adalah peletak dasar dari aliran kritisisme. Dalam arti luas, kritisisme merupakan sebuah epistemologi yang menempatkan akal budi sebagai nilai yang amat tinggi tetapi akal budi memiliki keterbatasan. Oleh karena itu Kant berpendapat bahwa pengetahuan bersifat sintesis. Pengetahuan inderawi atau empirisme merupakan sintesis dari pengamatan ruang dan waktu. Kemudian pengetahuan akal merupakan sintesis pengetahuan. Rasio dan akal budi memberi arah kepada akal ketika tidak mampu mengetahuinya. Kant menyebutnya sebagai idealisme transdental atau idealiseme kritis (Hadiwiyono dalam Wang Muba, 2009).
Sedangkan persoalan pengetahuan yang menekankan pada hakekat pengetahuan di jawab oleh aliran-aliran berikut ini.
a. Idealisme.
Aliran ini berpendirian bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental ataupun proses-proses psikologis yang sifatnya subyektif. Pengetahuan tidak menggambarkan kebenaran yang sesungguhnya. Aliran ini juga berpendapat bahwa pengetahuan itu tidak lain daripada kejadian dalam jiwa manusia.
b. Realisme.
Aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan manusia itu adalah gambar yang baik dan tepat dari kebenaran. Dalam pengetahuan tergambarkan kebenaran yang sungguh-sungguhnya.
c. Empirisme.
Aliran ini mengatakan bahwa pengetahuan manusia itu berasal dari pengalaman manusia, dari dunia luar yang ditangkap pancainderanya. Aliran ini berpendirian bahwa hakekat pengetahuan adalah berupa pengalaman. David Hume menyatakan bahwa pengalaman merupakan ukuran terakhir dari suatu kenyataan. William James menyatakan bahwa pernyataan tentang fakta adalah hubungan dari benda-benda dan sama banyaknya dengan pengalaman khusus yang diperoleh secara langsung oleh indra.
d. Positivisme.
Abad ke-19 dapat diakatakan sebagai abad positivisme dengan tokohnya Auguste Comte (1798-1857) karena pengaruh aliran ini demikian kuatnya dalam dunia modern. Filsafat menjadi praktis bagi tingkah laku manusia sehingga tidak lagi memandang penting berfikir yang bersifat abstrak (Wibisono dalam Wang Muba, 2009). Aliran yang berpendirian bahwa filsafat hendaknya semata-mata berpangkal pada peristiwa yang positif, artinya peristiwa-peristiwa yang dialami manusia. Aliran ini berpendirian bahwa kepercayaan yang dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan faktawi. Pernyataan yang tidak berdasar pada pengalaman dianggap tidak bermakna dan bukan merupakan pengetahuan.
e. Pragmatisme.
Aliran yang beranggapan bahwa benar dan tidaknya sesuatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung pada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak di dalam kehidupannya. Aliran ini tidak mempersoalkan apa hakekat pengetahuan melainkan menanyakan apa guna pengetahuan tersebut. C.S. Pierce menyatakan yang terpenting adalah pengaruh apa yang dapat dilakukan oleh ide dalam suatu rencana. Menurut William James, kebenaran suatu hal ditentukan oleh akibat praktisnya. Sedangkan menurut John Dewey, tidak perlu mempersoalkan kebenaran suatu pengetahuan, melainkan sejauh mana kita dapat memecahkan persoalan yang timbul dalam masyarakat.
