Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

wibiya widget

My Blog List

flag counter

daftar menu

Loading...
Tag this on nabtag

twiter

Recent Comments

google seacrh


  • Web
  • alwafaalmuttaqiin
  • buku tamu

    google translite


    clock

    Voting

    My Ballot Box
    Bagaimana Menurutmu blog ku ni ?







    wibiya widget

    Kamis, 17 Mei 2012

    smadav 9.0+key registri

    bagi anda yang memakai anti virus smadsv,,, bisa download versi terbaru'a yaitu versi 9.0 di http://www.smadav.net/index.php?page=upload Berikut 10 key registrasi smadav pro 9.0 , GRATIS !! Nama : downloadgratis34.com smadav 9.0 Key : 995299424207 Nama : www.downloadgratis34.com best 34 Key : 9988997610024 Nama : zatyabajaitem 9.0 in here Key : 991299560533 Nama : downloadgratis34 dot com xxx Key : 995799755050 Nama : camfroger MUT downloadgratis34.com Key : 999999800963 Nama : yogya zatyabajaitem rx Key : 9952996020100 Nama : www.downloadgratis34.com never die 101 Key : 991899056931 Nama : link to downloadgratis34.com Key : 9952995075100 Nama : downloadgratis34.com free serial K ey : 995299421581 Nama : zatyabajaitem generate212 Key : 998899886496

    Jumat, 11 Mei 2012

    UU SISDIKNAS

    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: . bahwa pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; . bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang; . bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan; . bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; . bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan Persetujuan Bersama: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. 3. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. 4. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. 5. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. 6. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. 7. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. 8. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. 9. Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan. 10. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. 11. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. 12. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. 13. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. 14. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. 15. Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain. 16. Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. 17. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. 18. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah. 19. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. 20. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. 21. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. 0. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. 0. Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana. 0. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan. 0. Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. 0. Warga negara adalah Warga Negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 0. Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. 0. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat. 0. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota. 0. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional. BAB II DASAR, FUNGSI, DAN TUJUAN Pasal 2 Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 3 Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. BAB III PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN Pasal 4 (0) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (0) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multi makna. (0) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. (0) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. (0) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. (0) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA, ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH Bagian Kesatu Hak dan Kewajiban Warga Negara Pasal 5 (0) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (0) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. (0) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. (0) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. (0) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Pasal 6 (0) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. (0) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Bagian Kedua Hak dan Kewajiban Orang Tua Pasal 7 (0) Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. (0) Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Bagian Ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Bagian Keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah Pasal 10 Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 11 (0) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. (0) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. BAB V PESERTA DIDIK Pasal 12 (0) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: . mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; . mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; . mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; . mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; . pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara; . menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan. (0) Setiap peserta didik berkewajiban: . menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan; . ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (0) Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (0) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI JALUR, JENJANG, DAN JENIS PENDIDIKAN Bagian Kesatu Umum Pasal 13 (0) Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. (0) Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh. Pasal 14 Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pasal 15 Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pasal 16 Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Bagian Kedua Pendidikan Dasar Pasal 17 (0) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. (0) Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. (0) Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Pendidikan Menengah Pasal 18 (0) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. (0) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. (0) Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. (0) Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Pendidikan Tinggi Pasal 19 (0) Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. (0) Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka. Pasal 20 (0) Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas. (0) Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. (0) Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi. (0) Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 21 (0) Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya. (0) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi. (0) Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi. (0) Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan. (0) Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan. (0) Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dinyatakan tidak sah. (0) Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 22 Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni. Pasal 23 (0) Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (0) Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi. Pasal 24 (0) Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan. (0) Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. (0) Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik. (0) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 25 (0) Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi. (0) Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya. (0) Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kelima Pendidikan Nonformal Pasal 26 (0) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. (0) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. (0) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. (0) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. (0) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (0) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. (0) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keenam Pendidikan Informal Pasal 27 (0) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. (0) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. (0) Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketujuh Pendidikan Anak Usia Dini Pasal 28 (0) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. (0) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. (0) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. (0) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. (0) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. (0) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedelapan Pendidikan Kedinasan Pasal 29 (0) Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah non-departemen. (0) Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah non-departemen. (0) Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal. (0) Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kesembilan Pendidikan Keagamaan Pasal 30 (0) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (0) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (0) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (0) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. (0) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kesepuluh Pendidikan Jarak Jauh Pasal 31 (0) Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. (0) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler. (0) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan. (0) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kesebelas Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus Pasal 32 (0) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. (0) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. (0) Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB VII BAHASA PENGANTAR Pasal 33 (0) Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. (0) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. (0) Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. BAB VIII WAJIB BELAJAR Pasal 34 (0) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. (0) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. (0) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. (0) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB IX STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN Pasal 35 (0) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. (0) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. (0) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan. (0) Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB X KURIKULUM Pasal 36 (0) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (0) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (0) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: . peningkatan iman dan takwa; . peningkatan akhlak mulia; . peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; . keragaman potensi daerah dan lingkungan; . tuntutan pembangunan daerah dan nasional; . tuntutan dunia kerja; . perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; . agama; . dinamika perkembangan global; dan . persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (0) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 37 (0) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: . pendidikan agama; . pendidikan kewarganegaraan; . bahasa; . matematika; . ilmu pengetahuan alam; . ilmu pengetahuan sosial; . seni dan budaya; . pendidikan jasmani dan olahraga; . keterampilan/kejuruan; dan . muatan lokal. (0) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: . pendidikan agama; . pendidikan kewarganegaraan; dan . bahasa. (0) Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 38 (0) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah. (0) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah. (0) Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. (0) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. BAB XI PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN Pasal 39 (0) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. (0) Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Pasal 40 (0) Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh: . penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; . penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; . pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas; . perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan . kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas. (0) Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: . menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; . mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan . memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Pasal 41 (0) Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah. (0) Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal. (0) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. (0) Ketentuan mengenai pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 42 (0) Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (0) Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi. (0) Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 43 (0) Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan. (0) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. (0) Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 44 (0) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. (0) Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakannya. (0) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat. BAB XII SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN Pasal 45 (0) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. (0) Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB XIII PENDANAAN PENDIDIKAN Bagian Kesatu Tanggung Jawab Pendanaan Pasal 46 (0) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. (0) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (0) Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Sumber Pendanaan Pendidikan Pasal 47 (0) Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. (0) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (0) Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Pengelolaan Dana Pendidikan Pasal 48 (0) Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. (0) Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Pengalokasian Dana Pendidikan Pasal 49 (0) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). (0) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). (0) Dana pendidikan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (0) Dana pendidikan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (0) Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB XIV PENGELOLAAN PENDIDIKAN Bagian Kesatu Umum Pasal 50 (0) Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri. (0) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. (0) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. (0) Pemerintah Daerah Propinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah Kabupaten/Kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. (0) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. (0) Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. (0) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 51 (0) Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. (0) Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. (0) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 52 (0) Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. (0) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Badan Hukum Pendidikan Pasal 53 (0) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (0) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (0) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. (0) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri. BAB XV PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN Bagian Kesatu Umum Pasal 54 (0) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (0) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. (0) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Pendidikan Berbasis Masyarakat Pasal 55 (0) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. (0) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. (0) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (0) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. (0) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah Pasal 56 (0) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. (0) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/ Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis. (0) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. (0) Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB XVI EVALUASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI Bagian Kesatu Evaluasi Pasal 57 (1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. (2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan. Pasal 58 (1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. (2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Pasal 59 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. (2) Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58. (3) Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Akreditasi Pasal 60 (1) Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. (2) Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik. (3) Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka. (4) Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Sertifikasi Pasal 61 (1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi. (2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. (3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi. (0) Ketentuan mengenai sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB XVII PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN Pasal 62 (0) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah. (0) Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan. (0) Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (0) Ketentuan mengenai pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 63 Satuan pendidikan yang didirikan dan diselenggarakan oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara lain menggunakan ketentuan Undang-undang ini. BAB XVIII PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN OLEH LEMBAGA NEGARA LAIN Pasal 64 Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara asing, dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia. Pasal 65 (0) Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (0) Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia. (0) Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola Warga Negara Indonesia. (0) Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (0) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB XIX PENGAWASAN Pasal 66 (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/ madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik. (3) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 67 (1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 68 (1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (4) Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 69 (1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 70 Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 71 Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). BAB XXI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 72 Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang pada saat Undang-undang ini diundangkan belum berbentuk badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-undang yang mengatur badan hukum pendidikan. Pasal 73 Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib memberikan izin paling lambat dua tahun kepada satuan pendidikan formal yang telah berjalan pada saat Undang-undang ini diundangkan belum memiliki izin. Pasal 74 Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) yang ada pada saat diundangkannya Undang- undang ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-undang ini. BAB XXII KETENTUAN PENUTUP Pasal 75 Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-undang ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak berlakunya Undang-undang ini. Pasal 76 Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku. Pasal 77 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan Di Jakarta, Pada Tanggal 8 Juli 2003 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 8 Juli 2003 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 78 www.hukumonline.com

    KODE ETIK DAN IKRAR GURU INDONESIA

    Hasil Kongres XX PGRI di Palembang Nomor: 006/Kongres/XX/PGRI/2008 Tanggal 3 Juli 2008 KODE ETIK GURU INDONESIA PEMBUKAAN Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa Guru PGRI menyadari bahwa jabatan guru adalah suatu profesi yang terhormat dan mulia. Guru mengabdikan diri dan berbakti untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab. Guru PGRI selalu tampil secara profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru PGRI memiliki kehandalan yang tinggi sebagai sumber daya utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Guru PGRI adalah insan yang layak ditiru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya oleh peserta didik, yang dalam melaksankan tugas berpegang teguh pada prinsip "ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani". Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip tersebut Guru PGRI ketika menjalankan tugas-tugas profesionalnya dituntut memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Guru PGRI bertanggung jawab mengantarkan siswanya untuk mencapai kedewasaan sebagai calon pemimpin bangsa pada semua bidang kehidupan. Untuk itu, pihak-pihak yang berkepentingan selayaknya tidak mengabaikan peranan guru dan profesinya, agar bangsa dan negara dapat tumbuh sejajar dengan dengan bangsa lain di negara maju, baik pada masa sekarang maupun masa yang akan datang. Kondisi seperti itu bisa mengisyaratkan bahwa guru dan profesinya merupakan komponen kehidupan yang dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini sepanjang zaman. Hanya dengan pelaksanaan tugas guru secara profesional hal itu dapat diwujudkan eksitensi bangsa dan negara yang bermakna, terhormat dan dihormati dalam pergaulan antar bangsa-bangsa di dunia ini. Peranan guru semakin penting dalam era global. Hanya melalui bimbingan guru yang profesional, setiap siswa dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, kompetitif dan produktif sebagai aset nasional dalam menghadapi persaingan yang makin ketat dan berat sekarang dan di masa datang. Dalam melaksanakan tugas profesinya Guru PGRI menyadari sepenuhnya bahwa perlu ditetapkan Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman bersikap dan berperilaku yang mengejewantah dalam bentuk nilai-nilai moral dan etika dalam jabatan guru sebagai pendidik putera-puteri bangsa. Kode etik guru BAGIAN SATU Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Pasal 1 (1) Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru PGRI sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam meiaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga negara. (2) Pedoman sikap dan perilaku sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah nilai-nilai moral yang membedakan perilaku guru yang baik dan buruk, yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan selama menunaikan tugas-tugas profesionalnya untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, serta pergaulan sehari-hari di dalam dan di luar sekolah. Pasal 2 (1) Kode Etik Guru Indonesia merupakan pedoman sikap dan perilaku bertujuan menempatkan guru sebagai profesi terhormat, mulia, dan bermartabat yang dilindungi undang-undang. (2) Kode Etik Guru Indonesia berfungsi sebagai seperangkat prinsip dan norma moral yang melandasi pelaksanaan tugas dan layanan profesional guru dalam hubungannya dengan peserta didik, orangtua/wali siswa, sekolah dan rekan seprofesi, organisasi profesi, dan pemerintah sesuai dengan nilai-nilai agama, pendidikan, sosial, etika, dan kemanusiaan. BAGIAN DUA Sumpah/Janji Guru PGRI Pasal 3 (1) Setiap guru mengucapkan sumpah/janji Guru PGRI sebagai wujud pemahaman, penerimaan, penghormatan, dan kesediaan untuk mematuhi nilai-nilai moral yang termuat di dalam Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman bersikap dan berperilaku, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. (2) Sumpah/janji Guru PGRI diucapkan di hadapan pengurus organisasi profesi guru dan pejabat yang berwenang di wilayah kerja masing-masing. (3) Setiap pengambiian sumpah/janji Guru PGRI dihadiri oleh penyelenggara satuan pendidikan. Pasal 4 (1) Naskah sumpah/janji Guru PGRI dilampirkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Kode Etik Guru Indonesia. (2) Pengambilan sumpah/janji Guru PGRI dapat dilaksanakan secara perorangan atau kelompok sebelum melaksanakan tugas. BAGIAN TIGA Nilai-nilai Dasar dan Nilai-nilai Operasional Pasal 5 Kode Etik Guru Indonesia bersumber dari: (1) Nilai-nilai agama dan Pancasila. (2) Nilai-nilai kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. (3) Nilai-nilai jatidiri, harkat, dan martabat manusia yang meliputi perkembangan kesehatan jasmaniah, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual. Pasal 6 (1) Hubungan Guru dengan Peserta Didik: a. Guru berprilaku secara profesional dalam melaksanakan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran. b. Guru membimbing peserta didik untuk rnemahami, menghayati, dan mengamalkan hak-hak dan kewajibannya sebagai individu, warga sekolah, dan anggota masyarakat. c. Guru mengakui bahwa setiap peserta didik memiliki karakteristik secara individual dan masing-masingnya berhak atas layanan pembelajaran. d. Guru menghimpun informasi tentang peserta didik dan menggunakannya untuk kepentingan proses kependidikan. e. Guru secara perseorangan atau bersama-sama secara terus-menerus berusaha menciptakan, memelihara, dan mengembangkan suasana sekolah yang menyenangkan sebagai lingkungan belajar yang efektif dan efisien bagi peserta didik. f. Guru menjalin hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan. g. Guru berusaha secara manusiawi untuk mencegah setiap gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangan negatif bagi peserta didik. h. Guru secara langsung mencurahkan usaha-usaha profesionalnya untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan keseluruhan kepribadiannya, termasuk kemampuannya untuk berkarya. i. Guru menjunjung tinggi harga diri, integritas, dan tidak sekali-kali merendahkan martabat peserta didiknya. j. Guru bertindak dan memandang semua tindakan peserta didiknya secara adil. k. Guru berperilaku taat asas kepada hukum dan menjunjung tinggi kebutuhan dan hak-hak peserta didiknya. I. Guru terpanggil hati nurani dan moralnya untuk secara tekun dan penuh perhatian bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didiknya. m. Guru membuat usaha-usaha yang rasional untuk melindungi peserta didiknya dari kondisi-kondisi yang menghambat proses belajar, menimbulkan gangguan kesehatan, dan keamanan. n. Guru tidak membuka rahasia pribadi peserta didiknya untuk alasan-alasan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan pendidikan, hukum, kesehatan, dan kemanusiaan. o. Guru tidak menggunakan hubungan dan tindakan profesionalnya kepada peserta didik dengan cara-cara yang melanggar norma sosial, kebudayaan, moral, dan agama. p. Guru tidak menggunakan hubungan dan tindakan profesional dengan peserta didiknya untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi. (2) Hubungan Guru dengan Orangtua/Wali Murid : a. Guru berusaha membina hubungan kerjasama yang efektif dan efisien dengan orangtua/wali siswa dalam melaksanakan proses pendidikan. b. Guru memberikan informasi kepada orangtua/wali secara jujur dan objektif mengenai perkembangan peserta didik. c. Guru merahasiakan informasi setiap peserta didik kepada orang lain yang bukan orangtua/walinya. d. Guru memotivasi orangtua/wali siswa untuk beradaptasi dan berpartisipasi daiam memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan. e. Guru berkomunikasi secara baik dengan orangtua/wali siswa mengenai kondisi dan kemajuan peserta didik dan proses kependidikan pada umumnya. f. Guru menjunjung tinggi hak orangtua/wali siswa untuk berkonsultasi denganya berkaitan dengan kesejahteraan, kemajuan, dan cita-cita anak atau anak-anak akan pendidikan. g. Guru tidak melakukan hubungan dan tindakan profesional dengan orangtua/wali siswa untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi. (2) Hubungan Guru dengan Masyarakat: a. Guru menjalin komunikasi dan kerjasama yang harmonis, efektif, dan efisien dengan masyarakat untuk memajukan dan mengembangkan pendidikan. b. Guru mengakomodasikan aspirasi masyarakat dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan dan pembelajaran. c. Guru peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. d. Guru bekerjasama secara arif dengan masyarakat untuk meningkatkan prestise dan martabat profesinya. e. Guru melakukan semua usaha untuk secara bersama-sama dengan masyarakat berperan aktif dalam pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan peserta didiknya. f. Guru memberikan pandangan profesional, menjunjung tinggi nilai-nilai agama, hukum, moral, dan kemanusiaan dalam berhubungan dengan masyarakat. g. Guru tidak membocorkan rahasia sejawat dan peserta didiknya kepada masyarakat. h. Guru tidak menampilkan diri secara ekslusif dalam kehidupan bermasyarakat. (4) Hubungan Guru dengan Sekolah dan Rekan Sejawat: a. Guru memelihara dan meningkatkan kinerja, prestasi, dan reputasi sekolah. b. Guru memotivasi diri dan rekan sejawat secara aktif dan kreatif dalam melaksanakan proses pendidikan. c. Guru menciptakan suasana sekolah yang kondusif. d. Guru menciptakan suasana kekeluargaan di dalam dan luar sekolah. e. Guru menghormati rekan sejawat. f. Guru saling membimbing antarsesama rekan sejawat. g. Guru menjunjung tinggi martabat profesionalisme dan hubungan kesejawatan dengan standar dan kearifan profesional. h. Guru dengan berbagai cara harus membantu rekan-rekan juniornya untuk tumbuh secara profesional dan memilih jenis pelatihan yang relevan dengan tuntutan profesionalitasnya. i. Guru menerima otoritas kolega seniornya untuk mengekspresikan pendapat-pendapat profesional berkaitan dengan tugas-tugas pendidikan dan pembelajaran. j. Guru membasiskan-diri pada nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan dalam setiap tindakan profesional dengan sejawat. k. Guru memiliki beban moral untuk bersama-sama dengan sejawat meningkatkan keefektifan pribadi sebagai guru dalam menjalankan tugas-tugas profesional pendidikan dan pembelajaran. I. Guru mengoreksi tindakan-tindakan sejawat yang menyimpang dari kaidah-kaidah agama, moral, kemanusiaan, dan martabat profesionalnya. m. Guru tidak mengeluarkan pernyataan keliru berkaitan dengan kualifikasi dan kompetensi sejawat atau calon sejawat. n. Guru tidak melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang akan merendahkan marabat pribadi dan profesional sejawatnya. o. Guru tidak mengoreksi tindakan-tindakan profesional sejawatnya atas dasar pendapat siswa atau masyarakat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. p. Guru tidak membuka rahasia pribadi sejawat kecuali untuk pertimbangan-pertimbangan yang dapat dilegalkan secara hukum. q. Guru tidak menciptakan kondisi atau bertindak yang langsung atau tidak langsung akan memunculkan konflik dengan sejawat. (5) Hubungan Guru dengan Profesi : a. Guru menjunjung tinggi jabatan guru sebagai sebuah profesi. b. Guru berusaha mengembangkan dan memajukan disiplin ilmu pendidikan dan mata pelajaran yang diajarkan. c. Guru terus menerus meningkatkan kompetensinya. d. Guru menjunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam menjalankan tugas-tugas profesional dan bertanggungjawab atas konsekuensinya. e. Guru menerima tugas-tugas sebagai suatu bentuk tanggungjawab, inisiatif individual, dan integritas dalam tindakan-tindakan profesional lainnya. f. Guru tidak melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapatyang akan merendahkan martabat profesionalnya. g. Guru tidak menerima janji, pemberian, dan pujian yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan-tindakan profesionalnya. h. Guru tidak mengeluarkan pendapat dengan maksud menghindari tugas-tugas dan tanggungjawab yang muncul akibat kebijakan baru di bidang pendidikan dan pembelajaran. (6) Hubungan Guru dengan Organisasi Profesinya : a. Guru menjadi anggota organisasi profesi guru dan berperan serta secara aktif dalam melaksanakan program-program organisasi bagi kepentingan kependidikan. b. Guru memantapkan dan memajukan organisasi profesi guru yang memberikan manfaat bagi kepentingan kependidikan. c. Guru aktif mengembangkan organisasi profesi guru agar menjadi pusat informasi dan komunikasi pendidikan untuk kepentingan guru dan masyarakat. d. Guru menjunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam menjalankan tugas- tugas organisasi profesi dan bertanggungjawab atas konsekuensinya. e. Guru menerima tugas-tugas organisasi profesi sebagai suatu bentuk tanggungjawab, inisiatif individual, dan integritas dalam tindakan-tindakan profesional lainnya. f. Guru tidak melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang dapat merendahkan martabat dan eksistensi organisasi profesinya. g. Guru tidak mengeluarkan pendapat dan bersaksi palsu untuk memperoleh keuntungan pribadi dari organisasi profesinya. n. Guru tidak menyatakan keluar dari keanggotaan sebagai organisasi profesi tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. (7) Hubungan Guru dengan Pemerintah: a. Guru memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan program pembangunan bidang pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam DUD 1945, UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang tentang Guru dan Dosen, dan ketentuan perundang-undangan lainnya. b. Guru membantu program pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan yang berbudaya. c. Guru berusaha menciptakan, memelihara dan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. d. Guru tidak menghindari kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah atau satuan pendidikan untuk kemajuan pendidikan dan pembelajaran. e. Guru tidak melakukan tindakan pribadi atau kedinasan yang berakibat pada kerugian negara. BAGIAN EMPAT Pelaksanaan, Pelanggaran, dan Sanksi Pasal 7 (1) Guru dan organisasi profesi guru bertanggungjawab atas pelaksanaan Kode Etik Guru Indonesia. (2) Guru dan organisasi guru berkewajiban mensosialisasikan Kode Etik Guru Indonesia kepada rekan sejawat, penyelenggara pendidikan, masyarakat, dan pemerintah. Pasal 8 (1) Pelanggaran adalah perilaku menyimpang dan atau tidak melaksanakan Kode Etik Guru Indonesia dan ketentuan perundangan yang berlaku yang berkaitan dengan profesi guru. (2) Guru yang melanggar Kode Etik Guru Indonesia dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. (3) Jenis pelanggaran meliputi pelanggaran ringan, sedang, dan berat. Pasal 9 (1) Pemberian rekomendasi sanksi terhadap guru yang melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia menjadi wewenang Dewan Kehormatan Guru Indonesia. (2) Pemberian sanksi oleh Dewan Kehormatan Guru Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus objektif, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan perundang-undangan. (3) Rekomendasi Dewan Kehormatan Guru Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh organisasi profesi guru. (4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan upaya pembinaan kepada guru yang melakukan pelanggaran dan untuk menjaga harkat dan martabat profesi guru. (5) Siapapun yang mengetahui telah terjadi pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia wajib melapor kepada Dewan Kehormatan Guru Indonesia, organisasi profesi guru, atau pejabat yang berwenang. (6) Setiap pelanggar dapat melakukan pembelaan diri dengan/atau tanpa bantuan organisasi profesi guru dan/atau penasihat hukum sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan dihadapan Dewan Kehormatan Guru Indonesia. BAGIAN LIMA Ketentuan Tambahan Pasal 10 Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib mematuhi Kode Etik Guru Indonesia dan peraturan perundang-undangan. BAGIAN ENAM Penutup Pasal 11 (1) Setiap guru harus secara sungguh-sungguh menghayati, mengamalkan, serta menjunjung tinggi Kode Etik Guru Indonesia. (2) Guru yang belum menjadi anggota organisasi profesi guru harus memilih organisasi profesi guru yang pembentukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Dewan Kehormatan Guru Indonesia menetapkan sanksi kepada guru yang telah secara nyata melanggar Kode Etik Guru Indonesia. SUMPAH GURU INDONESIA Demi Allah Sebagai Guru Indonesia saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan : 1. membaktikan diri saya untuk tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran peserta didik guna kepentingan kemanusian dan masa depannya; 2. melestarikan dan menjunjung tinggi martabat guru sebagai profesi terhormat dan mulia; 3. melaksanakan tugas saya sesuai dengan kompetensi jabatan guru; 4. melaksanakan tugas saya serta bertanggungjawab yang tinggi dengan mengutamakan kepentingan peserta didik, masyarakat, bangsa dan negara serta kemanusiaan; 5. menggunakan keharusan profesional saya semata-mata berdasarkan nilai-nilai agama dan Pancasila; 6. menghormati hak asasi peserta didik untuk tumbuh dan berkembang guna mencapai kedewasaannya sebagai warga Negara dan bangsa Indonesia yang bermoral dan berakhlak mulia; 7. berusaha secara sungguh-sungguh untuk meningkatkan keharusan profesional; 8. berusaha secara sungguh-sungguh untuk melaksanakan tugas guru tanpa dipengaruhi pertimbangan unsur-unsur di luar kependidikan; 9. memberikan penghormatan dan pernyataan terima kasih pada guru yang telah mengantarkan saya menjadi guru Indonesia; 10. menjalin kerjasama secara sungguh-sungguh dengan rekan sejawat untuk menumbuh kembangkan dan meningkatkan profesionalitas guru Indonesia; 11. berusaha untuk menjadi teladan dalam berperilaku bagi peserta didik dan masyarakat; 12. menghormati, menaati dan mengamalkan Kode Etik Guru Indonesia. Saya ikrarkan sumpah/janji*) ini secara sungguh sungguh dengan mempertaruhkan kehormatan saya sebagai guru profesional. >

    Kamis, 10 Mei 2012

    Auguste Comte dan Positivisme

    Bagi kalangan awam kata ’positif’ lebih mudah dimaknai sebagai ’baik’ dan ’berguna’ sebagai antonim dari kata negatif. Pemahaman awam ini bukannya tanpa dasar, karena jika kita membaca, misalnya, kamus saku Oxford kita akan menemukan ’baik’ dan ’berguna’ dalam daftar makna untuk kata positive.[1] Dalam terma hukum, kita terbiasa mendengar hukum positif yang sering diperlawankan dengan hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum yang lain. Hukum positif berarti hukum, dan juga hukuman, yang dibuat dan dilaksanakan oleh manusia dan berdasar rasionalitas. Disini, kata positif dimaknai secara berbeda. Tapi, arti ini, sekali lagi, tidak bertentangan dengan makna leksikal dari kata ini. Dalam kamus saku Oxford, makna jelas adalah arti kelima bagi kata positive. Dalam konteks epistemologi, kata positive, yang pertama kali digunakan Auguste Comte, berperan vital dalam ”mengafirkan” filsafat dan sains di Barat, dengan memisahkan keduanya dari unsur agama dan metafisis, yang dalam kasus Comte berarti mengingkari hal-hal non-inderawi.[2] Hal ini, yang kemudian berkembangan menjadi paradigma positivistik ini, merasuk ke perkembangan saintifik, dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu humaniora. Tulisan pendek ini akan mencoba memaparkan Auguste Comte dan positivisme yang diperkenalkannya. AUGUSTE COMTE Auguste Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier Prancis selatan pada 17 Januari 1798. Setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas Montpellier, Comte melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique di Paris.[3] Masa pendidikannya di École Polytechnique dijalani selama dua tahun, antara 1814-16. Masa dua tahun ini berpengaruh banyak pada pemikiran Comte selanjutnya. Di lembaga pendidikan ini, Comte mulai meyakini kemampuan dan kegunaan ilmu-ilmu alam.[4] Pada Agustus 1817 Comte menjadi sekertaris, dan kemudian menjadi anak angkat, Henri de Saint-Simon, setelah comte di usir dan hidup dari mengajarkan matematika. Persahabatan ini bertahan hingga setahun sebelum kematian Saint-Simon pada 1825. Saint-Simon adalah orang yang tidak mau diakui pengaruh intelektualnya oleh Comte, sekalipun pada kenyataannya pengaruh ini bahkan terlihat dalam kemiripan karir antara mereka berdua. Selama kebersamaannya dengan Saint-Simon, dia membaca dan dipengaruhi oleh, sebagaimana yang diakuinya, Plato, Montesquieu, Hume, Turgot, Condorcet, Kant, Bonald, dan De Maistre, yang karya-karya mereka kemudian di kompilasi oleh menjadi dua karya besarnya, the Cours de Philosophie Positive dan Systeme de Politique Positive. Selama lima belas tahun masa akhir hidupnya, Comte semakin terpisah dari habitat ilmiahnya dan perdebatan filosofis, karena dia meyakini dirinya sebagai pembawa agama baru, yakni agama kemanusiaan.[5] Pada saat Comte tinggal bersama Saint-Simon, dia telah merencanakan publikasi karyanya tentang filsafat positivisme yang diberi judul Plan de Travaux Scientifiques Necessaires pour Reorganiser la Societe (Rencana Studi Ilmiah untuk Pengaturan kembali Masyarakat). Tapi kehidupan akademisnya yang gagal menghalangi penelitiannya. Dari rencana judul bukunya kita bisa melihat kecenderungan utama Comte adalah ilmu sosial.[6] Secara intelektual, kehidupan Comte dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahapan. Pertama, ketika dia bekerja dan bersahabat dengan Saint-Simon. Pada tahap ini pemikirannya tentang sistem politik baru dimana fungsi pendeta abad pertengahan diganti ilmuwan dan fungsi tentara dialihkan kepada industri. Tahap kedua ialah ketika dia telah menjalani proses pemulihan mental yang disebabkan kehidupan pribadinya yang tidak stabil. Pada tahap inilah, Comte melahirkan karya besarnya tentang filsafat positivisme yang ditulis pada 1830-42. Kehidupan Comte yang berpengaruh luas justru terletak pada separuh awal kehidupannya.[7] Tahap ketiga kehidupan intelektual Comte berlangsung ketika dia menulis A Sytem of Positive Polity antara 1851-54.[8] Dalam perjalanan sejarah, alih-alih dikenal sebagai filosof, Comte lebih dikenal sebagai praktisi ilmu sejarah dan pembela penerapan metode saintifik pada penjelasan dan prediksi tentang institusi dan perilaku sosial. Pada 5 September 1857 tokoh yang sering disebut sebagai bapak sosiologi modern ini meninggal dunia.[10] KELAHIRAN FILSAFAT POSITIVISTIK[11] Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dan juga digunakan oleh Ibn al-Haytham dalam karyanya Kitab al-Manazhir. Sekalipun demikian, konseptualisasi positivisme sebagai sebuah filsafat pertama kali dilakukan Comte di abad kesembilan belas.[12] Dalam karya besarnya, Comte mengklaim bahwa dari hasil studi tentang perkembangan intelektual manusia sepanjang sejarah kita bisa menemukan hukum yang mendasarinya. Hukum ini, yang kemudian dikenal sebagai Law of Three Stages, yang setiap konsepsi dan pengetahuan manusiawi pasti melewatinya, secara berurutan adalah kondisi teologi yang bercorak fiktif, kondisi metafisis yang bercorak abstrak, dan saintifik atau positive. Bagi Comte, pikiran manusia berkembang dengan melewati tiga tahap filsafati, yang berbeda dan berlawanan.[13] Dari tiga tahap pemikiran manusia ini, yang pertama mestilah menjadi titik awal pemahaman manusia dalam memahami dunia. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap akhir dan definitif dari intelektualitas manusia. Tahap kedua hanyalah menjadi tahap transisi saja.[14] Pengaruh terhadap pemikiran Comte tentang Hukum Tiga Tahap bisa dilacak pada iklim intelektual abad delapan belas dimana banyak ilmuan sampai pada simpulan tentang tahapan-tahapan sejarah. Beberapa diantara pemikir yang berpengaruh adalah Turgot, Quesnay, Condorcet, dan Robertson yang berpandangan tentang multi-tahap perkembangan ekonomi dalam sejarah manusia. Menjelang penemuan Hukum Tiga Tahap, Comte telah akrab dengan skema yang mirip yang diadopsi oleh Condorcet dari karya Turgot Second Discourse on Universal History, dan oleh Saint-Simon dari Condorcet. Tentang tiga tahap perkembangan intelektualitas manusia Turgot menulis: ”Before men were conversant with the mutual interconnection of physical effects, nothing was more natural than to suppose that these were produced byintelligent beings, invisible and resembling ourselves. Everything that happened…had its god… When the philosophers had recognised the absurdity of these fables…the idea struck them to explain the causes of phenomena by way of abstract expressions like essences and faculties: expressions which in fact explained nothing, and about which men reasoned as if they were beings, new gods substituted for the old ones. Following these analogies, faculties were proliferated in order to provide a cause for each effect. It was only much later, through observation of the mechanical action which bodies have upon one another, that men derived from this mechanics other hypotheses which mathematics was able to develop and experiment to verify.” Oleh Comte, skema Turgot disebut sebagai hukum mendasar (great fundamental law) yang secara pasti memengaruhi keseluruhan perkembangan intelektual manusia dalam seluruh bidang pengetahuan.[15] Sebenarnya kata positive tidak hanya digunakan oleh Comte. Kata ini telah umum digunakan pada abad delapan belas, khususnya pada paruh kedua. Namun Comte adalah orang yang bertanggung jawab atas penerapan positivisme pada filsafat.[16] Filsafat positivistik ini dibangun berdasarkan dua hal, yaitu filsafat kuno dan sains modern (baca: capaian sains hingga zaman Comte). Dari filsafat kuno, Comte meminjam pengertian Aristoteles tentang filsafat, yaitu konsep-konsep teoritis yang saling berkaitan satu sama lain dan teratur. Dari sains modern, Comte menggunakan ide positivistik a la Newton, yakni metode filsafati yang terbentuk dari serangkaian teori yang memiliki tujuan mengorganisasikan realitas yang tampak. Sebagaimana diakui Comte sendiri, ada kemiripan antara antara filsafat positivistik (philosophie positive) dan filsafat alam (natural philosophy) di Inggris. Pemilihan terhadap filsafat positivistik sebagai nama bagi sistem pemikiran yang dibangunnya karena filsafat positivistik hanya mencoba untuk menganalisis efek dari sebab-sebab sebuah fenomena dan menghubungkannya satu sama lain.[17] PENGARUH POSITIVISME COMTE Positivisme yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan intelektual abad sembilan belas. Di Inggris, sahabat Comte, Jhon Stuart Mill, dengan antusias memerkenalkan pemikiran Comte sehingga banyak tokoh di Inggris yang mengapresiasi karya besar Comte, diantaranya G.H. Lewes, penulis The Biographical History of Philosophy dan Comte’s Philosophy of Sciences; Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian mengkritisi pandangan-pandangan Comte; John Austin, salah satu ahli paling berpengaruh pada abad sembilan belas; dan John Morley, seorang politisi sukses. Namun dari orang-orang itu hanya Mill dan Lewes yang secara intelektual terpengaruh oleh Comte.[18] Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu, Paul Tannery, yang meyakini bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih dari siapapun. Ilmuwan lain yang dipengaruhi Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof ilmu, yang mengkritisi dengan hormat ide-ide Comte tentang sebab, hukum-hukum saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang ini adalah salah satu dari pembaca pemikiran Comte yang serius selama setengah abad pasca kematiannya. Karya besar Comte bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah bacaan wajib.[19] Namun Comte baru benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim yang pada 1887 merupakan orang pertama yang ditunjuk untuk mengajar sosiologi, ilmu yang diwariskan Comte, di universitas Prancis. Dia merekomendasikan karya Comte untuk dibaca oleh mahasiswa sosiologi dan mendeskripsikannya sebagai ”the best possible intiation into the study of sociology”. Dari sinilah kemudian Comte dikenal sebagai bapak sosiologi dan pemikirannya berpengaruh pada perkembangan filsafat secara umum.[20] KRITIK ATAS POSITIVISME Dalam sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi yang dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua ”proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia” dan bahwa ”proses-proses sosial dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan bahwa ”organisme biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika”.[21] Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung status quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial. Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti. Kritik kedua menunjuk positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik tertentu.[22] endnotes: [1] Oxford Learner’s Pocket Dictionary, h. 333. [2] Muhammad Ali Abu Rayyan, Aslamah al-Ma’rifah, al-Ulum al-Insaniyah wa Manahijiha min Wijhah Nazhr Islamiyah, h. 225 dan 227-8. [3] http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte di akses pada 6 Februari 2009 [4] Robert Brown, Comte and Positivism, dalam C. L. Ten, Routledge History of Philosophy, vol. VII, The Nineteeth Century, h. 123. [5] Ibid. [6] http://fajar13.co.cc/index.php?p=1_10 [7] Philip Stoke, Philosophy 100 Essential Thinkers, h. 117. [8] http://fajar13.co.cc/web_documents/auguste_comte.pdf [9] Robert Brown, op.cit., h. 122. [10] http://fajar13.co.cc/1_10_Ideology.html [11] Penggunaan kata positivistik sebagai ajektifa bagi filsafat sebenarnya kurang tepat, yang tepat seharusnya filsafat positiv (dengan ’v’ alih-alih ’f’). Penggunaan ini semata untuk menghindari kesalahpahaman yang ditimbulkan dari kata positif dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris kata positif (dengan ’f’) memiliki arti berbeda dengan positive (positive). [12] http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism [13] Auguste Comte, The Positive Philosophy, terj. Harriet Martineau, v. I, h. 27. [14] Ibid., v. I, h. 28. [15] Robert Brown, op.cit., h. 124-5. [16] Pierre Macherey, Comte al-Falsafah wa al-Ulum, terj. Sami Adham, h. 14-5 [17] Ibid., h. 12-3 dan Robert Brown, op. cit., h. 126. [18] Robert Brown, op.cit., h. 141. [19] Ibid. [20] Ibid., h. 141-3. [21] Mary Pickering, Auguste Comte: An Intellectual Biography, v. I, h. 566 dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism [22] http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism DAFTAR BACAAN Abu Rayyan, Muhammad Ali. Aslamah al-Ma’rifah, al-Ulum al-Insaniyah wa Manahijiha min Wijhah Nazhr Islamiyah. -. (Dar al-Ma’rifah al-Jami’iyah). Comte, Auguste. The Positive Philosophy. terj. Harriet Martineau. 1896. (George Bell & Sons: London). Oxford Learner’s Pocket Dictionary. 2005. (Oxford University Press: Oxford). Stoke, Philip. Philosophy, 100 Essential Thinkers. 2006. (Enchanted Lion Books: New York). Ten, C. L. Routledge History of Philosophy, The Nineteeth Century. 1994. (Routledge: London dan New York). Macherey, Pierre. Comte, al-Falsafah wa al-Ulum. terj. Sami Adham. 1994. (al- Muassasah al-Jami’iyah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tawzi’: Beirut). Sumber Internet: http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte http://fajar13.co.cc/index.php?p=1_10 http://fajar13.co.cc/web_documents/auguste_comte.pdf http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism

    Senin, 07 Mei 2012

    Supervisi Pendidikan

    BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis dalam melestarikan sistem nilai yang berkembang dalam kehidupan. Proses pendidikan tidak hanya memberikan pengetahuan dan pemahaman peserta didik, namun lebih diarahkan pada pembentukan sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik, mengingat perkembangan komunikasi, informasi dan kehadiran media cetak maupun elektronik tidak selalu membawa pengaruh positif bagi peserta didik. Guna mencapai semua itu maka dalam pelaksanaan tugas pendidik perlu adanya supervisi, maksud dari supervisi di sini adalah agar pendidik mengetahui dengan jelas tujuan dari pekerjaannya dalam mendidik, mengenai apa yang hendak dicapai dari pelaksanaan pendidikan tersebut. Serta mengetahui pula fungsi dari pekerjaan yang pendidik lakukan. Ini tidak lain membantu pendidik agar lebih fokus pada tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan dan menghindarkan dari pelaksanaan pendidikan yang tidak relevan dengan tujuan pendidikan. Setiap pelaksanaan program pendidikan memerlukan adanya pengawasan atau supervisi. Istilah supervisi baru muncul kurang lebih tiga dasawarsa terakhir ini (Suharsimi Arikunto,2004). Kegiatan serupa yang dahulu banyak dilakukan adalah Inspeksi, pemeriksaan, pengawasan atau penilikan. Dalam konteks sekolah sebagai sebuah organisasi pendidikan, supervisi merupaka bagian dari proses administrasi dan manajemen. Kegiaan supervisi melengkapi fungsi-fungsi administrasi yang ada di sekolah sebagai fungsi terakhir, yaitu penilaian terhadap semua kegiatan dalam mencapai tujuan. Dengan supervisi, akan memberikan inspirasi untuk bersama-sama menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan dengan jumlah lebih banyak, waktu lebih cepat, cara lebih mudah, dan hasil yang lebih baik daripada jika dikerjakan sendiri. Supervisi mempunyai peran mengoptimalkan tanggung jawab dari semua program. Supervisi bersangkut paut dengan semua upaya penelitian yang tertuju pada semua aspek yang merupakan factor penentu keberhasilan. Dengan mengetahui kondisi aspek-aspek tersebut secara rinci dan akurat, dapat diketahui dengan tepat pula apa yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas organisasi yang bersangkutan. Pengawas bertanggung jawab terhadap keefektifan program itu. Oleh karena itu, supervisi haruslah meneliti ada atau tidaknya kondisi-kondisi yang akan memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Setelah kita mengetahui realita yang terjadi seperti yang sudah tersebut di atas, maka diperlukan sebuah penjelasan secara rinci dan mendetail tentang supervisi pendidikan agar para pendidik dapat memahami betapa perlu dan pentingnya supervisi pendidikan itu. 1.2. Rumusan Masalah 1.2.1. Apa definisi dari supervisi pendidikan? 1.2.2. Mencakup apa saja ruang lingkup supervisi pendidikan? 1.2.3. Apa tujuan dari supervisi pendidikan? 1.2.4. Apa fungsi dari supervisi pendidikan? 1.2.5. Apa prinsip-prinsip dari supervisi pendidikan? 1.2.6. Apa sasaran dari supervisi pendidikan? 1.2.7. Apa saja metode dan teknik yang digunakan dalam supervisi pendidikan? 1.2.8. Apa saja kompetensi dasar supervisor dan pendekatan supervisi? 1.2.9. Bagaimana langakah-lankah dari supervisi pedidikan? 1.3. Tujuan 1.3.1. Untuk memahami definisi dari supervisi pendidikan. 1.3.2. Untuk memahami cakupan ruang lingkup supervisi pendidikan. 1.3.3. Untuk memahami tujuan dari supervisi pendidikan. 1.3.4. Untuk memahami fungsi dari supervisi pendidikan. 1.3.5. Untuk memahami prinsip-prinsip dari supervisi pendidikan. 1.3.6. Untuk memahami sasaran dari supervisi pendidikan. 1.3.7. Untuk memahami metode teknik yang digunakan dalam supervisi pendidikan. 1.3.8. Untuk memahami kompetensi dasar supervisor dan pendekatan supervise. 1.3.9. Untuk memahamilangakah-lankah dari supervisi pedidikan. BAB 2 PEMBAHASAN 2.1. Definisi Supervisi Pendidikan Istilah supervisi pendidikan dibangun dari dua kata: supervisi dan pendidikan. Dalam uraian uraian berikut hanya istilah supervise yang lebih banyak diberbicarakan dari pendidikan, karena istilah pendidikan (education) lebih lengkap telah dikupas habis dalam mata kuliah Dasar-Dasar Kependidikan. Supervisi adalah istilah yang relative baru dikenal di dunia pendidikan di Indonesia (lihat sejarah supervisi), karena itu perlu uraian secara lengkap tentang pengertiannya, yang akan dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu dari sudut etimologis, morfologis, dan semantik. Secara etimologis, kata supervisi berasal dari bahasa Inggris, yaitu supervision, artinya pengawasan. Oteng (1983: 222) mengatakan bahwa penggunaan istilah supervisi sering diartikan sama dengan directing atau pengarahan. Sementara Suharsimi (1988: 152) mengatakan bahwa memang sejak dulu banyak orang menggunakan istilah pengawasan, penilikan atau pemeriksaan untuk istilah supervisi, demikian pula pada zaman Belanda orang mengenal istilah inspeksi. Secara morfologis, kata supervisi terdiri atas dua kata, super dan visi (super dan vision). Menurut Ametembun (1981: 1) super berarti atas atau lebih, sedangkan visi berarti lihat, tilik, dan awasai. Jadi supervisi berarti melihat, menilik dan mengawasi dari atas; atau sekaligus menunjukan bahwa orang yang melaksanakan supervise berada lebih tinggi dari orang yang dilihat, ditilik, dan diawasi. Secara sematik Supervisi pendidikan adalah pembinaan yang berupa bimbingan atau tuntunan ke arah perbaikan situasi pendidikan pada umumnya dan peningkatan mutu mengajar dan belajar dan belajar pada khususnya. 2.2. Ruang Lingkup Supervisi Pendidikan Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa materi supervisi pendidikan telah mulai diperkenalkan mata kuliah Dasar-Dasar Administrasi Pendidikan, yang menunjukkan bahwa materi supervisi tidak terlepas dari Administrasi Pendidikan pada umumnya. Rifai (1982: 124) mengatakan, bahwa di mana ada administrasi harus ada supervisi, dan jika ada supervisi tentu ada suatu yang dilaksanakan, ada administrasi sesuatu. Dengan demikian, kedudukan supervisi pendidikan sama pentingnya dengan administrasi pendidikan, namun secara hirarkis supervisi merupakan salah satu fase atau tahap dari administrasi. Thomas H Briggs dalam Rifai (1982: 225) menegaskan, bahwa supervisi merupakan bagian atau aspek dari administrasi. Khususnya yang mengenai usaha peningkatan guru sampai kepada taraf penampilan tertentu. Sarwoto (1985: 104) menjelaskan bahwa secara teoritis yang menjadi objek supervisi ada dua aspek, yaitu: 1. Aspek manusianya, seperti sikap terhadap tugas, disiplin kerja, moral kerja, kejujuran, ketaatan terhadap peraturan organisasi, kerajinan, kecakapan kerja, kemampuan dalam bekerja sama, watak; 2. Aspek kegiatannya, seperti cara bekerja kerja (cara mengajar), metoda pendekatan terhadap siswa, efisiensi kerja, dan hasil kerja. Pendapat Sarwoto ini secara jelas membedakan apa yang menjadi objek pengawasan (controlling) dan supervisi (supervision). 2.3. Tujuan Supervisi Pendidikan Tujuan utama supervisi adalah memperbaiki pengajaran. Tujuan umum Supervisi adalah memberikan bantuan teknis dan bimbingan kepada guru dan staf agar personil tersebut mampu meningkatkan kwalitas kinerjanya, dalam melaksanakan tugas dan melaksanakan proses belajar mengajar . Secara operasional dapat dikemukakan beberapa tujuan konkrit dari supervisi pendidikan yaitu: A. Meningkatkan mutu kinerja guru 1. Membantu guru dalam memahami tujuan pendidikan dan apa peran sekolah dalam mencapai tujuan tersebut 2. Membantu guru dalam melihat secara lebih jelas dalam memahami keadaan dan kebutuhan siswanya. 3. Membentuk moral kelompok yang kuat dan mempersatukan guru dalam satu tim yang efektif, bekerjasama secara akrab dan bersahabat serta saling menghargai satu dengan lainnya. 4. Meningkatkan kualitas pembelajaran yang pada akhirnya meningkatkan prestasi belajar siswa. 5. Meningkatkan kualitas pengajaran guru baik itu dari segi strategi, keahlian dan alat pengajaran. 6. Menyediakan sebuah sistim yang berupa penggunaan teknologi yang dapat membantu guru dalam pengajaran. 7. Sebagai salah satu dasar pengambilan keputusan bagi kepala sekolah untuk reposisi guru. B. Meningkatkan keefektifan kurikulum sehingga berdaya guna dan terlaksana dengan baik C. Meningkatkan keefektifan dan keefesiensian sarana dan prasarana yang ada untuk dikelola dan dimanfaatkan dengan baik sehingga mampu mengoptimalkan keberhasilan siswa D. Meningkatkan kualitas pengelolaan sekolah khususnya dalam mendukung terciptanya suasana kerja yang optimal yang selanjutnya siswa dapat mencapai prestasi belajar sebagaimana yang diharapkan. E. Meningkatkan kualitas situasi umum sekolah sehingga tercipta situasi yang tenang dan tentram serta kondusif yang akan meningkatkan kualitas pembelajaran yang menunjukkan keberhasilan lulusan. Adapun sasaran utama dari pelaksanaan kegiatan supervisi tersebut adalah peningkatan kemampuan profesional guru (Ngalim ,2003) Sasaran Supervisi Ditinjau dari objek yang disupervisi, ada 3 macam bentuk supervisi: 1. Supervisi Akademik Menitikberatkan pengamatan supervisor pada masalah-masalah akademik, yaitu hal-hal yang berlangsung berada dalam lingkungan kegiatan pembelajaran pada waktu siswa sedang dalam proses mempelajari sesuatu 2. Supervisi Administrasi Menitikberatkan pengamatan supervisor pada aspek-aspek administrasi yang berfungsi sebagai pendukung dan pelancar terlaksananya pembelajaran. 3. Supervisi Lembaga Menyebarkan objek pengamatan supervisor pada aspek-aspek yang berada di sekolah. Supervisi ini dimaksudkan untuk meningkatkan nama baik sekolah atau kinerja sekolah secara keseluruhan. Misalnya: Ruang UKS (Unit Kesehatan Sekolah), Perpustakaan dan lain-lain. Supervisi yang baik akan menghasilkan pola kinerja yang baik, jika supervise dilakukan dengan cara dan metode yang benar pula, tentu ini menuntut pengetahuan yang benar pula bagi para supervisi dalam melaksanakan tugasnya. 