Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

wibiya widget

My Blog List

flag counter

daftar menu

Loading...
Tag this on nabtag

twiter

Recent Comments

google seacrh


  • Web
  • alwafaalmuttaqiin
  • buku tamu

    google translite


    clock

    Voting

    My Ballot Box
    Bagaimana Menurutmu blog ku ni ?







    wibiya widget

    Rabu, 25 Januari 2012

    SEJARAH DATANGNYA ISLAM DI INDONESIA

    KEDATANGAN ISLAM DI INDONESIA

    Melacak sejarah masuknya Islam ke Indonesia bukanlah urusan mudah. Tak banyak jejak yang bisa dilacak. Ada beberapa pertanyaan awal yang bisa diajukan untuk menelusuri kedatangan Islam di Indonesia. Beberapa pertanyaan itu adalah, darimana Islam datang? Siapa yang membawanya dan kapan kedatangannya?

    Ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Setidaknya ada beberapa teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Timur Jauh termasuk ke Nusantara.

    1. Teori Pertama, diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara.

    Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck mengatakan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India.

    2. Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini datang dari Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya.

    Teori ini menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah adalah Samudera Pasai.

    Kedua teori di atas mendatang kritikan yang cukup signifikan dari teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali sebagai amirul mukminin.

    A. Kondisi Dan Situasi Politik Kerajaan-Kerajaan di Indonesia

    Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam.

    Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

    Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab.

    Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.

    Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus.

    Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.

    Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M.

    Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.

    Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa.

    Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda.

    Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).

    B. Munculnya Pemukiman-Pemukiman di Kota Pesisir

    Sumber-sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-komunitas Muslim.

    Kian tahun, kian bertambah duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke wilayah Nusantara. Seperti pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.

    Tentu saja, tak hanya ke negeri Cina perjalanan dilakukan. Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke Cina tanpa melawat terlebih dulu ke Sriwijaya.

    Selain Sabaj atau Sribuza atau juga Sriwijaya disebut-sebut telah dijamah oleh dakwah Islam, daerah-daerah lain di Pulau Sumatera seperti Aceh dan Minangkabau menjadi lahan dakwah. Bahkan di Minangkabau ada tambo yang mengisahkan tentang alam Minangkabau yang tercipta dari Nur Muhammad. Ini adalah salah satu jejak Islam yang berakar sejak mula masuk ke Nusantara.

    Di saat-saat itulah, Islam telah memainkan peran penting di ujung Pulau Sumatera. Kerajaan Samudera Pasai-Aceh menjadi kerajaan Islam pertama yang dikenal dalam sejarah.

    Selain di Pulau Sumatera, dakwah Islam juga dilakukan dalam waktu yang bersamaan di Pulau Jawa. Prof. Hamka dalam Sejarah Umat Islam mengungkapkan, pada tahun 674 sampai 675 masehi duta dari orang-orang Ta Shih (Arab) untuk Cina yang tak lain adalah sahabat Rasulullah sendiri Muawiyah bin Abu Sofyan, diam-diam meneruskan perjalanan hingga ke Pulau Jawa. Muawiyah yang juga pendiri Daulat Umayyah ini menyamar sebagai pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa kala itu.

    Ekspedisi ini mendatangi Kerajaan Kalingga dan melakukan pengamatan. Maka, bisa dibilang Islam merambah tanah Jawa pada abad awal perhitungan hijriah. Jika demikian, maka tak heran pula jika tanah Jawa menjadi kekuatan Islam yang cukup besar dengan Kerajaan Giri, Demak, Pajang, Mataram, bahkan hingga Banten dan Cirebon.

    Proses dakwah yang panjang, yang salah satunya dilakukan oleh Wali Songo atau Sembilan Wali adalah rangkaian kerja sejak kegiatan observasi yang pernah dilakukan oleh sahabat Muawiyah bin Abu Sofyan.

    Peranan Wali Songo dalam perjalanan Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa sangatlah tidak bisa dipisahkan. Jika boleh disebut, merekalah yang menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat dimana akan dibangun pemerintahan Islam yang berbentuk kerajaan. Kerajaan Islam di tanah Jawa yang paling terkenal memang adalah Kerajaan Demak. Namun, keberadaan Giri tak bisa dilepaskan dari sejarah kekuasaan Islam tanah Jawa.

    Sebelum Demak berdiri, Raden Paku yang berjuluk Sunan Giri atau yang nama aslinya Maulana Ainul Yaqin, telah membangun wilayah tersendiri di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Wilayah ini dibangun menjadi sebuah kerajaan agama dan juga pusat pengkaderan dakwah. Dari wilayah Giri ini pula dihasilkan pendakwah-pendakwah yang kelah dikirim ke Nusatenggara dan wilayah Timur Indonesia lainnya.

    C. Cara Islamisasi Di Indonesia

    Perjalanan dakwah awal Islam di Nusantara tak terbatas hanya di Sumatera atau Jawa saja. Hampir seluruh sudut kepulauan Indonesia telah tersentuh oleh indahnya konsep rahmatan lil alamin yang dibawa oleh Islam.

    Ada beberapa contoh islamisasi di kepulauan Nusantara, seperti :

    1. Islamisasi Kalimantan

    Para ulama awal yang berdakwah di Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader dakwah yang terus menerus mengalir. Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo kala itu. Di pulau ini, ajaran Islam masuk dari dua pintu.

    Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan.

    Jalur lain yang digunakan menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak berdiri. Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari. (Baca: Empat Sekawan Ulama Besar)

    2. Islamisasi Sulawesi

    Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke pulau. Baik atas motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan. Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi.

    Menurut catatan company dagang Portugis yang datang pada tahun 1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah ini sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di Kerajaan Goa yang beribu negeri di Makassar.

    Raja Goa pertama yang memeluk Islam adalah Sultan Alaidin al Awwal dan Perdana Menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa pada tahun 1603. Sebelumnya, dakwah Islam telah sampai pula pada ayahanda Sultan Alaidin yang bernama Tonigallo dari Sultan Ternate yang lebih dulu memeluk Islam. Namun Tonigallo khawatir jika ia memeluk Islam, ia merasa kerajaannya akan di bawah pengaruh kerajaan Ternate.

    Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa Sultan Alaidin begitu terkenal karena pemahaman dan aktivitas dakwah mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk Patimang dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di atas, yang bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Makassar.

    Pusat-pusat dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah yang melanjutkan perjalanan ke wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette, Luwu dan Paloppo.

    3. Islamisasi Maluku

    Kepulauan Maluku yang terkenal kaya dengan hasil bumi yang melimpah membuat wilayah ini sejak zaman antik dikenal dan dikunjungi para pedagang seantero dunia. Karena status itu pula Islam lebih dulu mampir ke Maluku sebelum datang ke Makassar dan kepulauan-kepulauan lainnya.

    Kerajaan Ternate adalah kerajaan terbesar di kepulauan ini. Islam masuk ke wilayah ini sejak tahun 1440. Sehingga, saat Portugis mengunjungi Ternate pada tahun 1512, raja ternate adalah seorang Muslim, yakni Bayang Ullah. Kerajaan lain yang juga menjadi representasi Islam di kepulauan ini adalah Kerajaan Tidore yang wilayah teritorialnya cukup luas meliputi sebagian wilayah Halmahera, pesisir Barat kepulauan Papua dan sebagian kepulauan Seram.

    Ada juga Kerajaan Bacan. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainulabidin yang bersyahadat pada tahun 1521. Di tahun yang sama berdiri pula Kerajaan Jailolo yang juga dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam dalam pemerintahannya.

    4. Islamisasi Papua

    Beberapa kerajaan di kepulauan Maluku yang wilayah teritorialnya sampai di pulau Papua menjadikan Islam masuk pula di pulau Cendrawasih ini. Banyak kepala-kepala suku di wilayah Waigeo, Misool dan beberapa daerah lain yang di bawah administrasi pemerintahan kerajaan Bacan. Pada periode ini pula, berkat dakwah yang dilakukan kerajaan Bacan, banyak kepala-kepala suku di Pulau Papua memeluk Islam. Namun, dibanding wilayah lain, perkembangan Islam di pulau hitam ini bisa dibilang tak terlalu besar.

    5. Islamisasi Nusa Tenggara

    Islam masuk ke wilayah Nusa Tenggara bisa dibilang sejak awal abad ke-16. Hubungan Sumbawa yang baik dengan Kerajaan Makassar membuat Islam turut berlayar pula ke Nusa Tenggara. Sampai kini jejak Islam bisa dilacak dengan meneliti makam seorang mubaligh asal Makassar yang terletak di kota Bima. Begitu juga dengan makam Sultan Bima yang pertama kali memeluk Islam. Bisa disebut, seluruh penduduk Bima adalah para Muslim sejak mula.

    Selain Sumbawa, Islam juga masuk ke Lombok. Orang-orang Bugis datang ke Lombok dari Sumbawa dan mengajarkan Islam di sana. Hingga kini, beberapa kata di suku-suku Lombok banyak kesamaannya dengan bahasa Bugis.

    Dengan data dan perjalanan Islam di atas, sesungguhnya bisa ditarik kesimpula, bahwa Indonesia adalah negeri Islam. Bahkan, lebih jauh lagi, jika dikaitkan dengan peran Islam di berbagai kerajaan tersebut di atas, Indonesia telah memiliki cikal bakal atau embrio untuk membangun dan menjadi sebuah negara Islam.

    Senin, 23 Januari 2012

    MUZARA'AH, MUKHABARAH DAN MUSAQOH

    1. Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah
    Secara etimologi, muzara’ah (المزارعة) adalah wazan mufa’alah ((مفاعلة dari kata الزرع yang artinya sama dengan الإنبات (menumbuhkan). Muzara’ah juga berarti tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al-badzar). Makna yang pertama adalah makna majaz dan makna yang kedua adalah makna hakiki.
    Muzara’ah dan mukhabarah memiliki makna yang berbeda, pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafi’i dan al-Nawawi. Sedangkan menurut al-Qadhi Abu Thayid bahwa muzara’ah dan mukhabarah adalah satu pengertian.
    Sedangkan menurut istilah, muzara’ah dan mukhabarah didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut:
    1. Menurut Hanafiah, muzara’ah adalah:
    عقد على الزرع ببعض الخارج من الأرض
    “Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi”.
    Sedangkan mukhabarah ialah:
    عقد على الزرع ببعض ما يخرج من الأرض
    “Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar dari bumi”.

    Definisi muzara’ah dan mukhabarah menurut ulama Hanafiah di atas hampir tidak bisa dibedakan. Dalam muzara’ah menggunakan kalimat ببعض الخارج من الأرض, sedangkan dalam mukhabarah dengan kalimat ببعض ما يخرج من الأرض. Dengan adanya perbedaan redaksi tersebut menunjukkan adanya perbedaan. Namun belum diketahui perbedaan tersebut berdasarkan pemikiran Hanafiah.
    2. Menurut Hanabilah, bahwa muzara’ah ialah: menyerahkan tanah kepada kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman (hasilnya) tersebut dibagi di antara keduanya.
    3. Menurut Malikiah, bahwa muzara’ah ialah: perkongsian dalam bercocok tanam. Lebih lanjut dijelaskan dari pengertian tersebut bahwa muzara’ah adalah menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan atau barang-barang perdagangan.
    4. Ulama Syafi’iah membedakan antara muzara’ah dan mukhabarah:
    المخابرة هي عمل الأرض ببعض ما يخرج منها والبذر من العامل. والمزارعة هي المخابرة ولكن البذر فيها يكون من المالك.
    “Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah, sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah”.

    Setelah diketahui dari definisi-definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa mukhabarah dan muzara’ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola, maka disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah, maka disebut muzara’ah.

    2. Landasan Hukum Mukhabarah dan Muzara’ah
    Zira’ah merupakan salah satu bentuk kerja sama antara pekerja/buruh dan pemilik tanah. Dalam banyak kasus, pihak buruh memiliki keahlian mengolah tanah namun tidak memiliki tanah, dan ada pemilik tanah tidak mempunyai keahlian dalam mengolah tanah tersebut. Oleh karena itu, Islam mensyari’atkan zira’ah sebagai upaya mempertemukan kepentingan kedua belah pihak.
    Praktek muzara’ah model tersebut pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat setelahnya. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah sebagian dari biji-bijian dan buah-buahan yang bisa dihasilkan tanah Khaibar.
    Muhammad Baqir bin Ali bin Husain ra. berkata, “Tidak seorang pun dari kaum Muhajirin di Madinah, kecuali mereka menjadi petani dengan mendapatkan hasil sepertiga atau seperempat. Dan Ali ra., Said bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali dan Ibnu Sirin, semua bekerja dalam bidang pertanian.” (HR. Bukhari).
    Dalam kitab al-Mughni disebutkan, “Pekerjaan tersebut sangat populer, Rasulullah SAW sendiri mengerjakannya hingga tiba wafatnya, kemudian dilakukan pula oleh para khalifahnya sampai mereka meninggal dunia, kemudian keluarga mereka, dan sesudah mereka.”
    Di Madinah, tidak ada seorang penghuni rumah yang tidak melakukan praktek tersebut, termasuk isteri-isteri Nabi SAW. Tradisi seperti ini tidak boleh dihapuskan, karena penghapusan hanya berlaku pada masa kehidupan Rasulullah SAW. Adapun sesuatu yang telah ia kerjakan hingga berpulang ke rahmatullah, kemudian dilakukan oleh khalifah-khalifah sesudahnya, para sahabat sepakat melakukan, dan tidak seorang pun yang tidak turut serta melakukannya, tidak mungkin untuk dihapus.
    Dasar hukum yang dipergunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas ra.:
    إن النبي ص.م لم يحرم المزارعة ولكن أمر أن يرفق بعضهم ببعض بقوله من كانت له أرض فليزرعها أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه. (رواه البخاري)

    “Sesungguhnya Nabi SAW tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya: barangsiapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau maka tahanlah tanah itu”.

    3. Eksistensi Muzara’ah dan Mukhabarah
    Imam Hanafi dan Ja’far tidak mengakui keberadaan Muzara’ah dan menganggapnya fasid. Begitu pula Imam Syafi’i, tetapi sebagian ulama Syafi’yiah mengakuinya dan mengaitkannya dengan musaaqah (pengelolaan kebun) dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi mereka, tidak membolehkan mukhabarah sebab tidak ada landasan yang membolehkannya.
    Di antara alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanafiah, Ja’far, Imam Syafi’i adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir Ibn Abdullah bahwa Rasulullah SAW melarang mukhabarah. Demikian pula dalam hadits Ibnu Umar yang juga diriwayatkan oleh Muslim bahwa Rasulullah SAW melarang Muzara’ah.
    Golongan ini berpendapat bahwa kerja sama Nabi dengan orang Khaibar dalam mengelola tanah bukan termasuk mukhabarah atau muzara’ah, melainkan pembagian atas hasil tanaman tersebut dengan membaginya, seperti dengan sepertiga atau seperempat dari hasilnya yang didasarkan anugerah (tanpa biaya)dan kemaslahatan. Hal itu dibolehkan.
    Abu Yusuf dan Muhammad (Sahabat Imam Abu Hanifah), Imam Malik, Ahmad, dan Abu Daud Azh-Zhahiri berpendapat bahwa Muzara’ah dibolehkan. Hal itu didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Jama’ah dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bermuamalah dengan ahli Khaibar dengan setengah dari sesuatu yang dihasilkan dari tanaman, baik buah-buahan maupun tumbuh-tumbuhan. Selain itu, muzara’ah dapat dikategorikan perkongsian antara harta dan pekerjaan, sehingga kebutuhan pemilik dan pekerja dapat terpenuhi. Tidak jarang pemilik tidak dapat memelihara tanah, sedangkan pekerja mampu memeliharanya dengan baik, tetapi tidak memiliki tanah. Dengan demikian, dibolehkan sebagaimana dalam mudharabah.
    Menurut Abu Yusuf dan Muhammad (dua sahabat Abu Hanifah), Muzara’ah mempunyai empat keadaan, tiga shahih dan satu batal.
    a. Dibolehkan muzara’ah jika tanah dan benih berasal dari pemilik, sedangkan pekerjaan dan alat penggarap berasal dari penggarap.
    b. Dibolehkan muzara’ah jika tanah dari seseorang sedangkan benih, alat penggarap, dan pekerjaan dari penggarap.
    c. Dibolehkan muzara’ah jika tanah, benih, dan alat penggarap berasal dari pemilik, sedangkan pekerjaan berasal dari penggarap.
    d. Tidak boleh muzara’ah jika tanah dan hewan berasal dari pemilik tanah, sedangkan benih dan pekerjaan dari penggarap.

    4. Bantahan Atas Larangan Mukhabarah dan Muzara’ah
    Disebutkan oleh Rafi’ bin Khudaij bahwa Rasulullah telah melarangnya. Hal tersebut dibantah oleh Zaid bin Tsabit ra., “Pelarangan itu dilakukan untuk menyelesaikan suatu kasus perselisihan”. Ia melanjutkan, “semoga Allah mengampuni Rafi’ bin Khudaij. Demi Allah, aku ini lebih mengetahui tentang hadits dari dirinya.”
    Pelarangan yang disebbutkan itu sebenarnya dalam kasus dua orang Anshar mendatangi Nabi SAW yang nyaris saling membunuh. Rasulullah SAW mengatakan kepada mereka,
    إن كان هذا شأنكم فلا تكروا المزارع
    “Jika begini keadaan kalian, maka jangan kalian ulangi lagi melakukan muzara’ah.”
    Rafi’ hanya mendengar kalimat فلا تكروا المزارع “maka jangan kalian ulangi lagi muzara’ah”(HR. Abu Daud dan an-Nasa’i)
    Ibnu Abbas pula membantah atas apa yang disebutkan oleh Rafi’. Ia menjelaskan, “Sesungguhnya larangan tersebut bertujuan agar berbuat yang lebih baik untuk mereka.” Ia kemudian menceritakan,”Sesungguhnya Rasulullah SAW bukan mengharamkan praktek muzara’ah, akan tetapi ia memerintahkan agar sesama manusia saling menolong, dengan perkataannya, ‘barang siapa yang memiliki tanah, hendaknya ia menanaminya atau ia berikan (penggarapannya) kepada saudaranya. Jika enggan, maka ia sendiri harus menggarap tanahnya sendiri.”

    5. Rukun Muzara’ah dan Mukhabarah dan Sifat-Sifatnya
    Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun muzara’ah dan mukhabarah adalah ijab dan qabul yang menunjukkan keridhaan di antara keduanya.
    Ulama Hanabilah berpendapat bahwa muzara’ah dan mukhabarah tidak memerlukan qabul secara lafaz, tetapi cukup dengan mengerjakan tanah. Hal ini sudah dianggap qabul.
    Tentang sifat muzara’ah dan mukhabarah menurut ulama Hanafiah, merupakan sifat-sifat perkongsian yang tidak lazim. Adapun menurut ulama Malikiah, diharuskan menaburkan benih di atas tanah supaya tubuh tanaman atau dengan menanam tumbuhan di atas tanah yang tidak ada bijinya. Menurut pendapat paling kuat, perkongsian harta termasuk muzara’ah dan harus menggunakan sighat.
    Ulama Hanafiah berpendapat bahwa muzara’ah dan mukhabarah adalah dua akad yang tidak lazim sehingga setiap yang melangsungkan akad dapat membatalkan keduanya. Akad pun dapat dianggap batal jika salah seorang ‘aqid meninggal dunia.

    6. Syarat-Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah
    a. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad
    Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa muzara’ah dan mukhabarah memiliki beberapa syarat yang berkaitan dengan aqid (orang yang melangsungkan akad), tanaman, tanah yang ditanami, sesuatu yang keluar dari tanah, tempat akad, alat bercocok tanam, dan waktu bercocok tanam.
    1. Syarat ‘Aqid
    a. Mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan baligh.
    b. Imam Abu Hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi ulama Hanafiah tidak mensyaratkannya.
    2. Syarat Tanaman
    Di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat, tetapi kebanyakan menganggap lebih baik jika diserahkan kepada pekerja.
    3. Syarat Dengan Garapan
    a. Memungkinkan untuk digarap, yakni apabila ditanami tanah tersebut akan menghasilkan.
    b. Jelas.
    c. Ada penyerahan tanah.
    4. Syarat-Syarat Tanaman Yang Dihasilkan
    a. Jelas ketika akad.
    b. Diharuskan atas kerja sama dua orang yang berakad.
    c. Ditetapkan ukuran di antara keduanya, seperti sepertiga, setengah dan lain-lain.
    d. Hasil dari tanaman harus menyeluruh di antara dua orang yang akan melangsungkan akad. Tidak dibolehkan mensyaratkan bagi salah satu yang melangsungkan akad hanya mendapatkan sekedar pengganti biji.
    5. Syarat Tujuan Akad
    Akad dalam Muzara’ah dan Mukhabarah harus didasarkan pada tujuan syara’ yaitu untuk memanfaatkan pekerja atau memanfaatkan tanah.
    6. Syarat Alat Bercocok Tanam
    Dibolehkan menggunakan alat tradisional atau modern dengan maksud sebagai konsekuensi atas akad. Jika hanya bermaksud menggunakan alat, dan tidak dikaitkan dengan akad, Muzara’ah dan Mukhabarah dipandang rusak.
    7. Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah
    Dalam Muzara’ah dan Mukhabarah diharuskan menetapkan waktu. Jika waktu tidak ditetapkan, Muzara’ah dan Mukhabarah dipandang tidak sah.

    b. Ulama Malikiah
    Syarat-syarat Muzara’ah dan Mukhabarah menurut ulama Malikiah adalah:
    a. Kedua orang yang melangsungkan akad harus menyerahkan benih.
    b. Hasil yang diperoleh harus disamakan antara pemilik tanah dan penggarap.
    c. Benih harus berasal dari kedua orang yang melakukan akad.

    c. Ulama Syafi’iah
    Ulama Syafi’iah tidak mensyaratkan persamaan hasil yang diperoleh oleh kedua aqid dalam Muzara’ah dan Mukhabarah yang mengikuti atau berkaitan dengan musaaqah. Mereka bermanfaat bahwa muzara’ah adalah pengelolaan tanah atas apa yang keluar dari bumi, sedangkan benihnya berasal dari pemilik tanah.

    d. Ulama Hanabilah
    Ulama Hanabilah sebagaimana ulama Syafi’iah, tidak mensyaratkan persamaan antara penghasilan dua orang yang berakad.
    Namun demikian mereka mensyaratkan lainnya:
    1. Benih berasal dari pemilik, tetapi diriwayatkan bahwa Imam Ahmad membolehkan benih berasal dari penggarap.
    2. Kedua orang yang melaksanakan akad harus menjelaskan bagian masing-masing.
    3. Mengetahui dengan jelas jenis benih.

    7. Hukum Muzara’ah dan Mukhabarah
    a. Hukum Muzara’ah dan Mukhabarah Shahih Menurut Hanafiah
    Menurut ulama Hanafiah, hukum Muzara’ah dan Mukhabarah yang shahih adalah sebagai berikut:
    1. Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
    2. Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
    3. Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad.
    4. Menyiram atau menjaga tanaman, jika disyaratkan akan dilakukan bersama, hal itu harus dipenuhi. Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan, penggaraplah yang paling bertanggung jawab menyiram atau menjaga tanaman.
    5. Dibolehkan menambah penghasilan dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.
    6. Jika salah seorang yang berakad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu itu

    b. Hukum Muzara’ah dan Mukhabarah Fasid Menurut Syafi’iah
    Telah disinggung bahwa ulama Syafi’iah melarang muzara’ah, jika benih dari pemilik, kecuali bila dianggap sebagai musaaqah. Begitu pula jika benih dari penggarap, hal itu tidak boleh sebagaimana dalam musaaqah.
    Dengan demikian, hasil dari pemeliharaan tanah diberikan semuanya untuk pemilik, sedangkan penggarap hanya diberi upah.

    c. Hukum Muzara’ah dan Mukhabarah Fasid Menurut Hanafiah
    Di antara hukum-hukum yang terdapat dalam muzara’ah fasid adalah:
    1. Penggarap tidak berkewajiban mengelola.
    2. Hasil yang keluar merupakan milik pemilik benih.
    3. Jika dari pemilik tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari pekerjaannya.

    8. Penghabisan Muzara’ah dan Mukhabarah
    Beberapa hal yang menyebabkan Muzara’ah habis:
    a. Habis masa Muzara’ah.
    b. Salah seorang yang berakad meninggal.
    c. Adanya uzur. Menurut ulama Hanafiyah di antara uzur yang menyebabkan batalnya muzara’ah, antara lain:
    1. Tanah garapan terpaksa dijual, misalnya untuk membayar utang.
    2. Penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad dijalan Allah SWT, dan lain-lain.

    B. Musaaqah
    1. Pengertian Musaaqah
    Kata musaaqah adalah bentuk kata mufa’alah dari kata saqyu. Dinamakan begitu karena pepohonan penduduk Hijaz sangat membutuhkan saqyu (penyiraman) dari sumur. Karena itu dinamakan musaaqah (pengairan).
    Menurut istilah, al-musaaqah didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut:
    a. Menurut Abdurrahman al-Jaziri, al-musaaqah ialah “akad untuk pemeliharaan pohon; kurma, tanaman (pertanian) dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu”.
    b. Menurut Malikiyah, bahwa al-musaqah ialah “sesuatu yang tumbuh di tanah”.
    Menurut Malikiyah, sesuatu yang tumbuh di tanah dibagi menjadi lima macam:
    • Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan pohon tersebut berbuah, buah itu dipetik serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, seperti pohon anggur dan zaitun.
    • Pohon-pohon tersebut berakar tetap tetapi tidak berbuah, seperti pohon kayu keras, karet dan jati.
    • Pohon-pohon yang tidak berakar kuat tetapi berbuah dan dapat dipetik, seperti padi dan qatsha’ah (sejenis pohon labu dan buahnya seperti ketimun).
    • Pohon-pohon yang tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat dipetik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat, seperti pohon bunga mawar.
    • Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam di halaman rumahdan di tempat lainnya.
    c. Menurut Syafi’iyah, bahwa yang dimaksud dengan al-musaqah ialah: “Mempekerjakan orang lain untuk menggarap kurma atau pohon anggur, dengan perjanjian dia akan menyiram dan mengurusnya, kemudian buahnya untuk mereka berdua”.
    d. Menurut Hanabilah bahwa al-musaaqah mencakup dua masalah, yaitu
    • Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan sebagai bagian tertentu dari buah pohon tersebut, seperti sepertiganya atau setengahnya.
    • Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanamkan pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini disebut munashabah mugharasah, karena pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkannya.
    e. Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy yang dimaksud dengan al-musaaqah ialah: “syarikat pertanian untuk memperoleh hasil dari pepohonan”.

    Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-musaaqah ialah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya.
    Musaqah merupakan persekutuan perkebunan dalam mengembangkan pohon. Pemilik pohon berada di satu pihak dan penggarap pohon di pihak lain. Dengan perjanjian, buah yang dihasilkan untuk kedua belah pihak dibagi sesuai dengan persentase yang disepakati, misalnya setengah, sepertiga, atau lainnya.
    Penggarap pohon disebut musaqi, sedangkan pihak lain disebut pemilik pohon. Adapun maksud pohon dalam bahasan ini adalah semua yang ditanam agar dapat bertahan di tanah selama lebih dari satu tahun dan untuk waktu yang tidak ada ketentuan akhirnya hingga penebangan. Baik pohon itu berbuah maupun tidak.
    Untuk pohon yang tidak berbuah, maka imbalan untuk musaqi adalah dalam bentuk pelepah dan kayu serta semacamnya.

    2. Perbedaan Antara Musaqah dan Muzara’ah
    Ulama Hanafiah berpendapat bahwa musaaqah sama dengan muzara’ah, kecuali dalam empat perkara:
    a. Jika salah seorang yang menyepakati akad tidak memenuhi akad, dalam musaqah, ia harus dipaksa, tetapi dalam muzara’ah, ia tidak boleh dipaksa.
    b. Jika waktu musaaqah habis, akad diteruskan sampai berbuah tanpa pemberian upah, sedangkan dalam muzara’ah, jika waktu habis, pekerjaan diteruskan dengan pemberian upah.
    c. Waktu dalam musaaqah ditetapkan berdasarkan istihsan, sebab dapat diketahui dengan tepat, sedangkan waktu dalam muzara’ah terkadang tidak tertentu.
    d. Jika pohon diminta oleh selain pemilik tanah, penggarap diberi upah. Sedangkan dalam muzara’ah jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.

    3. Landasan Hukum Musaaqah
    Musaaqah disyari’atkan berdasarkan sunnah. Mayoritas para ahli fiqih sepakat bahwa musaqah dibolehkan karena hal itu diperlukan, sedangkan Abu Hanifah tidak membolehkannya.
    Dalam masalah musaaqah, mayoritas ulama berargumentasi akan pembolehan musaaqah dengan dalil:
    روى مسلم عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه و سلم عامل أهل خيبر بشطر ما يخرج منها من ثمر أو زرع .
    “Riwayat Muslim dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW telah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan memberikan imbalannya, separuh dari yang dihasilkan, baik berupa buah atau tanaman.”

    4. Syarat-Syarat Musaaqah
    Syarat-syarat musaaqah sebenarnya tidak berbeda dengan persyaratan yang ada dalam muzara’ah. Hanya saja, pada musaaqah tidak disyaratkan untuk menjelaskan jenis benih, pemilik benih, kelayakan kebun, serta ketetapan waktu.
    Beberapa syarat yang ada dalam muzara’ah dan dapat diterapkan dalam musaaqah adalah:
    1. Ahli dalam akad.
    2. Menjelaskan bagian penggarap.
    3. Membebaskan pemilik dari pohon.
    4. Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad.
    5. Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.

    5. Rukun Musaaqah
    Jumhur ulama menetapkan bahwa rukun musaaqah ada lima, yaitu:
    a. Dua orang yang berakad (al-‘aqidani). Al-‘aqidani ini disyaratkan harus baligh dan berakal.
    b. Objek musaaqah. Objek musaaqah menurut ulama Hanafiah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiah lainnya dibolehkan musaaqah atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman
    Ulama Malikiah berpendapat bahwa objek musaaqah adalah tumbuh-tumbuhan, seperti kacang, pohon yang berbuah dan memiliki akar yang tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan lain-lain, dengan dua syarat:
    1. Akad dilakukan sebelum buah tampak dan dapat diperjualbelikan.
    2. Akad ditentukan dengan waktu tertentu.
    Ulama Hanabilah berpendapat bahwa musaaqah dimaksudkan pada pohon-pohon yang berbuah yang dapat dimakan.
    Ulama Syafi’iah dalam Qaul Jadidnya berpendapat bahwa musaaqah hanya dapat dilakukan pada kurma dan anggur saja. Kurma didasarkan pada perbuatan Rasulullah SAW terhadap orang Khaibar, sedangkan anggur hampir sama hukumnya dengan kurma bila ditinjau dari segi wajib zakatnya. Akan tetapi, Mazhab Qadim membolehkan semua jenis pepohonan.
    c. Buah. Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.
    d. Pekerjaan. Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi tidak sah.
    Ulama mensyaratkan penggarap harus mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimal berbuah dan kapan minimal berbuah.
    Ulama Hanafiah tidak memberikan batasan waktu, baik dalam muzara’ah maupun musaaqah sebab Rasulullah SAW pun tidak memberikan batasan ketika bermuamalah dengan orang Khaibar.
    e. Sighat. Menurut ulama Syafi’iah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad musaaqah sebab berlainan akad.
    Adapun ulama Hanabilah membolehkannya sebab yang terpenting adalah maksudnya.
    Bagi orang yang mampu berbicara, qabul harus diucapkan agar akad menjadi lazim, seperti pada ijarah. Menurut ulama Hanabilah, sebagaimana pada muzara’ah, tidak disyaratkan qabul dengan ucapan, melainkan cukup dengan mengerjakannya.

    6. Hal-Hal Yang Dibolehkan Dalam Musaaqah
    Para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai kebolehan dalam musaaqah. Sebagian ulama membatasi hanya pada kurma, seperti pendapat Daud. Sebagian yang lainnya menambahkan, yaitu kurma dan anggur, seperti pendapat Syafi’i. sebagian yang lain berpendapat lebih luas lagi, seperti mazhab Hanafi.
    Akan tetapi, apabila jangka waktu tidak dijelaskan, maka akad berlaku pada bagian yang diperbolehkan setelah akad. Dan sah juga untuk buah-buahan yang bertahapan muncul sedikit demi sedikit, seperti terong, jika seseorang menyerahkan pohon yang sudah dipangkas untuk diurus oleh penggarap dan penyiramannya hingga menghasilakan daunnya, sedangkan hasil panennya dibagi dua, maka hal itu dibolehkan tanpa menjelaskan jangka waktunya.
    Menurut Imam Malik, musaaqah dibolehkan untuk semua pohon yang memiliki akar kuat, seperti delima, tin, zaitun dan pepohonan yang serupa dengan itu. Selain itu juga dibolehkan untuk pohon yang memiliki akar yang tidak kuat, seperti semangka, dalam keadaan pihak pemilik tidak mampu menggarapnya. Begitu pula halnya dengan tumbuh-tumbuhan.
    Menurut kalangan Hanbali, dibolehkan musaaqah untuk semua pohon yang buahnya dapat dimakan. Di dalam kitab al-mughni, ia berkata, “musaaqah dibolehkan untuk pohon tadah hujan (berdaun lebat) dan pohon yan memerlukan siraman.” Untuk itu, Imam Malik berkata, “kita tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal itu.”

    7. Kewajiban Musaaqi (Penyiram)
    Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Nawawi bahwa tugas seorang musaaqi adalah melakukan pekerjaan yang diperlukan oleh pohon sebagai bentuk pemeliharaan untuk mendapat buahnya, caranya adalah dengan menyiram, membersihkan saluran air, mengurus pertumbuhan pohon, mengelola dengan baik, memisahkan pohon yang berhasil guna dan tumbuhan merambat, memelihara hasil buahnya dan menjaga batangnya, dan lainnya.
    Pemeliharaan pohon yang tidak berulang buahnya setiap tahun, seperti membangun pematang dan menggali sungai merupakan kewajiban pemilik.

    8. Ketidakmampuan Penggarap Dalam Pekerjaan
    Apabila penggarap tidak mampu melakukan pekerjaannya karena sakit atau karena kebutuhan yang mendesak, maka musaaqah menjadi batal. Hal itu berlaku apabila di dalam kontrak pihak pemilik mensyaratkan bahwa penggarap melakukan pekerjaannya sendiri. Jika tidak disyaratkan begitu, maka musaaqah tidak batal. Akan tetapi, penggarap harus mencarikan pengganti atas dirinya. Demikian pendapat menurut kalangan mazhab Hanafi.
    Imam Malik mengatakan bahwa apabila penggarap tidak mampu untuk melakukan garapan, sedagkan masa penjualan buah-buahan telah tiba, maka penggarap tidak boleh meminta penyiraman kepada orang lain dan ia berkewajiban menyewa orang lain untuk bekerja. Jika orang kedua tidak mendapat pembagian hasil buah, maka pihak kedua dibayar dari bagian hasil penggarap. Sedangkan Syafi’i berpendapat bahwa musaaqah menjadi batal karena ketidakmampuan penggarap.

    9. Habis Waktu Musaaqah
    a. Menurut Ulama Hanafiah
    Ulama Hanafiah berpendapat bahwa musaaqah sebagaimana dalam muzara’ah diangap selesai dengan adanya tiga perkara:
    1. Habis waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang berakad.
    Jika waktu telah habis, tetapi belum menghasilkan apa-apa penggarap boleh berhenti. Akan tetapi, jika penggarap meneruskan bekerja di luar waktu yang telah disepakati, ia tidak mendapatkan upah.
    Jika penggarap menolaj untuk bekerja, pemilik atau ahli warisnya dapat melakukan tiga hal:
    a. Membagi buah dengan memakai persyaratan tertentu.
    b. Penggarap memberikan bagiannya kepada pemilik.
    c. Membiayai sampai berbuah, kemudian mengambil bagian penggarap sekedar pengganti pembiayaan.
    2. Meninggalnya salah seorang yang berakad.
    Jika penggarap meninggal, ahli warisnya berkewajiban meneruskan musaaqah, walaupun pemilik tanah tidak rela. Begitu juga jika pemilik meninggal, penggarap meneruskan pemeliharaannya walaupun ahli waris pemilik tidak menghendakinya. Apabila kedua orang yang berakad meninggal, yang paling berhak meneruskan ialah ahli waris penggarap. Jika ahli waris itu menolak, musaaqah diserahkan kepada pemilik tanah.
    3. Membatalkan, baik dengan ucapan secara jelas atau adanya uzur.
    Di antara uzur yang dapat membatalkan musaqah:
    a. Penggarap dikenal sebagai pencuri yang dikhawatirkan akan mencuri buah-buahan yang digarapnya.
    b. Penggarap sakit sehingga tidak dapat bekerja

    b. Menurut Ulama Malikiyah
    Ulama Malikiyah berpendapat bahwa musaaqah adalah akad yang dapat diwariskan. Dengan demikian, ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan garapan. Akan tetapi, jika ahli warisnya menolak, pemilik harus menggarapnya.
    Musaaqah dianggap tidak batal jika penggarap diketahui seorang pencuri, tukang berbuat zalim atau tidak dapat bekerja. Penggarap boleh memburuhkan orang lain untuk bekerja. Jika tidak mempunyai modal, ia boleh mengambil bagiannya dari upah yang akan diperolehnya bila tanaman telah berbuah. Ulama Malikiyah beralasan bahwa musaaqah adalah akad yang lazim yang tidak dapat dibatalkan karena adanya uzur, juga tidak dapat dibatalkan dengan pembatalan sepihak sebab harus ada kerelaan di antara keduanya.

    c. Menurut Ulama Syafi’iah
    Ulama Syafi’iah berpendapat bahwa musaaqah tidak batal dengan adanya uzur, walaupun diketahui bahwa penggarap berkhianat. Akan tetapi, pekerjaan penggarap harus diawasi sampai penggarap menyelesaikan pekerjaannya. Jika pengawas tidak mampu mengawasinya, tanggung jawab penggarap dicabut kemudian diberikan kepada penggarap yang upahnya diambil dari upah penggarap.
    Menurut ulama Syafi’iah musaaqah selesai jika habis waktu. Jika buah keluar setelah habis waktu, penggarap tidak berhak atas hasilnya. Akan tetapi, jika akhir waktu musaaqah buah belum matang, penggarap berhak atas bagiannya dan meneruskannya pekerjaaanya.
    Musaaqah dipandang batal jika penggarap meninggal, tetapi tidak dianggap batal jika pemilik meninggal. Penggarap meneruskan pekerjaannya sampai mendapatkan hasilnya. Akan tetapi, jika seorang ahli waris yang mewarisinya pun meninggal, akan menjadi batal.

