Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

wibiya widget

My Blog List

flag counter

daftar menu

Loading...
Tag this on nabtag

twiter

Recent Comments

google seacrh


  • Web
  • alwafaalmuttaqiin
  • buku tamu

    google translite


    clock

    Voting

    My Ballot Box
    Bagaimana Menurutmu blog ku ni ?







    wibiya widget

    Rabu, 28 Desember 2011

    SEJARAH AL-QUR'AN

    Sejarah Turunnya Al Qur’an (17 Ramadhan)
    Pada tanggal 17 ramadhan, umat muslim di berbagai dunia memperingati Nuzulul Qur’an. Yaitu memperingati turunnya Al Qur’an . berbicara mengenai kapan diturunkan Al qur’an , Al qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan . Dasarnya yaitu surat Al Baqarah ayat 185. Namun jika ditinaju lebih jauh lagi tanggal berapa Al Qur’an itu diturunkan? Maka ada 2 pendapat yang beredar .
    1. Al qur’an diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan , ini ada landasannya yaitu surat (Al-Anfal : 41 ).”
    ………………kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari al-Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan……”.
    Yang dimaksud dengan hari al-Furqan ialah hari bertemunya pasukan Muslimin dan Musyrikin dalam perang Badar pada hari Jum’at 17 Ramadhan tahun kedua Hijrah. Dan hari al-Furqan itu merupakan hari permulaan turunnya al-Qur’an kepada Nabi.Ini lah dasarnya umat muslim yang menetapkan Al qur’an turun pada tgl 17 Ramadhan
    2. Al Qur’an diturunkan pada tanggal 27 Ramadhan , ini juga ada landasannya yaitu surat (Al-Qadr: 1)
    “Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Alqur’an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadr)”
    Rasulullah Saw. pernah mengabarkan tentang kapan akan datangnya malam Lailatul Qadr.Beliau bersabda: “Carilah malam Lailatul Qadr di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan” (HR. Bukhari dan Muslim); dalam Hadis yang lain juga dijelaskan: “Berusahalah untuk mencarinya pada sepuluh hari terakhir, apabila kalian lemah atau kurang fit, maka jangan sampai engkau lengah pada tujuh hari terakhir” (HR. Bukhori dan Muslim). Berdasarkan hadis di atas, diketahui bahwa Lailatul Qadr terjadi pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan yaitu pada malam-malam ganjilnya 21, 23, 25, 27 atau 29 Ramadhan.Dan banyak ulama yang berijtihad bahwa lailatul qadar pada malam ke 27. Ini yang menjadi landasan pendapat ke 2, di mesir setiap tgl 27 Ramadhan ada peringatan secara resmi.
    Berdasarkan pendapat diatas mana yang benar? ternyata kedua – dua nya benar dan mempunyai landasan yang kuat. Yang terpenting bagi kita , kita tetap berpegang teguh pada Al Qur’an sebagai petunjuk hidup kita dan terus menggali ilmu yang ada dalam Al Qur’an. Al qur’an sejak diturunkan sampai sekarang tetap tidak ada penambahan atau perbaikan .Semoga kita termasuk orang yang berpegang teguh pada Al Qur’an .















    Apakah itu al-Quran.
    "Quran" menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr. Subhi Al Salih berarti "bacaan", asal kata qara’a. Kata Al Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf’ul yaitu maqru’ (dibaca).
    Di dalam Al Qur’an sendiri ada pemakaian kata "Qur’an" dalam arti demikian sebagal tersebut dalam ayat 17, 18 surah (75) Al Qiyaamah:
    Artinya:
    ‘Sesungguhnya mengumpulkan Al Qur’an (didalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggunggan kami. kerana itu jika kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikut bacaannya".
    Kemudian dipakai kata "Qur’an" itu untuk Al Quran yang dikenal sekarang ini.
    Adapun definisi Al Qur’an ialah: "Kalam Allah s.w.t. yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah"
    Dengan definisi ini, kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad s.a.w. tidak dinamakan Al Qur’an seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. atau Injil yang diturun kepada Nabi Isa a.s. Dengan demikian pula Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadis Qudsi, tidak pula dinamakan Al Qur’an.
    Bagaimanakah al-Quran itu diwahyukan.
    Nabi Muhammad s.a.w. dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara dan keadaan. di antaranya:
    1, Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi s.a.w. tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada saja dalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi mengatakan: "Ruhul qudus mewahyukan ke dalam kalbuku", (lihat surah (42) Asy Syuura ayat (51).
    2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.
    3. Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya loceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin yang sangat. Kadang-kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu itu turun ketika beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit: "Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras dan keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa".
    4. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki seperti keadaan no. 2, tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini tersebut dalam Al Qur’an surah (53) An Najm ayat 13 dan 14.
            
    13. Dan Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,
    14. (yaitu) di Sidratil Muntaha[1430].
    [1430] Sidratul Muntaha adalah tempat yang paling tinggi, di atas langit ke-7, yang telah dikunjungi Nabi ketika mi'raj.

    Hikmah diturunkan al-Quran secara beransur-ansur
    Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Hikmah Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur itu ialah:
    1. Agar lebih mudah difahami dan dilaksanakan. Orang tidak akan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dan riwayat ‘Aisyah r.a.
    2. Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan permasalahan pada waktu itu. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya Al Qur’an diturunkan sekaligus. (ini menurut pendapat yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh).
    3. Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
    4. Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang telah menayakan mengapa Al Qur’an tidak diturunkan sekaligus. sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an ayat (25) Al Furqaan ayat 32, yaitu:
    • mengapakah Al Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekaligus
    • Kemudian dijawab di dalam ayat itu sendiri:
    • demikianlah, dengan (cara) begitu Kami hendak menetapkan hatimu
    5. Di antara ayat-ayat ada yang merupakan jawaban daripada pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan, sebagai dikatakan oleh lbnu ‘Abbas r.a. Hal ini tidak dapat terlaksana kalau Al Qur’an diturunkan sekaligus.

    Ayat Makkiyah dan ayat Madaniyah
    • Ditinjau dari segi masa turunnya, maka Al Qur’an itu dibahagi atas dua golongan:
    1.• Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah atau sebelum Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Makkiyyah.
    2. Ayat-ayat yang diturunkan di Madinah atau sesudah Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Madaniyyah.
    Ayat-ayat Makkiyyah meliputi 19/30 dari isi Al Qur’an terdiri atas 86 surah, sedang ayat-ayat Madaniyyah meliputi 11/30 dari isi Al Qur’an terdiri atas 28 surah.
    Perbezaan ayat-ayat Makiyyah dengan ayat-ayat Madaniyyah ialah:
    1. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya pendek-pendek sedang ayat-ayat Madaniyyah panjang-panjang; surat Madaniyyah yang merupakan 11/30 dari isi Al Qur’an ayat-ayatnya berjumlah 1,456, sedang ayat Makkiyyah yang merupakan 19/30 dari isi Al Qur’an jumlah ayat-ayatnya 4,780 ayat.
    Juz 28 seluruhnya Madaniyyah kecuali ayat (60) Mumtahinah, ayat-ayatnya berjumlah 137; sedang juz 29 ialah Makkiyyah kecuali ayat (76) Addahr, ayat-ayatnya berjumlah 431. Surat Al Anfaal dan surat Asy Syu’araa masing-masing merupakan setengah juz tetapi yang pertama Madaniyyah dengan bilangan ayat sebanyak 75, sedang yang kedua Makiyyah dengan ayatnya yang berjumlah 227.
    2. Dalam ayat-ayat Madaniyyah terdapat perkataan "Ya ayyuhalladzi na aamanu" dan sedikit sekali terdapat perkataan ‘Yaa ayyuhannaas’, sedang dalam ayat ayat Makiyyah adalah sebaliknya.
    3. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ancaman dan pahala, kisah-kisah umat yang terdahulu yang mengandung pengajaran dan budi pekerti; sedang Madaniyyah mengandung hukum-hukum, baik yang berhubungan dengan hukum adat atau hukum-hukum duniawi, seperti hukum kemasyarakatan, hukum ketata negaraan, hukum perang, hukum internasional, hukum antara agama dan lain-lain.

    Nama-nama al-Quran
    Allah• memberi nama Kitab-Nya dengan Al Qur’an yang berarti "bacaan".
    • Arti ini dapat kita lihat dalam surat (75) Al Qiyaamah; ayat 17 dan 18 sebagaimana tersebut di atas.
    Nama• ini dikuatkan oleh ayat-ayat yang terdapat dalam surat (17) Al lsraa’ ayat 88; surat (2) Al Baqarah ayat 85; surat (15) Al Hijr ayat 87; surat (20) Thaaha ayat 2; surat (27) An Naml ayat 6; surat (46) Ahqaaf ayat 29; surat (56) Al Waaqi’ah ayat 77; surat (59) Al Hasyr ayat 21 dan surat (76) Addahr ayat 23.
    Menurut pengertian ayat-ayat di atas Al Qur’an itu dipakai sebagai nama bagi Kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w.
    • Selain Al Qur’an, Allah juga memberi beberapa nama lain bagi Kitab-Nya, sepcrti:
    1. Al• Kitab atau Kitaabullah: merupakan synonim dari perkataan Al Qur’an, sebagaimana tersebut dalam surat (2) Al Baqarah ayat 2 yang artinya; "Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya…." Lihat pula surat (6) Al An’aam ayat 114.
    • 2. Al Furqaan: "Al Furqaan" artinya: "Pembeda", ialah "yang membedakan yang benar dan yang batil", sebagai tersebut dalam surat (25) Al Furqaan ayat 1 yang artinya: "Maha Agung (Allah) yang telah menurunkan Al Furqaan, kepada hamba-Nya, agar ia menjadi peringatan kepada seluruh alam"
    3.• Adz-Dzikir. Artinya: "Peringatan". sebagaimana yang tersebut dalam surat (15) Al Hijr ayat 9 yang artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan "Adz-Dzikir dan sesungguhnya Kamilah penjaga-nya" (Lihat pula surat (16) An Nahl ayat 44. Dari nama yang tiga tersebut di atas, yang paling masyhur dan merupakan nama khas ialah "Al Qur’an". Selain dari nama-nama yang tiga itu dan lagi beberapa nama bagi Al Qur’an. lmam As Suyuthy dalam kitabnya Al Itqan, menyebutkan nama-nama Al Qur’an, diantaranya: Al Mubiin, Al Kariim, Al Kalam, An Nuur.

    Surah-surah dalam al-Quran
    • Jumlah surat yang terdapat dalam Al Qur’an ada 114; nama-namanya dan batas-batas tiap-tiap surat, susunan ayat-ayatnya adalah menurut ketentuan yang ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah sendiri (tauqifi).
    Sebagian dari surat-surat Al Qur’an mempunyai satu nama dan sebagian yang lain mempunyai lebih dari satu nama, sebagaimana yang akan diterangkan dalam muqaddimah tiap-tiap surat.
    • Surat-surat yang ada dalam Al Qur’an ditinjau dari segi panjang dan pendeknya terbagi atas 4 bagian, yaitu:
    1.• ASSAB’UTHTHIWAAL, dimaksudkan, tujuh surat yang panjang Yaitu: Al Baqarah, Ali Imran, An Nisaa’, Al A’raaf, Al An’aam, Al Maa-idah dan Yunus.
    2. Al MIUUN, dimaksudkan surat-surat yang berisi kira-kira seratus ayat lebih seperti: Hud, Yusuf, Mu’min dsb.
    3. Al MATSAANI, dimaksudkan surat-surat yang berisi kurang sedikit dari seratus ayat seperti: Al Anfaal. Al Hijr dsb.
    4. AL MUFASHSHAL, dimaksudkan surat-surat pendek. seperti: Adhdhuha, Al Ikhlas, AL Falaq, An Nas. dsb.
    g. Huruf-huruf Hijaaiyyah yang ada pada permulaan surat.
    • Di dalam Al Qur’an terdapat 29 surat yang dimulai dengan huruf-huruf hijaaiyyah yaitu pada surat-surat:
    (1)• Al Baqarah, (2) Ali Imran, (3) Al A’raaf. (4) Yunus, (5) Yusuf, (7) Ar Ra’ad, (8) lbrahim, (9) Al Hijr, (10) Maryam. (11) Thaaha. (12) Asy Syu’araa, (13) An Naml, (14) Al Qashash, (15) A1’Ankabuut, (16) Ar Ruum. (17) Lukman, (18) As Sajdah (19) Yasin, (20) Shaad, (21) Al Mu’min, (22) Fushshilat, (23) Asy Syuuraa. (24) Az Zukhruf (25) Ad Dukhaan, (26) Al Jaatsiyah, (27) Al Ahqaaf. (28) Qaaf dan (29) Al Qalam (Nuun).
    Huruf-huruf hijaaiyyah yang terdapat pada permulaan tiap-tiap surat tersebut di atas, dinamakan ‘Fawaatihushshuwar’ artinya pembukaan surat-surat.
    Banyak pendapat dikemukakan oleh para Ulama’ Tafsir tentang arti dan maksud huruf-huruf hijaaiyyah itu, selanjutnya lihat not 10, halaman 8 (Terjemah)


    Masa pengumpulan Al-Qur’an dengan menggunakan dua kategori, yaitu:
    1. Pengumpulan dalam dada, dan
    2. Dalam dokumen/catatan.
    Pengumpulan Al-Qur’anul Karim terbagi dalam dua periode:
    1. Periode Nabi SAW.
    2. Periode Khulafaur Rasidin.
    Masing-masing periode tersebut mempunyai beberapa ciri dan keistimewaan. Istilah pengumpulan kadang-kadang dimaksudkan dengan penghafalan dalam hati, dan kadang-kadang pula dimaksud dengan penulisan dan pencatatan dalam lembaran-lembaran. Pengumpulan Al-Qur’an di masa Nabi ada dua kategori:
    1. Pengumpulan dalam dada berupa hafalan dan penghayatan/pengekspresian, dan
    2. Pengumpulan dalam dokumen atau catatan berupa penulisan pada kitab maupun berupa ukiran.
    Kami akan menjelaskan keduanya secara terurai dan mendetail agar nampak bagi kita suatu perhatian yang mendalam terhadap Al-Qur’an dan penulisannya serta pembukuannya. Langkah-langkah semacam ini tidak terjadi pada kitab-kitab samawi lainnya sebagaimana perhatian terhadap Al-Qur’an, sebagai kita yang Maha Agung dan mu’jizat Nabi Muhammad yang abadi.
    Pengumpulan Al-Qur’an Dalam Dada.
    Al-Qur’anul Karim turun kepada Nabi yang ummy (tidak bisa baca-tulis). Karena itu perhatian Nabi hanyalah dituangkan untuk sekedar menghafal dan menghayati, agar ia dapat menguasai Al-Qur’an persis sebagaimana halnya Al-Qur’an yang diturunkan. Setelah ia membacakannya kepada orang-orang dengan begitu terang agar mereka pun dapat menghafal dan memantapkannya. Yang jelas adalah bahwa Nabi seorang yang ummy dan di utus Allah dari kalangan yang ummy pula, Allah berfirman:
                         
    Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,(QS. Al-Jumu’ah: 2)
    Biasanya orang-orang yang ummy itu hanya mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatannya, karena mereka tidak bisa membaca dan menulis. Memang bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an, mereka berada dalam budaya Arab yang begitu tinggi, ingatan mereka sangat kuat dan hafalannya cepat serta daya fikirnya begitu terbuka.
    Orang-orang Arab banyak yang hafal beratus-ratus ribu syair dan mengetahui silsilah serta nasab keturunannya. Mereka dapat mengungkapkannya diluar kepada, dan mengetahui sejarahnya. Jarang sekali diantara mereka yang tidak bisa mengungkapkan silsilah dan nasab tersebut atau tidak hafal Al-Muallaqatul Asyar yang begitu banyak syairnya lagi pula sulit dalam menghafalnya. Begitu Al-Qur’an datang kepada mereka dengan jelas, tegas ketentuannya dan kekuasaannya yang luhur, mereka merasa kagum, akal fikiran mereka tertimpa dengan Al-Qur’an, sehingga perhatiannya dicurahkan kepada Al-Qur’an. Mereka menghafal ayat demi ayat dan surat demi surat. Mereka tinggalkan syair-syair karena merasa memperole ruh/jiwa dari Al-Qur’an.
    Pengumpulan Dalam Bentuk Tulisan.
    Keistimewaan yang kedua dari Al-Qur’anul Karim ialah pengumpulan dan penulisannya dalam lembaran. Rasulullah SAW mempunyai beberapa orang sekretaris wahyu. Setiap turun ayat Al-Qur’an beliau memerintahkan kepada mereka menulisnya untuk memperkuat catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap kitab Allah ‘Azza Wa Jalla, sehingga penulisan tersebut dapat melahirkan hafalan dan memperkuat ingatan. Penulis-penulis tersebut adalah sahabat pilihan yang dipilih oleh Rasul dari kalangan orang yang terbaik dan indah tulisannya agar mereka dapat mengemban tugas yang mulia ini. Diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat lain.
    Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas RA bahwasanya ia berkata: “Al-Qur’an dikumpulkan pada masa Rasulullah SAW oleh 4 (empat) orang yang kesemuanya dari kaum Anshar; Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid. Anas ditanya: “Siapa ayah Zaid?” Ia menjawab: “Salah seorang pamanku.”

    zakat

    BAB I
    PENDAHULUAN

    Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah Syahadat dan Shalat, sehingga merupakan ajaran yang sangat penting bagi kaum muslimin. Bila saat ini kaum muslimin sudah sangat faham tentang kewajiban shalat dan manfaatnya dalam membentuk keshalehan pribadi. Namun tidak demikian pemahamannya terhadap kewajiban terhadap zakat yang berfungsi untuk membentuk keshalehan sosial. Implikasi keshalehan sosial ini sangat luas, kalau saja kaum muslimin memahami tentang hal tersebut. Pemahaman shalat sudah merata dikalangan kaum muslimin, namun belum demikian terhadap zakat.



















    BAB II
    PEMBAHASAN

    A. Makna Zakat
    Menurut Bahasa (lughat), zakat berarti : tumbuh; berkembang; kesuburan atau bertambah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan. Firman Allah dalam Al-Quran At-taubah:103
              •        
    “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
    Menurut Hukum Islam (istilah syara'), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy).
    Selain itu, ada istilah shadaqah dan infaq, sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah.

    B. Tujuan Zakat
    Zakat sebagai salah satu rukun Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari tujuan dan fungsi zakat dalam meningkatkan martabat hidup manusia dan masyarakat. Zakat mempunyai berbagai tujuan yang dapat ditinjau dari berbagai aspek sebagai berikut:
    1. Hubungan Manusia dengan Allah
    Zakat sebagai salah satu wujud atau bentuk ibadah kepada Allah Swt sama halnya dengan bentuk-bentuk ibadah lainnya berfungsi mendekatkan diri kepada Allah Swt. Semakin patuh dan taat seseorang menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah, maka ia semakin dekat dengan Allah.
    Nabi Muhammad saw pernah menyatakan bahwa Allah senantiasa akan menolong hambanya selama hambanya itu suka menolongnya dan sebaliknya.

    2. Hubungan Manusia dengan Dirinya
    Seorang muslim dalam melaksanakan seluruh tugas dan kegiatan hidupnya sehari-hari adalah dalam rangka beribadah kepada Allah dengan tujuan untuk mencapai kehidupan yang diridhoi olehnya. Untuk menjalankan ibadah kepada Allah sebaik-baiknya, manusia membutuhkan harta benda. Karena itu mencari harta benda untuk melaksanakan tugas ibadah kepada Allah juga merupakan ibadah. Sementara itu membantu orang lain yang memerlukan bantuan harta juga termasuk ibadah.

    3. Hubungan Manusia dengan Masyarakat
    Di dalam masyarakat selalu terdapat perbedaan tingkat kemampuan dalam bidang ekonomi sehingga melahirkan adanya golongan ekonomi lemah dan ekonomi kuat. Dalam keadaan perbedaan ekonomi yang lebih mencolok, terdapat pula dalam masyarakat terdapat golongan fakir miskin dan satu pihak golongan kaya di fihak lain.
    Zakat dapat berperan mengurangi jurang perbedaan ekonomi antara si kaya dengan si miskin. Dalam zakat sebagian harta si kaya diberikan kepada si miskin sehingga golongan miskin dapat diperbaiki ekonominya.

    4. Hubungan Manusia dengan Harta Benda
    Banyak orang beranggapan bahwa semua harta kekayaan yang dimilikinya di dunia ini adalah mutlak miliknya. Pandangan hidup seperti ini jelas sangat bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
    Hak milik itu hanya di tangan allah. Manusia hanya mempunyai hak pakai atau hak guna. Karena bahwa zakat merupakan sarana pendidikan bagi manusia bahwa harta benda atau materi itu bukan tujuan hidup dan bahkan hak mutlak dari orang yang memilikinya, tetapi merupakan titipan Allah yang harus dipergunakan sebagai alat untuk mengabdikan diri kepada Allah.

    B. Hukum Zakat
    Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.

    C. Macam-macam Zakat
    a. Zakat Nafs (jiwa)
    Zakat ini juga disebut zakat fitrah. Zakat yang wajib dikeluarkan Muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadhan. Besar zakat ini setara dengan 2,5 kilogram makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.

    b. Zakat Maal (harta)
    Menurut bahasa (lughat), harta adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali sekali oleh manusia untuk memiliki, memanfaatkan dan menyimpannya.
    Menurut syar'a, harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki (dikuasai) dan dapat digunakan (dimanfaatkan) menurut ghalibnya (lazim).
    Sesuatu dapat disebut dengan maal (harta) apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
    a. Dapat dimiliki, disimpan, dihimpun, dikuasai
    b. Dapat diambil manfaatnya sesuai dengan ghalibnya. Misalnya rumah, mobil, ternak,hasil pertanian, uang, emas, perak, dll.

    D. Syarat-syarat Wajib Zakat
    a. Muslim
    b. Aqil
    c. Baligh
    d. Memiliki harta yang mencapai nishab

    E. Syarat-syarat Kekayaan yang Wajib di Zakati
    a. Milik Penuh (Almilkuttam)
    Yaitu harta tersebut berada dalam kontrol dan kekuasaanya secara penuh, dan dapat diambil manfaatnya secara penuh. Harta tersebut didapatkan melalui proses pemilikan yang dibenarkan menurut syariat islam, seperti : usaha, warisan, pemberian negara atau orang lain dan cara-cara yang sah. Sedangkan apabila harta tersebut diperoleh dengan cara yang haram, maka zakat atas harta tersebut tidaklah wajib, sebab harta tersebut harus dibebaskan dari tugasnya dengan cara dikembalikan kepada yang berhak atau ahli warisnya.

    b. Berkembang
    Yaitu harta tersebut dapat bertambah atau berkembang bila diusahakan atau mempunyai potensi untuk berkembang.

    c. Cukup Nishab
    Artinya harta tersebut telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan
    d. Lebih Dari Kebutuhan Pokok (Alhajatul Ashliyah)
    Kebutuhan pokok adalah kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarga yang menjadi tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya. Artinya apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi yang bersangkutan tidak dapat hidup layak. Kebutuhan tersebut seperti kebutuhan primer atau kebutuhan hidup minimum (KHM), misal, belanja sehari-hari, pakaian, rumah, kesehatan, pendidikan, dsb.

    e. Bebas Dari hutang
    Orang yang mempunyai hutang sebesar atau mengurangi senishab yang harus dibayar pada waktu yang sama (dengan waktu mengeluarkan zakat), maka harta tersebut terbebas dari zakat.

    f. Berlalu Satu Tahun (Al-Haul)
    Maksudnya adalah bahwa pemilikan harta tersebut sudah belalu satu tahun. Persyaratan ini hanya berlaku bagi ternak, harta simpanan dan perniagaan. Sedang
    hasil pertanian, buah-buahan dan rikaz (barang temuan) tidak ada syarat haul.

    F. Nishab dan Kadar Zakat
    1. Harta Peternakan
    a. Ternak Sapi, Kerbau dan Kuda
    Nishab kerbau dan kuda disetarakan dengan nishab sapi yaitu 30 ekor. Artinya jika seseorang telah memiliki sapi (kerbau/kuda), maka ia telah terkena wajib zakat. Berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi dan Abu Dawud dari Muadz bin Jabbal RA, maka dapat dibuat tabel sbb :
    Jumlah ternak (Nishab) Zakat
    30-39 1 ekor sapi jantan/betina tabi' (a)
    40-59 1 ekor sapi betina musinnah (b)
    60-69 2 ekor sapi tabi'
    70-79 1 ekor sapi musinnah dan 1 ekor tabi'
    80-89 2 ekor sapi musinnah

    Keterangan :
    1) Sapi berumur 1 tahun, masuk tahun ke-2
    2) Sapi berumur 2 tahun, masuk tahun ke-3
    Selanjutnya setiap jumlah itu bertambah 30 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor tabi'. Dan jika setiap jumlah itu bertambah 40 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor musinnah.

    b. Ternak Kambing/Domba
    Nishab kambing/domba adalah 40 ekor, artinya bila seseorang telah memiliki 40 ekor kambing/domba maka ia telah terkena wajib zakat. Berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Anas bin Malik, maka dapat dibuat tabel sbb :


    Jumlah ternak (Nishab) Zakat
    40-120 1 ekor kambing (2th) atau domba(1th)
    121-200 2 ekor kambing/domba
    201-399 3 ekor kambing/domba
    Jika jumlahnya melebihi 400ekor, maka setiap jumlah itu bertambah 100 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor kambing/domba.

    c. Ternak Unta
    Zakat unta wajib dilaksanakan ketika jumlah ternak unta sudah mencapai lima ekor. Maka jumlah zakatnya bisa dilihat dari tabel berikut.
    Jumlah ternak (Nishab) Zakat
    5-9 1 ekor kambing
    10-14 2 ekor kambing
    15-19 3 ekor kambing
    20-24 4 ekor kambing
    25-35 1 ekor bintu makhad betina (unta 1 thn)
    36-45 1 ekor bintu labun ( unta 2 thn)
    46-60 1 ekor hiqqoh (unta 3 thn)
    61-75 1 ekor jadz’ah (unta 4 thn)
    76-90 2 ekor bintu labun
    91-120 2 ekor hiqqoh
    Jika jumlahnya lebih dari 120, setiap bertambah 50 ekor d tambah zakat 1 ekor hiqqoh, dan setiap 40 ekor ditambah zakat 1 ekor bintu labun.

    d. Ternak Unggas (ayam,bebek,burung,dll) dan Perikanan
    Nishab pada ternak unggas dan perikanan tidak diterapkan berdasarkan jumlah (ekor), sebagaimana halnya sapi, dan kambing. Tapi dihitung berdasarkan skala usaha. Nishab ternak unggas dan perikanan adalah setara dengan 20 Dinar (1 Dinar = 4,25 gram emas murni) atau sama dengan 85 gram emas. Artinya bila seorang beternak unggas atau perikanan, dan pada akhir tahun (tutup buku) ia memiliki kekayaan yang berupa modal kerja dan keuntungan lebih besar atau setara dengan 85 gram emas murni, maka ia terkena kewajiban zakat sebesar 2,5 %

    2. Harta Emas dan Perak
    Nishab emas adalah 20 dinar (93.6 gram emas murni) dan perak adalah 200 dirham (setara 672 gram perak). Artinya bila seseorang telah memiliki emas sebesar 20 dinar atau perak 200 dirham dan sudah setahun, maka ia telah terkena wajib zakat, yakni sebesar 2,5 %. Demikian juga segala macam jenis harta yang merupakan harta simpanan dan dapat dikategorikan dalam "emas dan perak", seperti uang tunai, tabungan, cek, saham, surat berharga ataupun yang lainnya. Maka nishab dan zakatnya sama dengan ketentuan emas dan perak, artinya jika seseorang memiliki bermacam-macam bentuk harta dan jumlah akumulasinya lebih besar atau sama dengan nishab (93.6 gram emas) maka ia telah terkena wajib zakat (2,5 %).

    3. Harta Perniagaan
    Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agroindustri, ataupun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha (seperti PT, CV, Yayasan, Koperasi, Dll) nishabnya adalah 20 dinar (setara dengan 85 gram emas murni). Artinya jika suatu badan usaha pada akhir tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja dan untung) lebih besar atau setara dengan 85 gram emas (jika pergram Rp 25.000,- = Rp 2.125.000,-), maka ia wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5 % Pada badan usaha yang berbentuk syirkah (kerjasama), maka jika semua anggota syirkah beragama Islam, zakat dikeluarkan lebih dulu sebelum dibagikan kepada pihak-pihak yang bersyirkah. Tetapi jika anggota syirkah terdapat orang yang non muslim, maka zakat hanya dikeluarkan dari anggota syirkah muslim saja (apabila julahnya lebih dari nishab).

    4. Hasil Pertanian
    Nishab hasil pertanian adalah 5 wasq atau setara dengan 750 kg. Apabila hasil pertanian termasuk makanan pokok, seperti beras, jagung, gandum, kurma, dll, maka nishabnya adalah 750 kg dari hasil pertanian tersebut.
    Tetapi jika hasil pertanian itu selain makanan pokok, seperti buah-buahan, sayursayuran, daun, bunga, dll, maka nishabnya disetarakan dengan harga nishab dari makanan pokok yang paling umum di daerah (negeri) tersebut (di negeri kita = beras). Kadar zakat untuk hasil pertanian, apabila diairi dengan air hujan, atau sungai/mata/air, maka 10%, apabila diairi dengan cara disiram / irigasi (ada biaya tambahan) maka zakatnya 5%.
    Dari ketentuan ini dapat dipahami bahwa pada tanaman yang disirami zakatnya 5%. Artinya 5% yang lainnya didistribusikan untuk biaya pengairan. Imam Az Zarqoni berpendapat bahwa apabila pengolahan lahan pertanian diairi dengan air hujan (sungai) dan disirami (irigasi) dengan perbandingan 50;50, maka kadar zakatnya 7,5% (3/4 dari 1/10). Pada sistem pertanian saat ini, biaya tidak sekedar air, akan tetapi ada biaya lain seperti pupuk, insektisida, dll. Maka untuk mempermudah perhitungan zakatnya, biaya pupuk, intektisida dan sebagainya diambil dari hasil panen, kemudian sisanya (apabila lebih dari nishab) dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% (tergantung sistem pengairannya).

    5. Zakat Barang Temuan (Rikaz)
    Zakat Barang Temuan (Rikaz) wajib dikeluarkan untuk barang yang ditemukan terpendam di dalam tanah, atau yang biasa disebut dengan harta karun. Zakat barang temuan tidak mensyaratkan baik haul (lama penyimpanan) maupun nisab (jumlah minimal untuk terkena kewajiban zakat), sementara kadar zakatnya adalah sebesar seperlima atau 20% dari jumlah harta yang ditemukan. Jadi setiap mendapatkan harta temuan berapapun besarnya, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar seperlima dari besar total harta tersebut. Hadits yang mendasari kewajiban mengeluarkan zakat ini adalah
    “Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: " .. dan pada rikaz (diwajibkan zakatnya) satu perlima. " (Hadith Sahih - Riwayat Bukhari)

    G. Pembagian Zakat
    Hasil zakat-zakat tersebut menurut syariat hendaklah di bagikan ke dalam delapan golongan manusia, yaitu :
    a. Faqir
    Orang miskin yang tidak mempunyai apa-apa orang yang tidak dapat mencari nafkahnya karna sesuatu cacat di badannya.
    b. Miskin
    Orang yang kekurangan, dalam arti orang yang dapat mencari nafkah tapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya, atau miskin karna tidak dapat kerja.
    c. Amil
    orang yang mengumpulkan dan mengurus jakat
    d. Muallaf
    Orang muallaf ialah orang yang baru memeluk agama islam, yang karna peristiwa itu dia kehilangan mata penceharian.
    e. Gharim
    Orang yang mempunyai hutang dan tidak sanggup membayar nya.
    f. Riqab
    Hamba sahaya, terutama mereka yang ingin mendapatkan kemerdekaanya dengan jalan membayar sejumlah uang kepada tuanya.
    g. Orang yang melalukan pekerjaanya fisabililliah
    h. Musapir
    Orang yang mengembara dan kehabisan ongkos.

    H. Hikmah Zakat
    Hikmah dari zakat antara lain:
    1. Mengurangi kesenjangan sosial antara mereka yang berada dengan mereka yang miskin
    2. Pilar amal jama'i antara mereka yang berada dengan para mujahid dan da'i yang berjuang dan berda'wah dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT
    3. Membersihkan dan mengikis akhlak yang buruk
    4. Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahat
    5. Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan
    6. Untuk pengembangan potensi ummat
    7. Dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam
    8. Menambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi ummat.







    BAB III
    PENUTUP

    Kesimpulan
    Zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu yang berhak menerimanya.
    Tujuan zakat Hubungan manusia dengan Allah, dirinya, masyarakat, dan harta benda. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Dan macam-macam zakat yaitu zakat nafs dan zakat mall. Syarat-syarat Wajib Zakat: Muslim, Aqil, Baligh, Memiliki harta yang mencapai nishab.
    Macam-macam harta yang wajib di zakati:

    1. Zakat Peternakan
    2. Zakat Emas dan Perak
    3. Zakat Perniagaan
    4. Zakat Hasil Pertanian
    5. Zakat Rikaz

    perilaku kognitif: perhatian,pengamatan dan fantasi

    BAB I
    PENDAHULUAN
    1.1 Latar Belakang Masalah
    Perilaku kognitif adalah salah satu cabang dari psikologi dengan pendekatan kognitif untuk memahami perilaku manusia. Psikologi kognitif mempelajari tentang cara manusia menerima, mempersepsi, mempelajari, menalar, mengingat dan berfikir tentang suatu informasi.
    Dalam makalah ini akan membahas tentang psikologi kognitif. Berikut adalah beberapa bagian dari psikologi kognitif, yaitu perhatian, pengamatan dan fantasi.

    1.2 Batasan Masalah
    Batasan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
    1. Apa pengertian, macam-macam, syarat dan faktor yang mempengaruhi perhatian ?
    2. Apa saja aspek-aspek dan modalitas pengamatan ?
    3. Apa pengertian, klasifikasi, nilai-nilai praktis , nilai-ilai fantasi dalam pendidikan, manfaat dan bahaya fantasi ?

    1.3 Tujuan Masalah
    Tujuan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
    1. Untuk mengetahui pengertian perhatian, macam-macam, syarat dan faktor yang mempengaruhi perhatian
    2. Untuk mengetahu aspek-aspek dan modalitas pengamatan
    3. Untuk mengetahui pengertian fantasi, klasifikasi, nilai-nilai praktis , nilai-ilai fantasi dalam pendidikan, manfaat dan bahaya fantasi
    4. Sebagai sumber wawasan ilmu pengetahuan












    BAB II
    PEMBAHASAN

    2.1 Perhatian

    a. Pengertian Perhatian
    Perhatian berhubungan erat dengan kesadaran jiwa terhadap suatu obyek yang direaksi pada sesuatu waktu. Perhatian adalah cara menggerakkan bentuk umum cara bergaulnya jiwa dengan bahan-bahan dalam medan tingkah laku.
    Kata perhatian tidaklah selalu digunakan dalam arti yang sama. Beberapa contoh dapat menjelaskan hal ini :
    a. Dia sedang memperhatikan contoh yang diberikan oleh gurunya.
    b. Dengan penuh perhatian dia mengikuti kuliah yang diberikan oleh dosen yang baru itu.
    Kedua contoh di atas itu mempergunakan kata perhatian. Arti kata tersebut, baik dalam masyarakat dalam hidup sehari-hari maupun dalam bidang psikologi kira-kira sama. Karena itulah maka definisi mengenai perhatian itu yang diberikan oleh para ahli psikologi juga dua macam yaitu :
    1. Perhatian adalah pemusatan tenaga/kekuatan jiwa/psikis yang tertuju kepada suatu obyek.
    2. Perhatian adalah banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai suatu aktivitas yang dilakukan.

    2. Macam-Macam Perhatian
    untuk memudahkan persoalan, maka dalam mengemukakan perhatian ini dapat ditempuh dengan menggolong-golongkan perhatian tersebut menurut cara tertentu, yaitu sebagai berikut :
    a. Menurut cara kerjanya
    •Perhatian spontan : yaitu perhatian yang tidak sengaja atau tidak sekehendak subyek.
    •Perhatian refleksif : yaitu perhatian yang disengaja atau dikendak subyek.
    Contoh : pada suatu hari senin jam 08.00 para mahasiswa sedang asyik mengikuti kuliah yang diberikan oleh dosen baru (dengan perhatian yang disengaja). Tiba-tiba terdengarlah rebut-ribut di samping ruangan kuliah, sehingga para mahasiswa menengok (dengan perhatian yang tidak disengaja) untuk mengetahui apakah yang terjadi.
    b. Menurut intensitasnya
    •Perhatian intensif : yaitu perhatian yang banyak dikuatkan oleh banyaknya rangsang atau keadaan yang menyertai aktivitas atau pengalaman batin.
    •Perhatian tidak intensif : yaitu perhatian yang kurang diperkuat oleh rangsangan atau beberapa keadaan yang menyertai aktivitas atau pengalaman batin.
    Makin banyak kesadaran yang menyertai suatu aktivitas atau pengalaman batin berarti makin intensiflah perhatiannya. Dan makin intensif perhatian yang menyertai suatu aktivitas akan makin sukseslah aktivitas itu.
    c. Menurut luasnya obyek yang dikena perhatian
    •Perhatian terpusat : yaitu perhatian yang tertuju kepada lingkup obyek yang sangat terbatas.
    Contoh : seorang tukang bengkel yang sedang memperbaiki sebuah kendaraan.
    •Perhatian terpencar : yaitu perhatian yang pada suatu saat tertuju kepada lingkup obyek yang luas atau tertuju kepada bermacam-macam objek.
    Contoh : seorang sopir yang sedang mengemudikan mobil, yang pada suatu saat perhatiannya dapat tertuju kepasa macam-macam obyek, seperti misalnya kendaraan lalu lintas, tanda-tanda lalu lintas, alat-alat yang ada dalam mobil yang sedang dikemudikan dan lain-lain.

    3. Hal-Hal yang Menarik Perhatian
    Hal-hal yang menarik perhatian dapat dipandang dari 3 segi, yaitu :
    a. Segi obyek : Hal-hal yang menarik perhatian yaitu hal-hal yang keluar dari konteknya, atau hal yang lain dari lain-lainnya.
    Contohnya : warna benda yang lain dari warna benda-benda disekitarnya, hal yang mendadak dating atau hal yang lenyap dalam tiba-tiba (misalnya suara berisik di malam yang tenang, dosen yang tiba-tiba berhenti bicara, dan sebagainya)
    b. Segi Subyek : hal-hal yang menarik perhatian adalah hal-hal yang sangat bersangkut paut dengan pribadi subyek.
    Contohnya : hal-hal yang bersangkut paut dengan sejarah atau pengalaman subyek (misalnya pembicaraan mengenai Unila bagi alumni Unila), hal yang bersangkut paut dengan kegemaran (misalnya pertandingan bulu tangkis dagi penggemar bulu tangkis).
    c. Segi Komunikator : komunikator yang membawa subyek ke dalam posisi yang sesuai dengan lingkungannya.
    Contohnya : guru/komunikator memberikan pelayanan atau perhatian khusus kepada subyek.
    Adapun macam-macam perhatian yang tepat dilakukan dalam belajar yaitu :
    a. Perhatian intensif
    b. Perhatian yang disengaja
    c. Perhatian spontan.

    4. Syarat-Syarat agar Perhatian Mendapat Manfaat
    a. Inhibisi : yaitu pelarangan atau penyingkiran isi kesadaran yang tidak diperlukan, atau menghalang-halangi masuk ke dalam lingkungan kesadaran.
    b. Appersepsi : yaitu pengerahan dengan sengaja semua isi kesadaran, termasuk tanggapan, pengertian dan sebagainya yang telah dimiliki dan bersesuaian dengan obyek pengertian.
    c. Adaptasi : yaitu adanya penyesuaian diri antara subyek dan obyek.

    5. Faktor-Faktor yang Dapat Mempengaruhi Perhatian
    a. Pembawaan
    Adanya pembawaan tertentu yang berhubungan dengan obyek yang direaksi, maka sedikit atau banya akan timbul perhatian terhadap obyek tertentu.
    b. Latihan dan Kebiasaan
    Meskipun tidak ada bakat pembawaan tentang suatu bidang, tetapi karena hasil daripada latihan dan kebiasaan, dapat menyebabkan mudah timbulnya perhatian terhadap bidang tersebut. Misalnya, Deni sejak kecil hidup dikalangan seni musik, walaupun dia tidak mempunyai pembawaan tentang seni musik, tapi karena dia banyak berkenalan dengan suasana “kemusikan” dan sering berlatih musik, maka perhatiannya terhadap seni musik menjadi ada.
    c. Kebutuhan
    Adanya kebutuhan tentang sesuatu memungkinkan timbulnya perhatian terhadap obyek tersebut. Misalnya kita sedang membutuhkan suatu pita ungu dan sangat sulit sekali mencarinya, maka kita pun pasti akan memberikan perhatian lebih bila mendengar tentang keberadaan pita ungu tersebut.



    d. Kewajiban
    Di dalam kewajiban terkandung tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang yang bersangkutan. Misalnya demi terlaksananya suatu tugas, maka apa yang menjadi kewajibannya akan dijalankan dengan penuh perhatian.
    e. Keadaan Jasmani
    Sehat tidaknya jasmani, akan mempengaruhi perhatian kita terhadap suatu obyek. Misalnya, jasmani kita dalam keadaan lelah dan kurang sehat, lalu kita harus mengerjakan banyak tugas, maka kemungkinan besar perhatian kita akan banyak terganggu oleh kondisi jasmani kita itu.
    f. Suasana Jiwa
    Keadaan batin, perasaan, fantasi, pikiran, dan sebagainya sangat mempengaruhi perhatian kita, mungkin dapat membantu atau juga menghambat. Misalnya apabila kita sedang bahagia, maka kita akan senang dan memperhatikan kuliah yang ada. Namun apabila perasaan kita sedang kesal atau sedih, maka perhatian kita tidak akan terfokus pada kuliah tersebut.
    g. Suasana di sekitar
    Adanya berbagai macam keadaan di sekitar kita, seperti kegaduhan, temperature, social ekonomi, keindahan dan lain-lain dapat mempengaruhi perhatian kita.
    h. Kuat tidaknya perangsang dari obyek itu sendiri
    Berapa kuatnya perangsang yang bersangkutan dengan obyek perhatian sangat mempengaruhi perhatian kita. Bila obyek itu memberikan perangsang yang kuat, kemungkinan perhatian kita terhadap obyek itu cukup besar, dan sebaliknya.

    2.2 PENGAMATAN
    Manusia dapat mengenal lingkungan fisik yang nyata, baik dalam dirinya sendiri maupun diluar dirinya dengan menggunakan organ-organ inderanya. Pengamatan merupakan fungsi sensori yang memungkinkan seseorang menangkap stimuli dari dunia nyata sebagai bahan yang teramati. Obyek pengamatan memiliki sifat-sifat keinginan, kesendirian, lokalitas dan bermateri.
    Aspek-aspek untuk dapat menggambarkan dunia pengamatan yang berupa sudut-sudut tinjauan adalah sebagai berikut ;



    a. Sudut tinjauan ruang
    b. Menurut sudut pandang ruang ini, dunia pengamatan dilukiskan dalam pengertian-pengertian : atas-bawah, kiri-kanan, jauh-dekat, tinggi-rendah, dan sebagainya.
    b. Sudut tinjauan waktu
    Menurut sudut pandang ini, dunia pengamatan dilukiskan dengan pengertian-pengertian : masa lampau, kini dan masa yang akan dating dalam berbagai variasinya.
    c. Sudut tinjauan Gestalt (konteks keseluruhan)
    Suatu Gestalt adalah suatu yang merupakan kebulatan dan cepat berdiri sendiri lepas dari yang lain, misalnya rumah, orang, meja, kursi, gambar dan sebagainya.
    d. Sudut tinjauan arti
    Obyek-obyek yang kita amati kita beri arti atau kita amati menurut artinya bagi kita. Misalnya bunyi bedug yang dimainkan anak-anak dengan kayu akan sangat berbeda artinya dengan bunyi bedug yang ditabuh di masjid.
    Orang telah lazim membedakan lima macam alat indera menurut lima macam modalitas pengamatan, yakni :

    1. Penglihatan
    Ada 3 macam penglihatan, yaitu :
    a. . Penglihatan terhadap bentuk
    Yaitu penglihatan terhadap obyek yang berdimensi dua. Ahli-ahli psikologi Gestalt (terutama mazhab berlin) telah mengadakan penelitian secara luas dalam bidang penglihatan bentuk, dan akhirnya mereka menemukan bahwa obyek-obyek penglihatan itu membentuk diri menjadi Gestalt-Gestalt menurut prinsip-prinsip tertentu. Khusus dalam melihat obyek bagian dan obyek keseluruhan, ini merupakan cara melihat Gestalt yang dapat memakai hukum-hukum Gestalt meliputi :
    1. Hukum keterdekatan (yang terdekat merupakan Gestalt)
    2. Hukum ketertutupan (yang tertutup merupakan Gestalt)
    3. Hukum kesamaan (yang sama merupakan Gestalt)
    b. Penglihatan terhadap warna
    Yaitu penglihatan terhadap obyek psikis dari warna. Masalah melihat warna (penglihatan warna) telah mendapat penelitian secara meluas dan mendalam, terutama segi-sgi yang bersifat fisis dan fisiologis. Didalam hal ini hanya dikemukakan nilai psikologisnya saja, menyangkut nilai-nilai psikologis dari warna yaitu meliputi :
    1. Nilai efektif warna
    Contohnya, dirumah-rumah tidak mungkin di cat dengan warna-warna mencolok dan bercampur, melainkan hanya satu atau dua warna saja, itupun dengan warna yang sejuk. Begitu juga dengan warna-warna yang digunakan untuk kamar di rumah sakit. Hal itu karena warna-warna tersebut sangat mempengaruhi tingkah laku penghuni nya. Masing-masing warna itu mempunyai nada yang membentuk medan tingkah laku, memberi corak kepada perbuatan atau reaksi orang.
    2. Nilai lambang atau simbolis dari warna
    Warna itu mempunyai sifat-sifat potensial yang dapat memberi kesan tertentu kepada seseorang. Misalnya :
    •Warna hitam melambangkan kegelapan, kesedihan.
    •Warna putih melambangkan kesucian.
    •Warna merah melambangkan sifat dominan, berani.
    •Warna hijau melambangkan kesegaran, ketenangan.
    c. Penglihatan terhadap dalam
    Yaitu penglihatan terhadap obyek yang berdimensi tiga. Salah satu gejala yang terpenting di sini adalah konstansi besar, misalnya telapak tangan yang kita tempatkan dalam jarak 20 cm dan 40 cm dari mata kita lihat sebagai sama besarnya, seorang yang datang menghampiri kita tidak kita lihat semakin besar, melainkan hanya semakin dekat. Hal ini disebabkan karena :
    1. Obyek yang kita hadapi selalu dilihat dalam konteks sistemnya
    2. Proporsi atau perbandingan benda-benda satu sama lain serta terhadap tempatnya adalah sama

    2. Pendengaran
    Mendengar atau mendengarkan adalah menangkap atau menerima bunyi-bunyi (suara) melalui indera pendengaran. Pendengaran dan suara itu memelihara komunikasi vocal antara makhluk yang satu dengan lainnya. Bunyi itu dapat berfungsi dua macam, yaitu :
    •Sebagai tanda (signal)
    Misalnya, kita menghadapi teriakan-teriakan karena ketakutan, terkejut, kagum dan sebagainya.
    •Sebagai lambang
    Misalnya, kita menghadapi bahasa dalam suatu komunikasi.
    Bunyi atau suara itu dapat digolongkan atas dua cara :
    a. Berdasarkan atas keteraturan, dibedakan :
    1. gemeristik
    2. Nada
    b. Nada itu bisa dibedakan atas dasar :
    1. Tinggi rendahnya, yang tergantung kepada besar kecilnya frekuensi.
    2. Intensitasnya, yang tergantung kepada amplitudonya.
    3. Timbrenya, yang tergantung kepada kombinasi bermacam-macam frekuensi dalam tinggi rendahnya suara.

    3. Perabaan
    Mengandung dua pengertian yaitu ;
    a. Perabaan sebagai perbuatan aktif yang juga mencakup indra keseimbangan atau kenestesi,
    b. Perabaan sebagai pengalaman secara pasif yang juga mencakup beberapa indera untuk sentuh dan tekanan, pengamatan panas, pengamatan dingin, pengamatan sakit, dan indera vibrasi.
    Perabaan menggunakan fungsi kulit badan. Pada kulit kita terdapat dua macam titik kepekaan, yaitu titik tekanan dan titik sakit. Perbedaan tekanan pada kulit disebabkan karena adanya perbedaan daya penerapan tekanan yang disebut nilai ambang pada tiap-tiap bagian kulit badan.

    4. Pembauan (Penciuman)
    Membau atau mencium adalah menangkap obyek yang berupa bau-bauan dengan menggunakan hidung sebagai alat pembau. Kuat dan lemahnya penangkapan obyek pembauan sangat tergantunng kepada dua hal, yaitu :
    1. Kuat lemahnya rangsang/kualitas obyek pembauan.
    Misalnya, bau bangkai atau wangi parfum yang berlebihan pasti akan menimbulkan bau yang kuat di hidung kita.
    2. Kepekaan fungsi saraf pada hidung.
    Misalnya, pada saat hidung kita sedang flu atau pilek, tentu saja kita pasti akan kurang mencium bau-bau yang ada disekitar kita.
    5. Pencecapan
    Mengecap adalah menangkap obyek yang berupa kualitas rasa benda atau sesuatu dengan menggunakan lidah sebagai alat pencecap. Dalam kehidupan sehari-hari, variasi rasa cecapan itu dibedakan menjadi banyak sekali, akan tetapi indera pencecap terutama hanya peka terhadap empat macam rasa pokok, yaitu :
    •Rasa manis, yang peka pada bagian ujung lidah.
    •Rasa asam, yang peka pada tepi lidah bagian depan.
    •Rasa asin, yang peka pada tepi lidah bagian belakang.
    •Rasa pahit, yang peka pada bagian pangkal lidah.
    Dengan lima macam modalitas tersebut (penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan pencecapan) pengamatan kita bekerja. Pengamatan adalah berfungsi primer, sebab dapat dikatakan bahwa pengamatan merupakan pintu gerbang bagi masuknya setiap stimuli, ide, atau pengaruh yang berasal dari luar diri.

    2.3 FANTASI
    1. Pengertian Fantasi
    Fantasi didefinisikan sebagai daya untuk membentuk tanggapan-tanggapan baru dengan pertolongan tanggapan-tanggapan yang sudah ada, dan tanggapan yang baru itu tidak harus sesuai dengan benda-benda yang ada. Fantasi berorientasi dalam alam imajinair, melampau dunia riil/nyata.
    2. Klasifikasi Fantasi
    a. Fantasi Disadari
    Adalah fantasi yang terjadi dengan disengaja, dan ada usaha dari subjek untuk masuk ke dunia imajinair. Misal pelukis yang melukis imajinasinya, tukan pahat yang membuat patung seperti imajinasi yang dia inginkan, dan lain-lain.
    b. Fantasi Tak Disadari
    Adalah fantasi yang terjadi dengan tidak disengaja, misalnya seseorang menyampaikan berita yang tidak benar tetapi sebenarnya dia tidak bermaksud untuk berdusta. Hal yang demikian itu banyak terjadi pada anak-anak (dusta khayal, dusta semu). Misalnya seorang anak memberikan berita yang tidak sesuai keadaan senyatanya, sekalipun ia tidak ada maksud berbohong.
    Fantasi sengaja maupun tidak sama-sama bersifat mengabstrasikan (ada bagian-bagian yang dihilangkan), misal angan-angan tentang lapangan tanpa rumput, maka tercipta fantasi padang pasir, mendeterminasikan (berfantasi dengan skema yang sudah ada, tetapi diisi denga gambaran lain), misal gambar telaga yang diperbesar maka terciptalah fantasi lautan, dan mengkombinasikan (menggabungkan tanggapan yang satu dengan tanggapan yang lain), misal gambaran kepala gajah digabungkan dengan badan manusia maka terciptalah fantasi ganesha. Ketiga sifat fantasi ini semua membentuk gambaran baru. Karena itu kegiatan pembelajaran hendaknya berusaha mengembangkan fantasi anak secara sehat karena akan mengembangkan intelektualnya menjadi lebih bermakna dan mampu mententramkan suasana bathinya.
    Menurut jenisnya, fantasi dibagi menjadi 2 yaitu :
    a. Fantasi Terpimpin
    Yaitu fantasi yang mengikuti fantasi orang lain. Misalnya murid mendengarkan cerita dari guru atau membaca cerita, dan lain-lain.
    b. Fantasi Mencipta
    Yaitu fantasi yang menciptakan tanggapan-tanggapan yang benar-benar baru. Misalnya pengarang cerita, orang yang membuat alat permainan, dan lain-lain.

    3. Nilai Praktis Fantasi
    a. Memungkinkan orang menempatkan diri dalam hidup kribadian orang lain, sehingga dapat memahami sesama manusia.
    b. Fantasi memungkinkan orang untuk menyelami sifat-sifat kemanusiaan pada umumnya.
    c. Memungkinkan orang untuk melepaskan diri dari ruang dan waktu.
    d. Memungkinkan orang lain untuk melepaskan diri dari kesukaran yang dihadapi, melupakan kegagalan di masa lalu.
    e. Memungkinkan orang untuk menyelesaikan konflik riil secara imajinair.
    f. Memungkinkan manusi membentuk masa depan yang ideal dan berusaha merealisasikannya.

    4. Nilai-nilai Fantasi dalam Pendidikan
    a. Dapat digunakan dalam pelajaran sejarah, ilmu bumi, ilmu alam, dan sebagainya.
    b. Dengan memahami fantasi kita tidak akan lekas memberikan hukuman kepada anak didik.
    c. Dapat membantu atau mempengaruhi watak anak didik (fantasi terpimpin).
    d. Dengan alat-alat pelajaran/pengajaran untuk dapat mengembangkan fantasi anak didik secara luas dan leluasa.

    5. Kegunaan dan Bahaya Fantasi
    Kegunaan fantasi dalam kehidupan :
    a. Dengan fantasi para seniman dapat menciptakan sesuatu yang baru kita nikmati
    b. Menimbulkan simpati kepada sesama manusia.
    c. Dapat mengambil kemanfaatan (inti) sejarah.
    d. Dapat merencanakan hidup kita di hari kemudian kelak.
    e. Dapat merintangi dan mengurangi kesedihan kita

    6. Bahaya fantasi :

    a. Jika fantasi itu terjadi berlebih-lebih pada seseorang akan terjadi keputusan dalam lamunan.
    b. Karena kita dikuasai fantasi akan timbul rasa berdosa.
    c. Menimbulkan fantasi yang jauh dan liar, terutama akibat fantasi tanpa pimpinan



    BAB III
    KESIMPULAN
    Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang pendidik harus senantiasa benar-benar memahami ciri, sifat dan karakter peserta didiknya, yaitu dengan cara menguasai semua kaidah psikologis pendidikan, baik itu yang bersifat teoritis maupun praktis. Karena pada dasarnya proses pendidikan itu sendiri tidak hanya sekedar pola ajaran dan latihan.
    2.1. Perhatian
    Tentulah dapat diterima bahwa subjek didik yang memberikan perhatian intensif dalam belajar akan memetik hasil yang lebih baik. Perhatian intensif ditandai oleh besarnya kesadaran yang menyertai aktivitas belajar. Perhatian intensif subjek didik ini dapat dieksloatasi sedemikian rupa melalui strategi pembelajaran tertentu, seperti menyediakan material pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan subjek didik, menyajikan material pembelajaran dengan teknik-teknik yang bervariasi dan kreatif, seperti bermain peran (role playing), debat dan sebagainya.
    Strategi pemebelajaran seperti ini juga dapat memancing perhatian yang spontan dari subjek didik. Perhatian yang spontan dimaksudkan adalah perhatian yang tidak disengaja, alamiah, yang muncul dari dorongan-dorongan instingtif untuk mengetahui sesuatu, seperti kecendrungan untuk mengetahui apa yang terjadi di sebalik keributan di samping rumah, dan lain-lain. Beberapa hasil penelitian psikologi menunjukkan bahwa perhatian spontan cendrung menghasilkan ingatan yang lebih lama dan intensif dari pada perhatian yang disengaja.
    2.2. Pengamatan
    Pengamatan adalah cara pengenalan dunia oleh subjek didik melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, pembauan dan pengecapan. Pengamatan merupakan gerbang bai masuknya pengaruh dari luar ke dalam individu subjek didik, dan karena itu pengamatan penting artinya bagi pembelajaran.
    Untuk kepentingan pengaturan proses pembelajaran, para pendidik perlu memahami keseluruhan modalitas pengamatan tersebut, dan menetapkan secara analitis manakah di antara unsur-unsur modalitas pengamatan itu yang paling dominan peranannya dalam proses belajar. Kalangan psikologi tampaknya menyepakati bahwa unsur lainnya dalam proses belajar. Dengan kata lain, perolehan informasi pengetahuan oleh subjek didik lebih banyak dilakukan melalui penglihatan dan pendengaran.
    Jika demikian, para pendidik perlu mempertimbangkan penampilan alat-alat peraga di dalam penyajian material pembelajaran yang dapat merangsang optimalisasi daya penglihatan dan pendengaran subjek didik. Alat peraga yang dapat digunakan, umpamanya ; bagan, chart, rekaman, slide dan sebagainya.
    2.3 Fantasi
    Fantasi jug memiliki peranan yang cukup besar dalam kehidupan manusia. Dengan fantasi manusia bisa merencanakan kehidupan yang ingin dijalaninya kelak. Dengan fantasi, manusia juga dapat menciptakan sesuatu sesuai dengan apa yang difantasikannya.
    Selain itu fantasi juga dapat berakibat buruk jika berlebihan yang dapat menyebabkan seseorang terlalu larut dalam dunia fantasinya sendiri, menjadi putus asa dan lain sebagainya.

    Daftar Pustaka
    • Ahmadi, Abu. 1992. Psikologi Umum. Rineka Cipta : Jakarta
    Soemanto, Wasty, Drs., M.Pd. 1998. Psikologi Pendidikan. Malang: Rineka Cipta
    • Ahmadi, Abu, Drs., H. 1991. Psikologi Umum. Semarang: Rineka Cipta
    • Suryabrata, Sumadi, Drs., BA., MA., Ed.s, Ph.D. 2001. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

    thoharah

    THOHAROH ( CARA BERSUCI )
    A. Pengertian
    Secara bahasa, thoharoh memiliki pengertian An Nazhofah, yaitu suci bersih. Sedangkan secara istilah ilmu fiqih, para ulama memberikan beberapa pengertian sebagai berikut :
    1. Syaikh Ibnu Qosim Al Ghoozy memberikan pengertian Thoharoh sebagai berikut : “ Thoharoh adalah suatu perbuatan yang menyebabkan sahnya sholat dan ibadah-ibadah lainnya yang membutuhkan kesucian dari najis dan hadats, seperti wudhu’, mandi, tayammum dan mensucikan dari najis “.
    2. Syaikh Al Qodhi Husain, memberikan pengertian Thoharoh sebagai berikut : “ Thoharoh adalah usaha menghilangkan penghalang sahnya ibadah seperti hadats dan najis “.
    3. Imam Nawawi memberikan pengertian Thoharoh sebagai berikut : “ Thoharoh adalah mengangkat hadats dan mensucikan najis.

    B. Hukum bersuci
    Bersuci adalah bagian terpenting dari kehidupan seorang muslim. Bersuci berkaitan erat dalam hal sah atau tidaknya ibadah mahdoh (wajib) yang kita lakukan. Sebagai contoh sholat, sebelum mengerjakan sholat kita diwajibkan berwudhu terlebih dahulu. Dalam sebuah hadits disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Kesucian itu penutup iman”. (HR. Muslim).
    Karena bersuci menjadi kunci sahnya ibadah, maka hukum bersuci adalah wajib. Artinya di setiap kita akan melakukan ibadah, jika pada badan kita ada najis atau hadats, maka kita wajib mensucikannya terlebih dahulu agar ibadah yang akan kita lakukan menjadi sah karenanya.
    Secara hukum, berdasarkan Al Qur’an dan hadits bersuci adalah wajib, QS. Al Mudatsir (74) : 4,

    Al baqarah (2) : 222.
    Dalam shalat misalnya, shalat tidak akan dianggap sah apabila belum melakukan wudhu.

    C. Pembagian Thoharoh
    Thoharoh terbagi dua :
    1. Thoharoh ( bersuci ) dari Najis. Jika pada badan, tempat dan pakaian terdapat najis, maka wajib di sucikan terlebih dahulu sebelum di gunakan untuk beribadah.
    2. Thoharoh ( bersuci ) dari hadats. Seseorang di anggap menanggung hadats jika melakukan beberapa hal, seperti kentut, buang air, BAB, bersetubuh dan lain-lain. Jika akan melakukan ibadah maka wajib bersuci terlebih dahulu. Jika hanya hadats kecil misalnya baru saja BAB, maka bisa di sucikan dengan berwudhu’ atau tayammum jika berwudhu’ tidak memungkinkan dilakukan karena beberapa sebab, sedangkan untuk menghilangkan hadats besar karena hubungan intim misalnya, maka bisa di sucikan dengan cara mandi, atau tayammum jika memang ada penghalang untuk melakukan mandi.
    D. Alat-alat bersuci
    Untuk melakukan bersuci, diperlukan alat atau sarana yang telah di atur dan ditetapkan oleh syariat, sehingga tidak semua benda atau alat bisa di gunakan untuk bersuci.
    Menurut Madzhab Syafii, alat-alat bersuci ada tiga :
    1. Air, digunakan sebagai alat bersuci dari hadats dan najis, seperti mensucikan najis, berwudhu’ dan mandi.
    2. Debu, digunakan untuk bertayammum di saat tidak memungkinkan melakukan berwudhu’. Debu yang bersih yang ada di atas tanah, pasir, batu-batu kerikil atau pasir laut. QS. An Nisa (4) : 43
    Rasulullah SAW bersabda: “Tanah itu telah diciptakan bagiku tempat sujud dan mensucikan” (HR. Ahmad diriwayatkan di dalam shahihain)
    3. Batu dan benda-benda keras dan kesat. Di gunakan untuk beristinja’, yaitu bersuci setelah buang air.
    Dalam madzhab lain, ada yang menambahkan tanah dan api sebagai alat bersuci.

    E. Macam-macam air
    Ada beberapa macam air yang bisa digunakan untuk bersuci, mayoritas ulama menyebutkan ada 7 macam air yang boleh dan sah di gunakan untuk bersuci , yaitu :
    1. Air hujan 4. Air Laut
    2. Air Sungai 5. Air Sumur
    3. Air Mata Air 6. Air Salju
    7. Air embun
    Catatan :
    Syaikh Ibrohim Al Bajuri dalam kitabnya Hasiyah Al Bajuri menuturkan urutan beberapa air yang memiliki nilai lebih di bandingkan dengan air-air lain karena memiliki nilai histories :
    1. Air terbaik adalah air yang pernah keluar dari sela-sela jari Rasulullah di saat para sahabat kehausan.
    2. Air zam zam 4. Air Sungai Nil
    3. Air Telaga Al Kautsar 5. Air sungai Furat, Dajlah dan seluruh air sungai yang ada di dunia.

    F. Pembagian Air
    Dalam hubungannya dengan bersuci, air di bagi menjadi empat macam :
    1. Air suci yang mensucikan dan boleh di gunakan.
    Air ini di sebut air mutlaq, yaitu air yang tidak bercampur apapun, masih murni dan tidak ada benda atau zat lain yang merusak kemutlakannya.
    2. Air suci yang mensucikan dan makruh di gunakan.
    Yaitu air yang sebenarnya suci secara zatnya, juga mensucikan dan sah jika di gunakan untuk bersuci, tetapi makruh di gunakan untuk bersuci. Air jenis ini di sebut dengan Air Musyammas, yaitu air yang di panaskan pada sinar matahari. Air ini makruh di gunakan karena berdasarkan ilmu kedokteran, air yang telah di panaskan dengan sinar matahari bisa menyebabkan penyakit sopak. Akan tetapi, tidak semua air yang dipanaskan dengan sinar matahari makruh di gunakan, sebab ada syarat-syarat tertentu yang menyebabkannya makruh di gunakan, yaitu :
    • Air tersebut ketika dipanaskan berada pada tempat yang terbuat dari besi, tembaga, timah dan sejenisnya. Jika terbuat dari kayu, plastic, tanah, kulit, emas dan perak, air tersebut tidak makruh digunakan.
    • Dipanaskan pada kondisi panas yang luar biasa
    • Tidak mudah mendingin kembali
    • Masih tersedia air yang lain selain air musyammas. Jika sama sekali tidak ada air lain selain air musyammas, maka boleh bahkan wajib menggunakan air musyammas untuk bersuci.
    • Di gunakan pada badan. Jika digunakan untuk mensucikan pakaian atau tempat, maka hukumnya boleh.
    Imam Nawawi berpendapat bahwa air musyammas tidak makruh digunakan, sebab menurut beliau, hadits yang menerangkan makruhnya air musyammas hukumnya lemah. Akan tetapi mayoritas mengatakan kemakruhannya.
    Selain air musyammas, ada lagi air yang makruh di gunakan, yaitu :
    1. Air yang sangat panas, misalnya air yang baru saja di rebus. Air ini bisa dan boleh digunakan lagi serta tidak makruh lagi jika telah mendingin.
    2. Air yang sangat dingin, misalnya air yang tersimpan dalam kulkas dalam waktu lama. Air ini juga boleh di gunakan kembali dan tidak makruh setelah derajat kedinginannya kembali ke derajat normal.
    3. Air suci tetapi tidak mensucikan.
    Air ini terbagi menjadi dua :
    • Air musta’mal, yaitu air yang telah digunakan untuk mensucikan najis atau hadats. Hukumnya suci, tetapi tidak sah digunakan untuk bersuci lagi.
    • Air yang berubah dari wujud aslinya, yaitu air yang berubah karena bercampur dengan benda suci lainnya. Contoh mudah untuk air jenis ini adalah air kopi, air teh, air susu dan lain-lain. Air ini sesungguhnya suci, buktinya tidak ada yang tidak mau jika di suguhi kopi, pasti mau meminumnya. Artinya air ini sebenarnya suci, tetapi tidak bisa mensucikan benda lain.
    4. Air Najis, yaitu air yang bernajis meskipun sedikit. Bagian ini di bagi dua :
    a) Air yang sedikit. Air dikatakan sedikit jika ukurannya kurang dari dua kullah, jika air kurang dari dua kullah kemasukan najis, maka hukumnya menjadi najis walaupun tidak ada perubahan apapun karena kemasukan najis itu tadi. Air ini mutlak tidak boleh digunakan untuk bersuci.
    b) Air yang banyak. Air yang banyak adalah air yang mencukupi bahkan lebih dari dua kullah. Jika air ini kemasukan najis, maka hukumnya suci jika tidak terjadi perubahan pada warna, rasanya dan baunya. Tetapi jika ada perubahan walaupun sedikit pada salah satu sifatnya, maka hukumnya menjadi najis. Air ini tetap boleh digunakan bersuci dengan catatan tidak ada perubahan apapun jika kemasukan najis. Misalnya si A mengencingi air sungai, jika air kencing tersebut tidak menyebabkan bau, rasa dan baunya air sungai berubah, maka hukumnya tetap suci.
    Catatan :
    1. Ukuran air dua kullah adalah :
    • 174,580 liter atau berada pada tempat yang ukuran panjang, lebar dan dalamnya adalah 55,9 cm ( Menurut Imam Nawawi ).
    • 176,245 liter atau berada pada tempat yang ukuran panjang, lebar dan dalamnya adalah 56,19 cm ( Menurut Imam Rofii i ).
    • 270 liter menurut kitab Fiqh Islamiyah.
    2. Air yang sedikit tidak menjadi najis jika kemasukan bangkai hewan yang tidak memiliki darah, seperti lalat, semut, lebah dan lain-lain.

    Istinja’
    Yaitu menghilangkan najis dan kotoran yang keluar dari kelamin, dengan menggunakan air atau batu.