1. Tujuan Umum Supervisi pendidikan a) Berdasarkan Tujuan Umum Pendidikan Membina orang-orang yang disupervisi menjadi manusia “dewasa” yang sanggup berdiri sendiri. b) Berdasarkan Tujuan Pendidikan Nasional Yaitu membina orang-orang yang disupervisi menjadi manusia-manusia pembangunan yang dewasa dan pancasilais. c) Berdasarkan Tujuan Supervisi sendiri Agar tercapai perbaikan situasi pendidikan dan pengajaran pada umumnya dan peningkatan mutu mengajar pada khususnya 1. Tujuan Khusus Supervisi Pendidikan a) Membantu guru-guru untuk lebih memahami tujuan yang sebenarnya dari pendidikan dan perencanaan sekolah dalam usaha mencapai tujuannya. b) Membantu guru-guru untuk dapat lebih menyadari dan memahami kebutuhan- kebutuhan dan kesulitan-kesulitan murid dan menolong mereka untuk mengatasinya. c) Memperbesar kesanggupan guru-guru untuk memperlengkapi dan mempersiapkan murid-muridnya menjadi anggota masyrakat yang efektif. d) Membantu guru-guru mengadakan diagnose secara kritis aktivitas-aktivitasnya, serta kesulitan- kesulitan mengajar dan belajar murid-muridnya, dan menolong mereka merencanakan perbaikan. e) Membantu guru-guru untuk dapat menilai aktivitas-aktivasnya dalam rangka tujuan perkembangan anak-anak. f) Memperbesar kesadaran guru-guru terhadap tata kerja yang demokratis dan guru dapat mempelajari bersama catatan-catatan tentang kemajuan murid guna menilai keefektivan program yang disusun. g) Memperbesar ambisi guru-guru untuk meningkatkan mutu karyanya secara maksimal dalam bidang profesi (keahlianya). h) Membantu guru-guru untuk dapat lebih memamfaatkan pengalaman-pengalamannya sendiri. i) Membantu untuk lebih mempopulerkan sekolah kepada masyarkat agar bertambah simpati dan kesedian masyarakat untuk menyokong sekolah. j) Memperkenalkan guru-guru atau karyawan baru kepada situasi sekolah profesinya. k) Melindungi guru-guru dan karyawan terhadap tuntutan-tuntutan yang tak wajar dan kritik-kritik yang tak sehat dari masyarkat. l) Mengembangkan “profesionalisme” guru-guru. 2.4. Fungsi Supervisi Pendidikan Fungsi supervisi adalah memberikan layanan dan bantuan untuk meningkatkan kualitas mengajar guru di kelas yang pada gilirannya untuk meningkatkan kualitas belajar siswa. Bukan saja memperbaiki kemampuan mengajar tetapi juga mengembangkan potensi kualitas guru (Sahertian, 2000:19).Permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan supervisi di lingkungan pendidikan dasar adalah bagaimana cara mengubah pola pikir yang bersifat otokrat dan korektif menjadi sikap yang konstruktif dan kreatif, yaitu sikap yang menciptakan situasi dan relasi di mana guru-guru merasa aman dan diterima sebagai subjek yang dapat berkembang sendiri. Untuk itu, supervisi harus dilaksanakan berdasarkan data, fakta yang objektif (Sahertian, 2000:20).Supandi (1986:252), menyatakan bahwa ada dua hal yang mendasari pentingnya supervisi dalam proses pendidikan. a) Perkembangan kurikulum merupakan gejala kemajuan pendidikan. Perkembangan tersebut sering menimbulkan perubahan struktur maupun fungsi kurikulum. Pelaksanaan kurikulum tersebut memerlukan penyesuaian yang terus-menerus dengan keadaan nyata di lapangan. Hal ini berarti bahwa guru-guru senantiasa harus berusaha mengembangkan kreativitasnya agar daya upaya pendidikan berdasarkan kurikulum dapat terlaksana secara baik. Namun demikian, upaya tersebut tidak selamanya berjalan mulus. Banyak hal sering menghambat, yaitu tidak lengkapnya informasi yang diterima, keadaan sekolah yang tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum, masyarakat yang tidak mau membantu, keterampilan menerapkan metode yang masih harus ditingkatkan dan bahkan proses memecahkan masalah belum terkuasai. Dengan demikian, guru dan Kepala Sekolah yang melaksanakan kebijakan pendidikan di tingkat paling mendasar memerlukan bantuan-bantuan khusus dalam memenuhi tuntutan pengembangan pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum. b) Pengembangan personel, pegawai atau karyawan senantiasa merupakan upaya yang terus-menerus dalam suatu organisasi. Pengembangan personal dapat dilaksanakan secara formal dan informal. Pengembangan formal menjadi tanggung jawab lembaga yang bersangkutan melalui penataran, tugas belajar, loka karya dan sejenisnya. Sedangkan pengembangan informal merupakan tanggung jawab pegawai sendiri dan dilaksanakan secara mandiri atau bersama dengan rekan kerjanya, melalui berbagai kegiatan seperti kegiatan ilmiah, percobaan suatu metode mengajar, dan lain sebagainya.Kegiatan supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan pembinaan kepada guru. Hal tersebut karena proses belajar-mengajar yang dilaksakan guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran. Hal-hal yang diamati pengawas sekolah ketika melakukan kegiatan supervisi untuk memantau kinerja kepala sekolah, di antaranya administrasi sekolah, meliputi: 1) Bidang Akademik, mencakup kegiatan:(a) menyusun program tahunan dan semester,(b) mengatur jadwal pelajaran,(c) mengatur pelaksanaan penyusunan model satuan pembelajaran,(d) menentukan norma kenaikan kelas,(e) menentukan norma penilaian,(f) mengatur pelaksanaan evaluasi belajar,(g) meningkatkan perbaikan mengajar,(h) mengatur kegiatan kelas apabila guru tidak hadir, dan (i) mengatur disiplin dan tata tertib kelas. 2) Bidang Kesiswaan, mencakup kegiatan:(a) mengatur pelaksanaan penerimaan siswa baru berdasarkan peraturan penerimaan siswa baru, (b) mengelola layanan bimbingan dan konseling,(c) mencatat kehadiran dan ketidakhadiran siswa, dan(d) mengatur dan mengelola kegiatan ekstrakurikuler. 3) Bidang Personalia, mencakup kegiatan: (a) mengatur pembagian tugas guru,(b) mengajukan kenaikan pangkat, gaji, dan mutasi guru,(c) mengatur program kesejahteraan guru,(d) mencatat kehadiran dan ketidakhadiran guru, dan(e) mencatat masalah atau keluhan-keluhan guru. 4) Bidang Keuangan, mencakup kegiatan:(1) menyiapkan rencana anggaran dan belanja sekolah,(2) mencari sumber dana untuk kegiatan sekolah,(3) mengalokasikan dana untuk kegiatan sekolah, dan(4) mempertanggungjawab-kan keuangan sesuai dengan peraturan yang berlaku. 5) Bidang Sarana dan Prasarana, mencakup kegiatan:(1) penyediaan dan seleksi buku pegangan guru,(2) layanan perpustakaan dan laboratorium,(3) penggunaan alat peraga,(4) kebersihan dan keindahan lingkungan sekolah,(5) keindahan dan kebersihan kelas, dan(6) perbaikan kelengkapan kelas. 6) Bidang Hubungan Masyarakat, mencakup kegiatan:(1) kerjasama sekolah dengan orangtua siswa,(2) kerjasama sekolah dengan Komite Sekolah,(3) kerjasama sekolah dengan lembaga-lembaga terkait, dan(4) kerjasama sekolah dengan masyarakat sekitar (Depdiknas, 2001). Sedangkan ketika mensupervisi guru, hal-hal yang dipantau pengawas juga terkait dengan administrasi pembelajaran yang harus dikerjakan guru, diantaranya: a. Penggunaan program semester b. Penggunaan rencana pembelajaran c. Penyusunan rencana harian d. Program dan pelaksanaan evaluasi e. Kumpulan soal f. Buku pekerjaan siswa g. Buku daftar nilai h. Buku analisis hasil evaluasi i. Buku program perbaikan dan pengayaan j. Buku program Bimbingan dan Konselingk. Buku pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler 2.5. Prinsip-Prinsip Supervisi Pendidikan Dalam melaksanakan tugasnya, supervisor hendaknya bertumpu pada prinsip-prinsip supervisi. Menurut E. Mulyasaprinsip-prinsip supervisi antara lain: 1. hubungan konsultatif, kolegial dan bukan hirarkis, 2. dilaksanakan secara demokratis, 3. berpusat pada tenaga kependidikan (guru), 4. dilakukan berdasarkan kebutuhan tenaga kependidikan (guru), 5. merupakan bantuan profesional Dalam buku Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan karangan Piet A. Sahertian mengemukakan prinsip supervisi antara lain : 1. Prinsip ilmiah (scientific), prinsip ini mengandung ciri-ciri sebagai berikut: a) Kegiatan supervisi dilaksanakan berdasarkan data objektif yang diperoleh dalam kenyataan pelaksanaan proses belajar mengajar. b) Untuk memperoleh data perlu diterapkan alat perekam data, seperti angket, observasi, percakapan pribadi, dan seterusnya. c) Setiap kegiatan supervisi dilaksanakan secara sistematis, berencana dan kontinu. 1. Prinsip Demokratis Layanan dan bantuan yang diberikan kepada guru berdasarkan hubungan kemanusiaan yang akrab dan kehangatan sehingga guru-guru merasa aman untuk mengembangkan tugasnya. 1. Prinsip kerjasama Mengembangkan usaha bersama atau menurut istilah supervisi ‘sharing of idea, sharing of experience’, memberi support mendorong, menstimulasi guru, sehingga mereka merasa tumbuh bersama. 1. Prinsip konstruktif dan kreatif Setiap guru akan merasa termotivasi dalam mengembangkan potensi kreativitas kalau supervisi mampu mencipakan suasana kerja yang menyenangkan, bukan melalui cara-cara yang menakutkan. Sedangkan Oteng Sutisna mengemukakan prinsip dalam pelaksanaan kegiatan supervisi, yaitu: 1. Supervisi merupakan bagian integral dari program pendidikan yang bersifat kooperatif dan mengikutsertakan 2. Semua guru memerlukan dan berhak atas bantuan supervisi 3. Supervisi hendaknya disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan perseorangan dari personil sekolah 4. Supervisi hendaknya membantu menjelaskan tujuan-tujuan dari sasaran-sasaran pendidikan 5. Supervisi hendaknya membantu memperbaiki sikap dan hubungan dari semua anggota staf sekolah 6. Tanggung jawab bagi pengembangan program supervisi berada pada kepala sekolah bagi sekolahnya. 7. Efektivitas program supervisi hendaknya dinilai secara periodik. Dengan demikian prinsip supervisi merupakan bagian yang sangat penting untuk dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan supervisi. Dalam pelaksanaan prinsip supervisi sangat terlihat dari peran kepala sekolah sebagai supervisor atau pengawas internal bagi sekolahnya dalam memajukan dan mengembangkan sekolahnya, sehingga dengan adanya pedoman.prinsip supervisi kepala sekolah diharapkan memberikan pelayanan yang baik tanpa ada pemaksaan kepada guru-guru atau personal. 