    d. Menurut Ulama Hanabilah
    Ulama Hanabilah berpendapat bahwa musaaqah sama dengan muzara’ah, yakni termasuk akad yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian setiap sisi dari musaaqah dapat membatalkannya. Jika musaaqah rusak setelah tampak buah, buah tersebut dibagikan kepada pemilik dan penggarap sesuai dengan perjanjian waktu akad.
    Jika penggarap meninggal, musaaqah dipandang tidak rusak, tetapi dapat diteruskan oleh ahli warisnya. Jika ahli waris menolak, mereka tidak boleh dipaksa tapi hakim dapat menyuruh orang lain untuk mengelolanya dan upahnya diambil dari tirkah (peninggalannya). Akan tetapi, jika atidak memiliki tirkah, upah tersebut diambil dari bagian penggarap sebatas yang dibutuhkan sehingga musaaqah sempurna.
    Jika penggarap kabur sebelum penggarapannya selesai ia tidak mendapatkan apa-apa sebab ia dipandang telah rela untuk tidak mendapat apa-apa.
    Apabila ada uzur yang tidak menyebabkan batalnya akad, misalnya penggarap lemah untuk mengelola amanat tersebut, pekerjaannya diberikan kepada orang lain, tetapi tanggung jawabnya tetap di tangan penggarap, sebagaimana pendapat ulama Syafi’iah. Seandainya betul-betul lemah secara menyeluruh, pemilik mengambil alih dan mengambil upah untuknya.
    Ulama Hanabilah pun berpendapat bahwa musaaqah dipandang selesai dengan habisnya waktu. Akan tetapi, jika keduanya menetapkan pada suatu tahun yang menurut kebiasaan akan ada buah, tetapi ternyata tidak, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.
    BAB III
    PENUTUP

    Kesimpulan:
    1. Muzara’ah dan mukhabarah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola, maka disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah, maka disebut muzara’ah.
    2. Yang dimaksud dengan al-musaaqah ialah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya.
    3. Musaqah merupakan persekutuan perkebunan dalam mengembangkan pohon. Pemilik pohon berada di satu pihak dan penggarap pohon di pihak lain. Dengan perjanjian, buah yang dihasilkan untuk kedua belah pihak dibagi sesuai dengan persentase yang disepakati, misalnya setengah, sepertiga, atau lainnya.
    4. Muzara’ah, Mukhabarah dan Musaaqah pada dasarnya dibolehkan demi kebutuhan kedua belah pihak yang berakad. Semua kerja sama yang dibolehkan syara’ berlangsung berdasarkan keadilan dan dalam rangka mewujudkan kebaikan serta menghilangkan kerugian.


    DAFTAR PUSTAKA



    Al-Fauzan, Saleh. 2005. Fiqih Sehari-Hari. terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani Press


    al-Husaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad. 2007. Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Shalih), terj. K.H. Syarifuddin Anwar dan K.H. Mishbah Musthafa. Surabaya: CV. Bina Iman

    Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid (jil. 2). terj. Abu Usamah Fakhtur Rokhman. Jakarta: Pustaka Azzam

    Sabiq, Sayyid. 2007. Fiqih Sunnah, terj. Nor Hasanuddin, Lc. MA., dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara

    Suhendi, Hendi, Drs. M.Si. 2002. Fiqh Muamalah. : PT. RajaGrafindo Persada

    Syafei, Rachmat, Prof. Dr. H. 2000. Fiqh Muamalah. Bandung, Pustaka Setia

    Minggu, 22 Januari 2012

    Bank Syariah VS Bank Konvensional

    Bank Syariah VS Bank Konvensional

    BAB I
    PENDAHULUAN
    Gagasan adanya lembaga perbankan yang beroperasi berdasarkan prinsip syariat Islam berkaitan erat dengan gagasan terbentuknya suatu sistem ekonomi Islam.
    Gagasan mengenai konsep ekonomi Islam secara internasional muncul sekitar dasawarsa 70-an, ketika pertama kali diselenggarakan konferensi Internasional tentang ekonomi Islam di Makkah pada tahun 1976.
    Di antara pemikir-pemikir Islam tersebut terdapa pola kecenderungan yang berbeda-beda, pada dasarnya terdapat dua kelompok kecenderungan yaitu kecenderungan teoretis, dengan memberikan alternatif konsep dan kecenderungan pragmatis dengan mendirikan lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan yang beroperasi berdasarkan prinsip Syariah. Salah satu kecenerungan kelompok kedua tersebut adalah mendirikan Bank-bank Syariah.
    Di dalam perkembangannya, kelompok pragmatis yang lebih tampak keberhasilannya karena jauh sebelum adanya gagasan ekonomi Islam telah diawali dengan suatu upaya untuk mendirikan bank-bank Syariah.
    Pada tahun 1920 di Mesir didirikan bank Syariah yang pertama dengan nama Bank Mesir, kemudian disusul tindakan pemerintah Republik Arab yang menasionalisasikan bank Syariah.
    Lembaga perbankan mengalami perkembangan yang amat pesat dengan lahirnya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan bagi Negara-negara anggota dan masyarakat Muslim pada umumnya.
    Pesatnya perkembangan lembaga perbankan Syariah ini karena Bank Syariah memiliki keistemawaan-keistimewaan. Salah satu keistemawaan yang utama adalah yang melekat pada konsep dengan berorientasi pada kebersamaan. Orientasi kebersamaan itulah yang menjadikan Bank Syariah mampu tampil sebagai alternatif pengganti sistem bunga yang selama ini digunakan oleh bank konvensional. Namun demikian, sebagai lembaga yang keberadaannya masih baru daripada bank-bank konvensional, Bank Syariah menghadapi berbagai permasalahan-permasalahan, baik yang melekat pada aktivitas maupun pelaksananya.
    Pada dasarnya aktivitas bank Syariah tidak jauh berbeda dengan aktivitas bank-bank yang telah ada, perbedaanya selain terletak pada orientasi konsep juga terletak pada konsep dasar operasionalnya yang berlandaskan pada ketentuan-ketentuan dalam Syariah.
    Hal-hal di atas yang berkaitan dengan operasional Bank Syariah, permasalahan-permasalahan dalam opersional Bank Syariah serta perbedaan antara Bank Syariah dan bank konvensional merupakan pokok pembahasan dalam makalah ini yang akan dipaparkan secara lebih jelas lagi pada bagian pembahasan.


    BAB II
    PEMBAHASAN
    A. Falsafah Operasional Bank Syariah
    Setiap lembaga keuangan syariah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah untuk memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, setiap kegitan lembaga keuangan yang dikhawatirkan menyimpang dari tuntunan agama harus dihindari. Berikut adalah falsafah operasional bank syariah:
    1. Menjauhkan diri dari unsur riba,
    2. Menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan dengan mengacu pada al-Quran Surah A-Baqarah ayat 275 dan Annisa ayat 29.
    Berdasarkan kerangka falsafah di atas , maka hal yang mendasar yang membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah terletak pada pengembalian dan pembagian keuntungan yang diberikan oleh nasabah kepada lembaga keuangan dan/atau yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada nasabah sehinga terdapat istilah bunga dan bagi hasil.[1]
    B. Sistem Operasional Bank Syariah
    Pada sistem operasi bank syariah, pemilik dana menanamkan uangnya di bank tidak dengan motif mendapatkan bunga, tapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil. Dana nasabah tersebut kemudian disalurkan kepada mereka yang membutuhkan (misalnya modal usaha), dengan perjanjian pembagian keuntungan sesuai kesepakatan. Sistem operasional tersebut meliputi:

    1. Sistem Bagi Hasil Sebagai Karakteristik Dasar Bank Syariah
    Sistem bagi hasil merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank syariah secara keseluruhan. Secara syariah, prinsipnya berdasarkan kaidah al-mudharabah. Berdasarkan prinsip ini, bank syariah akan berfungsi sebagai mitra, baik dengan penabung maupun dengan pengusaha yang meminjam dana.[2] Terhadap penabung bank syariah bertindak sebagai pengelola, sedangkan penabung bertindak sebagai pemilik dana. Antara keduanya diadakan akad mudharabah yang menyatakan pembagian keuntungan dan kerugian masing-masing pihak.
    Di sisi lain, dengan peminjam dana bank syariah bertindak sebagai pemilik dana. Sementara itu, peminjam dana akan bertindak sebagai pengelola. Meskipun demikian, dalam perkembangannya, para pengguna dana bank syariah tidak hanya membatasi dirinya pada satu akad, yaitu mudharabah saja. Sesuai dengan jenis usahanya, mereka ada yang memperoleh dana dengan sistem perkongsian, sistem jual beli, sewa-menyewa, dan lain-lain. Oleh karena itu hubungan bank syariah dengan nasabahnya menjadi sangat kompeks karena tidak hanya berurusan dengan satu akad, namun berbagai jenis akad.
    2. Sistem Penghimpunan Dana Bank Syariah
    a. Modal
    Modal adalah dana yang diserahkan oleh para pemilik. Pada akhir periode tahun buku, setelah dihitung keuntungan yang diapat pada tahun tersebut, pemmilik modal akan memperoleh bagian dari hasil usaha yang biasa dikenal dengan deviden. Dana modal dapat digunakan untuk pembelian gedung, tanah, perlengkapan dan sebagainya yang secara langsung tidak menghasilkan. Selain itu, modal juga dapat digunakan untuk hal-hal yang produktif, yaitu disalurkan menjadi pembiayaan. Pembiayaan yang berasal dari moda, tidak dibagikan kepada pemilik dana lainnya.[3]
    Mekanisme penyertaan modal pemegang saham dalam perbankan syariah, dapat dilakukan melalui musyarakah fi sahm asy-syarikah atau equity participation pada saham perseroan bank.
    b. Titipan
    Salah satu prinsip yang digunakan bank syariah dalam memobilisasi dana adalah prinsip titipan. Adapun akad yang sesuai dengan prinsip ini ialah al-wadi’ah. Dalam prinsip ini, bank menerima titipan dari nasabah dan bertanggung jawab penuh atas titipan tersebut. Nasabah sebagai penitip berhak untuk mengambil setiap saat, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.[4] Secara umum terdapat dua jenis al-wadi’ah yaitu wadi’ah yad al-amanah dan wadi’ah yad adh-dhamanah.
    c. Investasi
    Prinsip lain yang digunakan adalah prinsip investasi. Akad yang sesuai dengan prinsip ini adalah mudharabah. Tujuan dari mudharabah adalah kerja sama antara pemilik dana dan pengelola dana.[5]


    3. Sistem Pembiayaan Bank Syariah
    Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal berikut.
    a. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memnuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.[6]
    Menurut Abdul Gafoor, pembiayaan konsumsi terdiri dari mark-up, leasing, hire-purchase, sell-and-buy-back, dan letters of credit.
    Disebut mark-up apabila pihak bank membeli barang yang diinginkan klien dengan kesepakatan bahwa klien setuju untuk membayar barang itu beserta keuntungannya kepada bank. Leasing; dimana bank membeli barang yang diinginkan klien dan menyewakannya kepada klien dengan periode yang disepakati bersama. Di akhir periode, klien membayar selisih harga yang disepakati di awal periode kepada bank untuk menjadi pemilik barang tersebut. Skema hire-purchase hampir sama dengan leasing. Bedanya klien hanya membayar sewa dengan periode tertentu yang telah disepakati dan pada akhir periode, klien secara otomatis menjadi pemilik barang tersebut. Jika klien menjual salah satu barang miliknya kepada bank dengan harga yang disepakati bersama dengan syarat ia akan membeli kembali barang itu setelah periode tertentu dengan harga yang telah disepakati. Skema ini dinamakan sell-and-buy-back. Letters of credit adalah skema dimana bank menggaransi atau menjamin impor suatu barang dengan dananya sendiri untuk pihak klien, lalu kedua pihak berbagi keuntungan dari hasil penjualan barang tersebut.[7]
    b. Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi.
    Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua hal berikut.
    1.) Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan yang memenuhi kebutuhan: (a) meningkatkan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi, dan (b) untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.[8]
    Unsur-unsur modal kerja terdiri atas alat likuid, piutang dagang, dan persediaan yang terdiri atas persediaan bahan baku, persediaan barang dalam proses, dan persediaan barang jadi. Oleh karena itu, pembiayaan modal kerja merupakan salah satu atau kombinasi dari pembiayaan likuiditas, pembiayaan piutang, dan pembiayaan persediaan.
    Bank syariah dapat membantu memenuhi kebutuhan modal kerja tersebut bukan dengan meminjamkan, melainkan dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah, di mana bank bertindak sebagai penyandang dana, sedangkan nasabah sebagai pengusaha. Skema pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharabah. Fasilitas ini dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara periodik dengan nisbah yang disepakati. Setelah jatuh tempo, nasabah mengembalikan jumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasi yang menjadi bagian bank.
    Menurut Abdul Gafoor, pembiayaan modal kerja terdiri dari: pinjaman dengan ongkos pelayanan (loans with a service charge), pinjaman tanpa ongkos (no-cost loans), dan overdrafts.
    Pinjaman dengan ongkos pelayanan adalah pinjaman yang diberikan bank tanpa bunga, namun untuk menutupi pengeluarannya, bank menetapkan ongkos pelayanan. Penetapan ongkos pelayanan maksimal dilakukan oleh pihak yang berwenang (pemerintah). Pinjaman tanpa ongkos dan overdrafts diberikan bank kepada golongan ekonomi lemah seperti petani kecil, wiraswasta, produsen kecil, dan sebagainya. Dana pinjaman ini diperoleh dengan menyisihkan sebagian pendapatan bank.[9]
    2.) Pembiayaan investasi adalah pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu. Pembiayaan investasi diberikan kepada para nasabah untuk keperluan investasi, yaitu keperluan penambahan modal guna mengadakan rahabilitasi, perluasan usaha, ataupun pendirian proyek baru. Ciri-ciri pembiyaan investasi adalah:
    · Untuk pengadaan barang-barang modal;
    · Mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan terarah;
    · Berjangka waktu menengah dan panjang.
    Pada bank syariah, pembiayaan investasi menggunakan skema musyarakah mutanaqishah. Dalam hal ini, bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan. Secara bertahap, bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih kembali, baik dengan menggunakan surplus cashflow yang tercipta maupun dengan menambah modal, baik yang berasal dari setoran pemegang saham yang ada maupun dengan mengundang pemegang saham baru.[10]
    Syarat-Syarat Administratif Memperoleh Pembiayaan
    Seperti juga dalam perbankan konvensional, perbankan syariah menetapkan syarat-syarat umum untuk sebuah pembiayaan, yaitu sebagai berikut:
    · Surat permohonan tertulis, dengan dilampiri proposal yang memuat (antara lain) gambaran umum usaha, rencana atau prospek usaha, rincian dan rencana penggunaan dana, jumlah kebutuhan dana, dan jangka waktu pengguanaan dana.
    · Legalitas usaha, seperti identitas diri, akta pendirian usaha, surat izin umum perusahaan, dan tanda daftar perusahaan.
    · Laporan keuangan, sepeti neraca laporan laba rugi, data persediaan terakhir, data penjualan dan fotokopi rekening bank.[11]


    C. Permasalahan Bank Syariah di Dalam Operasionalnya
    Sebagai lembaga keuangan baru yang muncul lebih belakangan daripada bank-bank konvensional, bank syariah menghadapi berbagai permasalahan dalam operasionalnya yang juga merupakan tantangan tersendiri bagi bank syariah.
    Permasalahan-permasalahan operasional yang dihadapi oleh bank syariah adalah:
    1. Hubungan kerjasama antara pengelola bank dan nasabah yang hanya didasari dengan kepercayaan menimbulkan permasalahan dalam hal manajemen dan administrasi.[12]
    2. Sistem bagi hasil yang adil menuntut profesionalisme pengelola bank yang tinggi, sedangkan pengelola yang profesional merupakan persoalan yang belum terpecahkan bahkan dalam perbankan konvensional yang kelahirannya lebih lama.[13]
    3. Semakin banyaknya umat Islam yang memanfaatkan fasilitas bank syariah , sementara belum tersedia proyek yang bisa dibiayai sebagai akibat dari tenaga-tenaga profesional yang siap pakai, maka bank Syariah akan menghadapi masalah kelebihan likuiditas.[14]
    4. Salah satu misi bank syariah adalah mengurangi kemiskinan yang sebagian besar terdapat di daerah pedesaan. Ini berarti bank harus menjaring nasabah sebesar-besarnya di pedesaan. Dalam hal ini bank syariah menghadapi masalah sebagai berikut: (a) kebiasaan masyarakat desa yang masih puas menyimpan uang sendiri dan kebiasaan meminjam uang kepada sesame warga, dan (b) tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakat yang relatif rendah, padahal pendapatan bank syariah deengan sistem bagi hasil tergantung dari keberhasilan usaha nasabah. [15]
    5. Pengenaan pajak berganda pada beberapa produk bank syariah mengakibatkan produk bank syariah lebih mahal daripada produk bank konvensional. Misalnya produk murabahah yang dalam pandangan Direktorat jenderal Pajak merupakan transaksi ganda sehingga dikenakan pajak berganda.[16]
    D. Perbedaan Antara Bank Syariah dan Bank Konvensional
    1. Akad dan Aspek Legalitas
    Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan atau perjanjjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hokum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti.
    Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut.
    a. Rukun, Seperti:
    - Penjual
    - Pembeli
    - Barang
    - Harga
    - Ijab/qabul.
    b. Syarat, Seperti syarat berikut.
    - Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hokum syariah.
    - Harga barang dan jasa harus jelas.
    - Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena berkaitan dengan biaya transportasi.
    - Barang yang ditransaksikan harus ssepenuhnya dalam kepemilikan.[17]
    2. Lembaga Penyelesai Sengketa
    Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya diperadilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata dan cara hukum materi syariah.
    Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama BadanArbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI yang didirikan secara bersama oleh Kebijaksanaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.
    3. Struktur Organisasi
    Bank syariah dapat memiliki struktur organisasi yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antar bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi opersional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.[18]
    a. Dewan Pengawas Syariah
    Tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha bank agar tidak menyimpang dari ketentuan dan prisnip syariah yang telah difatwakan oleh DSN. Selain itu DPS juga mempunyai fungsi : (1) sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan Unit Usaha Syariah dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syariah.
    (2) Sebagai mediator antara bank dan DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari bank yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN. (3) Sebagai perwakilan DSN yang ditempatkan pada bank. DPS wajib melaporkan kegiatan usaha serta perkembangan bank syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun. Bank yang akan membentuk DPS dalam rangka perubahan kegiatan usaha atau membuka kantor cabang syariah untuk pertama kalinya dapat menyampaikan permohonan penempatan anggota DPS kepada DSN.[19]
    Tugas lain Dewan Pengawas Syariah ialah meneliti dan membuat rekomendasi produk baru yang diawasinya. Dengan demikian, dewan Pengawas Syariah bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu produk diteliti kembali difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.[20]

    b. Dewan Syariah Nasional
    Anggota DSN terdiri dari para ulama, praktisi dan pakar dalam bidang-bidang yang terkait dengan perekonomian dan syariah muamalah. Anggota DSN ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4 tahun. DSN merupakan satu-satunya badan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia.[21]
    Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan member fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Produk-produk baru tersebut harus diajukan oleh manajemen setelah direkomendasikan oleh Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan.[22]
    4. Bisnis Dan Usaha Yang Dibiayai
    Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan.[23]
    5. Lingkungan Kerja dan Corporate Culture
    Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik.[24]
    6. Perbandingan Antara Bank Syariah dan Konvensional
    BANK ISLAM

    BANK KONVENSIONAL
    1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja.
    2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual-beli atau sewa.
    3. Profit dan falah oriented.
    4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan.
    5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah.

    1. Investasi yang halal dan haram.

    2. Memakai perangkat bunga.

    3. Profit oriented.
    4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitur-debitur.
    5. Tidak terdapat dewan sejenis.[25]

    BAB III
    SIMPULAN
    Secara garis besar ada tiga macam sistem operasional bank syariah, yaitu sistem bagi hasil sebagai karakteristik dasar bank syariah, sistem penghimpunan dana, dan sistem pembiayaan.
    Pada sistem bagi hasil, prinsip yang digunakan adalah prinsip al-mudharabah dimana pada prinsip ini bank syariah berfungsi sebagai mitra, baik bagi penabung maupun bagi pengusaha sebagai peminjam dana.
    Sistem penghimpunan dana bank syariah terdiri atas tiga, yaitu: modal, titipan dan investasi. Berbeda dengan bank konvensional, bank syariah tidak melakukan pendekatan tunggal dalam menyediakan produk penghimpunan dana bagi nasabahnya. Misalnya pada tabungan, bebrapa bank memperlakukannya seperti giro, sementara itu ada pula yang memperlakukannya seperti deposito.
    Sistem pembiayaan bank syariah terbagi kepada dua, yaitu: pembiayaan produktif dan pembiayaan konsumtif. Pembiayaan produktif ialah pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi. Sedangkan pembiayaan konsumtif ialah pembiayaan yang digunakan untuk memnuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.




    DAFTAR PUSTAKA
    · Muhammad. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMKP YKPN.
    · Syafi’I Antonio , Muhammad. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani. 2001.
    · http://id.shvoong.com/business-management/investing/2047567-sistem-operasional-bank-syariah/
    · Gafoor , Abdul. Interest-Free Commercial Banking. 1995
    · Fadil. Tinjauan Pustaka: Sistem Pembiayaan Pada Bank Syariah. http://fazilet.blogspot.com. 13-10-2010.
    · Sumitro, Warkum. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, takaful, dan pasar modal syariah) di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004.
    · Arifin, Zainul. Pola Manajemen Bank Syariah. http://shariahlife.wordpress.com. 01-10-2010.
    · Amin, A. Riawan. Menata Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta: UIN Press. 2009.


    [1] Muhammad. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. (Yogyakarta: UPP AMKP YKPN) hlm. 2
    [2] Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. (Jakarta: Gema Insani. 2001). hlm. 137
    [3] Muhammad Syafi’I Antonio. Ibid. hlm. 146-147
    [4] http://id.shvoong.com/business-management/investing/2047567-sistem-operasional-bank-syariah/
    [5] Syafi’I Antonio, Muhammad. Op Cit. hlm. 150
    [6] Ibid. hlm. 160
    [7] Abdul Gafoor. Interest-Free Commercial Banking. 1995. Hlm. 43-44
    [8] Muhammad Syafi’I Antonio. Op Cit. hlm. 160
    [9] Fadil. Tinjauan Pustaka: Sistem Pembiayaan Pada Bank Syariah. http://fazilet.blogspot.com. 13-10-2010.

    [10] Muhammad Syafi’I Antonio. Op Cit. hlm. 167
    [11] Ibid. hlm. 171
    [12] Warkum Sumitro. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, takaful, dan pasar modal syariah) di Indonesia. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004). Hlm. 27-28
    [13] Ibid, hlm. 28
    [14] Ibid, hlm. 28-29
    [15] Ibid, hlm. 29
    [16] A. Riawan Amin. Menata Perbankan Syariah di Indonesia. (Jakarta: UIN Press. 2009) hlm. 166
    [17] Syafi’I Antonio, Muhammad. Op Cit. hlm. 29-30
    [18] Ibid. hlm. 30
    [19] Zainul Arifin. Pola Manajemen Bank Syariah. http://shariahlife.wordpress.com. 01-10-2010.
    [20] Muhammad Syafi;I Antonio. Op Cit. hlm. 31
    [21] Zainul Arifin. Pola Manajemen Bank Syariah. http://shariahlife.wordpress.com. 01-10-2010.
    [22] Muhammad Syafi’I Antonio. Op Cit. hlm. 32
    [23] Ibid. hlm. 33
    [24] Ibid. hlm. 34
    [25] Ibid.

    Surat An-Nisa’, Satu Bukti Islam Memuliakan Wanita

    Surat An-Nisa’, Satu Bukti Islam Memuliakan Wanita

    Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah?

    Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6)

    Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.

    1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.

    Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:

    يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً

    “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)

    Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)

    Dalam hadits shahih disebutkan:

    إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ

    “Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)

    Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)

    2. Dijaganya hak perempuan yatim.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا

    “Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)

    Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat:

    وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ

    “Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)

    Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain:

    وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

    “Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)

    Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)

    Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

    وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

    Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)

    Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

    أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.

    “Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)

    3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

    “Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)

    Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:

    وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

    “Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)

    Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”

    Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)

    Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.

    4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

    “Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

    5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

    “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)

    Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:

    يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا

    “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)

    Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)

    Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)

    Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:

    يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ

    “Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)

    Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)

    6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

    “Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)

    Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:

    وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

    “Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

    خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

    “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)

    7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

    “Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

    Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”

    Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

    Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

    “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

    Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)

    8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا. وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

    “Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21)

    9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ

    “Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)

    Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

    Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

    “(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)

    Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

    Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufik.

    Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

    Footnote:

    1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma adalah saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
    2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.

    (Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 38/1429H/2008, Kategori: Niswah, hal. 80-85. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=617

    KHIYAR (HAK PILIH)

    KHIYAR (HAK PILIH)
    Secara etimologi, khiyar artinya: Memilih, menyisihkan, dan menyaring. Secara umum artinya adalah menentukan yang ter-baik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi.
    Secara terminologis dalam ilmu fiqih artinya: Hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya.
    MACAM-MACAM HAK PILIH
    [1]. Hak Pilih Di Lokasi Perjanjian (Khiyarul Majlis)
    Yakni semacam hak pilih bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk membatalkan perjanjian atau melanjutkannya selama belum beranjak dari lokasi perjanjian. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Penjual dan pembeli memiliki kebebasan memilih selama mereka belum beranjak dari lokasi transaksi.?
    Dalil
    البيعان باالخيار ما لم بتفرقا
    Dua orang yang berjual beli boleh memilih selama ke2nya belum berpisah ( dari tempat akad ).
    Khiyar majelis gugur dengan 2 syarat :
    a. Keduanya (pembeli dan penjual) memilih untuk meneruskan akad. Apabila salah satu dari keduanya memilih terusnya akad, gugulah khiyar dari pihak dia, tetapi hak yang lain masih tetap.
    b. Keduanya terpisah dari tempat jual beli. Arti berpisah ialah menurut kebiasaan. Apabila adat telah menghukum bahwa keadaan keduanya sudah berpisah. Tetaplah jual-beli antara keduanya; kalau adat mengatakan belum berpisah, maka masih terbuka pintu khiyar antara keduanya. Jika keduanya berselisih , misalnya seorang diantara mereka mengatakan sudah berpisah sedangkan yang lain mengatakan belum, hendaklah dibenarkan yang mengatakan belum dengan sumpahnya, karena pada asalnya belum berpisah.
    [2]. Hak Pilih Dalam Persyaratan (Khiyar asy-Syarth)
    Yakni persyaratan yang diminta oleh salah satu dari pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian, atau diminta masing-masing pihak untuk dirinya sendiri atau untuk pihak lain, untuk diberikan hak menggagalkan perjanjian dalam jangka waktu tertentu.
    Dasar disyariatkannya hak pilih ini adalah hadits Habban bin Munqidz. Ia sering kali tertipu dalam jual beli karena ketidak-jelasan barang jualan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kepadanya hak pilih. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Kalau engkau membeli sesuatu, katakanlah, ‘Tidak ada penipuan’.” [Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab al Buyu'; bab: Penipuan yang dilarang dalam jualbeli, nomor 2117. Juga dalam kitab al Hiyal, nomor 4964. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al Buyu bab:orang yang tertipu dalam jual beli, nomor:1533]]
    Hak pilih ini juga bisa dimiliki oleh selain pihak-pihak yang sedang terikat dalam perjanjian menurut mayoritas ulama demi merealisasikan hikmah yang sama dari disyariatkannya persyaratan hak pilih bagi pihak-pihak yang terikat tersebut. Pendapat ini ditentang oleh Zufar dan Imam Asy-Syafi’i dalam salah satu pendapat beliau. Namun pendapat mayoritas ulama dalam persoalan ini lebih tepat.
    Hak pilih persyaratan masuk dalam berbagai perjanjian permanen yang bisa dibatalkan. Nikah, thalaq, khulu’ dan sejenisnya tidak menerima hak pilih yang satu ini, karena semua akad tersebut secara asal tidak bisa dibatalkan.
    Khiyar syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual-beli terkecuali barang yang wajib diterima di tempat jual-beli, seperti barang-barang riba (emas, perak, dan makanan yang mengenyangkan atau yang berguna untuk yang mengenyangkan seperti garam). Maka khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam , terhitung dari waktu akad. Rosululloh Sholallohu 'alaihi wasallam bersabda:
    أَنْتَ بِالْخِيَارِ فِيْ كُلِّ سِلْعَةٍ ابْتَعْتَهَا ثَلَاثَ لَيَالٍ

    "Engkau boleh khiyar pada segala macam barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam" (HR.Baihaqi dan Ibnu Majah)

    Barang yang terjual itu sewaktu dalam masa khiyar kepunyaan orang yang mensyaratkan khiyar kalau yang hanya salah seorang dari mereka, tetapi kalau kedua-keduanya mensyaratkan khiyar maka barang itu terhenti saja dahulu (tidak dipunyai oleh seoran gdari keduanya). Jika jual beli sudah tetap terusnya, barulah diketahui bahwa barang itu kepunyaan pembeli mulai dari masa akad, tetapi kalau jual beli tidak terus, barang tetap kepunyaan si penjual. Untuk meneruskan jual beli atau tidaknya hendaklah dengan lafadz yang jelas menunjukkan terus atau tidaknya jual beli.