    Dari Abdurrahman bin Yazid dari Salman -radhiallahu anhu- bahwa:
    “Ditanyakan kepadanya, “(Apakah) Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu hingga adab beristinja?” Abdurrahman berkata, “Salman menjawab, “Ya. Sungguh beliau telah melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar dan saat buang air kecil, serta beliau melarang kami untuk beristinja’ dengan tangan kanan, beristinja’ dengan batu kurang dari tiga buah, atau beristinja’ dengan kotoran hewan atau tulang.” (HR. Muslim no. 262)
    Bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:Dari Abu Hurairah
    مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ وَمَنْ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ
    “Barangsiapa yang berwudhu maka hendaknya beristintsar (mengeluarkan air dari hidungnya), dan barangsiapa yang beristijmar (bersuci dengan batu) maka hendaklah dia mengganjilkan jumlah (batu)nya.” (HR. Muslim no. 239)
    Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:Dari Abu Qatadah
    “Jika salah seorang dari kalian kencing maka janganlah dia memegang kemaluannya dengan tangan kanannya, jangan beristinja’ dengan tangan kanan, dan jangan bernafas dalam bejana saat minum.” (HR. Al-Bukhari no. 153 dan Muslim no. 267)
    dia berkata: Rasulullah -shallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:Dari Abdullah bin Mas’ud
    “Janganlah kalian beristinja` dengan menggunakan kotoran hewan dan tulang, karena sesungguhnya dia adalah makanan saudara kalian dari bangsa jin.” (HR. Abu Daud no. 39, At-Tirmizi no. 18, dan An-Nasai no. 39)

    Di antara kemudahan yang diberikan oleh syariat adalah bolehnya istijmar yaitu berbersih dari buang air dengan menggunakan batu atau yang semisalnya, dengan syarat benda-benda itu kering lagi bisa menyerap air serta bukan benda yang dilarang oleh syariat, misalnya: Tisu kering, daun kering, kertas, dan seterusnya. Perlu diketahui bahwa istijmar bukanlah pengganti dari berbersih dengan air, akan tetapi dia merupakan alternatif yang juga bisa dilakukan walaupun ada air, walaupun tentu saja yang lebih utama adalah berbersih dengan menggunakan air karena dia merupakan asal alat bersuci dan lebih membersihkan najis.
    Dari dalil-dali di atas, ada beberapa perkara yang butuh diketahui berkenaan dengan istinja yaitu :
    1. Wajib menggunakan minimal tiga batu atau tiga lembar tisu, dan seterusnya. Karenanya jika dengan dua batu saja najis sudah hilang maka wajib untuk menambah batu ketiga, karena tidak boleh istinja kurang dari tiga batu berdasarkan hadits Salman di atas. Ini adalah pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ishaq bin Rahawaih. . Hal ini berdasarkan hadits, “Bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk menggunakan tiga batu dan melarang menggunakan kotoran binatang dan potongan tulang.” (Abu Hurairah)
    2. Karenanya tidak boleh istinja dengan menggunakan satu batu besar lalu mengusap najis pada ketiga sisi batu tersebut.
    3. Wajibnya untuk mengganjilkan jumlah batu yang dipakai istinja berdasarkan hadits Abu Hurairah di atas. Karenanya jika najisnya sudah hilang hanya dengan 4 batu maka dia wajib untuk menambah batu kelima, dan demikian seterusnya.
    4. Tidak boleh istinja dengan benda-benda berikut:
    a. Kotoran hewan.
    b. Benda-benda yang najis.
    c. Tulang karena dia adalah makanan bangsa jin.
    d. Dikiaskan kepadanya makanan manusia.
    e. Benda yang bisa membahayakan tubuh.
    f. Benda yang tidak bisa menyerap air.
    g. Benda yang mempunyai kehormatan, semisal kertas-kertas yang berisi ajaran agama.
    5. Di antara adab dalam buang air lainnya adalah:
    a. Makruhnya buang air menghadap kiblat berdasarkan hadits Salman di atas, sebagaimana yang telah kami terangkan sebelumnya.
    b. Tidak boleh berbersih dari buang air besar dan kecil dengan menggunakan tangan kanan.
    c. Tidak boleh menyentuh kemaluan dengan tangan kanan saat buang air.
    Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah salah seorang diantara kamu membersihkan kemaluannya dengan tangan kanan ketika buang air.” (HR Mutafaq’Alaih)
    6.. Lebih baik menggunakan air bila ada. Aisyah berkata, “Perintahkan suami-suami kalian untuk bersuci dengan air sesungguhnya Rasulullah SAW melakukannya.” (HR. Tirmidzi)

    Benda yang bisa digunakan ber-istinja’, harus memenuhi 4 hal:
    1. Suci, bukan najis atau yang terkena najis.
    2. Padat / keras.
    3. Bisa mengangkat najis, karena itu tidak boleh menggunakan kaca.
    4. Bukan benda yang terhormat, maka tidak diperbolehkan menggunakan tulang dan makanan manusia, demikian juga tidak boleh menggunakan kertas yang terdapat tulisan yang terhormat, seperti kertas yang terdapat catatan ilmu.
    Mandi
    Seorang muslim diajarkan tata cara mengenai menjaga kebersihan badan yaitu dengan cara mandi. Islam mengenalkan istilah mandi wajib bagi umatnya. Bagi seorang muslim yang sudah memasuki masa aqil baligh ia harus sudah diperkenalkan apa yang dimaksud mandi wajib karena hal ini akan menjadi bagian dari perkembangan hidupnya.
    Mandi itu diwajibkan apabila memenuhi salah satu dari kelima kriteria di bawah ini:
    1. Keluar mani disertai syahwat, baik diwaktu tidur maupun kondisi terjaga baik laki-laki maupun perempuan
    2. Selesai haid dan nifas bagi perempuan
    3. Junub (hubungan suami istri)
    4. Meninggal, mayat wajib dimandikan
    5. Orang kafir bila masuk Islam
    Dibawah ini tata cara mandi
    1. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mandi
    a. Fardhu Mandi
    - Niat. Berniat untuk menghilangkan hadats besar dan kecil.
    - Membasuh seluruh badan dengan menggosok hal-hal yang mungkin digosok
    - Mengguyur air ke tempat yang tidak bisa digosok sampai bisa diperkirakan air telah merata ke seluruh tubuh
    - Menyela jari-jemari dan rambut, serta tempat-tempat yang biasanya tidak terairi oleh air seperti pusar, dll.
    b. Sunnah Mandi
    - Membaca Basmallah
    - Sebelum mandi, membersihkan kedua telapak tangan
    - Terlebih dahulu menghilangkan kotoran
    - Mendahulukan anggota badan wudhu sebelum membersihkan badan
    - Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung, lalu membersihkan daun telinga
    c. Makruh Mandi
    - Menghambur-hamburkan air
    - Mandi di tempat yang terkena najis dikhawatirkan terkena najis
    - Mandi dengan menggunakan air sisa yang digunakan oleh perempuan untuk bersuci
    - Mandi di tempat terbuka tanpa penutup baik dinding ataupun sejenisnya
    - Mandi di air yang diam, tidak mengalir. Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian yang sedang junub mandi di air yang diam.” (HR. Muslim)
    2. Mandi wajib : membasuh seluruh badan dengan air secara merata, dengan niat khusus.
    Hal-hal yang mewajibkan mandi, ada 6 yaitu :
    1. Hubungan suami istri.
    2. Keluarnya air mani.
    Perbedaan antara air mani, madzi, dan wadi :
    a.Mani : berwarna putih, pekat, Jika masih basah baunya seperti adonan roti, jika sudah kering baunya seperti putih
    telur.
    b.Madzi : berwarna putih samar dan lengket, keluar sebab hasrat seksual, sebelum hasrat betul-betul sempurna.
    c.Wadi : berwarna putih tebal dan keruh, keluar setelah kencing, atau ketika membawa barang bawaan yang berat. Hukumnya :
    - Mani mewajibkan mandi, tidak membatalkan wudlu, dan hukumnya suci.
    - Madzi dan Wadi hukumnya seperti air kencing (membatalkan wudlu dan hukumnya najis).
    3. Haid (wajib mandi setelah darah berhenti).
    4. Nifas (darah yang keluar setelah melahirkan).
    5. Melahirkan. Wajib mandi walaupun melahirkan berupa gumpalan darah atau gumpalan daging.
    6. Mati.
    Kewajiban-Kewajiban ketika Mandi Wajib, ada 2, yaitu :
    1. Niat
    Waktu niat : Ketika pertama kali membasuh badan.
    Cara niat pada mandi wajib : niat dalam hati, dan disunnahkan untuk diucapkan dengan lisan, dengan mengatakan : “Aku niat menghilangkan hadats besar” (nawaitu raf’al hadatsil akbar), atau “aku niat mandi wajib” (nawaitu fardlal ghusli), atau “aku niat bersesuci untuk shalat” (nawaitut thaharah lis shalaati).
    Jika wajib bagi seseorang untuk 2 mandi wajib sekaligus, seperti mandi sehabis bersetubuh (jima’) dan mandi karena keluar mani, maka cukup dengan satu niatan saja, misalkan dengan berniat, “aku niat mandi wajib”.
    Dan jika wajib bagi seseorang mandi wajib dan mandi sunnah, seperti mandi sehabis bersetubuh dan mandi untuk Shalat Jum’at, maka dia diharuskan berniat untuk kedua-duanya, dengan berniat, “aku niat mandi wajib”, dan “aku niat mandi sunnah sebelum Shalat Jum’at”
    2.Meratakan air ke seluruh badan.
    Karena itu orang yang mandi wajib hendaknya selalu memperhatikan bagian-bagian tubuh yang dikhawatirkan tidak terkena air, seperti ketiak, lipatan-lipatan perut, lobang telinga, bagian dalam antara dua pantat, lobang pusar, dsb.

    Kesunnahan-Kesunnahan ketika mandi wajib, diantaranya:
    1. Membaca “Bismillahirrahmanir rahim”.
    2. Wudhu sebelum mandi.
    3. Menghadap kiblat.
    4. Berdiri.
    5. Menggosokkan tangan ke seluruh tubuh.
    6. Bersambung (tidak terputus-putus).
    7. Mendahulukan bagian tubuh yang kanan dari yang kiri.
    Hadits dari Aisyah r.a., “Rasulullah SAW bila hendak mandi junub (mandi wajib), beliau memulai dengan membersihkan kedua tangannya sebelum memasukkannya ke dalam bejana, kemudian beliau membersihkan farjinya, lalu berwudhu seperti wudhu akan shalat, lalu membersihkan rambutnya dengan air, kemudian mengguyurkan kepalanya tiga kali, baru mengguyurkan air ke seluruh tubuh.” (HR. Tirmidzi)

    Mandi-mandi sunnah, antara lain :
    1. Mandi untuk Shalat Jum’at.
    2. Mandi hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
    3. Mandi hendak Shalat Istisqa (Shalat mohon hujan).
    4. Mandi hendak Shalat Gerhana Bulan.
    5. Mandi hendak Shalat Gerhana Matahari.
    6. Mandi sehabis memandikan mayat.
    7. Mandi bagi orang kafir ketika masuk Islam.
    8. Mandi bagi orang gila setelah sembuh.
    9. Mandi bagi orang pingsan setelah sadar.
    10. Mandi hendak ihram (haji atau umrah).
    11. Mandi hendak masuk Makkah.
    12. Mandi hendak wuquf (berhenti) di Arafah.
    13. Mandi hendak bermalam di Mudzdalifah.
    14. Mandi untuk melempar tiga jumrah.
    15. Mandi untuk thawaf (qudum, ifadlah, dan wada’).
    16. Mandi untuk sa’i (berjalan cepat pergi dan kembali antara bukit Shafa dan Marwah 7 kali).
    17. Mandi untuk masuk Madinah Al Munawwarah.



    Wudhu
    Wudhu adalah membasuh anggota-anggota tubuh tertentu, dengan niat tertentu.

    Fardlu-Fardlu / Hal-Hal Wajib dalam Wudhu,
    ada 6, yaitu:
    1. Niat.
    Dengan mengatakan dalam hati : “saya niat wudlu untuk menghilangkan hadats, fardlu, karena Allah SWT” (nawaitul wudlu-a li raf’il hadatsil asghari fardlan lillaahi ta’aala).
    Waktu niat adalah ketika awal kali membasuh wajah.
    1. Membasuh wajah.
    Batas wajah yang wajib dibasuh adalah antara tempat tumbuhnya rambut kepala, hingga akhir dagu (batas memanjang), dan antara dua telinga (batas melebar).
    1. Membasuh dua tangan sekaligus kedua siku.
    2. Mengusap sebagian kulit kepala atau sebagian rambut kepala.
    3. Membasuh kedua kaki sekaligus kedua mata kaki.
    4. Berurutan.
    Sunnah-Sunnah Wudhu, ada banyak, diantaranya :
    1. Melafadzkan niat dengan lisan.
    2. Membaca Basmalah (Bismillaahirrahmaanirahiim) dan Ta’awwudz (A’uudzu billaahi minassyaithoonirrojiim).
    3. Bersiwak.
    4. Membasuh kedua telapak tangan.
    5. Berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung.
    6. Memulai basuhan wajah dari bagian atas.
    7. Mengusap kedua telinga dengan air.
    8. Menggosok anggota tubuh dengan air.
    9. Menyela-nyelai jari tangan dan kaki.
    10. Menggerakkan cincin yang ada di jari tangan ketika dibasuh.
    11. Menghadap Kiblat.
    12. Duduk tatkala berwudlu.
    13. Menggunakan air secukupnya.
    14. Tidak berbicara ketika berwudlu.
    15. Tidak melebihi basuhan lebih dari 3 kali.
    Syarat-Syarat Wudhu, ada 15, yaitu :
    1. Islam.
    2. Tamyiz (sekira bisa cebok sendiri atau merawat diri sendiri).
    3. Khusus perempuan harus bersih dari darah haid (darah datang bulan) dan darah nifas (darah setelah melahirkan).
    4. Bersih dari benda yang sekiranya bisa menghalangi sampainya air ke kulit, seperti cat atau lem kayu.
    5. Tidak ada benda di kulit yang bisa merubah air, seperti sabun, tinta, dsb.
    6. Mengetahui bahwa hukum wudlu adalah wajib.
    7. Tidak menganggap hal-hal fardlu dalam wudlu adalah sunnah, seperti anggapan bahwa membasuh muka adalah sunnah, padahal hukumnya wajib.
    8. Menggunakan air yang suci mensucikan.
    9. Menghilangkan najis yang terlihat oleh mata (‘ainiyyah).
    10. Mengalirnya air di seluruh anggota wudlu yang wajib dibasuh, tidak cukup dengan hanya mengusap dengan kain atau es.
    11. Yakin bahwa dia wajib berwudlu.
    12. Niat terus menerus sampai awal hingga akhir secara hukum (artinya, tidak ada hal yang bisa membatalkan niat tersebut, seperti murtad / keluar dari Islam, atau niat yang lain selain wudlu).
    13. Tidak mengikat niat dengan sesuatu yang lain (murni niat untuk wudlu).
    14. dan 15. Wudlu harus dikerjakan ketika sudah masuk waktu Shalat dan terus menerus tanpa putus. Kedua syarat ini khusus bagi orang yang selalu berhadats, seperti orang yang selalu keluar air kencingnya, atau air madzinya, atau wanita yang ber-istihadlah (keluar darahnya bukan karena haid atau nifas).
    Hal-Hal yang Membatalkan Wudhu, ada 4 yaitu:
    1. Keluarnya sesuatu dari qubul (kelamin) atau dubur (lobang pantat), baik angin atau bukan, kecuali air mani.
    2. Hilangnya akal sebab tidur, gila, pingsan, mabuk, atau lainnya, kecuali tidur dengan posisi duduk yang rapat antara pantat dengan tempat duduknya.
    3. Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan, yang kedua-duanya sudah besar (mengerti syahwat terhadap lawan jenis), bukan mahram, tanpa menggunakan batas (seperti kain, dsb).
    Yang menjadi mahram seorang laki-laki ada 18: ibu, anak perempuan, saudari, bibi saudari ayah, bibi saudari ibu, anak perempuannya saudara laki-laki, anak perempuannya saudari perempuan, ibu susuan, anak perempuan sesusuan, saudari sesusuan, bibi saudari ayah sesusuan, bibi saudari ibu sesusuan, anak perempuannya saudara laki-laki sesusuan, anak perempuannya saudara perempuan sesusuan, ibunya istri (mertua perempuan), anak perempuannya istri (anak perempuan tiri), istrinya ayah (ibu tiri), istrinya anak (menantu).
    4. Menyentuh kelamin manusia atau lobang pantat, dengan menggunakan telapak tangan atau telapak jari.
    Pengertian Tayamum, Cara, Syarat, Rukun, Sebab & Sunat Tayammum Wudhu Dengan Debu / Tanah
    A. Arti Definisi / Pengertian Tayamum
    Tayamum adalah pengganti wudhu atau mandi wajib yang tadinya seharusnya menggunakan air bersih digantikan dengan menggunakan tanah atau debu yang bersih. Yang boleh dijadikan alat tayamum adalah tanah suci yang ada debunya. Dilarang bertayamum dengan tanah berlumpur, bernajis atau berbingkah. Pasir halus, pecahan batu halus boleh dijadikan alat melakukan tayamum.
    Orang yang melakukan tayamum lalu shalat, apabila air sudah tersedia maka ia tidak wajib mengulang sholatnya. Namun untuk menghilangkan hadas, harus tetap mengutamakan air daripada tayamum yang wajib hukumnya bila sudah tersedia. Tayamum untuk hadas hanya bersifat sementara dan darurat hingga air sudah ada.
    Tayamum yang telah dilakukan bisa batal apabila ada air dengan alasan tidak ada air atau bisa menggunakan air dengan alasan tidak dapat menggunakan air tetapi tetap melakukan tayamum serta sebab musabab lain seperti yang membatalkan wudu dengan air.

    B. Sebab / Alasan Melakukan Tayamum :
    - Dalam perjalanan jauh
    - Jumlah air tidak mencukupi karena jumlahnya sedikit
    - Telah berusaha mencari air tapi tidak diketemukan
    - Air yang ada suhu atau kondisinya mengundang kemudharatan
    - Air yang ada hanya untuk minum
    - Air berada di tempat yang jauh yang dapat membuat telat shalat
    - Pada sumber air yang ada memiliki bahaya
    - Sakit dan tidak boleh terkena air

    C. Syarat Sah Tayamum :
    - Telah masuk waktu salat
    - Adanya halangan untuk menggunakan air untuk berwudlu, misalkan karena bepergian atau sakit
    - Berusaha mencari air (waktu mencari air harus setelah masuk waktu shalat).
    Tidak bisa mendapatkan air, atau berhasil mendapatkannya, namun air tersebut diperlukan untuk yang lain, misalkan untuk minum
    - Memakai tanah berdebu yang bersih dari najis dan kotoran
    - Memenuhi alasan atau sebab melakukan tayamum
    - Sudah berupaya / berusaha mencari air namun tidak ketemu
    - Tidak haid maupun nifas bagi wanita / perempuan
    - Menghilangkan najis yang yang melekat pada tubuh

    D. Kewajiban-kewajiban dalam bertayamum, ada 5 :
    1. Memindah debu (dari tempatnya ke wajah dan kedua tangan, artinya dengan tidak, misalkan, menghadapkan wajah atau kedua tangan di tempat berhamburannya debu karena terpaan angin).
    2. Niat. Dengan berniat : “saya niat bertayammum agar bisa mengerjakan shalat” (nawaitut tayammuma li ibaahatis shalaati). Waktu niat adalah mulai dari memindah debu hingga mengusapkannya ke muka.
    3. Mengusap muka.
    4. Mengusap kedua tangan sekaligus kedua siku.
    5. Berurutan.
    E. Sunah / Sunat Ketika Melaksanakan Tayamum :
    - Membaca basmalah
    - Menghadap ke arah kiblat
    - Membaca doa ketika selesai tayamum
    - Medulukan kanan dari pada kiri
    - Meniup debu yang ada di telapak tangan
    - Menggodok sela jari setelah menyapu tangan hingga siku

    F. Rukun Tayamum :
    - Niat Tayamum.
    - Menyapu muka dengan debu atau tanah.
    - Menyapu kedua tangan dengan debu atau tanah hingga ke siku.

    G. Tata Cara / Praktek Tayamum :
    - Membaca basmalah
    - Renggangkan jari-jemari, tempelkan ke debu, tekan-tekan hingga debu melekat.
    - Angkat kedua tangan lalu tiup telapat tangan untuk menipiskan debu yang menempel, tetapi tiup ke arah berlainan dari sumber debu tadi.
    - Niat tayamum : Nawaytuttayammuma listibaa hatishhalaati fardhollillahi ta'aala (Saya niat tayammum untuk diperbolehkan melakukan shalat karena Allah Ta'ala).
    - Mengusap telapak tangan ke muka secara merata
    - Bersihkan debu yang tersisa di telapak tangan
    - Ambil debu lagi dengan merenggangkan jari-jemari, tempelkan ke debu, tekan-tekan hingga debu melekat.
    - Angkat kedua tangan lalu tiup telapat tangan untuk menipiskan debu yang menempel, tetapi tiup ke arah berlainan dari sumber debu tadi.
    - Mengusap debu ke tangan kanan lalu ke tangan kiri

    H. Yang membatalkan tayamum ada 3 :
    1. Semua yang membatalkan wudlu.
    2. Sebelum melaksanakan shalat, melihat air.
    3. Murtad (keluar dari Islam).

    Selasa, 27 Desember 2011

    metode baca tulis qur'an

    Metode-metode baca tulis Al-Qur’an di Indonesia

    Metode-metode pembelajaran baca tulis Al-Qur’an telah banyak berkembang di Indonesia sejak lama.
    Tiap-tiap metode dikembangkan berdasarkan karakteristiknya.
    Metode-metode tersebut yaitu
    1. Metode Baghdadiyah.
    Metode ini disebut juga dengan metode “ Eja “, berasal dari Baghdad masa pemerintahan khalifah Bani Abbasiyah. Tidak tahu dengan pasti siapa penyusunnya. Dan telah seabad lebih berkembang secara merata di tanah air. Secara dikdatik, materi-materinya diurutkan dari yang kongkrit ke abstrak, dari yangmudah ke yang sukar, dan dari yang umum sifatnya kepada materi yang terinci ( khusus ). Secara garis besar, Qoidah Baghdadiyah memerlukan 17 langkah. 30 huruf hijaiyyah selalu ditampilkansecara utuh dalam tiap langkah. Seolah-olah sejumlah tersebut menjadi tema central dengan berbagai variasi. Variasi dari tiap langkah menimbulkan rasa estetika bagi siswa (enak didengar ) karena bunyinya bersajak berirama. Indah dilihat karena penulisan huruf yang sama. Metode inidiajarkan secara klasikal maupun privat.
    Beberapa kelebihan Qoidah Baghdadiyah antara lain :
    a. Bahan/materi pelajaran disusun secara sekuensif.
    b. 30 huruf abjad hampir selalu ditampilkan pada setiap langkah secara utuh sebagai tema sentral.
    c. Pola bunyi dan susunan huruf (wazan) disusun secara rapi.
    d. Ketrampilan mengeja yang dikembangkan merupakan daya tarik tersendiri.
    e. Materi tajwid secara mendasar terintegrasi dalam setiap langkah.
    Beberapa kekurangan Qoidah baghdadiyah antara lain :
    a. Qoidah Baghdadiyah yang asli sulit diketahui, karena sudah mengalami beberapa modifikasi kecil.
    b. Penyajian materi terkesan menjemukan.
    c. Penampilan beberapa huruf yang mirip dapat menyulitkan pengalaman siswa.
    d. Memerlukan waktu lama untuk mampu membaca Al-Qur’an


    2. Metode Iqro’.
    Metode Iqro’ disusun oleh Bapak As’ad Humam dari Kotagede Yogyakarta dandikembangkan oleh AMM ( Angkatan Muda Masjid dan Musholla ) Yogyakarta denganmembuka TK Al-Qur’an dan TP Al-Qur’an. Metode Iqro’ semakin berkembang dan menyebarmerata di Indonesia setelah munas DPP BKPMI di Surabaya yang menjadikan TK Al-Qur’an danmetode Iqro’ sebagai sebagai program utama perjuangannya.Metode Iqro’ terdiri dari 6 jilid dengan variasi warna cover yang memikat perhatian anak TK Al-Qur’an.
    Bentuk-bentuk pengajaran dengan metode Iqro’ antara lain :
    a. TK Al-Qur’an
    b. TP Al-Qur’an
    c. Digunakan pada pengajian anak-anak di masjid/musholla
    d. Menjadi materi dalam kursus baca tulis Al-Qur’an
    e. Menjadi program ekstra kurikuler sekolah
    f. Digunakan di majelis-majelis taklim
    3. Metode Qiro’ati
    Metode baca al-Qu ran Qira’ati ditemukan KH. Dachlan Salim Zarkasyi (w. 2001 M) dari
    Semarang, Jawa Tengah. Metode yang disebarkan sejak awal 1970-an, ini memungkinkan anakanakmempelajari al-Qur’an secara cepat dan mudah. Kiai Dachlan yang mulai mengajar al-Qur’an pada 1963, merasa metode baca al-Qur’an yang ada belum memadai. Misalnya metode Qa’idah Baghdadiyah dari Baghdad Irak, yang dianggap metode tertua, terlalu mengandalkan hafalan dan tidak mengenalkan cara baca tartil(jelas dan tepat, red.) KH. Dachlan kemudian menerbitkan enam jilid buku Pelajaran Membaca al-Qur’an untuk TK al-Qur’an untuk anak usia 4-6 tahun pada l Juli 1986. Usai merampungkan penyusunannya, KH. Dachlan berwasiat, supaya tidak sembarang orang mengajarkan metode Qira’ati. Tapi semua orang boleh diajar dengan metode Qira’ati. Dalam perkembangannya, sasaran metode Qiraati kian diperluas. Kini ada Qiraati untuk anak usia 4-6 tahun, untuk 6-12 tahun, dan untuk mahasiswa.
    Secara umum metode pengajaran Qiro’ati adalah :
    a. Klasikal dan privat
    b. Guru menjelaskan dengan memberi contoh materi pokok bahasan, selanjutnya siswa membaca sendiri ( CBSA)
    c. Siswa membaca tanpa mengeja.
    d. Sejak awal belajar, siswa ditekankan untuk membaca dengan tepat dan cepat.
    4. Metode Al Barqy
    Metode al-Barqy dapat dinilai sebagai metode cepat membaca al-Qur’an yang palingawal. Metode ini ditemukan dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, Muhadjir Sulthon pada 1965. Awalnya, al-Barqy diperuntukkan bagi siswa SD Islam at-Tarbiyah, Surabaya. Siswa yang belajar metode ini lebih cepat mampu membaca al-Qur’an. Muhadjir lantas membukukan metodenya pada 1978, dengan judul Cara Cepat Mempelajari Bacaan al-Qur’an al-Barqy.
    MUHADJIR SULTHON MANAJEMEN (MSM) merupakan lembaga yang didirikanuntuk membantu program pemerintah dalam hal pemberantasan buta Baca Tulis Al Qur’an dan Membaca Huruf Latin. Berpusat di Surabaya, dan telah mempunyai cabang di beberapa kotabesar di Indonesia, Singapura & Malaysia.Metode ini disebut ANTI LUPA karena mempunyai struktur yang apabila pada saatsiswa lupa dengan huruf-huruf / suku kata yang telah dipelajari, maka ia akan dengan mudahdapat mengingat kembali tanpa bantuan guru. Penyebutan Anti Lupa itu sendiri adalah dari hasilpenelitian yang dilakukan oleh Departemen Agama RI.Metode ini diperuntukkan bagi siapa saja mulai anak-anak hingga orang dewasa. Metode ini mempunyai keunggulan anak tidak akan lupa sehingga secara langsung dapat MEMPERMUDAH dan MEMPERCEPAT anak / siswa belajar membaca. Waktu untuk belajar membaca Al Qur’an menjadi semakin singkat.
    Keuntungan yang di dapat dengan menggunakan metode ini adalah :
    a. Bagi guru ( guru mempunyai keahlian tambahan sehingga dapat mengajar dengan lebih baik, bisa menambah penghasilan di waktu luang dengan keahlian yang dipelajari),
    b. Bagi Murid ( Murid merasa cepat belajar sehingga tidak merasa bosan dan menambah kepercayaan dirinya karena sudah bisa belajar dan mengusainya dalam waktu singkat, hanya satu level sehingga biayanya lebih murah),
    c. Bagi Sekolah (sekolah menjadi lebih terkenal karena murid-muridnya mempunyai kemampuan untuk menguasai pelajaran lebih cepat dibandingkan dengan sekolah lain).
    5. Metode Tilawati.
    Metode Tilawati disusun pada tahun 2002 oleh Tim terdiri dari Drs.H. Hasan Sadzili, Drs H. Ali Muaffa dkk. Kemudian dikembangkan oleh Pesantren Virtual Nurul Falah Surabaya.
    Metode Tilawati dikembangkan untuk menjawab permasalahan yang berkembang di TK-TPA, antara lain :
    Mutu Pendidikan Kualitas santri lulusan TK/TP Al Qur’an belum sesuai dengan target.
    Metode Pembelajaran Metode pembelajaran masih belum menciptakan suasana belajar yang kondusif. Sehingga proses belajar tidak efektif.
    Pendanaan Tidak adanya keseimbangan keuangan antara pemasukan dan pengeluaran. Waktu pendidikan Waktu pendidikan masih terlalu lama sehingga banyak santri drop out sebelum khatam Al-Qur’an.
    Kelas TQA Pasca TPA TQA belum bisa terlaksana.
    Metode Tilawati memberikan jaminan kualitas bagi santri-santrinya, antara lain :
    a. Santri mampu membaca Al-Qur’an dengan tartil.
    b. Santri mampu membenarkan bacaan Al-Qur’an yang salah.
    c. Ketuntasan belajar santri secara individu 70 % dan secara kelompok 80%.
    Prinsip-prinsip pembelajaran Tilawati :
    a. Disampaikan dengan praktis.
    b. Menggunakan lagu Rost.
    c. Menggunakan pendekatan klasikal dan individu secara seimbang.
    6. Metode Iqro’ Dewasa
    7. Metode Iqro’ Terpadu
    Kedua metode ini disusun oleh Drs. Tasrifin Karim dari Kalimantan Selatan. Iqro’ terpadu merupakan penyempurnaan dari Iqro’ Dewasa. Kelebihan Iqro’ Terpadu dibandingkan dengan Iqro’ Dewasa antara lain bahwa Iqro’ Dewasa dengan pola 20 kali pertemuan sedangkan Iqro’ Terpadu hanya 10 kali pertemuan dan dilengkapi dengan latihan membaca dan menulis.
    Kedua metode ini diperuntukkan bagi orang dewasa. Prinsip-prinsip pengajarannya seperti yang dikembangkan pada TK-TP Al-Qur’an.
    8. Metode Iqro’ Klasikal
    Metode ini dikembangkan oleh Tim Tadarrus AMM Yogyakarta sebagai pemampatan dari buku Iqro’ 6 jilid. Iqro’ Klasikal diperuntukkan bagi siswa SD/MI, yang diajarkan secara klasikal dan mengacu pada kurikulum sekolah formal.
    9. Dirosa ( Dirasah Orang Dewasa )
    Dirosa merupakan sistem pembinaan islam berkelanjutan yang diawali dengan belajar baca Al-Qur’an. Panduan Baca Al Qur’an pada Dirosa disusun tahun 2006 yang dikembangkan Wahdah Islamiyah Gowa. Panduan ini khusus orang dewasa dengan sistem klasikal 20 kali pertemuan. Buku panduan ini lahir dari sebuah proses yang panjang, dari sebuah perjalanan pengajaran Al Qur’an di kalangan ibu-ibu yang dialami sendiri oleh Pencetus dan Penulis buku ini. Telah terjadi proses pencarian format yang terbaik pada pengajaran Al Qur’an di kalangan ibu-ibu selama kurang lebih 15 tahun dengan berganti-ganti metode. Dan akhirnya ditemukanlah satu format yang sementara dianggap paling ideal, paling baik dan efektif yaitu memadukan pembelajaran baca Al-Qur’an dengan pengenalan dasar-dasar keislaman. Buku panduan belajar baca Al-Qur’annya disusun tahun 2006. Sedangkan buku-buku penunjangnya juga yang dipakai pada santri TK-TP Al-Qur’an. Panduan Dirosa sudah mulai berkembang di daerah-daerah, baik Sulawesi, Kalimantan maupun beberapa daerah kepulauan Maluku; yang dibawa oleh para da’i . Secara garis besar metode pengajarannya adalah Baca-Tunjuk-Simak-Ulang, yaitu pembina membacakan, peserta menunjuk tulisan, mendengarkan dengan seksama kemudian mengulangi bacaan tadi.
    Tehnik ini dilakukan bukan hanya bagi bacaan pembina, tetapi juga bacaan dari sesama peserta. Semakin banyak mendengar dan mengulang, semakin besar kemungkinan untuk bisa baca Al-Qur’an lebih cepat.
    10. PQOD ( Pendidikan Qur’an Orang Dewasa )Dikembangkan oleh Bagian dakwah LM DPP WI, yang hingga saat ini belum diekspos keluar. Diajarkan di kalangan anggota Majlis Taklim dan satu paket dengan kursus Tartil Al- Qur’an .

    usul fiqh : kaidah fiqh

    BAB I
    PENDAHULUAN
    I. Latar Belakang Masalah
    Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
    Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
    II. Rumusan Masalah
    1. Mengerti dan memahami pengertian dan sejarah perkembangan kaidah-kaidah fiqh
    2. Menyebutkan pembagian kaidah fiqh
    3. Apakah manfaat dan urgensi dari kaidah-kaidah fiqh?
    4. Bagaimana kedudukan dan sistematika kaidah fiqh?
    5. Apa beda kaidah ushul dan kaidah fiqh?
    6. Mengetahui apa itu kaidah umum dan kaidah asasi
    III. Tujuan Pembahasan
    Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh, mulai dari definisi, pembagian dan sistematika kaidah fiqh.


    BAB II
    PEMBAHASAN

    I. Pengertian
    Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.
    Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :

    ”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”.
    (Q.S. An-Nahl : 26)
    Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut
    Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
    ”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”
    Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
    ”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
    Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :
    ”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
    (Q.S. At-Taubat : 122)
    Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :
    Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama.
    Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
    Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
    ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
    Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.
    II. Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah
    Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :
    1. Fase pertumbuhan dan pembentuka
    Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.
    Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarahhukumi islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
    Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
    Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
    1. Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung al-Mustasnayat.
    2. Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
    Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :
    ”pajak itu disertai imbalan jaminan”
    ”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain).
    Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah fiqh. Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
    Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah :
    ”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”
    Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
    Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu :
    ”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
    Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :
    ”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
    2. Fase perkembangan dan kodifikasi
    Dalah sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.
    Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
    Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
    > Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761 H)
    >• Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)
    3. Fase kematangan dan penyempurnaan
    Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah
    “seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya”
    Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
    “seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”
    III. Pembagian Kaidah Fiqh
    Cara membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa segi :
    1. Segi fungsi
    Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
    ”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
    kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :
    ”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”
    ”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
    Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’
    2. Segi mustasnayat
    Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.
    Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :
    ”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
    Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
    3. Segi kualitas
    Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
    >• Kaidah kunci
    Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
    ”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
    Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
    >• Kaidah asasi
    Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
    ”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
    ”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
    ”Kesulitan mendatangkan kemudahan”
    ”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
    >• Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
    Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ” majallah al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha usmaniah.
    IV. Manfaat Kaidah Fiqh
    Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
    1. Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
    2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
    3. Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
    4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung

    Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)
    1. Mempermudah dalam menguasai materi hokum
    2. kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
    3. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
    4. mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hokum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topic
    5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar
    6. Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam
    V. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah
    Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
    1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
    2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
    Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telh sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.
    Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
    Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.
    VI. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah
    Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :
    1. Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
    2. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil mandiri.
    Namun al_Hawani menolak pendapat Imam al-Haramayn al-juwayni. Menurutnya, menurut al-Hawani, berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan. Al-Hawani mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat. Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena memiliki pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang lebih bijak.
    Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul sederhana dari masalah-masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh Muhammad al-Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum fiqh yang bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai berai.”
    Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’ah mencakup dua hal : pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqhyang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah dari furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.
    VII. Sistematika Qawaidul Fiqhiyah
    Pada umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah yang disepakati oleh Imam Mazhahib tanpa diperselisihkan kekuatannya, jumlah kaidah asasiah ada 5 macam, yaitu :
    1. Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya
    2. Kemudaratan itu harus dihilangkan
    3. Kebiasaan itu dapat menjadi hukum
    4. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
    5. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
    Sebagian fuqaha’ menambah dengan kaidah “tiada pahala kecuali dengan niat.” Sedangkan kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari kaidah asasiah, walaupun keabsahannya masih tetap diakui.
    VIII. Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh
    1. Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama.
    2. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah furu’.
    3. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam dalil yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.
    IX. Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi
    1. Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
    Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada kemaslahatan, adapula ynag menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.
    2. Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi)
    Kelima kaidah asasi tersebut sebagai berikut :
    a. Kaidah asasi pertama
    “segala perkara tergantung kepada niatnya”
    Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.
    b. Kaidah asasi kedua
    “keyakinan tisak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”
    c. Kaidah asasi ketiga
    “kesulitan mendatangkan kemudahan”
    Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
    d. Kaidah asasi keempat
    “kemudhoratan harus dihilangkan”
    Kaidah tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid al-Syari’ah dengan menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan kemudhoratan atau setidak-tidaknya meringankannya.
    e. Kaidah asasi kelima
    “adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”
    Adat yang dimaksudkan kaidah diatas mencakup hal yang penting, yaitu : di dalam adapt ada unsure berulang-ulang dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu yang baik.
    X. Kaidah-kaidah Fiqh yang umum
    Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini kami hanya menjelaskan sebagiannya saja, yaitu :
    1. “ijthat yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru”
    Hail ini berdasarkan perkataan Umar bin Khattab :
    “itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
    2. “apa yang haram diambil haram pula diberikannya”
    Atas dasar kaidah ini, maka haram memberikan uang hasil korupsi atau hasil suap. Sebab, perbuatan demikian bisa diartikan tolong menolong dalam dosa.
    3. “Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
    4. “Petunjuk sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi mempunyai kekuatan sebagai dalil”
    Maksud kaidah ini adalah ada hal-hal yang sulit diketahui oleh umum, akan tetapi ada tanda-tanda yang menunjukkan hal tadi. Contoh dari kaidah ini, seperti : Barang yang dicuri ada pada si B, keadaan ini setidaknya bisa jadi petunjuk bahwa si B adalah pencurinya, kecuali dia bisa membuktikan bahwa barang tersebut bukan hasil curian.

    5. “Barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”
    Contah dari kaidah ini : Kita mempercepat berbuka pada saat kita puasa sebelum maghrib tiba.
    XI. Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus
    Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang fioqh tertentu, yaitu :
    1. Kaidah fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah
    “Setiap yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak sah pula digunakan shalat fardhu”
    2. Kaidah fiqh yang khusuh di bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah
    Dalam hukum islam, hukum keluarga meliputi : pernikahan, waris, wasiat, waqaf dzurri (keluarga) dan hibah di kalangan keluarga. Salah satu dari kaidah ini, yaitu
    “Hukum asal pada masalah seks adalah haram”
    Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.
    3. Kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi
    “Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
    Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti : jual beli, sewa-menyewa, kerja sama. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti yang mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi dan riba.
    4. Kaidah fiqh yang khusus di bidang jinayah
    Fiqh jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang aturan berbagai kejahatan dan sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya. Salah satu kaidah khusus fiqh jinayah adalah :
    “Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan syari’ah”
    Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah maka diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki yang sudah wajib mengeluarkan zakat.
    5. Kaidah fiqh yang khusus di bidang siyasah
    “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”
    Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus beorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keluarganya maupun golongannya.
    6. Kaidah fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara)
    Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya, seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai mahkamah agung. Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu :
    “Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
    Perdamaian antara penggugat dan tergugat adalah baik dan diperbolehkan, kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

    BAB III
    PENUTUP
    I. Kesimpulan
    1. Kaidah-kaidah fiqh ituterdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyatnya (bagian-bagiannya)
    2. Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalahfiqh.
    3. Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :
    Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
    Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
    DAFTAR PUSTAKA
    Djazuli, HA, 2006, Kaidah-kaidah fiqh, Jakarta : kencana
    Mujib, Abdul, 1978, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Malang : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel
    Usman, Muslih, 1999, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta : Rajawali Pers
    Effendi, Satria, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana
    Mubarok, Jaih, 2002, Kaidah Fioqh, Jakarta : Rajawali Pers
    Djazuli, HA, 2005, Ilmu Fiqh, Jakarta : Kencana
    Asjmuni, A Rahman, 1976, Kaidah-kaidah Fiqh, Jakarta : Bulan Bintang
    Ash-shiddiqie, Hasbi, 1999, Mabahits fi al-Qawaidul Fiqhiyah.
    Al-Nadwi, Ali Ahmad, 1998, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Beirut : Dar al-Kalam
    Faisal, Enceng Arif, 2004, Kaidah Fiqh Jinayah, Bandung : Pustaka Bani Quraisy