2.6. Sasaran Supervisi Pendidikan Supervisi pendidikan ditujukan kepada usaha memperbaiki situasi belajar mengajar. Yang dimaksud dengan situasi belajar mengajar adalah situasi di mana terjadi proses interaksi antara guru dan murid dalam usaha mencapai tujuan belajar yang telah ditentukan. Dalam kegiatan pembelajaran sangat sukar menentukan mana yang benar dalam praktek mengajar karena mengajar adalah seni. mengajar dalam pekerjaan disekolah bukan pekerjaan yang mudah, sehingga kepala sekolah dalam demonstrasi pembelajaran tidak perlu mengakui kelemahan dan perlu mencarikan ahli yang dapat memberikan gambaran tentang pembelajaran yang baik. Sebetulnya apabila dicermati secara rinci, kegiatan supervisi yang sesuai dengan sasarannya dapat dibedakan menjadi dua yaitu: supervisi akademik, supervisi ini lebih menitikberatkan pengamatan pada masalah akademik, yaitu yang langsung berada dalam lingkup kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru unuk membantu siswa ketika sedang dalam proses belajar mengajar. Dan yang kedua adalah supervisi administrasi, yang lebih menitikberatkan pengamatan pada aspek-aspek administrasi yang berfungsi sebagai pendukung terlaksananya pembelajaran. Di samping dua macam supervisi yang disebut dengan objeknya atau sasarannya, ada lagi supervisi yang lebih luas yaitu supervisi lembaga dan akreditasi. Yang membedakan antara kedua hal tersebut adalah pelaku dan waktu dilaksanakannya. Supervisi lembaga dilakukan oleh orang yang ada di dalam lembaga yaitu kepala sekolah dan dari luar lembaga yaitu pengawas secara terus menerus, sedangkan supervisi akreditasi dilakukan oleh tim dari luar hanya dalam waktu-waktu tertentu. Tujuannya sama yaitu meningkatkan kualitas lembaga baik parsial maupun keseluruhan. Dengan kata lain yang menjadi sasaran atau objek supervisi akademik, supervisi administrasi, supervisi lembaga, dan supervisi akreditasi adalah sama yaitu meningkatkan kualitas lembaga, tetapi lingkup dan harapan tentang kualitasnya berbeda. 2.7. Metode & Teknik Supervisi Pendidikan Tugas pengawas satuan pendidiakan ketika melaksanakan tugas pengawasaannya, haruslah memahami metode dan teknik supervisi akademik agar kegiatan supervise dapat dilaksanakan dengan baik dan hasil pembinaanya mencapai tujuan pembinaan. Ada beberapa metode dan teknik supervise yang dapat dilakukan pengawas. Metode-metode tersebut dibedakan antara yang bersifat individual dan kelompok. (Made, 1992) 1. 1. Teknik supervisi individual Teknik supervisi individual adalah pelaksanaan supervisi yang diberikan kepada guru tertentu yang mempunyai masalah khusus dan bersifat perorangan. Supervisor atau pengawas hany berhadapan seorang guru yang dipandang memiliki persoalan tertentu. Teknik-teknik supervisi yang dikelompokkan sebagai teknik individual meliputi: kunjungan kelas, observasi kelas, pertemuan individual, kunjungan antar kelas, dan menilai diri sendiri. a) Kunjungan kelas Kunjungan kelas adalah teknik pembinaan guru oleh kepala sekolah, pengawas, dan Pembina lainnya dalam rangka mengamati pelaksanaan proses belajar mengajar, sehingga memperoleh data yang diperlukan dalam rangka pembinaan guru. Tujuan kunjungan kelas ini adalah untuk menolong guru dalam mengatasi kesulitan atau masalah guru di dalam kelas. Melalui kunjungan kelas, pengawas akan membantu permasalahan yang dialaminya.kunjungan kelas dapat dilakukan dengan pemberitahuan atau tanpa oemberitahuan terlebih dahulu, dan bias juga atas dasar undangan dari guru itu sendiri. Dalam melaksan akan kunjungan kelas, terdapat empat tahap, yaitu 1) Tahap persiapan, Pada tahap ini, pengawas merencanakan waktu, sasaran, dan cara mengobservasi selama kunjungan kelas. 2) Tahap pengamatan, yaitu mengamati jalannya proses pembelajaran berlangsung. 3) Tahap akhir kunjungan, pada tahap akhir ini pengawas bersama guru mengadakan perjanjian untuk membicarakan hasil-hasil observasi, setelah itu dilakukan tindak lanjut. Ada beberapa criteria kunjungan kelas yang baik, yaitu; 1) Memiliki tujuan-tujuan tertentu. 2) Mengungkapkan aspek-aspek yang dapat memperbaiki kemampuan guru. 3) Menggunakan instrument observasi tertentu untuk mendapatkan daya yang obyektif. 4) Terjadi interaksi antara Pembina dan yang dibina sehingga menimbulkan sikap saling pengertian. 5) Pelaksanaan kunjungan kelas tidak menganggu proses belajar mengajar. 6) Pelaksanaannya diikuti dengan program tindak lanjut. b) Observasi kelas Observasi kelas secara sederhana dapat diartikan melihat dan memperhatikan secara teliti terhadap gejala yang tampak. Observasi kelas adalah teknik observasi yang dilakukan oleh supervisor terhadap proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Tujuannya adalah untuk memperoleh data seobyektif mungkin mengenai aspek-aspek dalam situasi belajar mengajar, kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh guru dalam usaha memperbaiki proses belajar mengajar. Secara umum yang diamati selama proses pembelajaran adalah: 1) Usaha-usaha dan aktivitas guru-siswa dalam proses pembelajaran. 2) Cara penggunaan media pengajaran. 3) Reaksi mental para siswa dalam proses belajar mengajar. 4) Keadaan media pengajaran yang dipakai dari segi materialnya. Dalam pelaksanaan observasi kelas dilakukan beberapa tahap, yaitu: 1) Persiapan observasi kelas. 2) Pelaksanaan observasi kelas. 3) Penutupan pelaksanaan observasi kelas. 4) Penilaian hasil observasi. 5) Tindak lanjut. Ketika supervisor/pengawas melaksanakan observasi kelas, sebaiknya menggunakan instrument observasi tertentu, antara lain evaluative check-list, activity check-list. c) Pertemuan individual Pertemuan individual adalah satu pertemuan, percakapan, dialog, dan tukar pikiran antara Pembina atau supervisor guru, guru dengan guru, mengenai usaha meningkatkan kemampuan professional guru. Tujuannya adalah: (1) memberikan kemungkinan pertumbuhan jabatan guru melalui pemecahan masalah yang dihadapi; (2) mengembangkan hal mengajar yang lebih baik; (3) memperbaiki segala kelemahan dan kekurangan pada diri sendiri; dan (4) menghilangkan atau menghindari segala prasangka yang bukan-bukan. d) Kunjungan antar kelas Kunjungan antarkelas dapat juga digolongkan sebagai teknik supervisi secara perorangan. Kegiatan ini dilakukan guru yang satu berkunjung ke kelas yang lain dalam lingkungan sekolah itu sendiri. Melalui kunjungan antarkelas ini diharapkan guru akan memperoleh pengalaman baru dari teman sejawatnya mengenai pelaksanaan proses pembelajaran, pengelolaan kelas, dan sebagainya. Agar kunjungan antarkelas ini dapat berhasil dengan baik dan bermanfaat, maka harus ada beberapa hal yang diperhatikan antara lain: 1) Guru-guru yang akan dikunjungi harus diseleksi dengan sebaik-baiknya. Diupayakan agar mencari guru yang berpengalaman sehingga mampu memberikan pengalaman baru bagi guru-guru yang akan mengunjungi. 2) Tentukan guru-guru yang akan mengunjungi. 3) Sediakan segala fasilitas yang diperlukan dalam kunjungan kelas. 4) Supervisor/pengawas hendaknya mengikuti acara ini denbgan cermat. Amatilah apa-apa yang ditampilakn secara cermat, dan mencatatnya pada format-format tertentu. 5) Adakan tindak lanjut setelah kunjungan antarkelas selesai. Missal, dengan percakapan pribadi, penegasan, dan pemberian tugas-tugas tertentu. 6) Segera aplikasikan ke sekolah atau ke kelas guru bersangkutan, yaitu dengan menyesuaikan pada situasi dan kondisi yang dihadapi. 7) Adakan perjanjian-perjanjian untuk mengadakan kunjungan antar kelas berikutnya. e) Menilai diri sendiri Menilai diri sendiri merupakan satu teknik individual dalam supervisi pendidikan. Penilaian diri sendiri memberikan informasi secara obyektif kepada guru tentang peranannya di kelas dan memberikan kesempatan kepada guru mempelajari metode pengajarannya dalam mempengaruhi murid. Dengan demikian guru akan terdorong untuk mengembangkan diri secara professional. Ada beberapa cara/alat untuk menilai diri sendiri yaitu: 1) Buat suatu pandangan atau pendapat yang disampaikan kepada murid-murid untuk menilai pekerjaan atau suatu aktivitas (buat dalam bentuk pertanyaan bias pertanyaan tertutup atau terbuka dan tidak perlu menyebut nama). 2) Menganalisis tes-tes terhadap unit kerja. 3) Mencatat murid-murid dalam suatu catatan, baik mereka bekerja secara perorangan maupun secara kelompok. 1. 2. Teknik supervisi kelompok Teknik supervisi kelompok adalah satu cara melaksanakan program supervisi yang ditujukan pada dua orang atau lebih. Guru-guru yang diduga sesuai dengan analisis kebutuhan, memiliki masalah atau kebutuhan atau kelemahan-kelemahan yang sama dikelompokkan atau dikumpulkan menjadi satu/bersama-sama. Kemudian pada kelompok ini diberikan layanan supervisi sesuai dengan permasalahan atau kebutuhan yang dihadapi. Teknik supervisi kelompok ada beberapa diantaranya adalah: a) Kepanitiaan-kepanitiaan b) Kerja kelompok c) Laboratorium kurikulum d) Baca terpimpin e) Demonstrasi pembelajaran f) Darmawisata g) Kuliah/studi h) Diskusi panel i) Perpustakaan jabatan j) Organisasi professional k) Bulletin supervisi l) Pertemuan guru. m) Lokakarya atau konferensi kelompok. 1. 3. Langkah-langkah pembinaan kemampuan guru Ada beberapa langkah pembinaan kemampuan guru melalui supervisi akademik, yaitu a) Menciptakan hubungan-hubungan yang harmonis Langkah pertama dalam pembinaan keterampilan pembelajaran guru adalah menciptakan hubungan yang harmonis antara pengawas dan guru, serta semua pihak yang terkait dengan program pembinaan keterampilan pembelajaran guru. Dalam upaya melaksanakan supervisi akademik diperlukan kejelasan informasi antar personil yang terkait. Tanpa adanya kejelasan, maka guru akan bingung, tidak tahu apa yang diharapkan oleh kepala sekolah, dan meyakini bahwa tujuan pokok dalam pengukuran kemampuan guru, sebagai langkah awal setiap pembinaan keterampilan pembelajaran melalui supervisi akademik. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi guru yang baik dan kurang terampil dala mengajar. Untuk mewujudkan penciptaan hubungan yang harmonis diperlukan komunikasi yang efektif. Dalam komunikasi yang efektif memiliki sejumlah prinsip yang harus diterapkan oleh kepala sekolah, yaitu: 1) Berbicara sebijaksana dan sebaik mungkin. 2) Ikutilah pembicaraan orang lain secara seksama. 3) Ciptakan hubungan interpersonal antar personil. 4) Berpikirlah sebelum berbicara. 5) Ikutilah norma-norma yang berlaku pada latar sekolah. 6) Usahakanlah untuk memahami pendapat orang lain. 7) Konsentrasikan pada pesanmu, bukan pada dirimu sendiri. 8) Kumpulkan materi untuk mengadakan diskusi bila perlu. 9) Persingkat pembicaraan. 10) Ciptakan ketindaksanggupan 11) Bersemangatlah. 12) Raihlah sikap orang lain untuk membantu program. 13) Berkomunikasilah dengan “eye communication”. 14) Selalu mencoba. 15) Jadilah pendengar yang baik. 16) Ketahuilah kapan sebaiknya berhenti berkomunikasi. b) Analisis kebutuhan Analisis kebutuhan sebagai langkah kedua dalam pembinaan keterampilan pengajaran guru. Secara hakiki, analisis kebutuhan merupakan upaya menentukan perbedaan antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dipersyaratkan dan secara nyata dimiliki. Dalam rangka memenuhi prinsip ini diperlukan analisis kebutuhan tentang keterampilan pengajaran guru yang harus dikembangkan melalui supervisi pengajaran. Untuk melaksanakan kegiatan ini menggunakan langkah-langkah menganalisis kebutuhan sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan atau masalah-masalah pendidikan-perbedaan (gap) apa saja yang ada antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang nyata dimiliki guru dan yang seharusnya dimiliki guru? Perbedaan di kelompok, disintesiskan dan diklarifikasi. 2) Mengidentifikasi lingkungan dan hambatan-hambatannya. 3) Menetapkan tujuan umum jangka pangjang. 4) Mengidentifikasi tugas-tugas manajemen yang dibutuhkan fase ini, seperti keuangan, sumber-sumber, perlengkapan dan media. 5) Mencatat prosedur-prosedur untuk mengumpulkan informasi tambahan tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki guru. Pergunakanlah teknik-teknik tertentu, seperti; mengundang konsultan dari luar sekolah, wawancara, dan kuesioner. 6) Mengidentifikasi dan mencatat kebutuhan-kebutuhan khusu pembinaan keterampilan pembelajaran guru. Pergunakanlah kata-kata perilau atau performasi. 7) Menetapkan kebutuhan-kebutuhan pembinaan keterampilan pembelajaran guru yang bias dibina 8) Mencatat dan member kode kebutuhan-kebutuhan pembinaan keterampilan pembelajaran guru yang akan dibina melalui cara-cara lainnya. c) Mengembangkan strategi dan media d) Menilai e) Revisi. 2.8. Kompetensi dasar Supervisor dan Pendekatan Supervisi Ada tiga kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang supervisor dalam rangka melaksanakan tugas-tugasnya, antara lain sebagai berikut : 1. Human Relations Kunci sukses pembimbingan dan bantuan professional kepada para guru terletak pada proses interaksi antar sesame. Komunikasi efektif merupakan media keterampilan human relations. Pesan perlakuan professional sehebat apapun tidak akan sampai jika pesan tersebut tidak ssampai secara efektif ke guru-guru. Pesan akan sampai ke communicant jika proses interaksi itu terjadi baik secara langsung atau tidak langsung. 1. Administrasi Kemampuan administratif merupakan alat penting dalam mengelola lembaga agar bias berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan pendidikan. Seorang supervisor harus memiliki kemampuan merencanakan, mengorganisir personel dan sumber daya lainnya, menggerakkan serta mengawasi. Supervisor adalah seorang pemimpin, sudah seharusnya dia mengetahui apa yang harus dilakukan untuk membawa orang-orang dan lembaga dalam rangka mencapai tujuan. Kepemimpinan dan administrasi diibaratkan ruh dan jasadnya. 1. Evaluasi Kemampuan evaluasi diperlukan berkaitan dengan peran supervisor itu sendiri sebagai pembimbing dan pembantu pertumbuhan profesionalitas para guru. Untuk mampu membimbing dan membantu diperlukan informasi dan bahan-bahan yang tepat mengenai akar permasalahan yang ditemui oleh para guru. Oleh karena itu, kemampuan evaluasi sangat diperlukan oleh seorang supervisor. Dalam pelaksanaannya, proses supervise meliputi tiga pendekatan, yaitu : a) Supervisi artistik Proses supervisi merupakan suatu hal yang tidak bias dijelaskan secara rasional. Kreativitas supervisor memiliki peran yang dominan dalam memperbaiki kualitas pelayanan pendidikan. b) Supervise saintifik Proses supervisi yang dilaksanakan haruslah berdasarkan empirica evidence, sistematis dan ilmiah. Segala hal harus berdasarkan atas fakta dan data. Dalam implementasinya, segala aktivitas supervise harus berdasarkan aktivitas penelitian. c) Supervise klinis Proses supervisi dilakukan dalam rangka mengobati. Perbaikan penampilan guru dalam mengajaradalah tujuannya. Pendekatan ini mengajarkan bagaimana guru dikenalkan dengan ilmu dan keterampilan didaktik metodik yang baikdan benar, mengadministrasi pengajaran. Supervise klinis diterjemahkan sebagai suatu proses bimbingan dan bantuan yang diberikan dalam rangka memperbaiki keterampilan guru dalam mengajar di kelas. 2.9. Langkah-langkah supervisi Supervisi dilakukan secara cermat sehingga hubungan antara supervisor dengan klien bersifat sejajar dan terbuka. Untuk dapat memperoleh hasil yang maksimal. Maka dilalui langkah-langkah sebagai berikut : 1. Pertemuan pendahuluan Kegiatan yang dilkukan antara lain : a. Menciptakan suasana kekeluargaan antara guru dengan supervisor (establish rapport) agar komunikasi selama kegiatan dapat berjalan dengan efektif. b. Membuat kesepakatan (contract) antara guru dengan supervisor tentang aspek proses belajar mengajar yang akan dikembangkan dan ditingkatkan (misalnya keterampilan bertanya, cara memotivasi siswa). Secara singkat, pertemuan pendahuluan ini akan disepakati mengenai : 1) Sasaran atau keterampilan mengajar yang akan diamati secara cermat oleh supervisor 2) Strategi observasi yang akan dilaksanakan 3) Panduan atau instrumen observasi yang akan digunakan 4) Criteria atau tolok ukur yang akan digunakan dalam pengisisan observasi 1. Perencanaan oleh guru dan supervisor Kegiatan yang dilakukan antara lain : 1. Persiapan mengajar tertulis yang sudah dibuat terlebih dahulu untuk dibicarakan kekurangan-kekurangan yang mungkin masih perlu dibenahi, serta membicarakan bagian dari persiapan tertulis tersebut yang akan mendapat perhatian khusus. 2. Persiapan media atau alat-alat pelajaran yang akan digunakan sekaligus strategi penggunaannya. 3. Cara-cara mencatat atau perekaman data yang akan digunakan oleh supervisor serta arah pengambilan data. Hgal ini perlu dibicarakan agar guru tidak merasa terganggu pada waktu sedang beraksi. 4. Pelaksanaan latihan mengajar dan observasi Pada waktu ini guru melaksanakan mengajar sedangkan suoervisor melakukan pengamatan secara cermat dengan menggunakan observasi. Dalam melakukan observasi, kegiatan yang dilakukan antara lain : 1. Pengamata dilakukan secara terus menerus selama guru mengajar, tetapi hanya menekankan dan mencatat bagian yang menjadi sasaran saja, sedangkan bagian yang lain dicatat kesan umumnya saja. 2. Pengamatan intensif dilakukan setiap selang beberapa menit dan dalam jangka waktu tertentu. Beberapa alternative yang biasa dilkukan adalah : 1. Periode 5 menit, yaitu mengamati 5 menit, berhenti 5 menit, mengamati lagi 5 meit, berhenti lagi 5 menit, dan seterusnya. 2. Periode 10-5, yaitu mengamati 10 menit, berhenti 5 menit, mengamati lagi 10 menit, dan seterusnya. 3. Mengamati terus menerus tetapi pencatatan dilakukan setiap 2 menit atau 4 menit. 4. Mengadakan analisis data Hal-hal yang perlu didiskusikan antara lain : 1. Kesenjangan antara apa yang telah direncanakan dengan pelaksanaannya 2. Hasil rekaman baik ynag dituliskan dalam instrumen observasi maupun dalam kaset (apabila rekaman dilakukan dengan foto atau film tentu saja belum bias diikutkan untuk didiskusikan saat ini). 3. Cara atau strategi yang digunakan dalam penyampaian umpan balik. Apabila disepakati bahwa umpan balik disampaikan secara tertulis agar terdokumentasikan dengan baik maka setelah selesai diskusi analisis data rekaman, supervisor menuliskan kesimpulan akhir untuk umpan balik kepada guru. 1. Diskusi memberikan umpan balik Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan umpan balik yang dilakukan oleh supervisor kepada guru yang sedang berlatih mengajar meningkatkan keterampilannya. Pemberian umpan balik haruis dilakukan dengan segera dan objektif mengenai sasaran yang telah dibicarakan dalam pertemuan pendahuluan. Sehubungan dengan pemberian umpan balik, terdapat rambu-rambu sebagai berikut : 1. Sesudah latihan selesai, (calon) guru diminta untuk mengungkapkan persepsi/ kesannya mengenai kegiatan mengajar yang ia lakukan. 2. Supervisor bersama-sama dengan guru menganalisis kegiatan tersebut langkah demi langkah dilengkapi dengan data hasil pengamatan supervisor. Hal penting dalam langkah ini adalah melatih guru agar dapat melakukan penilaian terhadap diri sendiri. 3. Dalam mengidentifikasi hal-hal yang sudah baik dan kekurangan dalam latihan, supervisor tidak boleh menunjuk dengan tegas dan keras secara langsung tetapi melalui pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menggali dan mengorek kelemahan sendiri sehingga akhirnya guru menyadari kelemahannya. 4. Hal yang perlu diingat bahwa dalam langkah ini supervisor harus sekali-kali memberikan pujian, ulasan positif, penguatan, penghargaan terhadap guru agar ada perasaan puas dean bangga, sehingga tumbuh kemauan keras untuk memperbaiki diri. 5. Pada akhir diskusi, supervisor bersma-sama guru menarik kesimpulan dari latihan yang baru saja dilakukan yaitu hal-hal yang sudah berhasil dan yang masih harus diperbaiki pada lain kesempatan. Bab 3 PENUTUP 3.1. Kesimpulan 1.1. Supervisi dapat dirumuskan sebagai serangkaian usaha pemberian bantuan kepada guru dalam bentuk layanan profesional yang diberikan oleh supervisor ( Pengawas sekolah, kepala sekolah, dan pembina lainnya) guna meningkatkan mutu proses dan hasil belajar mengajar. Karena supervisi atau pembinaan guru tersebut lebih menekankan pada pembinaan guru tersebut pula. 1.2. Secara teoritis yang menjadi objek supervisi ada dua aspek, yaitu: 1.2.1. Aspek manusianya, seperti sikap terhadap tugas, disiplin kerja, moral kerja, kejujuran, ketaatan terhadap peraturan organisasi, kerajinan, kecakapan kerja, kemampuan dalam bekerja sama, watak; 1.2.2. Aspek kegiatannya, seperti cara bekerja kerja (cara mengajar), metoda pendekatan terhadap siswa, efisiensi kerja, dan hasil kerja. 1.3. Tujuan supervisi pendidikan digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu: 1.3.1. Tujuan Umum Supervisi pendidikan 1.3.2. Tujuan Khusus Supervisi Pendidikan 1.4. Fungsi supervisi adalah memberikan layanan dan bantuan untuk meningkatkan kualitas mengajar guru di kelas yang pada gilirannya untuk meningkatkan kualitas belajar siswa. Bukan saja memperbaiki kemampuan mengajar tetapi juga mengembangkan potensi kualitas guru 1.5. Prinsip-prinsip Supervisi Pendidikan supervisi antara lain : 1.5.1. Prinsip ilmiah (scientific), prinsip ini mengandung ciri-ciri sebagai berikut: 1.5.2. Prinsip Demokratis 1.5.3. Prinsip kerjasama 1.5.4. Prinsip konstruktif dan kreatif 1.6. Sasaran dari upervisi pendidikan ditujukan kepada usaha memperbaiki situasi belajar mengajar. 1.7. Metode dan teknik supervisi pendidikan: 1.7.1. Teknik supervisi individu 1.7.2. Teknik supervisi kelompok 1.8. Ada tiga kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang supervisor dalam rangka melaksanakan tugas-tugasnya yaitu human relations, administrasi dan evaluasi 1.9. Langkah-langkah supervisi : 1.9.1. Pertemuan pendahuluan 1.9.2. Perencanaan oleh guru dan supervisor 1.9.3. Pelaksanaan latihan mengajar dan observasi 1.9.4. Mengadakan analisis data 1.9.5. Diskusi memberikan umpan balik 3.2 Referensi • Ametembun, N.A. 1981. sekolah. Bandung: IKIP Bandung. • Arikunto, Suharsimi. 1