    [3]. Hak Pilih Melihat (Khiyar ar-Ru’yah)
    Maksudnya adalah hak orang yang terikat perjanjian usaha yang belum melihat barang yang dijadikan objek perjanjian untuk menggagalkan perjanjian itu bila ia melihatnya (dan tidak ber-kenan).
    Untuk keabsahan hak pilih ini, dipersyaratkan dua hal: Yang menjadi objek perjanjian hendaknya merupakan benda tertentu, seperti rumah, mobil dan sejenisnya. Kedua, hendaknya benda itu memang belum dilihat saat akad.
    Hak pilih melihat ini memang masih diperselisihkan oleh para ulama berdasarkan perselisihan mereka terhadap boleh tidaknya menjual barang-barang yang tidak terlihat wujudnya. Sebagian ulama membolehkannya secara mutlak. Ada juga yang justru melarangnya secara mutlak. Sebagian ulama ada yang membolehkan dengan satu persyaratan, dan bila tanpa persyaratan itu mereka melarangnya.
    [4]. Hak Pilih Karena Cacat Barang (Khiyar Aib)
    Hak pilih ini dimiliki oleh masing-masing dari pihak-pihak yang terikat perjanjian untuk menggagalkan perjanjian tersebut bila tersingkap adanya cacat pada objek perjanjian yang sebelumnya tidak diketahui.
    Oleh sebab itu disyariatkan hak pilih terhadap cacat, sehingga bisa mengantisipasi adanya cacat yang menghilangkan kerelaan.
    Cacat yang bisa ditolak dengan hak pilih ini adalah cacat yang bisa mengurangi harga barang di kalangan para pedagang. Yang menjadi barometer di sini tentu saja orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan barang tersebut. Juga dipersyaratkan bahwa cacat itu sudah ada sebelum serah terima, dan hendaknya orang yang melakukan perjanjian tidak mengetahui cacat itu. Persyaratan ini sudah dapat dimaklumi secara aksio-matik.
    Hak pilih terhadap cacat ini memberikan hak kepada orang yang terikat perjanjian untuk melanjutkan perjanjian tersebut atau membatalkannya.
    Tetapi kalau orang tersebut sudah rela dengan adanya aib itu secara terus terang atau ada indikasi ke arah hal itu, maka hak pilih itu dengan sendirinya gugur.
    [5]. Hak Pilih Menentukan Objek Perjanjian Usaha
    Artinya, hak bagi pembeli atau penjual untuk memilih dengan konsekuensi persyaratan dalam perjanjian usaha yang akan dilakukannya, untuk menentukan satu dari dua atau tiga objek yang sama nilai atau harganya. Perjanjian itu berlaku pada salah satu dari dua atau tiga objek itu saja, dan salah satu dari pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut berhak memilihnya.
    Hak ini masih diperdebatkan juga oleh para ulama. Mayoritas ulama melarangnya, karena ketidakjelasan objek perjanjian, sehingga ibarat menjual kucing dalam karung yang itu jelas meru-sak perjanjian tersebut. Abu Hanifah membolehkan sistem ini dalam keadaan mendesak atau karena sudah menjadi kebiasaan, dengan catatan bahwa ketidakjelasan objek perjanjian itu tidak menyebabkan terjadinya pertikaian.
    Keabsahan hak pilih ini bagi yang membenarkannya, membutuhkan tiga syarat:
    1. Pilihan itu hendaknya terhadap tiga macam objek atau kurang, karena itu yang menjadi kebutuhan. Bila lebih dari itu, jelas tidak sesuai dengan kebutuhan dan tidak ada alasan untuk melakukannya.
    2. Adanya perbedaan antara ketiga objek tersebut dengan penjelasan harga masing-masing barang. Adanya perbedaan itu untuk menepis adanya ketidakseriusan dalam memilih. Sementara penjelasan harga itu untuk menepis ketidakjelasan objek yang menimbulkan perselisihan.
    3. Pembatasan waktu. Abu Hanifah memberi persyaratan agar tidak lebih dari tiga hari, dianalogikan dengan hak pilih persyaratan. Namun kedua sahabat beliau lebih memilih semata-mata dibatasi waktunya saja, meskipun lebih dari tiga hari.
    Mereka yang membolehkan hak pilih ini juga berbeda pendapat, apakah dalam hak pilih ini juga dipersyaratkan adanya khiyar syarth? Yakni dengan cara salah satu yang terikat perjanjian menetapkan syarat bagi dirinya untuk bisa menetapkan batasan waktu, dan hendaknya ia diberikan hak membatalkan perjanjian dalam jangka waktu tertentu, sehingga ia diberi pilihan antara memilih objek atau membatalkan. Atau tidak ada persyaratan demikian? Sehingga ia hanya memiliki kesempatan memilih atau menetapkan batasan waktu saja, namun tidak berhak menolak seluruhnya? Sedangkan mayoritas dalam madzhab ini mereka memilih pendapat terakhir ini.
    CACAT DALAM PERJANJIAN USAHA
    Ketika melakukan sebuah perjanjian usaha terkadang perjanjian itu diselimuti beberapa cacat yang bisa menghilangkan kerelaan sebagian pihak, atau menjadikan perjanjian itu tidak memiliki sandaran ilmu yang benar. Maka pada saat itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan, perjanjian. Gambaran cacat itu dapat dipaparkan sebagai berikut:
    PERTAMA : INTIMIDASI
    Yakni mengintimidasi pihak lain untuk melakukan ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan dan ancaman.
    Intimidasi itu terbukti dengan hal-hal berikut:
    1. Pihak yang mengintimidasi hendaknya mampu melaksanakan ancamannya.
    2. Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan dilaksanakan terhadapnya.
    3. Kalau salah satu dari dua hal ini apalagi kedua-duanya tidak ada, maka intimidasi itu dianggap main-main, tidak berpengaruh sama sekali.
    Para ahli fiqih telah bersepakat bahwa berbagai kegiatan finansial yang didasari oleh suka sama suka, seperti jual beli dan sejenisnya tidak dianggap sah bila dilakukan di bawah intimidasi. Namun apakah semua kegiatan itu dibolehkan setelah hilangnya intimidasi atau tidak? Yakni apabila muncul kerelaan setelah sebelumnya diintimidasi, apakah bisa dibenarkan atau tidak? Ada perbedaan pendapat di kalangan alim ulama. Mayoritas ulama melarangnya, sementara Abu Hanifah membolehkannya.
    KEDUA : KEKELIRUAN.
    Cacat ini berkaitan dengan objek perjanjian usaha tertentu. Yakni dengan menggambarkan objek perjanjian dengan satu gambaran tertentu, ternyata yang tampak berkebalikan. Seperti orang yang membeli perhiasan berlian, ternyata dibuat dari kaca. Atau orang yang membeli pakaian dari sutera, ternyata hanya dibuat dari katun.
    Kekeliruan itu sendiri ada dua macam:
    1. Kekeliruan yang berkonsekuensi batalnya perjanjian yang dilakukan, yakni yang perbedaannya kembali kepada perbedaan jenis objek perjanjian, atau perbedaan menyolok pada fasilitas yang menjadi objek, seperti perbedaan antara emas dengan tembaga, atau antara hewan sembelihan dengan bangkai pada perjanjian jual beli daging.
    2. Kekeliruan yang bukan pada perbedaan jenis atau perbedaan fasilitas yang menyolok, seperti orang yang membeli hewan jantan, ternyata hewannya betina, atau sebaliknya. Kekeliruan ini tidaklah membatalkan perjanjian tersebut, akan tetapi pihak yang dirugikan berhak untuk membatalkannya.
    KETIGA : GHUBN (PENYAMARAN HARGA BARANG)
    Ghubn secara bahasa artinya adalah pengurangan. Dalam terminologi ilmu fiqih, artinya adalah pengurangan pada salah satu alat kompensasi, atau barter antara dua alat kompensasi dianggap tidak adil karena tidak sama antara yang diberi dengan yang diterima. Seperti orang yang menjual rumah seharga sepuluh juta padahal hartanya hanya delapan juta. Dari pihak orang yang melakukan penyamaran harga, berarti memindahkan kepemilikan barang dengan kompensasi lebih dari harga barang. Sementara dari pihak yang menjadi korban penyamaran harga barang, memiliki barang dengan harga lebih mahal dari harga sesungguhnya barang tersebut.
    Penyamaran harga barang itu sendiri menurut kalangan ahli fiqih ada dua macam : Penyamaran berat dan penyamaran ringan.
    Penyamaran Ringan : Yakni penyamaran pada harga barang yang tidak sampai mengeluarkannya dari harga pasaran, yakni harga yang diperkirakan oleh orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan.
    Penyamaran Berat Yakni yang sampai mengeluarkan barang dari harga pasarannya. Penyamaran harga barang semacam ini tentu saja membatalkan perjanjian yang subjeknya adalah sebagai harta waqaf atau harta orang yang dicekal, atau harta Baitul Mal, karena pengoperasian harta-harta semacam ini harus berada dalam lingkaran kemaslahatan harta tersebut.
    Adapun dalam perjanjian-perjanjian usaha lain, masih diperselisihkan pengaruh penyamaran berat ini terhadapnya. Ada tiga pendapat yang popular :
    1. Penyamaran harga semacam itu tidak ada pengaruhnya sama sekali, demi menjaga kepentingan berlangsungnya perjanjian usaha yang dilakukan dan menjaganya agar tidak batal. Karena orang yang menjadi korban penyamaran harga barang itu tidak lepas dari sikap teledor dan terburu-buru. Untuk itu ia juga harus menanggung akibat perbuatannya itu.
    2. Orang yang menjadi korban penyamaran harga barang itu berhak membatalkan perjanjian, untuk melepaskan sikap semena-mena terhadap dirinya.
    3. Penyamaran harga barang ini bisa dimasukkan hitungan bila tujuannya adalah penipuan dari satu pihak, pihak yang menjadi korban berhak membatalkannya. Kalau tidak dengan niat menipu pembeli, maka tidak ada pengaruh apa-apa. Kemungkinan inilah pendapat yang paling pas dari semua pendapat di atas.