2.5.3 Aliran-Aliran Filsafat dalam Persoalan Nilai-Nilai (Aksiology Ilmu)
Aksiologi ilmu meliputi nilai-nilai (value) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana yang dijumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik-material (Mochamad, 2009). Menurut Endang Saifuddin (1987 ; 96) terdapat banyak aliran-aliran penting dalam etika, antara lain adalah sebagai berikut.
a. Idealisme Etis ialah aliran yang berpendirian bahwa perbuatan manusia janganlah terikat pada sebab-musabab lahir, tetapi haruslah berdasarkan pada prinsip kerohanian (idea) yang lebih tinggi. Aliran ini meyakini adanya suatu norma-norma untuk bertindak, lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat spiritual, dan lebih mengutamakan kebebasan moral daripada ketentuan kejiwaan atau alami.
b. Deontologisme (formalism atau intuisionisme) etis berpendirian bahwa sesuatu tindakan dianggap baik tanpa disangkutkan dengan nilai kebaikan suatu hal. Suatu perbuatan dikatakan wajib secara moral tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya.
c. Etika Theologis ialah aliran yang berkeyakinan bahwa ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia itu dinilai dengan sesuai dan tidak sesuainya dengan perintah Tuhan (Theos = Tuhan).
d. Hedonisme ialah aliran yang berpendapat bahwa perbuatan susila itu ialah perbuatan yang menimbulkan hedone (kenikmatan dan kelezatan). Cyrenaics (400SM) menyatakan bahwa hidup yang baik adalah dengan memperbanyak kenikmatan melalui kenikmata indra dan intelek. Sebaliknya, Epikurus (341-270 SM) menyatakan kesengan dan kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia.
e. Utilitarisme ialah aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia itu ditinjau dari kecil dan besarnya manfaat bagi manusia.
f. Aliran Etika Naturalisme ialah aliran yang beranggapan bahwa kebahagian manusia itu didapatkan dengan menurutkan panggilan natural (fitrah) kejadian manusia itu sendiri (Pandowosun, 2002).
g. Aliran Etika Vitalisme ialah aliran yang menilai baik buruknya perbuatan manusia itu sebagai ukuran ada tidak adanya daya hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu (Pandowosun, 2002)..
Di samping aliran-aliran di atas, masih banyak aliran yang lain dalam filsafat (Pandowosun, 2002). Aliran-aliran itu antara lain adalah sebagai berikut.
a. Eksistensialisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia yang kongkret, yaitu manusia sebagai eksistensi, dan sehubungan dengan titik tolak ini. maka bagi manusia eksistensi itu mendahului esensi.
b. Fenomenologi, yaitu aliran yang berpendapat bahwa hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dan keyakinan bahwa pengertian itu dapat dicapai jika kita mengamati fenomena atau pertemuan kita dengan realitas.
c. Aliran filsafat hidup, yaitu aliran yang berpendapat bahwa berfilsafat barulah mungkin jika rasio dipadukan dengan seluruh kepribadian sehingga filsafat itu tidak hanya hal yang mengenai berpikir saja, tetapi juga mengenai ada, yang mengikutkan kehendak, hati, dan iman, pendeknya seluruh hidup.
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Simpulan
Dari yang sudah dipaparkan pada pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
a. Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah dan Ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang sangat penting.
b. Enam persoalan yang selalu menjadi bahan perhatian para filsuf dan memerlukan jawaban secara radikal, dimana tiap-tiapnya menjadi salah satu cabang dari filsafat yaitu : ada, pengetahuan, metode, penyimpulan, moralitas, dan keindahan.
c. Ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan antara lain radikal, universal, konseptual, koheren dan konsisten, sistematik, komprehensif, bebas serta pemikiran yang bertanggung jawab.
d. Cabang-cabang filsafat terdiri dari metafisika, epistemologi, logika, etika dan estetika.
e. Terdapat tiga Aliran-aliran filsafat antara lain, aliran-aliran dalam persoalan keberadaan, persoalan pengetahuan, dan persoalan nilai-nilai (etika).
3.2. Saran
Saran yang dapat penulis berikan adalah agar kita sebagai mahasiswa memahami dengan baik cabang-cabang serta aliran-aliran filsafat, cara berpikir kefilsafatan, dan permasalahan-permasalahan dalam filsafat karena filsafat membentuk ruang lingkup yang semakin luas dengan beraneka ragam permasalahan. Dengan berfilsafat, dapat menemukan kebenaran dan menjawab persoalan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu khusus lainnya.
Label:
Filsafat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar